Pancasila: Antara Ada dan Tiada
Dihapalkan tapi tidak Dihayati

Pancasila sering disebut ketika kita ingin terlihat benar, terlihat peduli pada falsafah negara. Tapi saat kita memilih diam atas ketidakadilan, membenarkan diskriminasi, dan membiarkan intoleransi, saat itulah kita membuktikan: menghafal tidak sama dengan memahami.
Selamat Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2025. Semoga lima sila itu bukan hanya tetap kita hafal, tapi juga kita hayati dan jalani bersama.
Setiap hari Senin, anak-anak sekolah berdiri rapi di lapangan. Lagu kebangsaan dikumandangkan, tangan terangkat memberi hormat, lalu Pancasila dibacakan bersama. Lima sila diucapkan dengan lancar karena sudah dihafal sejak kecil. Tapi setelah itu, semua kembali ke rutinitas. Tak ada jaminan bahwa yang diucap tadi akan terbawa masuk ke ruang kelas, ke rumah, atau ke hidup sehari-hari.
Pancasila masih ada, di dinding, di buku pelajaran, di pembukaan undang-undang, di sambutan pejabat. Ia hadir secara fisik, administratif. Tapi makin hari, kehadirannya terasa makin jauh dari kehidupan nyata. Ia ada, tapi seperti tiada. Dihafalkan, tapi tidak dihayati.
Apa yang dulu dirumuskan sebagai dasar hidup bersama, kini lebih sering tampil sebagai simbol. Ia disebut dalam upacara, dikutip dalam pidato, tapi tak mengikat perilaku. Seperti nama yang kita sebut karena kewajiban, bukan karena keyakinan. Kita tahu kapan harus menyebutnya, di mana harus memajangnya, tapi jarang bertanya apakah kita sungguh menghayatinya.
Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita mengaku menjunjung tinggi kebebasan beragama, tapi kenyataannya masih banyak kelompok yang keyakinannya tidak sesuai arus utama dipersulit. Izin rumah ibadah bisa ditolak karena tekanan massa. Orang bisa diusir dari kampung karena dianggap “tidak satu iman.” Bahkan, ajaran yang tak dianggap “resmi” sering langsung dicap sesat, disimpulkan menyesatkan umat. Nama Tuhan sering dipakai bukan untuk menyatukan, tapi untuk menekan. Untuk menyaring siapa yang layak diakui dan siapa yang harus ditepikan. Di negeri yang mestinya menjamin keyakinan, keberagaman justru kerap dibatasi atas nama ketuhanan.
Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan hari ini, sayangnya, sering datang dengan syarat. Kita lebih mudah peduli pada mereka yang dekat secara agama, suku, atau kelas sosial. Jika ada korban dari golongan sendiri, kita cepat tergerak. Tapi kalau dari kelompok yang berbeda, empati bisa menunggu. Orang miskin dianggap malas. Orang kaya selalu dianggap benar. Kita melihat siapa dulu yang menderita, baru kemudian menentukan apakah pantas ditolong. Dalam tragedi sosial, suara korban bisa diabaikan jika tidak punya akses media atau jejaring. Kemanusiaan jadi selektif. Adab tergantung siapa lawan bicaranya.
Sila ketiga: Persatuan Indonesia. Persatuan yang ideal bukan menyamakan semua orang, tapi mampu hidup bersama dalam perbedaan. Tapi sekarang, perbedaan pendapat bisa langsung dicurigai. Pilihan politik yang tak sama dianggap ancaman. Kritik pada pemerintah bisa dilabeli “anti-NKRI”, “perusak stabilitas”, atau “membahayakan persatuan”. Bahkan dari mulut pejabat sendiri, narasi semacam itu kerap dilontarkan. Padahal dalam negara demokrasi, persatuan tak mungkin dibangun dari keseragaman pikiran. Ia butuh ruang bagi ketidaksepakatan yang sehat. Tanpa itu, yang tumbuh bukanlah persatuan, melainkan pembungkaman.
Sila keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Di atas kertas, kita punya wakil rakyat dan mekanisme musyawarah. Tapi dalam praktiknya, keputusan sering datang dari atas, dengan proses yang tertutup. Undang-undang bisa disusun diam-diam, disahkan tengah malam, atau diloloskan tanpa cukup konsultasi publik. Protes ditanggapi dengan minim respons. Saat rakyat bicara, pemerintah bisa menutup telinga. Demokrasi jadi prosedural saja, tanpa substansi. Warga negara kehilangan ruang untuk didengar. Padahal musyawarah bukan soal jumlah suara, tapi soal memberi tempat bagi yang kecil agar tak tenggelam. Di setiap dokumen resmi, ia dicantumkan. Tapi di balik meja-meja rapat yang menentukan nasib banyak orang, nilainya jarang dijadikan dasar.
Sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini mungkin sila yang paling sering diulang dalam pidato, tapi paling jarang terlihat hasilnya. Sumber daya masih dikuasai segelintir orang. Proyek-proyek besar menguntungkan para pemilik modal. Korupsi merajalela. Pejabat memperkaya diri, sementara rakyat dicekoki bantuan sosial yang dibungkus pencitraan. Kesenjangan ekonomi makin lebar. Pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan terbaik hanya bisa diakses mereka yang mampu. Sementara masyarakat kecil sibuk bertahan, pemerintah sibuk membagi pencapaian di media. Keadilan sosial jadi topeng. Isinya ketimpangan.
Lalu kita bertanya: apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dasar negara yang mestinya jadi arah hidup bersama justru terasa makin jauh dari kenyataan?
Jawabannya mungkin sederhana: Pancasila kini lebih sering jadi simbol daripada nilai. Ia dibacakan, dicetak, dipajang, tapi tak dibawa masuk ke dalam cara kita berpikir dan bertindak. Ia tidak dijadikan kaca untuk melihat kembali keputusan, baik sebagai warga, pemimpin, maupun lembaga. Ia disakralkan dalam upacara, tapi diabaikan dalam kebijakan. Di sekolah, Pancasila jadi hafalan. Di lembaga publik, hanya jadi sambutan. Tapi dalam tindakan sehari-hari, ia absen.
Dan ketika nilai tak lagi dijalankan, ia kehilangan makna.
Pancasila tak pernah benar-benar pergi. Ia masih tergantung di ruang-ruang resmi, disebut dalam forum formal, dimasukkan dalam kurikulum. Tapi ia makin jarang hadir di ruang yang lebih penting: ruang batin, ruang pikiran, ruang tindakan.
Ia tidak hilang.
Ia hanya tak kita jalani.
Ia hanya berdiri diam di dinding, menonton.
(Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)