
Catatan Ch. Robin Simanullang
Apakah penyidik sedang mencari (bahkan mencari-cari) kesalahan, atau sedang mencari kebenaran? Itu pertanyaan dalam benak saya ketika menerima sekaligus 2 Surat Panggilan Saksi Ke-1 dari Bareskrim, Dirtipidum Polri yang bersifat “Pro Justitia”. Saya berharap Penyidik akan mendapatkan fakta kebenaran yang saya lihat, dengar, rasakan dan alami tentang Al-Zaytun; maka dengan senang hati saya menyambut surat panggilan ini, walaupun kemungkinan mereka sedang mencari (bahkan mencari-cari) kesalahan.
Sebagai seorang jurnalis yang sudah meliput langsung dan menulis lebih 500-an berita dan artikel tentang Al-Zaytun sejak Februari 2004 bahkan telah menulis dua buku tentang Al-Zaytun, saya merasa surat panggilan saksi pro justitia dari Bareskrim tersebut sangat patut saya hargai dan penuhi.
Atensi (interupsi), perlu saya jelaskan: Diksi Al-Zaytun yang saya maksud dalam catatan ini adalah mencakup apa-siapa (profil, eksistensi) Syaykh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang dan Ma’had Al-Zaytun yang dikelola Yayasan Pesantren Indonesia – Al-Zaytun. Bagi saya, Panji Gumilang dan Ponpes Al-Zaytun dua eksistensi yang satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Syaykh Panji Gumilang adalah personifikasi Al-Zaytun. Al-Zaytun lahir dan ada dari mimpi, imajinasi, gagasan, disain dan mahakarya-masterpiece Panji Gumilang. Syaykh Panji Gumilang adalah pemimpi (dreamer), penggagas (initiator), arsitek utama (master architect), pembangun (builder, erector), pemimpin (leader, main leader), imam dan guru besar (syaykh, maha guru, profesor) Al-Zaytun. Panji Gumilang adalah Al-Zaytun itu sendiri yang sudah mewakafkan hidupnya untuk/sebagai Al-Zaytun. Maka jika mencoba memisahkannya akan menjadi awal kegagalan paham yang berpotensi menjurus kesesatan pikir dan kesesatan pengenalan atas Al-Zaytun dan Panji Gumilang.
Dua surat panggilan saksi yang ditujukan kepada saya itu ditandatangani Kombes La Ode Aries El Fathar, SIK atas nama Dirtipidum, Kasubdit I, tertanggal 10 Juli 2023 dan saya terima Rabu 12 Juli 2023 malam. Surat Panggilan Saksi itu memanggil saya hadir Jumat 14 Juli 2023 pukul 10,00 WIB dan saya penuhi dengan suka cita tepat waktu.
Sebagaimana sudah saya ungkapkan dalam catatan pertama, saya berterimakasih kepada Penyidik Bareskrim, khususnya kepada dua Penyidik yakni Taufik Hidayat dan Nurul Yandri yang secara langsung mengajukan 17 pertanyaan induk dan 20-an anak pertanyaan kepada saya dalam waktu kurang lebih 10 jam yang sama sekali tidak saya rasakan melelahkan karena kedua penyidik tersebut saya pandang profesional.
Kendati penyidik tentu berusaha membuktikan kesalahan (tindak pidana) yang dilaporkan diduga dilakukan terlapor Syaykh Panji Gumilang, bahkan mungkin dengan ‘teknik interogasi’ pertanyaan jebakan, tetapi sama sekali saya tidak merasakan adanya suatu tekanan. Bahkan saya sangat enjoy! Dalam kaitan ini, saya sendiri dari awal menerima panggilan tidak merasa perlu didampingi oleh Pengacara karena saya yakin akan fakta kebenaran yang saya ketahui tentang Al-Zaytun, dan kebenaran itulah yang akan saya jelaskan kepada Penyidik atau siapa pun. Saya akan hanya menyatakan kebenaran. Sebagaimana sejak awal saya menulis tentang Al-Zaytun selalu fokus pada hal-hal apa yang baik dan benar di Al-Zaytun, terutama tentang peradaban, kemanusiaan, kemandirian bangsa, toleransi dan perdamaian, sebagaimana tersimpul dalam Motto Al-Zaytun: Pusat Pendidikan Pengembangan Toleransi dan Perdamaian, Menuju Masyarakat Sehat, Cerdas dan Manusiawi; yang dilandaskan pada lima nilai-nilai luhur Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila itu jugalah menjadi pengikat independensi saya sebagai jurnalis dan pengikat persahabatan saya dengan Al-Zaytun dalam interaksi sosial yang interdependen selama hampir 20 tahun.
Dengan penjelasan-penjelasan saya tentang kebaikan dan kebenaran yang saya temukan di Al-Zaytun, khususnya tentang Islam yang Rahmatan Lil’Alamin, Islam yang damai dan menjadi rahmat bagi semesta alam; dalam sesi rehat kedua penyidik pun berdiskusi santai dengan saya sambil disuguhi minum kopi. Percakapan yang menarik yang membuat saya merasa yakin bahwa kedua penyidik tidak sedang berusaha mencari-cari kesalahan terlapor Syaykh Panji Gumilang dan juga tidak berusaha menjebak kesalahan saya, melainkan Penyidik juga sungguh-sungguh mencari fakta kebenaran.
Mereka mungkin saja terpengaruh pada framing Menko Polhukam Prof. Dr. Mahfud Md dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tentang ‘kejahatan’ Panji Gumilang dan Al-Zaytun yang mengarah mesti dihukum sesuai keinginan dan desakan ulama dan kelompok masyarakat tertentu; namun dengan penjelasan dan pernyataan saya antara lain bahwa “Saya yang bukan beragama Islam sangat bangga atas kehadiran Al-Zaytun, sebuah lembaga pendidikan Islam yang terakreditasi A Unggul dalam tatakan dasar Pancasila;” sikap kedua Penyidik saya rasakan tidak terlalu memaksakan ke arah framing Menko Polhukam dan Gubernur Jawa Barat tersebut.
Sangat berbeda dari sikap seorang Penyidik lainnya yang saat rehat ‘nyelonong’ masuk ruang Riksa dimana saya diperiksa. Penyidik lain itu bertanya tentang dana dan rekening-rekening Al-Zaytun. Pertanyaan dalam perbincangan rehat itu saya jelaskan sepanjang yang saya ketahui, namun ‘penyidik nyelonong’ itu melontarkan pernyataan yang tidak pantas: “Seorang penjahat, tetap aja penjahat.”
Spontan darah saya tersentak.”Koq ada Penyidik Bareskrim berpola pikir seperti ini?” Saya pun memintanya mengubah paradigmanya selaku penyidik demi menjaga harkat dan profesionalisme Polri. Namun saya tidak semata menyalahkan Penyidik tersebut, sebab mungkin saja dia sedang terpengaruh framing Menko Polhukam dan Gubernur Jawa Barat dan berbagai tudingan jahat dari pihak-pihak lain tentang Al-Zaytun.
Berawal dari framing Menko Polhukam dan Gubernur Jawa Barat dalam Konferensi Pers Sabtu 24 Juni 2023 yang menggiring opini publik dan berpotensi menimbulkan kegaduhan dan keonaran serta pelanggaran praduga tak bersalah bahwa Al-Zaytun harus diambil tindakan proses hukum (tindak pidana), tindakan administrasi dan tindakan sosial sesuai keingin masyarakat.
Entah berkaitan langsung, sehari sebelumnya (23/3/2023), sudah ada laporan polisi dengan dugaan tindak pidana penistaan agama; dilanjutkan laporan polisi (27/3/2023) dengan penistaan agama dan menyiarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran yang dituduhkan dilakukan Syaykh Panji Gumilang; yang kemudian dengan relatif amat cepat ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Penyidikan tertanggal 5 Juli 2023.
Proses pun berlangsung relatif cepat. Kemudian dari dugaan tindak pidana penodaan agama dan pidana UU ITE, beralih lagi framing tindak pidana korupsi. Mahfud dengan gagah merilis pernyataan bahwa pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun Panji Gumilang memiliki 289 rekening atas namanya dan institusi. Mahfud menyebut rekening tersebut saat ini ditelusuri PPATK dan diduga ada tindak pidana korupsi dan telah diblokir serta dilaporkannya kepada Bareskrim. Rekening Ponpes diblokir dengan praduga bersalah.
Framing Mahfud Md ini bagi saya suatu hal yang menunjukkan bahwa Menko Polhukam ini sangat tidak mengenal manajemen Al-Zaytun. Rekening yang banyak diframing ke arah tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Dan atas praduga bersalah itu, rekeningnya diblokir. Framing praduga bersalah ini di lingkungan manajemen Al-Zaytun dipandang terlalu kejam dan mengada-ada. Karena sistem ‘banyak rekening’ atas nama Syaykh Panji Gumilang tersebut justru sebaliknya dimaksudkan untuk mencegah korupsi: zero corruption.
Perihal pencegahan korupsi, semestinya Menko Polhukam (Pemerintah) mau belajar dari Al-Zaytun. Sebagai gambaran, bagaimana Al-Zaytun bisa membangun Ponpes yang begitu megah dan modern. Jawaban utamanya karena korupsi dicegah dalam semua lini. membangun sebuah kapal, misalnya, jika negara menganggarkan Rp. 10 triliun, di Al-Zaytun cukup dengan Rp. 2 triliun. Maka, jangan bayangkan manajemen keuangan Al-Zaytun seperti manajemen keuangan pemerintah. Bisa sesat!
Tidak berhenti di framing praduga bersalah itu, Mahfud dengan fantastis mengatakan: “Kemudian, agak lebih fantastis, kami sudah melaporkan (ke Bareskrim) adanya sertifikat tanah atas nama Panji Gumilang dan keluarganya yang diduga ada kaitan dengan penyalahgunaan kekayaan Al-Zaytun. Karena tanah-tanah itu ditulis atas nama pribadi Panji Gumilang, istri, dan anak-anaknya,” kata Mahfud di Kemenko Polhukam, Selasa (11/7/2023).
Sekali lagi, Menko Polhukam atas nama Presiden (Pembantu Presiden) atas nama Pemerintah dan Negara sangat tidak mengenal Al-Zaytun dan terkesan sangat gegabah dan mencari-cari kesalahan Al-Zaytun. Dalam hati saya bertanya: “Mengapa Menko Polhukam selaku Pembantu Presiden tidak lebih dahulu berusaha mengenal lebih jauh Al-Zaytun sebelum merilis pernyataan-pernyataan fantastis dan bahkan melaporkannya ke Bareskrim Polri? Bukankah Pemerintah memiliki kewenangan dan perangkat aparat yang cukup handal untuk itu? Lalu, mengapa Pemerintah (Menko Polhukam) begitu gegabah bahkan bertindak layaknya LSM yang tidak punya kewenangan dan bahkan layaknya seseorang yang membenci dan memusuhi Al-Zaytun? Mengapa Presiden (Pemerintah dan Negara) tidak terlihat mengayomi Al-Zaytun dengan praduga tak bersalah (presumption of innocence)?”
Terus terang, sangat sedih melihat perlakuan Negara seperti ini terhadap lembaga pendidikan Islam terakreditasi A Unggul yang secara nyata empiris melakoni dan menyuarakan toleransi dan perdamaian atas dasar Pancasila. Sesungguhnya apa maunya Negara ini? Mengapa suara toleransi dan perdamaian dimusuhi (dicari-cari kesalahan) oleh negara? Benarkah Pemerintah saat ini sungguh-sungguh ingin menegakkan Pancasila? Atau hal itu hanya jargon “Pancasila Harga Mati”?
Namun saya tidak mau apriori. Presiden Jokowi yang amat bersahaja akan konsisten mengayomi masyarakatnya sesuai Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Secara khusus dalam pandangan saya, pribadi Prof. Mahfud Md itu adalah orang baik, salah seorang putra terbaik bangsa yang mungkin sedang lengah oleh pengaruh opini kelompok tertentu atau kepentingan politik tertentu. (Bersambung)