Golkar Jadi Follower

[OPINI] – CATATAN KILAS – Golkar, partai penguasa 30-an tahun Orde Baru, jika dilihat dari perolehan suara pemilu legislatif era reformasi, masih bertahan sebagai salah satu partai besar di Indonesia. Namun dalam hal pemilu presiden, tampak semakin tak berdaya, loyo, kerdil dan terpuruk jadi follower.Catatan Ch. Robin SimanullangWartawan TokohIndonesia.com
Bahkan posisi follower Golkar pada Pilpres 2019 nanti, sudah diputuskan (dideklarasikan) dalam Rapimnas Kamis (28/7/2016). Hal mana Partai Golkar secara resmi mendeklarasikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai bakal calon presiden (capres) di Pilpres 2019.
Dinyatakan, keputusan mendukung Jokowi di Pilpres 2019 itu didasarkan pada pandangan seluruh DPD Golkar se-Indonesia dan Dewan Pembina Partai Golkar.? Tepuk tangan riuh ribuan kader Golkar mengiringi penyerahan piagam deklarasi pencalonan itu langsung ke Presiden Jokowi.
Suasana saat itu, tak ubahnya seperti suasana pesta kemenangan. Padahal, logika dan realitas politiknya, deklarasi itu justru (hakikatnya) sebagai suatu pernyataan kekalahan jauh hari sebelum hari pertarungan. Sudah sedemikian kerdilnyakah Partai Golkar, sampai-sampai tiga tahun lebih sebelum Pilpres sudah menyatakan diri sebagai follower Jokowi, kader partai lain (PDIP)?
Selain alasan formal, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi deklarasi jadi follower Jokowi tersebut? Berbagai kemungkinan diopinikan para pengamat. Pertama, jangan-jangan Golkar berharap kiranya Jokowi meninggalkan PDIP, atau setidaknya berharap agar posisi tawar Jokowi kepada PDIP bertambah kuat, dengan demikian Golkar bisa menyalip menggaet Jokowi, setidaknya menggaet elektabilitasnya Jokowi.
Tapi, kemungkinan ini justru menunjukkan betapa para elit Golkar tidak mengenal Jokowi. Bukankah Jokowi itu tak hanya sekadar kader PDIP? Jokowi itu adalah DNA Marhaen, sosok yang menjadi simbol ajaran Bung Karno. Seandainya Bung Karno masih hidup dan kita tanya, siapa sosok yang memiliki DNA Marhaen dalam konteks kekinian? Tak mustahil jika jawabannya adalah Jokowi.
Orang boleh menjadi pengagum dan pewaris ajaran Bung Karno, tapi belum tentu memiliki DNA ajaran Bung Karno. Tentu saja putra-putri Bung Karno memiliki DNA yang sama, tetapi belum tentu memiliki DNA yang sama dengan ajaran Bung Karno (Marhaenisme).
Maka kemungkinan pertama ini hanyalah mimpi siang bolong yang muncul dari angan-angan kebodohan (kekurangtahuan). Jika kemungkinan ini yang diharapkan, pastilah menangguk kegagalan dan kekecewaan.
Kemungkinan kedua, Golkar berharap akan mendapat posisi tawar mendapat jatah menteri, terutama Cawapres 2019, sekaligus berharap menaikkan elektabilitas untuk memenangkan Pemilu 2019. Kemungkinan ini logis dan pantas secara politik. Tapi masalahnya, siapa (figur) kader Golkar yang mumpuni mendampingi Jokowi?
Golkar sering kali menyebut memiliki banyak kader yang berkualitas. Tapi, kenyataan, terutama dalam kontestasi Pilpres, Golkar selalu gagal menampilkan figur yang memiliki kualitas (elektabilitas) yang mampu meraih kemenangan. Sehingga, ironisnya, Golkar semakin ’puas’ meluncur jadi follower.
Kegagalan terkonyol, sebelum deklarasi kali ini, adalah ketidakmampuan Golkar sebagai pemenang kedua pemilu legislatif untuk membangun koalisi mengususung Capres-Cawapres pada Pilpres 2014. Sehingga (bahkan) menjadi pengikut (follower) fanatik Prabowo-Hatta dengan mengikatkan diri dalam Koalisi Merah Putih pasca Pilres.
Ketidakmampun untuk segera siuman dari posisi follower Prabowo (Pasca Pilpres), telah berakibat terjadinya konflik dalam tubuh (internal) Golkar. Akhirnya, konflik itu telah usai. Ketua Umum berganti. Golkar pun bisa leluasa menyatakan diri sebagai partai pendukung pemerintah, sesuai habitatnya. Tidak lagi terikat dalam bayang-bayang Prabowo sebagai ’bos’ KMP.
Tapi sesudah kembali ke habitatnya (bukan oposisi), langkah dan semangat Rapimnas pun terasa terlalu terburu-buru bahkan kebablasan. Jauh-jauh hari sudah mendeklerasikan menjadi follower Jokowi dalam Pilpres 2019. Ibarat seorang gadis yang lepas dari pelukan seorang lelaki sangar, menyerahkan diri lagi ke dalam pelukan lelaki ’tampan’.
Dalam kontestasi politik (Pemilu 2019, Pemilu legislatif dan presiden diselenggarakan bersamaan), Golkar sudah menyatakan kalah sebelum bertanding. Apakah Golkar sudah kehilangan nyali dan harapan? Separah itukah kondisi Golkar hari ini? Kalaupun tidak bisa tampil sebagai seorang pemuda sangar dan tampan, paling tidak menjadi seorang puteri pingitan.
Untuk memahaminya, baiklah kita review jejak Golkar dalam era reformasi (demokrasi) ini. Memang sejak Presiden Soeharto mundur pada 1998 dan digantikan Presiden Habibie (1998-1999), Golkar selalu gagal memenangkan kadernya menjadi presiden.
Dalam SU MPR 1999, Golkar tidak berhasil mengusung Capres-Cawapres, setelah pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak, dan ’memaksanya’ mundur dari pencalonan.
Kemudian, pada Pilpres 2004 (Pilpres pertama secara langsung dipilih rakyat), Golkar mengusung Wiranto (pemenang konvensi Capres Golkar) berpasangan dengan Salahuddin Wahid, juga kalah, bahkan tidak lolos putaran pertama Pilpres. Tapi, pada Pilpres kali ini Golkar masih menegakkan kepala.
Beruntung pula dalam pilpres ini, Susilo Bambang Yudhoyono menggandeng Jusuf Kalla (kader Golkar) diusung Partai Demokrat, tampil menjadi pemenang. Kemudian JK terpilih menjadi Ketua Umum. Lumayan dalam posisi sebagai wakil presiden.
Lalu pada Pilpres 2009, JK menegakkan kepala Golkar dengan maju sebagai calon Presiden dari Golkar, berpasangan dengan Wiranto (Partai Hanura). Tapi, pasangan ini kalah.
Kemudian, pemilihan Ketua Umum Golkar dimenangkan Aburizal Bakrie (2010). Sejak terpilih, ARB sudah mengiklankan diri bakal menjadi bakal Capres Partai Golkar. Dalam pemilihan legislatif, Golkar pun berhasil meraih posisi kedua. Tapi, ironis, pada Pilpres 2014, Golkar bahkan gagal untuk mengusung kadernya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Golkar merelakan diri mendukung Capres-Cawapres dari partai yang perolehan suaranya lebih kecil dari Golkar, yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa.
Sebenarnya pada Pilpres 2014, Jokowi menggandeng JK (kader Golkar), namun Golkar justru lebih memilih menjadi follower Prabowo-Hatta yang ternyata dikalahkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Golkar kehilangan arah. Bahkan sempat menandatangani koalisi permanen KMP di bawah kendali Prabowo.
Lalu, tiga tahun lebih menjelang Pemilu 2019, Golkar pun sudah mendeklarasikan menjadi follower Jokowi. Golkar laksana manusia bertubuh besar dan tambun, tapi titik-titik. Ya, sudah, jadi follower pun sudah syukur. Tapi, masih ada waktu untuk siuman. Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA