Hamoraon: Kaya Tak Menjadikanmu Marhamoraon
Karena Siapa Pun Bisa Jadi Kaya Yang Sejati

Dalam masyarakat Batak, Hamoraon (kekayaan) sering dianggap sebagai tanda keberhasilan. Tapi dalam kerangka 3H: Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon, kekayaan tak selalu soal harta atau status. Seseorang bisa disebut kaya bila kehadirannya memperkuat keberlanjutan hidup (Hagabeon) dan dijalankan dengan tanggung jawab sosial (Hasangapon), terlepas dari seberapa besar yang ia miliki.
Simbol-simbol seperti harta, jabatan, gelar, atau posisi sosial kerap menjadi penentu siapa yang mendapat ruang terhormat. Mereka yang dianggap “marhamoraon” (baca: kaya, berhasil) biasanya duduk di depan, bicara lebih dulu, dan lebih didengar. Ini bukan hanya terjadi dalam budaya Batak, tapi juga mencerminkan kecenderungan umum masyarakat dalam memperlakukan mereka yang dianggap “lebih berhasil” dan “lebih kaya”. Tapi tak semua yang duduk di posisi terhormat benar-benar mencerminkan nilai dan tanggung jawab sosial. Ada yang dihargai karena status, bukan karena kontribusi. Pertanyaannya: apakah ini benar tanda keberhasilan, atau justru cermin bahwa kita perlu meninjau ulang makna Hamoraon?
Di sisi lain, ada sosok-sosok yang, meski tidak disebut “kaya” dalam ukuran umum, tetap menjadi tempat orang lain bersandar. Mereka tidak punya kekayaan besar, tapi dikenal karena ketulusan dan konsistensi hadir dalam kehidupan bersama. Mereka kerap diminta menjadi ‘orang tua’ bagi calon pengantin yang sudah menjadi yatim piatu dan menjadi tempat bertanya dalam urusan keluarga atau adat. Mereka meluangkan waktu, hadir tanpa diminta, dan memberi dari apa yang ada – itulah yang membuat keberadaan mereka dihargai. Di lingkungan seperti ini, ukuran kekayaan bergeser: bukan lagi tentang berapa yang dimiliki, tapi seberapa besar dampaknya bagi orang lain.
Sebaliknya, ada pula yang setelah merasa mapan secara materi atau status, justru makin menjauh. Tak lagi hadir di forum adat, merasa cukup dengan pencapaian pribadi, dan memilih membangun identitas di luar akar budayanya. Kekayaan yang semestinya memperluas peran, justru menjadi tembok yang memisahkan.
Pertanyaannya sederhana, tapi penting: apakah kekayaan yang membuat kita dihormati, atau nilai yang membuat kita diingat setelah tak lagi hadir? Tiga gambaran di atas memunculkan satu isu penting: bagaimana kita seharusnya memahami Hamoraon hari ini? Dalam kerangka 3H: Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon, kekayaan tidak berdiri sendiri. Ia baru bermakna jika memperkuat keberlanjutan hidup (hagabeon) dan dijalankan dengan integritas (hasangapon). Di luar itu, Hamoraon mudah berubah menjadi beban: bagi yang memilikinya, maupun bagi komunitas di sekitarnya.
Kenyataan ini tercermin dalam cara kita memberi tempat kepada orang dalam berbagai ruang hidup bersama. Siapa yang duduk di depan, siapa yang diberi suara, sering kali ditentukan bukan oleh nilai atau kontribusi, tapi oleh seberapa besar kekayaan atau posisi yang dimiliki.
Di satu sisi, ada yang datang dengan mobil mewah dan langsung disambut hangat. Di sisi lain, ada yang hadir membawa waktu dan perhatian, tapi nyaris tak diperhatikan. Yang lebih banyak memberi secara materi dianggap lebih layak dihargai, sementara mereka yang berkontribusi lewat tenaga dan nilai sering kali terabaikan.
Orang Batak tidak disebut kaya hanya karena punya harta berlimpah. Tapi karena bersedia mangampu, marsahap, dan mangulosi: mendukung acara adat, memberi pertolongan tanpa diminta, dan menunjukkan perhatian pada saat-saat penting. Kekayaan yang dihargai adalah yang mempererat ikatan sosial, bukan yang meninggikan diri di atas orang lain.
Namun kenyataannya, tak semua yang disebut kaya menjalankan nilai-nilai itu. Ada pula yang datang membawa kekayaan, tapi tujuannya bukan untuk mempererat, melainkan meninggikan diri. Mereka hadir di ruang adat bukan untuk memperkuat komunitas, tapi untuk memastikan bahwa dirinya dihormati, bahkan bila itu berarti mengecilkan orang lain. Hamoraon menjadi alat pencitraan, bukan lagi bentuk tanggung jawab sosial.
Namun di tengah kecenderungan itu, ada pemaknaan lain yang lebih mendasar, bahwa kekayaan seharusnya mempererat relasi, bukan memperkuat sekat. Hamoraon yang sejati tidak membentuk jarak, tapi menciptakan ruang. Seperti ulos: makin dibagi, makin menghangatkan. Seperti pohon buah: tidak hanya berakar kuat, tapi juga memberi keteduhan dan hasil bagi banyak orang. Di situ, kekayaan tidak hadir dalam bentuk angka, tapi dalam arti.
Dalam pemahaman adat Batak, orang kaya adalah mereka yang bisa diandalkan. Bukan hanya saat pesta, tapi saat duka, saat orang butuh pendengar, atau butuh tangan yang membantu. Hamoraon adalah soal menjadi orang yang kehadirannya memberi rasa aman. Yang membuat orang lain merasa tidak sendirian.
Sebaliknya, Hamoraon yang kehilangan akarnya bisa menjadi beban. Orang merasa harus terus memberi demi mempertahankan status, merasa harus selalu hadir sempurna demi gengsi sosial, dan akhirnya kehilangan kebebasan untuk hidup sesuai nilai. Kekayaan berubah menjadi tekanan. Bahkan kadang, kekayaan justru menjauhkan seseorang dari makna keberadaan itu sendiri.
Karena itu, penting untuk melihat ulang apa arti Hamoraon dalam kerangka 3H. Ia bukan tujuan akhir, tapi bagian dari keseimbangan hidup Batak. Ia hanya punya arti kalau berjalan seiring dengan Hagabeon dan Hasangapon. Kekayaan tanpa nilai dan arah bisa kosong. Tapi kekayaan yang berpijak pada peran dan kontribusi, itulah yang memberi ruang hidup yang lebih utuh, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Hamoraon bukan tentang siapa yang punya paling banyak atau paling tinggi pangkatnya. Tapi siapa yang bisa membuat orang lain merasa diperhatikan dan dihargai. Yang tersisa setelah pesta bukanlah berapa besar yang disumbangkan, tapi siapa yang masih diingat saat duka datang tanpa undangan. Karena pada akhirnya, orang Batak yang marhamoraon bukan semata yang kaya, tapi yang memperkuat nilai, komunitas, dan kehidupan bersama. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)
Hamoraon dalam Hita Batak Jilid 1
Dalam buku Hita Batak Jilid 1 karya jurnalis senior, Drs. Ch. Robin Simanullang, Hamoraon dijelaskan sebagai bagian dari struktur nilai Batak yang berdampingan erat dengan Hagabeon dan Hasangapon. Kekayaan bukanlah puncak pencapaian, melainkan satu dari tiga pilar kehidupan Batak yang harus dijalani secara seimbang. Buku ini menekankan bahwa Hamoraon tidak seharusnya berdiri sendiri, ia hanya bermakna ketika memperkuat keberlanjutan dan kehormatan hidup.
Buku ini juga menggarisbawahi bahwa Hamoraon dalam masyarakat Batak tidak hanya diukur dari harta, tetapi juga dari kemampuan seseorang untuk menjalankan perannya dalam kehidupan sosial. Kekayaan, dalam pemahaman budaya Batak, adalah tentang kehadiran, kontribusi, dan tanggung jawab. Karena itu, orang yang marhamoraon bukan semata yang kaya, tetapi yang memberi dampak dan dihargai karena perannya.
Yang menarik, buku ini tidak ragu menyoroti distorsi yang terjadi dalam praktik hari ini: ketika kekayaan menjadi alat dominasi, bukan penguatan nilai. Itulah sebabnya, Hita Batak Jilid 1 mengajak pembacanya untuk kembali membaca Hamoraon secara utuh, bukan sekadar status, melainkan panggilan untuk memperluas ruang hidup bersama.