Bangun Al-Zaytun di Natuna

 
0
320

Bangun Al-Zaytun di Natuna

[BERITA TOKOH] – – Aisyah sangat terkesan dengan ide Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, untuk mendirikan sekolah Al-Zaytun di pulau Natuna. Menurut Aisyah, kalau itu terjadi pasti sangat membantu keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketika Hj Aisyah Aminy, SH, (74 tahun) bersama keluarga, berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun (MAZ), Indramayu, Ahad 24 April 2005, bukan hanya MAZ yang menjadi pokok pembicaraan. Tapi mencakup persoalan dan perkembangan politik, keamanan dan pendidikan di Indonesia. Bahkan tentang keprihatinannya mengenai Blok Ambalat.

Setelah meninjau komplek MAZ siang harinya, selepas Maghrib, Ibu Aisyah berkesempatan silaturrahmi dengan Syaykh al-Ma’had Abdussalam Panji Gumilang. Dalam perbincangannya dengan ‘seniman politik tingkat tinggi’ ini (julukan Syaykh al-Ma’had untuk Aisyah Amini), Syaykh menjelaskan, bahwa MAZ sedang membangun sentral pendidikan di pulau Rupat, Bengkalis, Riau dengan luas lahan sekira lima ribu hektar. Sebenarnya Syaykh lebih melirik kepada pulau Natuna yang masih kosong. Hal itu sudah pernah dibincangkan dengan Bupati Bengkalis Syamsul Rizal.

“Kalau kita ambil titik di sana (Natuna), lebih dekat ke Vietnam. Dengan motorboat saja sampai. Pertahanan di sana sangat minim. Kalau di sana kita dirikan sentral pendidikan, maka dapat berfungsi sebagai penjaga negara. Aset negara akan aman. Kalau kita baca di peta, di sana seperti tidak ada apa-apa. Tapi bila kita injakkan kaki ke sana, akan kita ketahui bahwa pulau itu sangat kaya. Berbeda dengan Rupat, Natuna adalah pulau yang kokoh, karena punya akar. Bukan yang muncul tanpa akar. Jadi tak mudah diserang ombak akibat diguncang gempa,” kata Syaykh Panji Gumilang.

Aisyah pun sangat terkesan dengan ide Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, untuk mendirikan sekolah di pulau Natuna. Dia mengaku belum pernah dengar, ada orang yang punya ide membangun suatu pesantren di wilayah Natuna. Kalau itu terjadi, katanya, pasti sangat membantu menjaga keutuhan wilayah negara kita.

“Karena sebetulnya, pengawasan terhadap wilayah negara kita yang cukup luas ini, sangat kurang. Selama ini, kita sangat mengandalkan tentara. Akan jauh lebih efektif, bila ada pesantren di wilayah itu. Saya berharap, mudah-mudahan hal ini akan menjadi kenyataan. Saya akan mengembangkan ide ini. Mudah-mudahan, hal itu dapat terlaksana,” kata politisi perempuan yang telah aktif di parlemen sejak akhir tahun 1960-an ini.

“Saya kira, andai kata Ismeth Abdullah (Drs Ismeth Abdullah, E.D.I. Fellow, Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam) jadi gubernur, pasti akan senang sekali dengan ide ini. Saya akan cerita padanya,” lanjut Ibu Aisyah. “Natuna itu pulau, sekaligus menjadi penjaga batas wilayah. Angkatan laut kita tidak punya kapal untuk menjaga. Kasus Ambalat muncul juga karena pengalaman Sipadan dan Ligitan.”

Menurutnya, hakekat kedaulatan itu harus dihayati. Dan tugas menjaga kedaulatan wilayah adalah di tangan TNI. Aisyah sangat prihatin ketika masalah Blok Ambalat mengemuka. Aisyah menyayangkan bahwa sebagai penjaga perbatasan, TNI diberi fasilitas yang baik dan memadai. Contohnya Angkatan Laut RI. Jumlah kapalnya sangat minim. Bahkan kapal-kapal asing jauh lebih modern dan lebih cepat dari KRI yang berpatroli di wilayah lautan kita.

Di sisi lain, negara kita adalah negara yang kaya dengan sumber alamnya, termasuk laut. Khususnya kekayaan laut, kita belum mengeksplorasinya secara maksimal. Yang lebih banyak mengambil malah negara-negara lain seperti Thailand, Jepang, India, dan sebagainya.

Advertisement

Dalam rapat-rapat kerja, Aisyah sering mengemukakan saran untuk memaksimalkan eksplorasi kekayaan laut. Kalau hanya dijaga, tentu akan mengeluarkan biaya operasional yang besar. Sebaliknya, jika pemerintah memberi peluang bagi para pengusaha dalam negeri untuk menggali kekayaan laut dan memberikan insentif, maka para penjarah itu tidak akan berani datang lagi. Sebab, para pengusaha dalam negeri itu akan ikut berperan serta menjaga wilayah laut yang menjadi konsesi mereka.

Bahkan Aisyah mengungkapkan ide untuk mendorong para pensiunan AL untuk menjadi pengusaha kekayaan laut, karena mereka yang sehari-hari berada di laut tentu sangat mengenal medan. ? ti/ms-maz (Diterbitkan juga Majalah Tokoh Indonesia Edisi 22)

*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

 

 

 

02 | Pak Natsir dan Kyai Zarkasyih

Aisyah juga menanyakan kenapa Ma’had ini dinamakan Al-Zaytun. “Allah saja senang pada zaytun. Kita sebagai makhluknya, ya ikut senang. Karena ketika ingin menciptakan manusia, kok Tuhan menyebut zaytun,” jelas Syaykh.
“Wattini wazzaytun,” sela Ibu Aisyah.
“Mau ambil nama At-Tin, sudah diambil Pak Harto. Ditaruh di Taman Mini. Maka Al-Zaytun saja,” kata Syaykh, melanjutkan.

Syaykh juga bercerita bahwa ide pendirian Ma’had ini, juga sudah didiskusikan dengan Pak Natsir pada awal 1980-an. Kemudian awal 1990-an, lanjut Syaykh, beliau dengan kawan-kawan berunding tentang pendidikan ini. Menjelang 9 tahun kemudian, barulah berdiri. Pada tahun 1982, Pak Natsir menyampaikan kepada Syaykh: “Kalau kamu sudah melangkah, sandaranmu harus dirimu. Sebab perjuangan tidak bisa bersandar pada yang lain.”

Syaykh juga bercerita tentang pengalamannya sebagai santri KH Imam Zarkasyih, di Gontor, tahun 1960-an. “Pak Zarkasyih masih keras saat itu. Menurut beliau, mendidik putri lebih sulit. Mendidik satu putri lebih sulit dari mendidik seribu putra. Waktu itu Syaykh bertanya kepada KH Zarkasyih, “Kalau begitu Pak Kyai, siapa yang mendidik putri? Kemudian beliau menjawab: “Zamanmu lain!” Itulah sebabnya di sini (MAZ), ada putri dan ada putra dengan sistem semi co-education,” jelas Syaykh.

Gedung pembelajaran di MAZ berbentuk huruf U, kemudian dibagi dua. Sebelah barat untuk santri putra dan sebelah timur untuk putri. Maksudnya, agar mereka dapat saling mengucapkan assalamu’alaikum. Sebab itu obat. Kalau tidak, dia bisa berbuat macam-macam. Kalau sudah assalamu’alaikum kemudian walaikumsalam sudah plong. “Ternyata, hal itu kita praktekkan selama 6 tahun, alhamdulillah, hasilnya baik,” tambah Syaykh. ? ti/ms-maz (Diterbitkan juga Majalah Tokoh Indonesia Edisi 22)

*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

 

 

 

03 | Al-Zaytun University

Syaykh juga menjelaskan tentang akan segera dibukanya Universitas Al-Zaytun bulan Agustus 2005 yang akan berfungsi sebagai Al-Zaytun International Research University. Tahap pertama, untuk tahun ini akan dibuka enam fakultas, yaitu: fakultas pertanian, fakultas teknik, fakultas kedokteran, fakultas IT, fakultas bahasa dan fakultas pendidikan.

Lalu Aisyah menanyakan apakah akan ada fakultas ekonomi. Menurut Aisyah, masalah ekonomi adalah masalah yang cukup besar. Ide Mohammad Hatta tentang ekonomi adalah ekonomi kerakyatan, yakni meningkatkan harkat rakyat yang masih di bawah garis kemiskinan.

Menurut Syaykh, setelah berjalan dua atau tiga semester, mereka akan membuka fakultas ekonomi dan fakultas hukum. Malah untuk mengawali perguruan tinggi ini, MAZ sudah punya diploma pertanian, diploma teknik, dan diploma bahasa. MAZ mulai dari D2 dilanjutkan ke D4. Menurut Syaykh, universitas itu nantinya akan menjadi universitas riset yang mampu tampil sebagai universitas mandiri.

Dijelaskan pula, bahwa MAZ menargetkan setelah 10 semester universitas akan mempunyai fakultas-fakultas sosial dan eksak secara lengkap. Seluruh fakultas tersebut akan didukung oleh laboratorium yang lengkap. Kerjasama-kerjasama dengan berbagai universitas baik dalam maupun luar negeri juga akan dilakukan. Antara lain Filipina, Singapura dan Malaysia. Kedokteran di Malaysia saat ini sangat layak dilihat.

Ditimpali Ibu Aisyah, bahwa di tahun 1970-an, banyak orang Indonesia yang pergi ke Malaysia untuk jadi guru dan dosen. Waktu itu, kakaknya juga menjadi dosen di sana. Namun sekarang, yang pergi ke sana adalah para TKI yang tergusur-gusur.

Menurut Syaykh, itu akibat dari kelengahan bangsa Indonesia. Beliau sendiri pernah lama tinggal di Malaysia. Kalau tahun 1980-an kita memberi kepada Malaysia, mudah-mudahan masa selanjutnya, kedua negara bisa sama-sama saling mengadopsi.

Selain kemiskinan dan kesejahteraan rakyat, Aisyah memang mencermati sistem pendidikan yang tidak mendorong para lulusan sekolah untuk bisa mandiri. Saat ini, jumlah pengangguran terus meroket setiap tahun. Menurut perempuan yang pernah menjadi guru dan dosen ini, hal ini disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia tidak berbasis link and match. Jadi para lulusan tidak bisa mengaplikasikan apa yang sudah didapat di sekolah di tengah masyarakat. Selain itu, kesejahteraan guru yang kurang, menyebabkan guru tidak fokus mendidik murid-muridnya.

Kepedulian Aisyah pada dunia pendidikan juga diwujudkan pada pelajar-pelajar perempuan Aceh yang tertimpa musibah tsunami. Aisyah dan organisasi Wanita Islam akan membangun asrama untuk mahasiswi-mahasiswi Aceh yang sudah hampir lulus. Para mahasiswi itu dikhawatirkan keluar dari Bumi Rencong karena merasa tidak ada harapan lagi di daerahnya yang porak poranda. Padahal menurut Aisyah, mereka adalah calon-calon pemimpin perempuan di Aceh. Ia berharap, mereka tetap tinggal di Aceh dan membangun daerahnya kembali.

Menurut Aisyah, saat ini banyak mahasiswa di Indonesia yang protes karena biaya pendidikan yang mahal. Namun demikian, menurutnya, bagaimana pun juga kita tak bisa lari dari pendidikan.

Perguruan tinggi negeri (PTN) yang biasa disubsidi, menurut Syaykh, memang banyak menghadapi kendala, termasuk dari mahasiswanya. Tetapi perguruan tinggi swasta (PTS) sejak awal sudah mandiri, sehingga lebih mudah. Ketika PTN kemudian dituntut untuk mandiri dalam hal pendanaan, mau tidak mau hal itu harus dibebankan pada konsumen, yaitu mahasiswa. Itulah sebabnya, mahasiswa merasa tidak diperhatikan oleh negara. Kalau PTS, memang sudah diiklankan (diumumkan) sejak awal, bahwa ini swasta. Tidak bisa berjalan tanpa dana dari mahasiswa. Kalau di PTS, mereka sudah siap mental. Sekolah negeri, risiko pemerintah, sedang sekolah swasta, risiko orang tua.

Keduanya lantas membicarakan masalah subsidi silang. Menurut Ibu Aisyah, ada rencana subsidi silang untuk sekolah negeri. Sekolah mahal mensubsidi sekolah yang lebih murah. Menurut Syaykh, jika akan dibuat subsidi silang, sebaiknya, beri kebebasan kepada sekolah swasta untuk membuat sekolah sebaik-baiknya. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas, dibiayai setinggi-tingginya oleh orang yang punya uang. Kemudian, kepada penyelenggara sekolah tersebut diwajibkan beberapa persen dari yang diperoleh untuk membangun sekolah di desa yang berkualitas tinggi. Jadi ada sinergi dengan pemerintah.

Syaykh berpendapat, sekolah negeri wajib dibiayai negara. Kalau pemerintah tidak mau membiayai, swastakan saja semuanya dan predikat negerinya dicabut. Risikonya, pasti kalah oleh sekolah swasta yang sudah terbiasa mandiri. Beliau mengambil contoh Insitut Teknologi Bandung (ITB) yang sekarang menjadi universitas swasta.

“Jalan begini dikritik, jalan begitu dikritik,” komentar Syaykh. “Kadang-kadang, pimpinannya sendiri sudah terbiasa dengan kepegawainegeriannya. Kreatifitasnya kurang hingga tidak bisa mencari, di mana tempat gerak untuk mendanai pendidikannya.”
Kemudian Syaykh menyimpulkan, “Solusinya, sekolah negeri ditingkatkan kualitasnya. Diberikan biaya setinggi-tingginya, supaya berkualitas. Sementara swasta, disuruh menyaingi, dengan syarat, nanti kalau sudah kuat dananya, sebagian masuk negara melalui undang-undang, untuk membangun pedesaan. Sebenarnya subsidi silang itu tugas swasta.” ? ti/ms-maz (Diterbitkan juga Majalah Tokoh Indonesia Edisi 22)

*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

 

 

 

04 | Al-Zaytun Perlu Dicontoh

Ibu Aisyah kemudian bertanya mengapa dalam Kongres Umat Islam beberapa waktu yang lalu, Al-Zaytun tidak mengirim perwakilannya. “Kami tidak diundang,” jawab Syaykh singkat. “Ya, mungkin, dianggap bukan pesantren,” lanjut Syaykh.
“Nanti saya sampaikan. Contoh-contoh seperti ini (MAZ, red.) perlu diketahui banyak pihak,” kata Ibu Aisyah.

“Bagi yang memerlukan,” sahut Syaykh. Tapi dijawab Aisyah, bahwa semuanya pada dasarnya perlu. Menurut Syaykh, banyak yang mengira tidak perlu. “Buktinya pada Kongres Umat Islam kemarin, banyak suara nyeleneh, dimuat di surat kabar lagi,” tambah Syaykh pula. Aisyah meyakini hal itu tidak terjadi di Komisi. Syaykh mengamini bahwa hal itu mungkin memang terjadi di forum informal. Di luar sana mereka saling membuat statement.

Dialog kedua tokoh itu ditutup dengan penjelasan Syaykh atas pertanyaan Ibu Aisyah tentang waktu pendaftaran dan daerah asal santri yang berada di MAZ. “Di sini penerimaan murid barunya, ditutup setiap akhir Mei. Dari Malaysia tahun 2005 ini, murid baru sudah masuk 56 santri, Afrika Selatan 3 santri dan yang lainnya di atas 500 santri. Santri asal Aceh yang berada disini juga banyak, ada 7 yang sebatang kara akibat musibah tsunami dari 117 santri. Santri MAZ didominasi dari luar Jawa. Kata kawan-kawan, luar Jawa lebih banyak peminat dan semangat-semangat.”

Selesai acara silaturrahmi, saat diwawancarai wartawan Al-Zaytun, Ibu Aisyah berkata, “Saya melihat semangat beliau cukup tinggi untuk memajukan umat ini. Sangat besar artinya untuk kemajuan bangsa kita yang sudah cukup lama terpuruk dalam berbagai bidang, terutama bidang pendidikan. Mungkin hal-hal seperti ini, perlu dicontoh oleh banyak pihak. Sehingga, model pendidikan seperti ini akan meluas. Harapan saya, semangat beliau tidak hanya untuk di sini. Tapi untuk seluruh Indonesia. Seperti apa yang juga beliau sebutkan, soal membangun pendidikan di Riau, baik Rupat maupun Natuna.” ? ti/ms-maz (Diterbitkan juga Majalah Tokoh Indonesia Edisi 22)

*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

 

 

 

05 | Tinjau Komplek Al-Zaytun

Begitulah Aisyah dengan gayanya yang khas, langsung memberondong pengurus MAZ yang menyambutnya, dengan berbagai pertanyaan. Pengurus MAZ menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan yang dilontarkannya.

Saya mengetahui MAZ ini dari Pak Hendropriyono,” kata ibu kelahiran Sumatera Barat pada 1 Desember 1931 itu, membuka pembicaraan. Memang, mantan Kepala Badan Intelijen (BIN) Hendropriyono sudah beberapa kali datang ke MAZ. Namun bukan politikus namanya kalau di antara pertanyaannya tidak ada yang bernuansa politik. “Mengapa di luar, banyak berita miring tentang MAZ?” tanyanya.

“Sebaiknya, Ibu bertanya pada mereka yang memberitakan tersebut. Bukan kepada kami,” sahut pemandu. “Atau tanyakan pada Pak Hendro. ‘Kan, beliau bapaknya penelitian.”
Mendapat jawaban seperti itu, Ibu Aisyah tersenyum sambil mengangguk. Kemudian rombongan diajak meninjau komplek MAZ. Selama perjalanan meninjau Kompleks MAZ yang memakan masa lebih dari 4 jam, berbagai pertanyaan dan komentar diutarakannya.

“Belum pernah saya melihat pesantren seperti ini dan sebersih ini. Saya sudah banyak meninjau pesantren di Indonesia, namun belum ada yang sebaik ini,” ungkapnya sambil menggelengkan kepala pertanda kagum. “Kata Pak Hendro, Al-Zaytun bagus. Itulah sebabnya saya ingin memasukkan cucu saya ke sini,” tambahnya sambil menunjuk ke arah dua orang cucunya yang datang bersamanya.

Pada kesempatan bertemu dengan santri, Aisyah juga selalu berusaha berdialog. Di antara isi dialognya, dia menanyakan pendapat mereka yang tampak amat betah belajar di Al-Zaytun. Aisyah selalu menasihati santri yang diajak dialog, agar mereka senang dan kerasan belajar di MAZ. “Baik-baik belajar ya, Nak. Ini sekolah bagus. Ibu belum pernah menemukan sekolah sebagus ini,” nasihatnya kepada para santri.

Ibu Rahmah Aminy (adik Ibu Aisyah) yang turut berkunjung mengaku terkesan dengan semangat Syaykh dan segenap keluarga MAZ yang mereka temui. Menurutnya, hal itu sangat membantu perkembangan lembaga pendidikan ini. Seperti misalnya pemandu yang membawa mereka berkeliling sejak pagi. Dia memberikan banyak waktunya bagi rombongan mereka. Karena itu, keluarga Aminy sangat menghargainya. Rahmah Aminy berharap, sikap-sikap seperti itu akan memberikan stimulan untuk peningkatan lembaga pendidikan ini.”

Menurutnya, dengan semakin banyaknya orang yang datang berkunjung ke MAZ, isu-isu miring mengenai MAZ bisa terhapus. Dalam hal ini, seorang intel sekaliber Hendropriyono pun menepis kabar-kabar miring itu. Bahkan mendukung dan akan membela. Seperti kata pepatah, ujar Ibu Rahmah, pohon besar akan ditiup oleh angin yang besar juga. Alhamdulillah, sikap Syaykh dan juga para pengurus pesantren ini tidak tergoyahkan dengan isu-isu yang tidak benar itu. Mudah-mudahan Al-Zaytun ini akan berjalan terus.

Tampak kepuasan dan harapan besar terhadap Al-Zaytun menghiasi wajah Ibu Aisyah Aminy beserta keluarga, mengiringi kepulangannya ke Jakarta. Semoga ibu Aisyah dengan keluasan wawasannya, akan membuktikan janji-janjinya untuk selalu bersama-sama, memperjuangkan jayanya pendidikan di negeri tercinta ini. ? ti/ms-maz (Diterbitkan juga Majalah Tokoh Indonesia Edisi 22)

*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tokoh Terkait: Aisyah Aminy, AS Panji Gumilang, | Kategori: Berita Tokoh – | Tags: al-zaytun

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini