Sekilas Sejarah BIN

Intelijen Indonesia, dalam konteks ini Badan Intelijen Negara Republik Indonesia, melintasi sejarah panjang yang berliku. Zulkifli Lubis adalah personel intelijen pertama Indonesia, dia Bapak Intelijen Indonesia. Embrio bernama Badan Istimewa, didirikan dan dipimpin Kolonel Zulkifli Lubis, Agustus 1945.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, berdirilah beberapa lembaga atau badan negara yang bertujuan mengawal kemerdekaan. Salah satunya bernama Badan Istimewa dengan pendirinya adalah Zoelkifli Loebis. Ia adalah pribumi yang pada awalnya dididik oleh badan intelijen Jepang untuk melawan sekutu. Namun karena pendudukan Jepang di Indonesia telah berakhir, maka Zoelkifli Loebis dengan bekal pengetahuan clan pengalamannya di bidang intelijen serta rasa nasionalisme yang tinggi memanfaatkan momentum tersebut untuk membentuk Badan Istimewa.[1]
Zulkifli Lubis (26 Desember 1923-23 Juni 1993) mengenal dunia intelijen ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, mengikuti latihan tentara yang diselenggarakan oleh Tentara Jepang. Setelah memperoleh latihan sekitar dua bulan di Seinen Kurensho (pusat latihan untuk barisan pemuda), Lubis menerima tawaran khusus untuk mendapat pendidikan perwira militer di Seinen Dojo (balai penggemblengan pemuda) Tangerang yang diikuti sekitar 40 siswa dari seluruh Jawa. Zulkifli Lubis termasuk angkatan pertama bersama Kemal Idris dan Daan Mogot. Di Balai Seinen Dojo inilah yang pertama kalinya Lubis mengenal dunia intelijen.
Kemudian, pertengahan tahun 1944, Zulkifli Lubis diajak oleh Rokugawa (bekas komandan Seinen Dojo) ke Malaysia dan Singapura. Di sana ia berkenalan dengan Mayor Ogi, perwira intelejen Jepang. Zulkifli Lubis dan Mayor Ogi tinggal satu kamar. Mayor Ogi sering bercerita mengenai pengalamannya melakukan kegiatan intelijen di Vietnam. Di kota Singa itu Lubis memperoleh kesempatan untuk mempelajari dunia intelijen dalam praktik dengan bimbingan dari Rokugawa. Di Singapura inilah Lubis bersama Rokugawa sering melapor ke Fujiwara Kikan, badan rahasia Jepang untuk Asia Tenggara. Lalu kemudian Zulkifli Lubis ke Kuala Lumpur memperoleh kesempatan mengenai dunia intelijen lebih mendalam.
Setelah belajar intelijen di luar negeri, Lubis kembali ke tanah air. Dia disertakan dalam rencana Jepang untuk membentuk kelompok-kelompok intelijen di berbagai tempat di Jawa sebagai pasukan gerilya. Setelah proklamasi kemerdekaan, Zulkifli Lubis dipercayakan sebagai pimpinan pusat Badan Keamanan Rakyat yang diketuai oleh Kaprawi dan dibantu oleh Sutalaksana (Ketua I), Latief Hendraningrat (Ketua II), Arifin Abdurrachman dan Machmud. Pada kesempatan ini, Lubis mulai mempersiapkan pembentukan badan intelijen yang diberi nama Badan Istimewa. Zulkifli Lubis, bersama Sunarjo, Juwahir dan GPH Djatikusumo membidani lahirnya badan intelijen pertama di Indonesia itu. Ada sekitar 40 orang bekas Giyugun dari seluruh Jawa bergabung dalam Badan Istimewa ini.
Budi Gunawan menuturkan, Badan lstimewa bentukan Zoelkifli Loebis ini memerlukan SDM yang andal untuk tidak hanya melaksanakan tugas rutin intelijen saja, namun yang mendesak adalah melaksanakan operasi-operasi intelijen dalam rangka menjaga kemerdekaan Republik Indonesia yang masih relatif berusia muda. Untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan SDM tersebut, maka digelarlah pendidikan dan pelatihan (diklat) intelijen singkat. Materi diklat terdiri dari pengetahuan dan keterampilan intelijen yang meliputi: informasi, sabotase, dan psywar. Para pengajar diklat merupakan lulusan sekolah intelijen Jepang Seinen Dojo (1943), termasuk salah satunya Kolonel Zoelkifli Loebis.[2]
Badan Istimewa kemudian berkembang terus seiring lintasan ruang dan waktu perkembangan intelijen Indonesia. Bapak Intelijen Indonesia Kolonel Zoelkifli Loebis mengatakan: “Sebagai prajurit perang pikiran aku selalu berusaha menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyat.” Doktrin ini diciptakan beberapa saat setelah berdirinya Badan Istimewa. Menurut Loebis, hakikat intelijen itu adalah wetenschappelijk dan diep ingeworteld pada bela negara (Intelijen itu perang pikiran dan insan intelijen adalah prajurit perang pikiran). Wetenschappelijk adalah istilah dalam bahasa Belanda yang berarti “ilmiah”, sedangkan diep ingeworteld memiliki arti mengakar dalam-dalam. Dari kedua istilah tersebut Loebis kemudian memiliki pandangan bahwa intelijen secara filosofi sebenarnya menyelenggarakan sebuah kegiatan yang dinamakannya sebagai “perang pikiran”.[3]
Ada enam doktrin intelijen (manusia perang pikiran) ciptaan Loebis yaitu: (1) insan intelijen itu harus objektif; (2) insan intelijen itu harus bisa menilai informasi; (3) insan intelijen itu harus melapor apa adanya; (4) insan intelijen itu harus security minded; (5) insan intelijen itu bekerja tanpa pamrih; dan (6) insan intelijen itu total mengabdi semata-mata untuk negara dan masyarakat.
Jadi, menurut Budi Gunawan, jika dimaknai secara bebas, bisa saja yang dimaksud dengan insan intelijen sebagai prajurit perang pikiran oleh Loebis adalah SDM intelijen itu harus selalu berpikir ilmiah dan mendalam ketika menghadapi beragam permasalahan yang dihadapinya. Termasuk menggunakan metode-metode ilmiah untuk mengumpulkan dan mengelola informasi sehingga dapat disajikan secara objektif dan apa adanya tanpa persepsi yang tidak didukung data akurat. SDM intelijen juga harus mampu menerjemahkan security minded secara ilmiah dan mendalam, sehingga tindakan yang dilakukannya down to the earth atau membumi dalam mengamankan ibu pertiwi dari segala macam ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari pemaknaan bebas di atas maka kalimat kunci dari insan intelijen sebagai prajurit perang pikiran adalah SDM intelijen yang berpikir ilmiah. Dengan demikian SDM intelijen harus “smart” karena selalu berpikir dengan ragam ilmu pengetahuan yang variatif agar segala tindakannya memiliki dasar kuat sehingga pengambilan keputusan tidak salah.[4]
Kemudian Lubis mendapat kepercayaan membentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) dan menjadi ketuanya. Untuk merekut anggota Brani, Lubis menggunakan sebagian besar pelajar, bekas Seinen Dojo maupun Yugeki, di antaranya Bambang Supeno, Kusno Wiwoho, Dirgo, Sakri, Suparto dan Tjokropranolo. BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia), kemudian menjadi BKI (Badan Koordinasi Intelijen), BPI (Badan Pusat Intelijen), KIN (Komando Intelijen Negara), BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara), dan akhirnya menjadi BIN (Badan Intelijen Negara).
Sejarah dalam laman resmi BIN menguraikan perjalanan lembaga Intelijen negara ini yang telah menapaki jalan panjang, seiring lahir dan berkembangnya Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, masih pada bulan Agustus 1945, pemerintah Republik Indonesia mendirikan badan Intelijen untuk pertama kalinya, yang dinamakan Badan Istimewa. Kolonel Zulkifli Lubis pertama kali ditunjuk memimpin lembaga ini bersama sekitar 40 mantan tentara Pembela Tanah Air (Peta) yang menjadi penyelidik militer khusus. Personel-personel Intelijen pada lembaga ini merupakan lulusan Sekolah Intelijen Militer Nakano, yang didirikan pendudukan Jepang pada tahun 1943. Zulkifli Lubis merupakan lulusan sekaligus komandan Intelijen pertama.
Pada awal Mei 1946, dilakukan pelatihan khusus di daerah Ambarawa. Sekitar 30 pemuda lulusannya menjadi anggota Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI). Lembaga ini menjadi “payung” gerakan Intelijen dengan beberapa unit ad hoc, bahkan operasi luar negeri.
Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin Harahap membentuk “Badan Pertahanan B” yang dikepalai seorang mantan komisioner polisi pada bulan Juli 1946. Kemudian dilakukan penyatuan seluruh badan Intelijen di bawah Menhan pada 30 April 1947. BRANI menjadi Bagian V dari Badan Pertahanan B.
Pada awal tahun 1952, Kepala Staf Angkatan Perang, T.B. Simatupang menurunkan lembaga Intelijen menjadi Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP). Pada tahun yang sama, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menhan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima tawaran Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat untuk melatih calon-calon intelijen profesional Indonesia di Pulau Saipan, Filipina.
Sepanjang tahun 1952-1958, seluruh Angkatan dan Kepolisian memiliki badan Intelijen sendiri-sendiri tanpa koordinasi nasional yang solid. Maka 5 Desember 1958 Presiden Soekarno membentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) dan dipimpin oleh Kolonel Laut Pirngadi sebagai Kepala.
Selanjutnya, 10 November 1959, BKI menjadi Badan Pusat Intelijen (BPI) yang bermarkas di Jalan Madiun, Jakarta, yang dikepalai oleh DR Soebandrio. Di era tahun 1960-an hingga akhir masa Orde Lama, pengaruh Soebandrio pada BPI sangat kuat diikuti perang ideologi komunis dan non-komunis di tubuh militer, termasuk Intelijen.
Setelah gonjang-ganjing tahun 1965, Soeharto memimpin Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Selanjutnya di seluruh daerah (Komando Daerah Militer/Kodam) dibentuk Satuan Tugas Intelijen (STI). Kemudian, pada tanggal 22 Agustus 1966, Jenderal Soeharto mendirikan Komando Intelijen Negara (KIN) yang dipimpin oleh Brigjen Yoga Sugomo sebagai Kepala Komando Intelijen Negara (KIN) bertanggung jawab langsung kepada Soeharto.
Sebagai lembaga Intelijen strategis, maka BPI dilebur ke dalam KIN yang juga memiliki Operasi Khusus (Opsus) di bawah Letkol Ali Moertopo dengan asisten Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani dan Aloysius Sugiyanto. Kurang dari setahun, 22 Mei 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk mendesain KIN menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Mayjen Soedirgo menjadi Kepala BAKIN pertama.
Kemudian, pada masa Mayjen Sutopo Juwono, BAKIN memiliki Deputi II di bawah Kolonel Nicklany Soedardjo, perwira Polisi Militer (POM) lulusan Fort Gordon, AS. Sebenarnya (sebelumnya) di awal 1965 Nicklany sudah membentuk unit intel PM, yaitu Detasemen Pelaksana Intelijen (Den Pintel) POM. Secara resmi, DenPintel POM menjadi Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel), lalu tahun 1976 menjadi Satuan Pelaksana (Satlak) BAKIN dan di era 1980-an menjadi Unit Pelaksana (UP) 01.
Mulai tahun 1970 terjadi reorganisasi BAKIN dengan tambahan Deputi III pos Opsus di bawah Brigjen Ali Moertopo. Sebagai inner circle Presiden Soeharto, Opsus dipandang paling prestisius di BAKIN, mulai dari urusan domestik Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat dan kelahiran mesin politik Golongan Karya (Golkar) sampai masalah Indocina.
Tahun 1983, sebagai Wakil Kepala BAKIN, L.B. Moerdani memperluas kegiatan Intelijen menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS). Selanjutnya BAKIN tinggal menjadi sebuah direktorat kontra-subversi dari Orde Baru. Lalu, setelah mencopot L.B. Moerdani sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam), tahun 1993, Presiden Soeharto mengurangi mandat BAIS dan mengganti namanya menjadi Badan Intelijen ABRI (BIA).
Sepanjang 32 tahun era Orde Baru, intelijen mengalami beberapa kali perubahan yang memengaruhi ruang lingkup organisasi dan tugasnya, yang fokusnya berorientasi ambisi untuk melanggengkan kekuasaan rezim, sehingga beberapa kali perubahan tersebut tidak berdampak signifikan pada profesionalisme intelijen negara. Kemudian, setelah Reformasi 1998, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengubah BAKIN menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2000 sampai sekarang.
Dengan demikian, sejak 1945 sampai sekarang, organisasi Intelijen negara telah berganti nama sebanyak 6 (enam) kali yakni dari embrio Badan Istimewa dipimpin Kolonel Zulkifli Lubis tahun 1945 menjadi:
- BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia) dipimpin Kolonel Zulkifli Lubis, 1946,
- BKI (Badan Koordinasi Intelijen) dipimpin Kolonel Polisi Pirngadi, 5 Desember 1958 – 10 November 1959.
- BPI (Badan Pusat Intelijen) dipimpin Laksamana Udara TNI (Tit.) Dr. Soebandrio, 1959-1965; dan Jenderal TNI Soeharto, 1965-22 Agustus 1966,
- KIN (Komando Intelijen Negara) dipimpin Brigadir Jenderal TNI Yoga Soegomo, 22 Agustus 1966 – 22 Mei 1967.
- BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) dipimpin: 1) Mayor Jenderal TNI Sutopo Juwono, 21 November 1968-Januari 1974; 2) Jenderal TNI Yoga Soegomo , Januari 1974-2 Juni 1989; 3) Letnan Jenderal TNI Sudibyo, 2 Juni 1989- April 1996; 4) Letnan Jenderal TNI Moetojib, April 1996-21 Mei 1998; 5) Letnan Jenderal TNI Zaini Azhar Maulani, 21 Mei 1998-20 November 1999; dan 6) Letnan Jenderal TNI (Purn.) Arie Jeffy Kumaat, 20 November 1999-9 Agustus 2001.
- BIN (Badan Intelijen Negara) dipimpin: 1) Jenderal TNI (Purn.) A.M. Hendropriyono, 9 Agustus 2001 – 8 Desember 2004; 2) Mayor Jenderal TNI (Purn.) Syamsir Siregar, 8 Desember 2004 – 22 Oktober 2009; 3) Jenderal Polisi (Purn.) Sutanto, 22 Oktober 2009 – 19 Oktober 2011; 4) Letnan Jenderal TNI (Purn.) Marciano Norman, 19 Oktober 2011-8 Juli 2015; 5) Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sutiyoso, 8 Juli 2015-9 September 2016; dan, 6) Jenderal Polisi (Purn.) Budi Gunawan, 9 September 2016 – 10 Oktober 2024); dan Letjen TNI (Purn) Muhammad Hendra (21 Oktober 2024 – Petahana).
Pasca Reformasi 1998, setelah perubahan BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) menjadi BIN (Badan Intelijen Negara) dibawah kepemimpinan Kepala BIN sejak 9 Agustus 2001, BIN telah melakukan konsolidasi dan penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia secara bertahap, terutama setelah adanya UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara yang menjadi payung hukum profesionalisme Intelijen Negara. Optimalisasi penguatan kelembagaan dan personel BIN itu mencapai lompatan hebat (quantum leap) dalam kepemimpinan Jenderal Polisi (P) Prof. Dr. Budi Gunawan yang dinilai berhasil memodernisasi BIN, sehingga dia dijuluki Tokoh Modernisasi BIN.[5]
Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi (2014-2019 dan 2019-2024) ada tiga Kepala BIN dengan dua kali pergantian, yakni:
- Marciano Norman. Ketika Presiden Jokowi mulai menjabat pada 2014, Kepala BIN masih dijabat Letnan Jenderal TNI (Purn.) Marciano Norman. Marciano dilantik 19 Oktober 2011 pada saat Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga berlanjut pada masa awal Pemerintahan Presiden Jokowi. Kemudian, setelah empat tahun menjabat, pada 8 Juli 2015 Marciano Norman digantikan oleh Sutiyoso. Dalam kepemimpinan Marciano Norman, BIN menerbitkan buku Toward 2014-2019, Strengthening Indonesia in a Changing World, yang dimaksudkan ‘mengantarkan dan membekali’ pemerintahan baru hasil Pilpres 2014. Antara lain, Menuju Demokrasi yang Terkonsolidasi tentang perkembangan politik yang mungkin terjadi dalam lima tahun ke depan, khususnya mengenai implementasi demokrasi; juga Menembus Middle Income Trap, menjelaskan proyeksi optimistis perekonomian Indonesia dan ancaman yang harus dihadapi untuk bisa lepas landas ke tahap selanjutnya.
- Sutiyoso. Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. (H.C.) H. Sutiyoso, SH. mulai menjabat Kepala BIN pada 8 Juli 2015 Masa jabatannya hanya berlangsung dalam waktu satu tahun lebih, dia mengukir keberhasilan menjinakkan Nurdin Ismail alias Din Minimi dan 120 orang kombatan militannya (eks GAM) turun gunung dan mengembalikannya hidup damai ke tengah keluarga dan masyarakat (29/12/2015); juga dalam meredam petinggi gerakan separatis dan teroris di Poso dan Papua. Pada 9 September 2016, Sutiyoso digantikan oleh Budi Gunawan.
- Budi Gunawan. Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Dr. Budi Gunawan, S.H., M.Si. menjadi unsur Polisi kedua setelah Jenderal Polisi (Purn) Sutanto (2009-2011) memimpin BIN. Dr. Andry Wibowo, SIK, MH, MSi[6] menulis, Jenderal Budi Gunawan merupakan pemimpin yang “Modern“ yang transformatif dan loyal kepada bangsa dan negara. Budi Gunawan yang akrab disapa BG fokus pada upaya melakukan transformasi kelembagaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan kinerja. BG dijuluki sebagai Tokoh Mornisasi BIN.
Dalam masa kepemimpinannya, BIN dapat merespon dengan cepat berbagai peristiwa, seperti ledakan bom di Kampung Melayu melalui pemberian sinyal berupa informasi, namun eksekusi ada di tangan penegak hukum. Budi Gunawan juga tipe pemimpin yang visioner yang mampu berpikir sekaligus tentang masa depan lembaga dan manusia di dalamnya. Menurut Dr. Andry Wibowo, loyalitas BG kepada Presiden RI sebagai single user juga sangat jelas. Di bawah pimpinan Budi Gunawan, birokrasi BIN dapat menjadi contoh kerja birokrasi yang efektif, efisien dan sesuai semangat Nawacita, yaitu kerja cepat untuk Negara. Dalam situasi terbaru, Budi Gunawan selaku Kepala BIN juga berhasil membawa Indonesia melewati masa pandemi Covid-19 menuju endemi dengan masifnya proses penanganan Covid-19 yang berupa percepatan vaksinasi dan propaganda pentingnya protokol kesehatan dalam mengedukasi masyarakat. Selain itu, tulis Andry Wibowo, BIN juga berhasil merumuskan konsep Ibu Kota baru yaitu Ibu Kota Nusantara yang dinilai sebagai tranformasi nyata menuju Indonesia yang lebih maju. Dengan Visi menjadikan BIN sebagai Badan Intelijen berkelas dunia melalui perbaikan tata kelola organisasi dan kinerja yang bekualitas menjadikan Budi Gunawan sebagai salah satu Kepala BIN yang kiprahnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Dedikasi unsur Bhayangkara selalu ada dalam dirinya untuk mempertahankan tegaknnya NKRI.[7]
Penulis: Ch. Robin Simanullang, Wartawan TokohIndonesia.com
Bersambung: Reorientasi BIN dan Penguatan Otoritas Sipil
Footnotes:
[1] Gunawan, Budi, dan BM Ratmono, 2022. Membentuk Manusia Perang Pikiran, h. 135.
[2] Gunawan, Budi, dan BM Ratmono, 2022. Membentuk Manusia Perang Pikiran, h. 137.
[3] Gunawan, Budi, dan BM Ratmono, 2022. Membentuk Manusia Perang Pikiran, h. 138.
[4] Gunawan, Budi, dan BM Ratmono, 2022. Membentuk Manusia Perang, h. 139-140.
[5] Wibowo, Andry, 05/2022. Budi Gunawan “Tokoh Modernisasi BIN“. https://www.kabariku.com/2022/05/jenderal-pol-prof-dr-budi-gunawan-sh-m-si-phd-tokoh-modernisasi-badan-intelijen-negara/
[6] Irjen. Pol. Dr. Andry Wibowo, S.I.K., M.H., M.Si. (lahir 12 Juni 1971) seorang Perwira Tinggi Polri, mantan Kabinda DIY yang sejak 30 Maret 2023 mengemban amanat sebagai Staf Ahli Ideologi dan Konstitusi Kemenko Polhukam RI.
[7] Wibowo, Andry, 05/2022. Budi Gunawan “Tokoh Modernisasi BIN”, Op.Cit.