Bersahaja Ingin Tahu Kebenaran: Dimana Presiden?

Al-Zaytun dan Pusaran Kontroversi (10)

AS Panji Gumilang Al-Zaytun dan Pancasila Al-Zaytun Patut Dicontoh Al-Zaytun yang Terbaik Al-Zaytun, Islam Milenium Ketiga Pelopor Pendidikan Terpadu
 
0
347
Mendiknas Prof. Dr. Bambang Sudibyo memukul gong peresmian Universitas Al-Zaytun Indonesia, 27 Agustus 2005. Tapi ironis, Mendiknas tak kunjung memberikan izin operasionalnya.

Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang

Begitulah kisahnya saya menulis Al-Zaytun, berporos dari sumber utama dan primernya, sejak 2002 sampai saat ini (2023). Halmana kisah perjalanan Al-Zaytun tidaklah semudah mengisahkannya. Bagi saya, ada bukti keanehan bahkan kepicikan para petinggi negeri ini: Jika ada pihak-pihak yang tidak gembira melihat kemajuan Al-Zaytun, menuduhnya macam-macam, bagi saya, itu lumrah saja, silakan saja; Tetapi apabila ada petinggi negeri ini yang secara nyata berusaha menghambat kemajuan pendidikan, peradaban, kemanusiaan, toleransi dan perdamaian di Al-Zaytun, itu adalah ironi, keanehan, keterbelakangan dan kepicikan yang amat menyedihkan dan memalukan! Di mana Presiden? Di mana Mendikbud-Menag? Di mana BPIP yang katanya menyuarakan Pancasila?

Sebagai seorang jurnalis yang ‘diperhadapkan’ dengan kompleksitas kontroversi tentang Al-Zaytun, saya merasa tertantang: Bagaimana mengurai (menulis) kerumitan itu? Apakah saya mampu masuk dengan cara yang sophisticated? Ya, semestinya! Tapi itu memerlukan sumber daya, kecerdasan dan keahlian luar biasa. Sementara saya cuma jurnalis biasa-biasa saja. Saya merenung. Kemudian dalam hati saya bicara kepada diri sendiri: “Ya, itu, kamu masuk sebagai dirimu sendiri yang biasa-biasa saja.” Masuk (menulis) dengan cara biasa-biasa saja, sederhana dan bersahaja saja. Bukankah para filsuf mengatakan, kesederhanaan lebih mendekati kebenaran! Jadi dalam konteks kerumitan ini, saya memahami, kesederhanaan itu adalah keinginan mengetahui kebenaran; dengan subyek dan obyek yang fokus (sumber primer) yakni Al-Zaytun itu sendiri. Al-Zaytun itu sendirilah poros tempat kita (saya) berdiri, sehingga perspektif kita bisa lebih mendekati kebenaran.

@tokoh.id

Ma’had Al-Zaytun: Menyanyi Indonesia Raya 3 Stanza #mahadalzaytun #indonesiaraya #indonesiaraya3stanza #indonesiaraya🇲🇨 #pesantrenalzaytun #alzaytunviral #azzaytun

♬ original sound – Tokoh Indonesia – Tokoh Indonesia

Kesederhanaan adalah tanda kebenaran, kata P van den Tempel.[1] Narasi (tulisan) sederhana menyiratkan kebenaran dan kejujuran. Ketidakjujuran memperumit. Duplikasi itu kompleks. Kesederhanaan menghindari penipuan. Arti akar kata ikhlas berarti tanpa lilin. Artinya asli. Itulah kesederhanaan.[2] Itulah pedoman, guidance dan pencerah setiap meliput dan menulis, yang juga saya istilahkan ‘kemampuan mengosongkan diri’ dalam arti tulus. Termasuk (khususnya) Al-Zaytun yang ‘diserbu’ kontroversi yang rumit.

Maka, sejak pertama kali kami wawancara (berdialog) dengan Syaykh Panji Gumilang selaku personifikasi Al-Zaytun, semua pertanyaan kami selalu dilandasi keingintahuan atas kebenaran. Sama sekali tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, apalagi hanya bermaksud ‘membenarkan’ atau ‘menjustifikasi’ isu NII dan berbagai tuduhan miring yang dialamatkan kepada mereka. Atau hanya sekadar memenuhi kaidah normatif (verbal) cover both side[3] (padahal) untuk tujuan pemberitaan yang telah disetting ‘kebenaran arahnya’ lebih dulu, atau tanpa mempertimbangkan (mengesampingkan) kebenaran dan logika realitasnya serta kepatutan moralnya.

Sebagai ilustrasi kasus (agak melenceng sejenak) tentang cover both side: Seorang wartawan (media) mendapat informasi bahwa seorang pria pemuka agama memerkosa seorang nenek berusia 80-an tahun hingga tewas. Si wartawan melakukan cover both side dengan menghubungi (menelpon) si pemuka agama minta konfirmasi. Si pemuka agama membantah karena memang isu itu tidak benar sama sekali. Memang si pemuka agama baru melintas dari dekat TKP itu beberapa saat sebelum jenazah si nenek setengah telanjang ditemukan.

Lalu, si wartawan (media) menerbitkan berita berjudul: Pemuka Agama Perkosa Nenek 80 Tahun Hingga Tewas. Dengan sub judul: Si Pemuka Agama Membantah. Isi berita itu menjelaskan pula dugaan jalan cerita bagaimana nenek itu diperkosa hingga tewas menurut sumber yang tidak bersedia disebut namanya dan mengaku mengenal si nenek dan pemuka agama tersebut. Lalu, disusul uraian singkat bantahan pemuka agama tersebut. Berita ini secara prosedur formal dianggap memenuhi cover both side, tapi tidak memiliki nilai kebenaran, logika realitas dan/apalagi kepatutan.

Saya mungkin dianggap terlalu konservatif tentang hal ini. Tetapi saya selalu berusaha teguh dalam prinsip nilai kebenaran, logika realitas dan kepatutan moral tersebut. Harus ada analisis logis dan patut.

Bahkan saya punya naluri untuk berusaha berada bersama mereka yang sedang ‘ditembaki’ kendati mereka mungkin bersalah apalagi bila belum tentu bersalah. Tetapi bukan untuk membenarkan kesalahannya, melainkan untuk mengungkapkan kebenarannya. Sebab, bagi saya, sesalah-salahnya manusia pastilah memiliki kebenaran. Atau sejahat-jahat manusia pastilah memiliki kebaikan.

Advertisement

Maka ketika reformasi bergulir dengan arus pemberitaan bernada penghujatan menggilas deras, saya memilih pemberitaan yang mengedepankan kebaikan, perjuangan, pengabdian dan prestasi para tokoh, tak terkecuali mereka-mereka yang sedang dihujat kala itu. Saya memilih lebih baik melihat kebaikan seseorang daripada keburukannya. Saya juga memilih lebih banyak melihat ke depan daripada lebih banyak menoleh ke belakang, apalagi untuk mencari-cari kesalahan masa lalu. Sebab masa lalu punya kisah dan takarannya sendiri yang tidak elok diukur dengan takaran hari ini. Apalagi tidak mungkin lagi masa lalu itu kita perbaiki saat ini. Kita hanya mungkin memperbaiki keadaan masa kini dan masa depan dengan belajar dari kesalahan dan kearifan masa lalu.

Seperti halnya kesibukan kita sebagai bangsa hingga hari ini, yang beramai-ramai berteriak keras untuk memberantas korupsi masa lalu, tetapi tindak-tanduk kita justru memperhebat korupsi masa kini. Atau kita sibuk bak ‘pahlawan kesiangan’ mempersalahkan kekuasaan otoriter masa lalu, tetapi kini kita justru menyuburkan neofedolisme berkedok demokrasi bernoda politik uang pula. Apakah kita tidak lebih baik berobah hari ini, untuk berhenti korupsi dan secara jujur berdemokrasi? Daripada kita berlagak antikorupsi (masa lalu), tetapi bertindak lebih rakus hari ini? Dalam konteks ini, bagi saya, lebih baik seorang bajingan masa lalu yang bertobat jadi ustadz atau pendeta hari ini, dari pada seorang ustadz atau pendeta hari kemarin tetapi sekarang menjadi bajingan (apalagi bajingan yang berkedok ustadz atau pendeta pula).

Prinsip ini mendorong saya sebagai jurnalis untuk tidak mencari-cari kesalahan, tetapi lebih memilih mencari kebenaran (Konsekuensinya, memang jurnalis seperti ini tidak akan pernah ditakuti, terutama oleh para koruptor, dan bahkan sering kali tidak dianggap, kecuali oleh mereka yang memang bersahaja). Sebab sesungguhnya, saat kita giat mencari-cari kebenaran, kita juga akan otomatis melihat adanya kesalahan. Tetapi janganlah kesalahan itu menjadi prioritas dan malah menutupi (mengalahkan) kebenaran. Melainkan, sebaiknya kebenaran itu selalu jadi prioritas dan menutupi (mengalahkan) kesalahan atau ketidakbenaran. Janganlah malah memprioritaskan dan mengeksploitir kesalahan masa lalu, melainkan lebih baik menempatkan kesalahan itu sebagai bahan ajar kearifan masa depan.

Maka, sebagai seorang jurnalis, dalam setiap wawancara, saya memang selalu berusaha agar jangan sempat terkesan mencari-cari kesalahan dan menginterogasi narasumber, layaknya polisi dan jaksa. Apalagi, jangan sampai terkesan menghakimi atau berusaha (bertujuan) menjustifikasi kesalahan. Wawancara (jurnalistik), bagi saya, bukan menginterogasi, melainkan bertanya karena ingin tahu. Jangan pula terkesan seperti menguji, melainkan bertanya karena ingin tahu saja. Jangan pula seperti menggurui dan merasa lebih pintar dari narasumber. Harus selalu menempatkan narasumber sebagai orang yang pantas didengar dan dipercaya, tanpa kehilangan pertanyaan kritis. Pertanyaan kritis yang selalu dilandasi keingintahuan semata, yang terungkap dan terekspresikan baik melalui kata (pertanyaan), mimik dan bahasa tubuh.

Begitulah kisahnya saya menulis Al-Zaytun, secara bersahaja berporos dari sumber utama dan primernya untuk lebih mendekati (menemukan) kebenaran, sejak 2002 sampai saat ini (2023). Halmana, kisah perjalanan Al-Zaytun tidaklah semudah mengisahkannya. Bagi saya, ada bukti keanehan bahkan kepicikan para petinggi negeri ini. Jika ada pihak-pihak yang tidak gembira melihat kemajuan Al-Zaytun, menuduhnya macam-macam, bagi saya, itu lumrah saja, silakan saja. Tetapi apabila ada petinggi negeri ini yang secara nyata berusaha menghambat kemajuan pendidikan dan peradaban, kemanusiaan, toleransi dan perdamaian di Al-Zaytun, itu adalah ironi, keanehan, keterbelakangan dan kepicikan yang amat menyedihkan dan memalukan! Di mana Presiden? Di mana Mendikbud-Menag? Di mana BPIP yang katanya menyuarakan Pancasila?

Contoh kasus yang paling memalukan. Mendiknas Prof. Dr. Bambang Sudibyo memukul gong peresmian Universitas Al-Zaytun Indonesia, 27 Agustus 2005. Tapi sangat ironis, Mendiknas (Mendikbud-Dikti, Pemerintah, Presiden) sendiri tak kunjung memberikan izin operasionalnya, kendati Universitas Al-Zaytun sendiri memiliki kesiapan untuk menjadi world class university sebagaimana dipidatokan sendiri oleh Mendiknas Prof. Dr. Bambang Sudibyo. Bukankah ini ironi, keanehan, keterbelakangan dan kepicikan yang amat menyedihkan dan memalukan?

Bersambung: Al-Zaytun Incompatible NII

 

Footnote:

[1] Tempel, P. van den, 1923. Levensgeluk door Levenseenvoud. Hilversum: Mij. V.H. Paul Brand, blz. 3.

[2] Barrows, Mery Minerva (Ed.), 1905. The Value of Simplicity. Boston: H.M. Caldwell Co., p.42.

[3] Cover both side, prinsip jurnalisme yang menuntut wartawan menyajikan fakta dari dua sisi secara seimbang.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini