Pilpres Kemenangan Jokowi, Milik Prabowo

Politik Demokrasi di Era Post-Truth

 
0
372
Jokowi: Presiden Boleh loh Kampanye, Boleh loh Memihak – Walau kemudian 'diluruskan' bahwa dia tidak akan kampanye. Foto: Unhas TV

Hasil hitung cepat Pemilihan Presiden 14 Februari 2014 adalah kemenangan Presiden Jokowi yang menjadi milik Prabowo Subianto. Prabowo-Gibran berhasil meraih suara hampir 60% jauh mengalahkan Anies-Muhaimin (23%) dan Ganjar-Mahfud (17%). Kemenangan ini diperoleh dengan strategi politik paska-kebenaran (post-truth politics) pembentukan opini publik dengan daya tarik emosi dan pencitraan pribadi, serta sebaliknya penggunaan propaganda, penyesatan dan memanipulasi informasi yang ekstensif terhadap kampanye pesaing yang cenderung masih menonjolkan etika, nalar dan data secara rasional. Ternyata, daya tarik emosi mengalahkan etika dan nalar.

Prabowo secara strategis berhasil memainkan “post-truth politics”. Kendati Presiden Jokowi menjadi tokoh penting yang meraih kemenangan ini, namun Prabowo-lah pemenang sesungguhnya yang menjadi pemilik kekuasaan kemenangan tersebut, yang akan menggenggam kekuasaan dengan hak prerogatifnya sebagai Presiden (Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan).

Prabowo yang dikalahkan Jokowi dalam dua kali kontestasi Pilpres (2014 dan 2019) berhasil mengoptimalkan posisinya sebagai Menteri Pertahanan mengambil hati Jokowi dengan “ciuman” halus hingga sampai ‘mempercayainya’ mengkoordinasi intelijen, walaupun hal itu tidak sesuai dengan UU BIN. Prabowo dengan cerdas secara emosional berhasil meyakinkan emosi Jokowi bahwa dialah penerus terbaik legasi Jokowi. Mengalahkan Ganjar Pranowo yang satu partai dengan Jokowi sendiri. Tak heran jika dengan akses informasi intelijen yang dimilikinya pun, dia berhasil mengkonsolidasi kekuatan politiknya, terutama kekuatan siber pembentukan opini publiknya yang tidak perlu ribet berbasis nalar dan data akademis, bila perlu dengan propaganda, disinformasi dan manipulasi informasi yang gencar di berbagai media, terutama media sosial.

Ketika Jokowi melalui adik iparnya di Mahkamah Konstitusi mengubah UU yang meloloskan Gibran sebagai Cawapres pendamping Prabowo, para ahli hukum tata negara, para profesor, akademisi, pemuka agama, civil society, politisi dan kalangan profesional serta beberapa media mengkritisinya dengan sebutan ‘Nepo Baby” (Bayi Nepotisme) dan/atau ‘anak haram konstitusi’ Mahkamah Keluarga yang cacat etik; mereka mengkonternya dengan kalimat “Indonesia adalah negara hukum, bukan negara etika,” sebagaimana diviralkan para pendukungnya. Konter tanpa nalar akademis.

Kendati ribuan guru besar dari hampir seratusan universitas, pemuka agama, civil society, dan para profesional mengkritisinya dengan nalar ilmiah dan etika-moral, mereka mengkonternya dengan enteng menuduhnya sebagai partisan.

Dan, kendati pihak kontestan pesaing dan civil society, menstigma Jokowi dan Gibran sedang membangun kekuasaan nepotisme dengan sebutan ‘Nepo Baby” dan/atau ‘anak haram konstitusi’ Mahkamah Keluarga-nya yang cacat etik; di samping mem-blow up cacat Prabowo Subianto sebagai seorang pelanggar HAM dan penculik yang dipecat dari militer; mereka juga mengkonter dengan enteng, menyebutnya sebagai hoax, kampanye hitam dari orang-orang jahat; dan pura-pura diserukan, “tidak usah dibalas”. Pada hal, pernyataan itu sendirilah balasannya. Tak penting seberapa kuat alasan nalar dan faktanya.

Lalu, Prabowo dan pendukungnya menari Gemoy. Dan mengkampanyekan program populis ‘makan siang gratis’ yang tampaknya berhasil menggugah emosi rakyat kebanyakan, serta dibantu secara terselubung oleh Presiden Jokowi dan beberapa menteri membagi-bagi sembako dan BLT, yang dijamin akan dilanjutkan Prabowo-Gibran. Bukan sekadar janji, seperti paslon lainnya.

Memang, tidak mutlak politik paska-kebenaran itu hanya dimainkan oleh Prabowo-Gibran. Kandidat lain juga melakukannya, kendati mereka masih kalah lihai dan licik. Mereka masih berusaha memberi alasan nalar dan data, yang ternyata (tampaknya) tidak begitu penting dalam mempengaruhi opini publik.

Kendati mendapat perlawanan dari para profesor, akademisi, pemuka agama, civil society, dan para profesional dengan nalar ilmiah dan etika-moral, termasuk penayangan film dokumenter Dirty Vote pada masa tenang, justru kemenangan itu diraih mencapai hampir 60%, satu putaran. Dalam pandangan (nalar) para politisi, ulama, profesional dan akademisi, hal ini sulit dipercaya, semacam anomali, penyimpangan atau keanehan yang terjadi tidak sesuai nalar dan etika moral politik seperti biasanya. Tapi itulah demokrasi dan pembentukan opini publik era post-truth (paska kebenaran) dengan kuasa siber, khususnya media sosial, dewasa ini.

Ini adalah fenomena demokrasi era post-truth, yang dewasa ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Wikipedia menyebut, post-truth adalah istilah yang mengacu pada dokumentasi dan kekhawatiran yang tersebar luas di abad ke-21 perihal perselisihan mengenai klaim kebenaran publik. Meskipun istilah ini telah digunakan dalam frasa seperti “post-truth politics” (politik pasca-kebenaran) secara akademis dan publik sebelum tahun 2016, Kamus Oxford secara populer mendefinisikannya sebagai “berkaitan dengan dan menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan daya tarik emosi. dan keyakinan pribadi.

Advertisement

Pada tahun 2016, istilah ini dinobatkan sebagai Word of the Year oleh Kamus Oxford setelah istilah tersebut semakin populer pada pemilihan presiden Trump di Amerika Serikat dan referendum Brexit di Inggris. Kamus Oxford lebih lanjut mencatat bahwa pasca-kebenaran sering digunakan sebagai kata sifat untuk menandakan jenis politik yang berbeda. Beberapa sarjana berpendapat bahwa post-truth memiliki kesamaan dengan perdebatan moral, epistemik, dan politik di masa lalu tentang relativisme, postmodernitas, dan ketidakjujuran dalam politik. Yang lain bersikeras bahwa post-truth secara khusus berkaitan dengan teknologi komunikasi dan praktik budaya abad ke-21.

Deep Kumar (2017) dalam Sifting and Winnowing in the “Post-Truth” Era memaparkan, dalam Pilpres AS, Donald Trump memang menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutkan terhadap ilmu pengetahuan, fakta, dan penelitian berbasis bukti. Ia menolak penelitian ilmiah selama puluhan tahun mengenai pemanasan global, dan menyebutnya sebagai “hoax,” dan bahkan membantah dengan banyaknya rakyat yang hadir pada pelantikannya. Daftar kebohongan dan kepalsuannya (lies and falsehoods) begitu panjang sehingga berbagai organisasi media berita menghitung dan mendokumentasikannya. The New York Times menulis bahwa mereka “telah mencatat setidaknya satu klaim palsu atau menyesatkan setiap hari dalam 91 dari 99 hari pertamanya.”

Dalam sebuah artikel berjudul “The Art of Spin,” Deep Kumar dan Patrick Barrett berpendapat bahwa pemilu AS tahun 2016 merupakan pemilu yang luar biasa karena “penghinaan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap wacana politik nasional” yang menjadi ciri pemilu tersebut.” Hal ini sebagian disebabkan oleh ocehan Trump yang tidak koheren dan kurangnya dukungan pengetahuan substantif terhadap pemilu, serta kecenderungannya terhadap seruan yang secara eksplisit bersifat seksis dan rasis, kebohongan, dan penghinaan pribadi serta ancaman yang ditujukan terhadap lawan-lawannya dan para pendukungnya. Yang tidak kalah penting adalah penggunaan propaganda dan penyesatan yang ekstensif pada kampanye Clinton.

Fenomena tersebut, tampaknya berhasil diperankan Prabowo dengan lebih gemilang, plus dengan ‘penaklukan’ Jokowi hingga merasa memenangkan Pilpres untuk menjadi milik Prabowo. Tapi, itu adalah Pilpres yang secara hukum (UU) sah, dimana rakyat menentukan pilihannya di bilik suara. Itu demokrasi era “paska kebenaran” seperti yang sudah diulas Kepala BIN Budi Gunawan bersama Barito Mulyo Ratmono dalam bukunya: Demokrasi di Era Post Truth (April 2021). Suatu fenomena yang perlu disikapi oleh para politisi lainnya, khususnya politisi idealis.

Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini