Framing Proses Hukum dan Media Mainstream
Pengalaman Jadi Saksi di Bareskrim (3)
Terimakasih Penyidik Polri Mencari Kesalahan atau Kebenaran Al-Zaytun?
Catatan Ch. Robin Simanullang
Sejumlah wartawan media publik mainstream (cetak, televisi dan online) mencegat dan mewawancarai saya Jumat 14 Juli 2023 malam setelah menjalani pemeriksaan selama kl 10 jam di Dittipidum Bareskrim Mabes Polri sebagai saksi pro justitia dalam dua laporan polisi penistaan agama dan penyiaran berita bohong yang diduga dilakukan Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang. Tapi nyaris tidak satu pun media publik mainstream menyiarkan substansinya. Substansinya, saya menyatakan janganlah ada framing dalam proses hukum apalagi dari pejabat negara dalam hal ini Menkopolhukam dan Gubernur Jawa Barat.
Salah satu pertanyaan rekan-rekan wartawan muda di Bareskrim adalah berkaitan dengan peran pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kontroversi tentang Al-Zaytun. Hal mana saya mengatakan sangat mensyukuri dan optimis bila pemerintah secara serius menangani tuntas masalah ini.
Wartawan juga bertanya, apa harapan saya atas proses penyidikan kasus ini. Yang saya jawab, kiranya kehadiran negara dalam kasus ini jangan suam-suam kuku, tapi jangan pula ada framing apalagi bila framing tersebut dari pejabat negara; jangan diulangi kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh lembaga tertentu. Pejabat harus dengan prasangka tidak bersalah. Apalagi itu dari lembaga politik, lembaga negara, Kementerian Menkopolhukam, misalnya, membuat framing jahat. Itu kan tidak pantas! Kehadiran negara di situ bisa mengarah kriminalisasi warganya. Itu tidak baik.
Tapi saya harapkan dan saya tulis dalam surat saya kepada Presiden yang copynya saya serahkan dalam pemeriksaan, kenapa Negara begitu lambat menangani kontroversi Al-Zaytun. Padahal negara punya perangkat seperti BIN dan sebagainya. Saya minta (harapkan) supaya BIN dan semua institusi intelijen dikerahkan untuk meneliti apa yang terjadi sesungguhnya di Al-Zaytun.
Itulah antara lain yang saya kemukakan menjawab pertanyaan wartawan di Bareskrim, tapi tidak ada yang menyiarkan. Mungkinkah karena yang mem-framing kasus ini menyangkut nama dua tokoh yang nama mereka sedang digadang-gadang sebagai pejabat yang berpotensi menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) dalam kontestasi Pilpres 2024, sehingga media massa publik mainstream tidak menyiarkannya? Atau ada kekuatan dan pengaruh lain sehingga pernyataan saya tidak layak disiarkan?
Namun syukur rekan-rekan Wartawan Tokoh Indonesia (Website dan Majalah) dan dua-tiga media lainnya meliputnya dan segera menyiarkannya utuh, diantaranya melalui TikTok Tokoh Indonesia. Juga disiarkan beberapa media sosial (TikTok dan YouTube) lainnya.
@tokoh.id Janganlah #alzaytunindramayu #pradugatakbersalah #penegakanhukumberkeadilan #chrobinsimanullang
Secara psikologis, saya merasa suasana saat rekan-rekan jurnalis mengajukan pertanyaan kepada saya, cukup baik. Tidak terdapat kesan bagi saya bahwa mereka tidak akan menyiarkan keterangan saya tersebut. Namun berbagai kemungkinan lain bisa terjadi, dan menjadi salah satu keprihatinan terhadap wajah media massa (media publik) kita saat ini. Salah satunya, tidak tertarik menyiarkan apa-apa yang baik, fakta kebenaran yang dilakukan Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang. Melainkan lebih tertarik menyiarkan persepsi, komentar dan tuduhan-tuduhan negatif terhadap Al-Zaytun.
Ada rekan mengatakan, hal itu mungkin tidak terlepas dari kepentingan politik dan kekuatan uang. Bisa saja. Tetapi itu persepsi saja. Saya tidak mau larut berprasangka seperti itu. Bagi saya, jurnalis itu memiliki integritas, tidak serendah itu. Sebagai seorang jurnalis yang sudah berpengalaman selama lebih 40 tahun, saya tidak mau merendahkan martabat dan kredibilitas wartawan. Saya lebih berprasangka baik kepada rekan-rekan wartawan di Bereskrim Polri. Mungkin saja mereka justru sedang berada dalam tekanan pihak-pihak atas di luar otoritas mereka.
Hal itu terindikasi, tidak banyak media publik mainstream yang mau dan berani menyiarkan kebaikan dan kebenaran Al-Zaytun. Karena mungkin mengikuti arus kelompok garis keras dan intoleran. Sebagai suatu contoh kasus. Pada tahun 2010-an sebuah stasiun televisi nasional mewawancarai eksklusif Syaykh Panji Gumilang, menampik berbagai tuduhan dan menjelaskan berbagai kegiatan dan pembelajaran pengembangan toleransi dan perdamaian. Tapi stasion televisi publik itu tidak menyiarkan hasil wawancara tersebut secara utuh. Televisi itu menyiarkannya sepotong-sepotong mengikuti framing yang mereka skenariokan sendiri.
Contoh teranyar. Ketika ada demo terhadap Al-Zaytun yang dikabarkan akan dihadiri 3000-5000 pendemo, namun ternyata hanya puluhan orang, tapi beberapa media dan televisi publik menyiarkannya: Ribuan massa geruduk Al-Zaytun. Padahal faktanya puluhan atau ratusan orang berikut masyarakat yang datang menyaksikan. Ini faktanya:
@tokoh.id Kasihan Pak Polisi #mahadalzaytun #pesantrenalzaytun #polisiindonesia
Contoh kasus lainnya. Pada tahun 2017, Al-Zaytun menyelenggarakan Tour Sepeda Keliling Jawa sepanjang 2727 kilometer dalam 24 Etape (24 hari) yang diikuti hampir 500 pesepeda dan langsung diikuti Syaykh Panji Gumilang yang sudah berusia 70 tahun. Tapi hampir tidak ada media publik nasional yang memberitakannya. Bukankah ini suatu kegiatan tour sepeda yang sangat menarik dan belum pernah terjadi? Tanpa muatan aliran politik, tafsir dan mazhab dalam keagamaan?
Kenapa ya? Biarlah publik atau siapa saja yang punya pikiran dan hati nurani menilainya. Semoga hal seperti ini tidak lebih buruk di institusi peradilan kita, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman, juga Kepengacaraan. Supaya peradilan sesat dan jahat tidak terjadi. Apalagi hakim selalu menjatuhkan vonis atas nama Tuhan Yang Mahakuasa. Maka janganlah bermain-main atas nama Tuhan, bisa kena murka dan kutuk. Selain itu, alam pun punya hukumnya sendiri yakni karma. Jangan sampai ada di antara pejabat, penegak hukum, ulama dan wartawan yang tertimpa kutuk dan karma.