Al-Zaytun untuk Indonesia dan Dunia

Al-Zaytun dan Pusaran Kontroversi (7)

AS Panji Gumilang Al-Zaytun dan Pancasila Bangsa Ini Sudah Dekat Lampu Merah Hentikan Fitnah Al-Zaytun Al-Zaytun, Islam Milenium Ketiga Zone of Peace and Democracy
 
0
186
Peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2011 di Al-Zaytun

Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang

Tergambar, Majalah Al-Zaytun adalah ‘miniatur’ Ma’had Al-Zaytun, sebuah konsep dan kampus peradaban yang disemangati oleh spirit pondok pesantren namun dikelola secara modern. Dijelaskan, Al-Zaytun didesain untuk menghasilkan sebuah tatanan dunia baru yang lebih toleran dan damai satu sama lain di alam globalisasi yang saling interdependen. Majalah Al-Zaytun adalah media informasi dan komunikasi bulanan Ma’had Al-Zaytun kepada publik, para shareholders dan terutama kepada stakeholders. Dijelaskan pula bahwa proses yang penuh keterbukaan adalah persepsi awal kemunculan majalah bulanan Al-Zaytun.

Lalu, saya bolak-balik, seraya membaca judul-judul beritanya. Kesan pertama saya, berita-beritanya cukup mencerdaskan. Saya tidak menemukan judul-judul berita yang mengindikasikan ponpes ini menganut aliran garis keras, atau artikel yang mengindikasikan adanya keinginan mengharuskan pemberlakuan Islam sebagai ideologi (dasar) negara di Indonesia dan keinginan mendirikan NII. Apalagi artikel yang bernada mengkafirkan Pancasila (lima nilai dasar negara) Republik Indonesia; atau mengkafir-kafirkan orang yang tidak sepaham dengannya.

Watch on TikTok

Bahkan, saya sangat terkesan pada sebuah kalimat yang menyatakan: “Sebagaimana Ma’had Al-Zaytun yang didesain dan dipersembahkan sebagai hadiah dari umat Islam Indonesia untuk seluruh bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia, demikian pula halnya dengan Majalah Al-Zaytun. Selain sebagai hadiah dari umat Islam Indonesia, majalah ini disajikan sebagai salah satu sarana penghubung tegur-sapa antara Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) – Ma’had Al-Zaytun, dengan seluruh masyarakat dari berbagai ragam lapisan, strata, kelompok, dan berbagai arah kecenderungan masyarakat bangsa Indonesia, bahkan dunia”.

Kesan saya, kendati majalah tersebut merupakan in house magazine, tapi isinya bukan hanya layak dibaca kalangan internal, melainkan juga sangat pantas dibaca publik semua lapisan.[1] Sementara, dalam kaitan itu, majalah tersebut mereka sebut sebagai miniatur Al-Zaytun. Maka saya beranggapan, berarti dengan membaca majalah ini kita akan mengetahui apa ’isi hati dan pikiran’ Al-Zaytun.

Walau masih hanya sempat baca selintas, penampilan dan muatan majalah ini cukup menggoda pikiran saya untuk menyebut majalah ini menganut jurnalisme kebenaran, toleransi dan perdamaian. Isinya cukup representatif mengaktualisasikan motto Al-Zaytun sebagaimana terpampang di gapura pintu depan: “Pusat Pendidikan Pengembangan Budaya Toleransi dan Budaya Perdamaian.” Isinya mencerminkan kerinduan mereka untuk tampil sebagai pembawa obor toleransi dan perdamaian.

Dengan latar belakang pikiran dan hati (benak) seperti itu pula, saya amat terkesan saat Syaykh Panji Gumilang menyambut kalimat perkenalan saya itu sambil menggenggam erat tangan saya, dengan ekspresi yang amat bersahabat dan bersahaja, seraya berujar: “Sebagai satu bangsa Indonesia, kita sudah punya keyakinan: satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Dan kejayaan kita ini justru ada di kebhinekaan tersebut. Ini yang harus kita syukuri, jadi kami tidak merasa berbeda.”

Sorotan mata, bahasa tubuh (body language) dan suaranya menggetarkan hati nurani[2] saya! “Wow, ini ulama hebat!” Begitu reflek (spontan) respon hati saya seraya menatap bola matanya, mimik dan bahasa tubuhnya. Beliau terlihat begitu sejuk, akrab, cerdas dan berwibawa. Saya sontak melihatnya sebagai sosok ulama besar yang toleran dan damai serta maha guru (syaykh) berwawasan luas. Sosok pemimpin umat (imam) yang memiliki kualitas dan logika keimanan tinggi. Saat itu, saya yakin beliau seorang ulama yang sudah pasti menghargai kebenaran lain yang diyakini oleh orang lain, kendati kebenaran lain itu berbeda dari kebenaran yang diyakininya.

Sambutan hangat itu membuat saya sangat yakin bahwa beliau sama sekali tidak tersinggung atas ucapan kalimat perkenalan diri saya tersebut. Bahkan, saya menangkap justru beliau sangat menghargainya, sekaligus malah mendorongnya untuk lebih terbuka dan merajut kebersamaan. Bahkan, saya yakin beliau dengan bijak dan cerdas telah menangkap apa niat baik yang tersirat dari ucapan perkenalan saya yang tidak lazim dan tidak ’patut’ tersebut. Hanya orang bijak yang dapat menerima cara perkenalan konyol seperti itu dengan akrab.

Advertisement

Setelah berbasa-basi sejenak, wawancara, atau lebih tepat disebut percakapan, pun berlangsung dengan akrab, cair dan terbuka. Rasanya seperti sudah kenal lama. Namun keterbukaan bukan berarti telanjang. Melainkan keterbukaan yang punya norma dan etika kepantasan. Terbuka tentang berbagai kebenaran yang layak diketahui publik. Percakapan itu berlangsung di sebuah kamar yang tampaknya beliau tempati dan khusus disediakan menerima tamu tertentu di Lantai 5 Wisma Al-Islah, tempat penginapan layaknya hotel berbintang lima di pondok pesantren itu. Saya sebut demikian, karena menurut Manajer di Resto Wisma Al-Islah itu, saat kami makan malam, tidak biasanya beliau menerima wartawan di kamar (ruangan) tersebut, melainkan biasanya di sebuah meja bundar yang ada di resto tersebut.

Saat itu, beliau didampingi dua pengurus yayasan (eksponen) yang juga berperan sebagai ustadz di pesantren itu yakni Abdul Halim dan Nurdin Tsabit berserta tiga wartawan Majalah Al-Zaytun yang ikut sibuk merekam dan memotret. Saya juga didampingi dua orang Wartawan TokohIndonesia.com yakni Mangatur LPS dan Marjuka Situmorang, keduanya juga kristiani.

Saya memulai pertanyaan: Kami sudah banyak mendengar dan membaca berita mengenai Ma’had Al-Zaytun ini termasuk adanya perbedaan pendapat mengenai kehadirannya. Kami sengaja datang dengan latarbelakang berbeda demi kemurnian penulisan.[3] Salah satu yang ingin kami perjelas adalah mengenai ide dan tujuan awal berdirinya Ma’had Al-Zaytun ini, termasuk visi dan landasan filosofinya?

Beliau menjawabnya lancar, bersahaja, santai tapi serius dan sistematis. Dari berbagai jawaban dan penjelasannya yang mengalir amat lancar itu, sangat terkesan bagi saya bahwa sesungguhnya beliaulah personifikasi Al-Zaytun. Bahwa Al-Zaytun itu ada dalam raga, hati, jiwa, perasaan dan akal budinya: Totalitas. Saat itu, saya sudah berkesimpulan bahwa eksistensi Al-Zaytun sangat menyatu dengan diri (person) Syaykh Panji Gumilang.

Bersambung: Kami telusuri sampai materi pelajaran dan khotbah/tausiyah yang kami pandang sebagai ‘isi otak’ Al-Zaytun.

Footnote:

[1] Saya pun membandingkannya dengan Majalah Sabili yang bersemboyan “Meniti Jalan Menuju Mardhotillah” dan banyak memuat artikel tentang kondisi sosial dan politik yang ditinjau dari persepsi Islam Sunni berdasarkan Alquran dan Sunnah serta sering menulis tentang apa yang mereka sebut sebagai gejala Islamofobia dan Kristenisasi yang semakin marak di Indonesia.

[2] Hati nurani, yakni hati yang telah mendapat cahaya atau terang Tuhan; perasaan hati yang murni dan yang sedalam-dalamnya. (WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemen P dan K, Cetakan V, 1976, hlm.350).

[3] Pernyataan ini dilatari asumsi saya bahwa kontroversi tajam tentang Al-Zaytun itu justru terjadi dalam pandangan berbeda di kalangan muslim sendiri. Asumsi ini juga muncul setelah wartawan TokohIndonesia.com yang muslim juga merasa enggan (conflict of interest) bila dilibatkan dalam liputan kali ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini