Katanya, Para Pengkritik itu Dibiayai Koruptor
Pernyataan Presiden Prabowo yang memicu tafsir dan tanya

Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menyebut gerakan kritik terhadap pemerintah sebagai bentuk pesimisme yang dibiayai koruptor. Pernyataan itu tak sekadar menggambarkan sikap, tapi mengajukan persoalan yang lebih dalam: apakah suara yang berbeda kini dibaca sebagai ancaman?
Dulu, Prabowo Subianto pernah menjadi salah satu suara yang paling lantang mengkritik pemerintah. Ia berdiri di podium kampanye, tampil di forum publik, menyampaikan kritik tajam atas arah negara, dari urusan ekonomi, ketahanan nasional, hingga keberpihakan pada rakyat kecil. Kalimat-kalimatnya dulu sering menjadi pembeda. Ia tampil sebagai oposisi yang tidak ragu menantang arus besar, bahkan ketika posisinya belum memiliki kekuasaan formal.
Dua dekade kemudian, di Surakarta, dalam kapasitas sebagai Presiden, Prabowo menyampaikan pidato penutupan Kongres Partai Solidaritas Indonesia. Di hadapan para kader partai dan publik yang menyimaknya melalui berbagai kanal, Presiden menyebut bahwa aksi-aksi protes dengan narasi “Indonesia Gelap” serta kampanye di media sosial tidak murni lahir dari keresahan rakyat. Ia menyatakan bahwa gerakan semacam itu didanai oleh “koruptor-koruptor,” dan menyebut mereka yang menyebarkan narasi tersebut sebagai orang-orang yang pesimis.
Pernyataan itu cepat menyebar dan menjadi pembicaraan luas. Bukan semata karena isi kalimatnya, melainkan karena siapa yang mengucapkannya. Prabowo yang dulu dikenal sebagai pengkritik keras kekuasaan, kini justru melihat kritik sebagai bagian dari skenario yang terorganisir, bahkan berbahaya. Kontras ini yang menggugah banyak orang untuk bertanya kembali: ke mana arah demokrasi kita dibawa?
Presiden tentu berhak menyampaikan pandangannya. Namun karena ia berbicara dari posisi kekuasaan tertinggi, ucapannya tak sekadar opini. Ia bisa menjadi sinyal politik, bahkan framing terhadap pihak-pihak yang tak sepakat. Dan ketika kritik disandingkan dengan tuduhan pembiayaan oleh koruptor, atau dilabeli sebagai pesimisme yang merusak, publik pun layak bertanya: apakah negara masih menempatkan kritik sebagai bagian dari pengawasan, atau mulai menganggapnya sebagai ancaman?
Demonstrasi dan ekspresi protes bukan hal asing dalam kehidupan demokrasi. Di banyak negara, bahkan dalam sistem yang mapan, ekspresi semacam itu justru menjadi indikator bahwa ruang publik masih hidup. Di Korea Selatan, misalnya, demonstrasi berjilid-jilid pernah menggoyang pemerintahan hingga lahir reformasi besar. Di India, protes petani selama berbulan-bulan mengubah kebijakan nasional. Dan di Indonesia sendiri, sejarah mencatat bahwa gerakan mahasiswa bukan hanya berhasil menjatuhkan kekuasaan, tetapi juga mengoreksi arah setelah reformasi berjalan.
Tak semua yang turun ke jalan membawa agenda tersembunyi. Tak semua yang bersuara di ruang digital digerakkan oleh kepentingan politik. Banyak di antara mereka hanya ingin menyampaikan keresahan, tentang harga bahan pokok, lapangan kerja, keadilan hukum, atau ketimpangan sosial yang mereka rasakan sehari-hari.
Presiden dalam pidatonya juga menyebut bahwa mereka yang menyebarkan narasi “Indonesia Gelap” adalah orang-orang yang pesimis. Kata itu tampak sederhana, namun ketika keluar dari mulut kepala negara, maknanya bergeser. Pesimisme, dalam konteks ini, seolah disejajarkan dengan penyesatan. Padahal, dalam masyarakat yang sehat, optimisme dan pesimisme bisa hidup berdampingan. Keduanya adalah bentuk perhatian, hanya datang dari sudut yang berbeda.
Melabeli pesimisme sebagai gangguan bisa berbahaya. Itu bisa menutup pintu bagi suara yang lahir dari kekecewaan. Dalam pengalaman demokrasi, pesimisme seringkali muncul bukan karena ingin menghancurkan, tapi karena ada harapan yang belum terpenuhi. Jika negara terlalu cepat menilai, hubungan antara penguasa dan warga bisa menjadi kaku. Padahal, yang dibutuhkan bukan pembenaran, tetapi pengakuan: bahwa tak semua orang melihat arah negara dengan kacamata yang sama.
Pemerintah berhak membantah atau mengklarifikasi informasi yang dinilai menyesatkan. Namun, membalas ekspresi keresahan dengan tuduhan serius seperti “dibiayai koruptor” adalah perkara lain. Tuduhan seperti itu butuh pembuktian. Jika dilontarkan tanpa dasar hukum yang jelas atau data yang memadai, bisa menciptakan ketakutan dan membatasi kebebasan berpendapat.
Konstitusi menjamin kebebasan berpendapat. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyebut bahwa setiap orang berhak berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat. Dalam kerangka itu, demonstrasi, selama tidak melanggar hukum, adalah bentuk sah ekspresi warga. Ia bukan ancaman, tapi pengingat bagi penguasa. Maka, tuduhan terhadap gerakan sipil tak boleh dilempar sembarangan. Harus ada bukti, bukan sekadar dugaan.
Dalam demokrasi yang sehat, kritik terhadap pemerintah bukanlah pengkhianatan. Ia bagian dari pengawasan. Justru di ruang yang terbuka, kebijakan bisa diuji dan diperbaiki. Kritik memang tak selalu menyenangkan. Kadang keras, kadang tak adil. Tapi membalasnya dengan prasangka justru menutupi makna kebebasan itu sendiri.
Yang patut dicermati bukan hanya isi pidato Prabowo, tapi nada yang menyertainya. Dalam hubungan antara negara dan warga, nada punya arti. Ia bisa merangkul, bisa pula menjauhkan. Ketika Presiden menyebut kritik sebagai produk pembiayaan koruptor, itu bukan sekadar opini melainkan sinyal tentang bagaimana negara memposisikan suara yang berbeda. Dan sinyal semacam itu bisa mengecilkan ruang publik. Bukan karena hukum melarang, tapi karena warga jadi enggan bicara.
Indonesia bukan pendatang baru dalam demokrasi. Ruang ekspresi pernah tumbuh subur dari demonstrasi mahasiswa, kritik media, sampai diskusi publik. Dari ruang-ruang itulah lahir pembaruan yang kini kita nikmati. Menjaga ruang itu tetap terbuka bukan soal kelonggaran, tapi soal keberlangsungan sistem.
Ada hal penting yang sering dilupakan: kritik tak selalu datang dari luar. Banyak tokoh besar memulai langkah mereka sebagai pengkritik negara. Beberapa bahkan menjadi presiden. Prabowo sendiri pernah ada di posisi itu, berdiri menantang kebijakan penguasa sebelumnya. Ironisnya, kekuasaan sering kali menjadi cermin. Apa yang dulu dibela, perlahan jadi hal yang dicemaskan.
Ucapan seorang Presiden bukan sekadar reaksi sesaat. Ia bisa menjadi arah. Jika kritik mulai dibalas dengan tuduhan berat, dan pola itu terus berulang, maka demokrasi bisa terseret ke ruang sempit. Warga mulai ragu untuk bersuara. Aktivis menahan langkah. Politik kehilangan vitalitasnya sebagai arena terbuka. Kita tentu tak ingin demokrasi yang hanya nyaman bagi mereka yang setuju.
Presiden tak harus menyetujui semua kritik. Tapi ia tetap dituntut menjaga agar para pengkritik tak merasa jadi musuh negara. Sebab dalam negara hukum, yang membedakan antara kecurigaan dan pelanggaran adalah pembuktian. Dan dalam demokrasi, yang membedakan antara lawan politik dan warga negara adalah cara negara mendengarkan. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)