Menikmati Sholat Id di Al-Zaytun

Khusuk Serasa dalam Gereja-Katedral

 
3
4129
Menikmati Sholat Id 1444 H di Al-Zaytun

Sudah duapuluh tahun saya selalu menghadiri, mengikuti dan menikmati perayaan dan Sholat Idulfitri berjamaah di Kampus Al-Zaytun, Indramayu; sebuah Pondok Pesantren Modern (Pesantren Spirit but Modern System) yang secara massif mengajarkan dan melakoni budaya kemanusiaan, toleransi dan perdamaian. Selalu sangat istimewa. Begitu pula pada Sholat Id 1444 H (22/4/2023) ini terasa semakin istimewa; saat saya berada di tengah barisan (shaf) pertama berdampingan dengan para ustad dan Umi Farida Al-Widad, istri Syaykh Al-Zaytun Prof. Dr. AS Panji Gumilang.

Hal ini memungkinkan dan semakin istimewa karena Al-Zaytun menerapkan Orde Hidup Baru sebagai loncatan hikmat dan khidmat dari pandemi Covid-19 saat hampir semua masjid di berbagai belahan dunia ‘meniadakan’ sholat berjamaah di masjid; Al-Zaytun tetap melakukannya dengan mengatur jarak shaf sesuai protokol kesehatan WHO dan mulai menggunakan kursi disamping sajadah, karena mereka memiliki Masjid Rahmatan Lil’Alamin yang besar, lima lantai berkapasitas 150.000 jamaah (normal). Sehingga jamaah bisa duduk di kursi saat mendengar khotbah dan sholat di atas sajadah; dan, saya pun bisa duduk khidmat sebagaimana rasanya saya duduk di dalam Gereja atau Katedral.

Bagi saya, sebagai seorang sahabat di Al-Zaytun, hal ini sebuah kehormatan yang sangat istimewa, agung dan mulia, di mana saya berkesempatan berada dalam rumah ibadah suci dan agung, Masjid Rahmatan Lil’Alamin, bersama (di tengah dan depan) para ustad dan ribuan jamaah yang dengan khusuk mengikuti Sholat Id yang diimami Syaykh Al-Zaytun sendiri memuliakan Allah SWT. Saya pun mengikuti dan menikmati suasana Sholat Id tersebut dengan khusuk pula, tentu dengan cara ritual yang saya yakini; dan bersyukur kepada Allah (Allah-nya Abraham/Ibrahim) atas kesempatan yang indah, suci dan agung tersebut.

Kesempatan ini bagi saya sangat istimewa, tetapi bukan hal yang mengejutkan. Sebab selama 20 tahun saya sudah selalu menghadiri berbagai event penting di kampus Islam berasrama ini, bukan hanya Sholad Id, juga Idul Adha, perayaan Tahun Baru Islam dan lain sebagainya (terlalu panjang kalau saya uraikan detail), di mana saya selalu merasa go home dan tercerahkan: Bagaimana semestinya kita memahami dan melakoni keberagamaan kita untuk menjadi rahmat bagi semesta alam atau menjadi garam dan terang dunia. Sehingga saya mengistilahkan, menganalogikan atau memetaforakan bahwa saya sudah 20-an tahun menikmati sebagai SLB (Santri Luar Biasa) Al-Zaytun dalam interaksi yang interdependen.

Di Pondok Pesantren Modern ini saya sangat tercerahkan bagaimana semestinya memahami dan melakoni keberagamaan, terutama dalam kaitannya dengan kemanusiaan, toleransi dan perdamaian. Dalam konteks toleransi, Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang berulangkali menegaskan bahwa berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus menghilangkan atau mendegradasi prinsip akidah yang kita yakini, melainkan justru menguatkan prinsip hidup keagamaan yang kita anut.

Syaykh Panji Gumilang menjelaskan: “Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apa pun yang nyata berbeda dengan prinsip (akidah) yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, begitu pula pihak yang beda (bahkan yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan atas sikap dan keyakinannya.” Dia mengistilahkannya, tolerasi dalam interaksi yang interdependen. Ini bukan hanya pernyataan verbal, retorika atau slogan lips service, tetapi teraplikasi empiris di Al-Zaytun.

Sebagai contoh: Pada 14 November 2017, Al-Zaytun menggelar kuliah umum bertajuk: “The Protestant Reformation: What Was It About and Why Is It Important?” Reformasi Protestan: Apa hal itu dan mengapa itu penting? Pembicaranya, Pendeta Prof. Douglas L. Rutt, PhD, Direktur Internasional Lutheran Hour Ministries (LHM) dari Amerika Serikat. Respon dan antusiasme 4.329 orang pesertanya (santri, wali santri dan para ustad) sangat luar biasa, out of the box. Yang saya maknai sebagai Kuliah Kecerdasan Iman di Al-Zaytun. Kecerdasan Iman (faith quotient, disingkat FQ) yang melampaui kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).

Kecerdasan iman itu adalah kecerdasan spiritual (SQ) yang diilhami oleh iman (agama) seseorang. Artinya orang beriman (beragama) yang memiliki dan mengembangkan kecerdasan spiritualnya tidak hanya dari bagian terdalam (pikiran, jiwa dan batin) dari dalam dirinya sendiri, melainkan lebih lagi oleh keyakinan imannya sendiri (kekuatan ilahi dari luar dirinya).

Sesuai pengalaman empiris saya berinteraksi dengan Al-Zaytun, kecerdasan iman itulah yang dikembangkan dalam proses belajar dan proses pengalaman (sekolah kehidupan) keseharian di Al-Zaytun. Hal mana pengembangan kecerdasan iman itu terasa sangat menguat dan mengemuka saat digelarnya kuliah umum bertema Reformasi Protestan tersebut. Tentu juga, saat saya duduk khusuk menikmati hadirat Ilahi dalam suasana Sholat Id tersebut. Apalagi saat mendengar substansi khotbah Id-nya tentang keberadaan Israel di Tanah Kanaan (Palestina).

Link Terkait

Advertisement

Itulah Ponpes Al-Zaytun yang saya kenal lebih dari 20 tahun di mana saya menemukan bagaimana sesungguhnya memahami dan mengoperasionalkan budaya toleransi dan perdamaian itu dengan kecerdasan iman. Sebagaimana saya kemukakan di awal: Di kampus Islam ini, toleransi ditegakkan sebagai keyakinan pokok (aqidah) dalam beragama. Tidak justru dianggap mendegradasi aqidah atau iman, melainkan sebagai aplikasi iman. Di sini pengamalan toleransi telah menjadi (proses) kesadaran pribadi dan kelompok dalam wujud interaksi sosial keseharian (kecerdasan iman) yang interdependen. Maka bagi siapa pun, baik yang beragama samawi (Islam, Kristen dan Yahudi) maupun yang beragama ardli (Hindu, Buddha, Konghuchu dan lain-lain), sangat bijak bila berkenan mengembangkan kecerdasan imannya sebagaimana Al-Zaytun melakoninya. (Ch. Robin Simanullang)

3 KOMENTAR

  1. Di tengah masyarakat yang sangat gamang dan gampang terhasut Hoak..
    maka ini merupakan pembelajaran , dimana di dalam berkeyakinan kita tidak mesti terkekang dengan satu pemahaman..justru Rosullulah muncul di era Jahiliah merobah dengan era kemerdekaan Berkeyakinan atau toleransi..
    Brafo Syaykh Al Zaytun..jangan pernah Goyah dan gentar dengan Hoak..dan Hasut..biarkan waktu akan menghakimi yang Zolim..

  2. Indonesia sebagai bangsa yang besar, dengan berbagai keragamannya, baik suku, ras, agama, bahasa, memerlukan alat perekat. Supaya keragaman ini bersinergi secara harmoni bak musik orkestra. Alat perekatnya adalah sikap toleran dan damai. Dalam sebuah orkestra, tidak ada yang merasa lebih dominan, karena alat musiknya lebih banyak. Karena keindahan orkestra adalah ketika semua alat musik itu terdengar dan dihargai bunyinya sekecil apapun ia. Suara kecil dari alat musik yang kecil yang dipadukan dengan alat musik yg besar, menghasilkan suara merdu yang dapat dinikmati dan disuguhkan kepada sesiapa saja.
    Karena apa yang selalu digaungkan oleh Syaykh Al Zaytun, toleransi dan damai, menjadi suatu keniscayaan. Toleran dan damai yang dicontohkan Syaykh Al Zaytun, bukan sekedar teori, namun menjadi keyakinan (akidah), yang ditegakkan dalam aktivitas harian (Mu’amalah), yang pada akhirnya menjadi sikap spontan (akhlak) dimana saja, kapan saja dan dslam aktivitas apa saja.
    Mari kita dukung dan membersamai terus Syaykh Al Zaytun, sehingga terwujud Indonesia damai dan sejahtera.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini