Bendera yang Hilang, Mutu yang Tertinggal

Ujian publik untuk Merah Putih: One for All

0
17
Merah Putih: One for All
Potongan puzzle yang hilang pada bendera merah putih ini menjadi metafora tentang niat baik yang tak lengkap tanpa mutu yang sepadan.
Lama Membaca: 3 menit

Di tengah riuh sambutan dan kritik, Merah Putih: One for All menjadi cermin bagaimana penonton kini tak lagi hanya menerima pesan, tetapi juga menimbang cara pesan itu disampaikan.

Publik kini tak lagi mudah terkesan. Mereka memeriksa karya hingga ke detail terkecil: dari judul, logika cerita, sampai sumber aset visual. Media sosial memberi ruang untuk membicarakan semua itu secara terbuka. Reaksi terhadap Merah Putih: One for All menjadi contoh bahwa niat baik saja tidak cukup. Apalagi bila yang dibawa adalah simbol nasional, publik ingin melihat kesesuaian antara pesan yang diucapkan dan mutu yang disajikan.

Akibatnya, setiap keputusan kreatif akan diuji. Kelemahan sekecil apa pun akan terlihat. Niat baik hanyalah pintu masuk; tanpa eksekusi yang memadai, ia bisa berbalik menjadi bahan kritik. Untuk karya yang mengangkat simbol negara, taruhannya lebih besar. Ia akan dinilai bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai representasi nilai yang kita junjung.

Maka ketika Merah Putih: One for All diumumkan menjelang 17 Agustus, ekspektasi pun terbentuk. Film animasi berdurasi sekitar 70–80 menit ini diproduksi oleh Perfiki Kreasindo di bawah Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, disutradarai Endiarto dan Bintang Takari, dengan anggaran yang disebut mencapai Rp 6,7 miliar. Ceritanya sederhana: delapan anak dari berbagai daerah mencari bendera pusaka yang hilang sebelum upacara kemerdekaan. Pesan nasionalismenya jelas, tapi fakta bahwa produksi hanya memakan waktu sekitar dua bulan membuat banyak orang ragu apakah pesan itu dapat tersampaikan dengan baik.

Trailer yang dirilis memunculkan sejumlah kritik. Judulnya yang mencampur bahasa Indonesia dan Inggris dianggap tak sejalan dengan semangat nasionalisme yang ingin diangkat. Adegan anak-anak melewati pasar dalam perjalanan mencari bendera pusaka memicu komentar, mengapa tidak membeli saja bendera di pasar? Sederhana, tapi mengusik logika cerita.

Sorotan juga datang dari sisi teknis. Publik yang terbiasa meneliti detail menemukan kemiripan mencolok antara elemen visual film ini dengan aset 3D stok yang dijual di platform luar negeri. Jalan dan pasar yang muncul di film disebut sangat mirip dengan aset “Street of Mumbai” yang tersedia di perpustakaan Daz3D. Beberapa karakter utama bahkan terlihat identik dengan model siap pakai dari Reallusion Content Store, seperti “Jayden”, “Tommy”, “Ned”, dan “Francis”. Di mata penonton yang mengharapkan sentuhan lokal yang kuat, penggunaan aset yang mudah diakses siapa saja ini menimbulkan kesan generik dan mengurangi rasa keterikatan dengan identitas visual Indonesia. Sejumlah netizen menyelipkan komentar satir: sebaiknya tayang di YouTube saja, bukan di bioskop karena mutunya dinilai tak sebanding dengan harga tiket.

Kritik tidak berhenti di penonton umum. Sutradara Hanung Bramantyo menyarankan penundaan tayang untuk memberi waktu perbaikan. Musisi Kunto Aji mempertanyakan transparansi penggunaan anggaran. Nada-nada ini menunjukkan bahwa persoalan yang dibicarakan bukan sekadar selera, tetapi juga menyentuh tata kelola produksi.

Ada pula alasan sosial yang ikut mendorong kehadiran film ini. Merah Putih: One for All disebut dibuat untuk merespons tren bendera bajak laut One Piece yang sempat ramai menjelang 17 Agustus. Fenomena itu menimbulkan perdebatan: apakah memajang bendera fiksi di momen kemerdekaan adalah bentuk pengabaian terhadap simbol negara, atau hanya ekspresi budaya pop? Dengan cerita tentang bendera pusaka yang hilang, film ini terlihat ingin mengembalikan perhatian pada merah putih, sekaligus menandingi tren yang sedang viral.

Secara strategi, pendekatan ini masuk akal. Mengaitkan pesan kebangsaan dengan fenomena populer bisa menjadi cara cepat menarik perhatian. Tapi strategi seperti ini menuntut eksekusi yang kuat. Tanpa itu, pesan mudah hilang, tergantikan oleh pembicaraan tentang kelemahan teknis dan naratif.

Kita tahu, animasi Indonesia pernah mencapai standar yang layak dibanggakan. Battle of Surabaya (2015) dan Nussa (2021) membuktikan hal itu, meski memerlukan proses panjang dan dukungan besar. Di tingkat internasional, film animasi panjang biasanya memakan waktu satu hingga tiga tahun untuk diselesaikan. Dalam konteks ini, dua bulan adalah langkah yang penuh risiko, terlebih untuk karya yang mengangkat simbol nasional.

Advertisement

Kebiasaan mempercepat pekerjaan demi mengejar momentum bukan hal baru. Banyak proyek seni atau pembangunan dikebut demi siap di tanggal peringatan. Tujuannya menjaga momen, tapi sering kali yang dikorbankan adalah mutu. Di layar, tokoh-tokoh Merah Putih: One for All mencari bendera yang hilang. Di luar layar, sebagian penonton merasa yang hilang adalah bendera kualitas.

Sejarah memberi kita perbandingan yang jelas. Bendera pusaka merah putih yang dijahit Fatmawati dijaga dengan penuh kesungguhan, bahkan disembunyikan dari ancaman. Penghormatan itu tak datang dari seremoni, melainkan dari kesadaran akan makna yang diwakilinya. Ketika simbol yang sama diangkat dalam karya seni, semestinya ada keseriusan serupa dalam proses pembuatannya.

Kasus Merah Putih: One for All menjadi pengingat bahwa di tengah publik yang kritis, simbol nasional di layar tidak hanya memerlukan niat yang benar, tetapi juga mutu yang sepadan. Tanpa itu, ia mudah terhenti di tengah jalan, bukan karena pesannya tak penting, tetapi karena caranya tak meyakinkan.

Bendera dalam cerita film ini mungkin kembali berkibar, menandai akhir dari pencarian tokohnya. Namun bagi kita, pencarian itu belum selesai. Kualitas yang sepadan dengan simbol yang dibawa masih perlu ditemukan, dan itu menuntut lebih dari sekadar semangat di hari peringatan. Selama yang hilang adalah mutu, publik akan terus mengingatnya bukan karena pesan yang dibawa, tetapi karena kekurangan yang dibiarkannya. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

Kalau bendera merah putih hilang menjelang upacara 17 Agustus, menurut Anda plot cerita yang paling seru adalah…
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments