Bioskop atau Balai Desa?

Ketika Ruang Hiburan Disisipi Suara Negara

0
8
Bioskop atau Balai Desa?
Satu lensa memilih cerita, satu lensa diberi cerita.
Lama Membaca: 2 menit

Apa jadinya jika ruang hiburan berubah jadi ruang sosialisasi?

Beberapa hari lalu, bioskop bukan hanya menyajikan film. Sebelum cerita dimulai, layar lebih dulu menampilkan tayangan berisi program pemerintah: makan bergizi gratis, koperasi desa, sekolah rakyat. Pemerannya bukan aktor film laga, melainkan Presiden terpilih. Tayangan itu dikemas sebagai iklan layanan masyarakat, berdurasi satu menit, dan muncul sebelum film utama.

Sebagian mungkin menganggap ini biasa saja. Tapi bagi banyak penonton, ada yang terasa janggal. Mereka datang bukan untuk diberi pesan, melainkan untuk menikmati cerita. Di ruang gelap yang sengaja dipilih untuk beristirahat sejenak dari realitas, narasi resmi justru ikut masuk, seolah tak ada ruang yang betul-betul bebas darinya.

Bioskop bukan ruang untuk edukasi publik. Ia adalah tempat orang menonton sesuatu yang mereka pilih sendiri. Ketika iklan politik, walau dibungkus sebagai informasi, muncul di awal film, rasa bebas itu terkikis. Rasanya seperti ruang pribadi dipasangi pengeras suara: tidak ada tombol jeda, tidak ada opsi “lewati”.

Satu menit memang tidak panjang. Tapi di bioskop, satu menit cukup untuk membentuk suasana. Saat lampu mulai redup dan layar menyala, penonton sedang beralih dari rutinitas harian ke pengalaman sinematik. Bukan ke data, bukan ke program negara, tetapi ke cerita yang sudah mereka pilih. Dan ketika waktu itu diisi oleh narasi serius, bahkan yang disampaikan dengan suara tenang sekalipun, suasana pun bisa berubah arah.

Bayangkan menonton film komedi, atau drama ringan, dan tiba-tiba dibuka dengan pesan kenegaraan. Rasanya tidak pas. Seperti diberi pengantar rapat di tengah antrean konser. Singkat, tapi cukup untuk mengganggu suasana.

Masalahnya bukan hanya soal durasi. Ini soal keseimbangan. Negara punya banyak cara untuk menyampaikan pesannya, dari televisi, media sosial, radio, hingga spanduk di jalanan. Tapi warga hanya punya sedikit ruang untuk istirahat dari semua itu. Bioskop seharusnya jadi salah satu ruang yang netral. Tapi ketika iklan negara ikut hadir di sana, posisi jadi timpang. Penonton tak bisa melewati atau mematikan. Satu-satunya pilihan adalah menelan.

Dan ketika pola ini dibiarkan, lama-lama ia terasa wajar. Padahal tak semua yang terbiasa itu pantas. Hari ini satu menit di bioskop, besok mungkin dua menit di konser, lusa di pertunjukan seni. Perlahan tapi pasti, ruang-ruang jeda bisa berubah fungsi: dari tempat warga menarik napas, menjadi saluran baru untuk pesan resmi.

Bukan berarti pemerintah tidak boleh bicara. Tapi kita juga harus sadar bahwa tak semua ruang cocok untuk semua pesan. Film dan ruang hiburan lainnya adalah tempat orang melepas kontrol sejenak, membiarkan cerita membawa mereka, bukan instruksi atau arahan. Ketika negara masuk ke ruang itu, betapapun singkatnya, rasanya seperti batas dipindahkan diam-diam.

Apalagi di bioskop, yang dibayar dengan uang sendiri. Berbeda dengan televisi atau media sosial, bioskop punya harapan tersendiri. Orang datang bukan sebagai warga negara yang siap mendengar, tapi sebagai penonton yang hanya ingin larut. Ketika narasi pemerintah hadir di sana, relasi pun berubah: dari tontonan, menjadi tuntunan.

Advertisement

Yang lebih disayangkan, praktik semacam ini justru bisa mengurangi kepercayaan terhadap pesan itu sendiri. Ketika narasi yang seharusnya disampaikan dengan penghormatan justru muncul di ruang yang tidak diminta, publik bisa merasa sedang ditunjukkan, bukan diajak bicara. Akibatnya, pesan yang tadinya ingin memperkuat kepercayaan, justru menjadi sumber kejengahan.

Sejarah pernah mencatat masa ketika pemerintah mengisi hampir semua ruang dengan pesannya, termasuk bioskop. Kita tentu tidak sedang menuju ke sana. Tapi justru karena itulah, pertanyaan sederhana tetap layak diajukan: apakah satu menit di ruang gelap itu hanya sekadar jeda, atau tanda bahwa batas-batas perlahan bergeser?

Karena kalau negara bisa hadir di mana saja, kapan saja, dan dengan cara apa saja, apa yang tersisa dari ruang yang benar-benar milik warga? (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

Menurut Anda, apakah wajar jika pemerintah menayangkan pesan atau iklan di bioskop sebelum film dimulai?
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments