Bergegas Menjaga Kuasa, tapi Ragu Membela Keadilan

Revisi Cepat RUU TNI Vs Mandeknya RUU Perampasan Aset

 
0
34
Revisi Cepat RUU TNI vs mandeknya RUU Perampasan Aset
Kekuasaan yang Dipoles dan Keadilan yang Ditinggalkan

Di balik setiap produk legislasi, tersimpan arah moral negara. Dan prioritasnya menunjukkan siapa yang sebenarnya dilindungi.

Setiap keputusan politik adalah pilihan antara melayani rakyat atau melanggengkan kekuasaan. Dan setiap regulasi mencerminkan arah moral negara. Saat hukum yang memperluas kendali aparat didahulukan, sementara hukum yang memiskinkan koruptor ditunda, maka kita perlu bertanya: nilai apa yang sebenarnya sedang dibela?

Pertanyaan inilah yang, tanpa tedeng aling-aling, dilontarkan Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, dalam sebuah wawancara langka bersama Presiden Prabowo Subianto, Minggu, 6 April 2025. Dalam forum terbuka itu, Uni Lubis tidak hanya hadir sebagai jurnalis, tapi sebagai suara dari keresahan yang meluas: bahwa negara ini tampaknya lebih cepat membangun sistem pengamanan kekuasaan daripada memperkuat fondasi pemberantasan korupsi.

Kontras itu nyata. Revisi Rancangan Undang-Undang TNI, yang memberi ruang perpanjangan masa dinas bagi perwira tinggi, dibahas dan disahkan dalam waktu kurang dari lima minggu – masuk Prolegnas pertengahan Februari, disahkan paripurna akhir Maret. Di sisi lain, RUU Perampasan Aset – yang membuka jalan hukum bagi negara untuk menyita kekayaan hasil korupsi sebelum vonis pidana dijatuhkan – telah tertahan bertahun-tahun di DPR. Belum ada kepastian, belum ada urgensi, hanya pengulangan retorika yang kehilangan taring.

Presiden menjawab bahwa revisi RUU TNI bersifat administratif. Ia membantah tudingan militerisme, dan menyebut kebijakan itu sebagai solusi untuk menjaga efektivitas pimpinan dalam kondisi tertentu. Tapi dalam demokrasi, bukan hanya isi yang penting, melainkan juga proses. Dan proses pengesahan yang tertutup, minim partisipasi, bahkan tidak membuka draf final kepada publik hingga hari ini – adalah alarm. Demokrasi sejati tidak dikelola dengan kecepatan tanpa keterbukaan. Ia tumbuh dari deliberasi, bukan dari keputusan yang dikebut diam-diam.

Dan inilah yang menjadi inti kecemasan publik. Ketika negara dapat bergerak cepat demi memperkuat struktur dalamnya, tetapi lamban dan bertele-tele untuk menindak pencuri kekayaan publik, maka jelas terlihat ke mana arah kompas kekuasaan diarahkan.

Pola ini bukan baru. Kita mengingat revisi UU KPK 2019 yang melemahkan lembaga antirasuah, dan UU Cipta Kerja yang diproses kilat. Sekarang, revisi RUU TNI bergulir dengan pola yang sama: cepat, tertutup, dan menyentuh titik-titik strategis kekuasaan. Sementara itu, regulasi yang menyentuh keadilan dan transparansi – termasuk RUU Perampasan Aset – ditunda terus dengan alasan ‘mekanisme politik’. Ini bukan sekadar tumpang tindih prioritas. Ini adalah cerminan dari apa yang lebih penting: memperpanjang umur kekuasaan, atau memperbaiki kualitas pemerintahan.

Untuk memahami kecenderungan ini, kita harus mencermati siapa yang diuntungkan dari percepatan atau penundaan tersebut. Revisi RUU TNI memberi Presiden kewenangan memperpanjang masa dinas perwira tinggi. Jika melihat peta politik dan struktur kekuasaan hari ini, kita bisa menduga bahwa pasal ini membuka peluang penguatan jaringan loyalis di tubuh militer. Dalam sistem politik yang makin sentralistik, kelonggaran seperti ini bukan sekadar soal teknis birokrasi. Ia adalah instrumen kontrol.

Di sisi lain, RUU Perampasan Aset menghadirkan risiko langsung bagi elite politik dan bisnis yang memiliki aset besar dan rekam jejak kelam. Bila disahkan, RUU ini bisa menjadi alat negara yang sangat kuat untuk memiskinkan para pelaku korupsi bahkan sebelum vonis dijatuhkan. Maka tidak heran bila dorongan terhadapnya selalu suam-suam kuku.

Gagasan perampasan aset ini bukan hal baru. Sejak 2012, wacana dan drafnya sudah masuk radar legislasi. Di banyak negara – Amerika Serikat, Inggris, hingga Malaysia, civil forfeiture telah terbukti menjadi instrumen efektif dalam membongkar jaringan kejahatan keuangan dan memperkuat keadilan restoratif. Namun di Indonesia, setiap kali hampir disahkan, selalu terganjal tarik-ulur kepentingan. Banyak fraksi di DPR yang diam-diam menolak, bukan karena masalah substansi, tapi karena implikasi langsungnya terhadap jaringan dan kepentingan mereka sendiri.

Advertisement

Pemerintahan sebelumnya pun tak luput dari inkonsistensi. Presiden Jokowi pernah menyatakan dukungan terhadap RUU ini, namun selama dua periode kekuasaannya, tidak ada dorongan serius untuk memprioritaskannya. Kini, di bawah kepemimpinan Prabowo, komitmen itu kembali disuarakan. Tapi tanpa langkah konkret, retorika itu hanya menjadi gema dari ketidakberanian yang sama.

Legislasi, pada akhirnya, adalah cermin dari nilai-nilai yang dipegang negara. Ketika prosesnya tertutup, ketika substansi yang penting ditunda, dan ketika kepentingan publik digeser oleh stabilitas elite, maka demokrasi kehilangan maknanya. Rakyat hanya menjadi penonton dalam drama kekuasaan yang dipertontonkan di parlemen, tanpa akses terhadap naskah ataupun ruang untuk bersuara.

Apa yang dilakukan Uni Lubis bukan hanya menyampaikan pertanyaan tajam, tetapi juga mengembalikan percakapan publik ke titik moralnya: apakah kekuasaan ini benar-benar berpihak pada rakyat? Apakah kita masih percaya bahwa negara ini dibangun dengan semangat keadilan, atau sekadar untuk menjaga bangunan politik yang sudah berdiri di atas pondasi rapuh?

Dan seperti yang tertulis dalam buku Gagasan Prabowo sendiri: negara yang gagal melawan korupsi akan bubar. Maka pertanyaannya: jika regulasi untuk memiskinkan koruptor saja tidak dianggap prioritas, bukankah kita sedang berjalan perlahan ke arah kebubaran itu? (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini