Reorientasi BIN dan Penguatan Otoritas Sipil

Awal Reformasi bergema kehendak kuat untuk memulai pemerintahan demokrasi setelah terlepas dari cengkeraman pemerintahan otoriter selama 32 tahun. Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid melakukan reorientasi fungsi BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) tidak lagi hanya berfungsi koordinasi Intelijen Negara melainkan diperluas menjadi institusi pelaku utama Intelijen Negara. Reorientasi fungsi BAKIN tersebut juga sekaligus bertujuan untuk menguatkan otoritas sipil dalam pembenahan sektor keamanan di Indonesia. Perluasan kewenangan BAKIN dipertegas pula dengan likuidasi Bokorstanas dan Lembaga Litsus pada tahun 2000 dengan mencabut regulasi yang mendasari pembentukan Bakorstanas dan Litsus tersebut, yaitu Keppres No.29/1988 dan Keppres No.16/1990.[1]
Penguatan reorientasi fungsi BIN dilanjutkan secara signifikan setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid pada 23 Juli 2001, dengan mengganti nama BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) menjadi BIN (Badan Intelijen Negara) melalui Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001.[2] Perubahan nomenklatur ini secara resmi bendampak signifikan pada tugas, fungsi dan kewenangan BIN yang bukan lagi hanya sebagai koordinasi Intelijen Negara melainkan diperluas menjadi institusi utama Intelijen Negara yang melakukan tugas-tugas intelijen di dalam dan luar negeri sebagai lini pertama keamanan nasional.
Presiden Megawati mengangkat Letnan Jenderal TNI (P) Abdullah Mahmud Hendropriyono sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan memasukkannya dalam jajaran pejabat tinggi negara non kementerian di Kabinet Gotong Royong periode 2001-2004. Posisinya setingkat menteri seperti Panglima TNI dan Kapolri yang pengangkatannya mesti melalui proses uji kelayakan di DPR. Saat itu BIN dibenahi, antara lain, dengan pembentukan Dewan Analis Strategis (DAS) BIN, Sumpah Intelijen, Mars Intelijen, menetapkan hari lahir BIN, mencipta Logo dan Pataka BIN, juga menggagas dan mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Sentul, Bogor, serta membangun tugu Soekarno-Hatta di Kantor Pusat BIN.
Sarah Nuraini Siregar (2022) menarasikan, berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dimulainya pemerintahan demokrasi di era Reformasi mendorong evaluasi menyeluruh terhadap seluruh tatanan kehidupan sosial politik. Salah satunya adalah evaluasi terhadap intelijen. Hal ini karena pada masa Orde Baru, fungsi intelijen diarahkan pada kepentingan penguasa semata serta penguatan seluruh aspek yang menguatkan rezim otoriter. Peran dan aktivitas intelijen dirancang untuk kepentingan loyalitas kepada penguasa. Evaluasi terhadap intelijen dimaksudkan agar intelijen tidak lagi digunakan sebagai instrumen politik kekuasaan, melainkan sebagai intelijen yang profesional. Konsep profesionalisme menjadi tolok ukur dalam melihat bagaimana perjalanan upaya depolitisasi intelijen untuk mencapai sebagai intelijen yang profesional pada masa pasca Orba ini. Upaya tersebut dapat dilihat melalui beberapa kebijakan dan instrumen yang diterapkan oleh merintah pasca Orde Baru.[3]
Pada masa pemerintahan Megawati, Indonesia masih menghadapi krisis multidimensional. Berbagai kebijakan mendasar dilakukan untuk mengatasinya, di antaranya, membangun tatanan politik, hukum, pertahanan dan keamanan yang baru dengan mengamendemen UUD 1945 dan mengeluarkan berbagai peraturan perundangan turunannya sesuai amanat konstitusi tersebut. Beberapa kebijakan penerapan tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Presiden paska-reformasi (Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid). Antara lain, sistem partai baru (multipartai dari sebelumnya hanya ada dua partai politik dan satu Golongan Karya); Sistem pemilu baru yang selain Luber juga Jurdil (jujur dan adil); Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung (sebelumnya dipilih perwakilan MPR); dan, Penataan sistem pertahanan dan keamanan, di antaranya pemisahan kelembagaan TNI dan Polri, serta penataan Intelijen Negara sebagai lini pertama keamanan nasional.
Dalam kata lebih sederhana, penataan sistem pertahanan dan keamanan nasional sejalan dengan penataan sistem kenegaraan yang demokratis (demokratisasi). Demokratisasi (penataan demokrasi) yang dilakukan dengan penataan hukum, di antaranya: Merumuskan konsep reformasi hukum dengan mengkaji perundangan yang berlaku, merevisi, dan memperbaruinya; Menerbitkan sejumlah ketentuan perundangan baru; Memperbarui ketentuan perundangan untuk mengoptimalkan peran dan fungsi lembaga-lembaga kenegaraan; Menerbitkan UU KPK; UU Antiteroris, UU TNI dan Polri, dan, Menerbitkan perundangan tentang hak asasi manusia (HAM).
Ketika itu, sejak Mei 1998, negara sedang berada pada masa transisi yang sangat krusial di mana masyarakat menuntut perubahan (reformasi) yang begitu cepat. Tuntutan tersebut ibarat gelombang pasang dahsyat yang harus segera difasilitasi secara hukum agar reformasi tidak kebablasan dan tidak menggulung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penataan tuntutan reformasi dimaksimalkan sejak pemerintahan Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid hingga Presiden Megawati untuk mengantisipasi perubahan yang liar dan dahsyat dalam sejarah RI itu. Pemerintahan yang tengah berada dalam pusaran tekanan perubahan dan tarikan aspirasi masyarakat yang menghendaki negara segera keluar dari cengkeraman rezim Orde Baru yang mereka cap otoriter dan sarat KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) serta pekat dengan penindasan dan pelanggaran hukum dan HAM. Masalah pelik yang dihadapi saat itu, bagaimana menampung tuntutan perubahan yang sarat pelbagai kepentingan, tetapi tetap dalam lingkup kendali hukum agar aspirasi reformasi mengalir dengan tertib.
Pemerintah dibebani keinginan, bagaimana memberi payung hukum kepada aparat keamanan agar mereka mampu mengendalikan ketertiban, tetapi tidak dituding dan digiring ke arah pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Sebab reformasi yang tengah bergulir mengalirkan isu-isu utama pemberantasan KKN, demokratisasi dan pelanggaran HAM. Pemerintah berkewajiban untuk menerbitkan UU yang memberi payung hukum kepada aparat keamanan negara – Polri ketika itu masih menyatu dengan TNI (ABRI) – agar TNI dan Polri, serta Intelijen Negara yang saat itu menjadi sasaran reformasi tidak hanyut tergilas dalam arus utama perubahan itu. Sebagai sebuah gambaran situasi saat itu. Bisa dibayangkan bagaimana sebuah negara bisa mampu tegak berdiri dengan aparat keamanan yang sedang dihujat oleh rakyatnya sendiri. Maka berbarengan dengan itu, pemerintah menerbitkan UU tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat di Depan Umum, yang awalnya diterbitkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang kemudian disahkan DPR menjadi UU, terbukti UU tersebut mampu meredam gejolak reformasi yang hampir menggulung NKRI.[4]
Damien Kingsbury (2003) dalam Power Politics and the Indonesian Military menarasikan, BIN dan para pendahulunya sejak tahun 1966 dipimpin dan sebagian besar dikelola oleh perwira militer, meskipun para pendahulunya selama beberapa tahun secara formal kurang berpengaruh secara politik sebagai organisasi intelijen. Letnan Jenderal Agus Widjojo (2001) mengatakan bahwa meskipun TNI tidak secara eksplisit mempengaruhi proses pengambilan keputusan Megawati, baik Hendropriyono maupun Agum Gumelar telah bertindak sebagai jembatan antara kelompok perwira senior TNI dan presiden. Selain itu, dan yang sama pentingnya, terlepas dari pengaruh aktifnya dalam Kabinet, BIN dan TNI hanya menerima sedikit arahan formal dari Presiden Megawati, dan diperbolehkan untuk melaksanakan agenda-agenda yang telah mereka tentukan sendiri tanpa campur tangan presiden.[5]
Damien Kingsbury mengungkapkan, pertemuan-pertemuan para jenderal di awal tahun 2001 yang secara eksplisit menentang kelanjutan kepemimpinan Abdurrahman Wahid juga secara eksplisit mendukung kepemimpinan Megawati kemudian, yang memiliki keprihatinan yang sama. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid akan memberlakukan darurat militer, penolakan elit militer saat itu membuka jalan bagi Megawati untuk menjadi presiden. Seorang jenderal tertinggi Angkatan Darat pada saat itu mengatakan, mengharapkan TNI memainkan peran sebagai penasihat Megawati sebagai presiden. Meskipun ia mengatakan bahwa TNI hanya akan bertindak berdasarkan perintah pemimpin politik sipil di Indonesia, ‘tindakan tegas adalah pilihan terakhir jika integrasi negara terancam—masyarakat Indonesia masih bergantung pada kepemimpinan yang kuat — karena masyarakat sipil belum cukup matang.[6]
Marcus Mietzner pun mengatakan, tingginya tingkat konflik politik di kalangan elit telah menghambat kemajuan yang signifikan dalam sektor-sektor utama reformasi kelembagaan, hukum dan militer, dan permasalahan ketidakpuasan daerah yang diwariskan oleh Orde Baru masih belum terselesaikan. Komitmen untuk mengatasi isu-isu mendasar mengenai perubahan konstitusi telah berada di bawah fokus utama perebutan kekuasaan intra-elit – yaitu kelangsungan hidup politik presiden. Tanpa reformasi sistem ketatanegaraan dan tatanan yang jelas dalam hubungan antarlembaga negara, instabilitas politik akan tetap menjadi fenomena yang terlembaga. Kekacauan politik yang terlembaga ini pada gilirannya merupakan hambatan terbesar terhadap pemulihan ekonomi dan mengaburkan prospek demokratisasi lebih lanjut di Indonesia.[7]
Grayson J. Lloyd dan Shannon L. Smith dalam Pemikiran Sejarah Indonesia (2001) menyebut, adanya anggapan kompleksitas permasalahan Indonesia dapat diselesaikan dengan mudah, maka hal tersebut merupakan kesalahan dalam memahami sifat Indonesia dan kompleksitas, paradoks, dan keragaman yang tidak terbatas, dan kapasitas untuk perubahan ideologis dan intelektual dalam sejarahnya.[8]
M.C. Ricklefs (2001) dalam Indonesian Views of the Future menyebut, bangsa dan rakyat Indonesia merupakan sebuah kanvas yang begitu besar dan tidak dapat diakses konstruksi yang dipaksakan oleh pihak ‘Barat’. Ricklefs mengatakan, kajian terhadap pandangan masa depan Indonesia dari sudut pandang sejarah memunculkan beberapa tema yang berulang. Yang menonjol di antaranya adalah (1) keyakinan bahwa masa lalu lebih baik daripada masa kini dan bahwa masa depan yang lebih baik harus menghidupkan kembali manfaat masa lalu yang diidealkan; (2) perselisihan yang sering terjadi dan terkadang disertai kekerasan mengenai bagaimana masa depan yang lebih baik dapat dicapai; dan (3) kegagalan kelompok kepemimpinan berturut-turut dalam mewujudkan masa depan lebih baik yang mereka janjikan.[9]
Secara tidak langsung menyikapi apa yang dikemukakan Damien Kingsbury, Marcus Mietzner, M.C. Ricklefs, Grayson J. Lloyd dan Shannon L. Smith di atas, Kepala BIN Budi Gunawan sesaat setelah dilantik Presiden Jokowi sebagai Kepala BIN, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (9/9/2016) petang berkomitmen akan menjawab kepercayaan, amanah, dan tanggung jawab dengan pengabdian yang terbaik dengan beberapa program, di antaranya program penguatan kemampuan dan peran BIN, agar BIN semakin profesional, obyektif, dan semakin berintegritas.
Perihal reorientasi fungsi dan penguatan sipil di BIN, Budi Gunawan menjelaskan, bahwa BIN terdiri dari berbagai unsur, yakni unsur TNI, Polri, maupun sipil dari ragam latar belakang. Dia menjelaskan, ada beberapa fungsi intelijen di Indonesia ini. Pertama BIN yang bertugas menyelenggarakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri. Kemudian juga intelijen TNI di bidang pertahanan dan juga kemiliteran, intelijen hukum yang dilaksanakan oleh Kejaksaan, intelijen keamanan oleh Polri, kemudian intelijen yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga maupun non Kementerian/Lembaga. Semua unsur itu saling mewarnai. “Sedangkan BIN mempunyai satu tugas tambahan yaitu harus mengkoordinir, mengkoordinir semua penyelenggara fungsi intelijen negara yang lain,” jelas Budi Gunawan.
Kepala BIN Budi Gunawan ketika itu juga menegaskan akan berupaya untuk memajukan BIN dan mengisinya dengan sumber daya manusia yang betul-betul superspesialis, sebagaimana harapan semuanya. “Orang-orang yang betul-betul berkompeten di bidang intelijen, sesuai dengan sifat penugasan yang memang selalu undercover, di bawah permukaan,” kata Budi Gunawan.[10]
Sementara, Direktur Lembaga Imparsial Al Araf mengatakan, penunjukan Komjen Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) oleh Presiden Jokowi sudah tepat. Alasannya, BIN adalah lembaga intelijen sipil maka yang terpenting bagi Presiden adalah menunjuk Kepala BIN yang berasal dari sipil. Agenda sipilisasi BIN menjadi penting untuk memastikan reformasi intelijen. “Mengingat Pak Budi Gunawan adalah orang sipil maka tentu ada harapan agar beliau dapat mereformasi BIN dengan melakukan penguatan kapasitas menjadi intelijen sipil yang profesional,” tutur Al Araf, Sabtu (3/9/2016).
Menurut Al Araf, dua faktor yang dapat mempengaruhi intelijen menjadi profesional sehingga dapat mengantisipasi ancaman. Pertama, memastikan bahwa human intelijen atau sumber daya manusia intelijen harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik. Untuk itu pembangunan sumber daya manusia intelijen perlu dibangun untuk memastikan seluruh agen intelijen merupakan aset yang profesional guna menangkal ancaman. Dengan demikian perlu ada pembangunan yang serius untuk meningkatkan SDM intelijen yang profesional mulai dari sistem perekruitan, pendidikan, sistem reward dan punishment yang baik. Kedua, memastikan agar teknologi intelijen benar-benar modern sehingga bisa menunjang kapasitas agen intelijen. Dalam dunia globalisasi seperti sekarang, teknologi intelijen sangat penentu dalam mengantisipasi ancaman. Kemudian, koordinasi antar kelembagaan yang efektif terutama dengan aparat pengak hukum untuk mengatasi ancaman.[11]
Ketua Setara Institute Hendardi juga berpandangan, kepala BIN tidak harus berasal dari kalangan militer ataupun pensiunan militer, intinya menguasai dunia intelijen dan tantangannya. “Melihat tantangan di dunia intelijen sekarang, kepala BIN tidak mesti berasal dari militer atau pensiunan militer. Kepala BIN juga bisa berasal dari kalangan sipil dan intelijen profesional,” ujar Hendardi Rabu (5/11/2/2014). Menurutnya, tantangan intelijen sekarang tidak hanya terkait militer, tapi tantangan untuk intelijen berkembang lebih kepada cyber crime, sehingga BIN harus mengetahui perkembangan teknologi dan informasi global dan hal-hal lain yang terkait, memahami kondisi pasar, dan juga terkait dengan kondisi keuangan.[12]
Hal senada dikemukakan peneliti Para Syndicate Fahri Huseinsyah. Dia menekankan pentingnya peningkatan pendekatan civil dalam operasi-operasi BIN. Menurut Fahri, persoalan yang dihadapi bangsa sudah masuk pada masalah-masalah yang semakin kompleks. Sehingga diperlukan langkah penanganan yang lebih humanis. Maka BIN harus memperkuat posisinya. Reform ke arah pendekatan yang civil bukan hanya meletakkan pada pendekatan militeristik. Menurut Fahri, pendekatan militer sudah tak manjur lagi untuk menyelesaikan persoalan masyarakat. Militerilistik tak bisa mengatasi persoalan yang kekinian.[13]
Peneliti dan pengamat intelijen sebelum menjabat Direktur Komunikasi dan Informasi BIN dan kemudian menjadi Deputi VII BIN, Wawan H. Purwanto berpandangan, tidak bisa menyoroti persoalan satu aspek saja dalam fungsi intelijen. Menurut Wawan, selain aspek-aspek ekonomi dan lainnya, ancaman ideologi menjadi ancaman yang paling serius bagi kinerja BIN ke depannya. Pasalnya, semua sektor baik ekonomi, sosial jendelanya masuk melalui serangan ideologi. Tentu ancaman pertahanan dan keamanan menjadi hal paling utama. Wawan melihat, serangan secara ideologis sangat massif sekali ke dalam. Ancaman ini akan membuat ideologi Pancasila harus mendapat porsi maksimal dalam kerja BIN. “Dibidang ideologi karut-marut kepentingan masuk ke kita. Ideologi Pancasila dipertaruhkan karena berhadapan dengan masuknya ideologi lain yang memporakporanda. Kiri (ideologi) udah mulai masuk, kanan juga aksi teror kan menyuarakan ideologi kanan,” ungkap Wawan.
Selain itu, dalam panggung politik internasional, Indonesia dianggap ancaman serius bagi negara luar. Sehingga serangan-serangan untuk menunggangi ideologi Pancasila semakin kentara. Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia akan menjadi menarik bagi negara luar sehingga ini akan terus digoyang melalui sektor ideologi. “Belum lagi politik internasional yang bermain di air keruh memainkan peran yang cukup krusial di Indonesia,” kata Wawan.[14]
Bercermin dari berbagai pandangan di atas, jika mengamati dengan seksama apa yang telah dilakukan Budi Gunawan selama menjabat sebagai Kepala BIN selama lebih sewindu sejak 9 September 2016, telah melakukan optimalisasi tugas dan fungsi Intelijen Negara dengan sangat baik, sehingga ada yang menyebutnya sebagai Tokoh Modernisasi BIN dan merupakan merupakan pejabat tinggi negara paling berpengaruh tahun 2022. BIN di bawah pimpinannya memiliki integritas dan kesetiaan tinggi kepada user tunggal Presiden, namun juga berkemampuan berbicara kebenaran yang berbeda (ungkapan Speak Truth unto Power), dengan mesti selalu berupaya bermanfaat bagi penguasa pembuat kebijakan.
Adanya kekuatiran atas kedudukan BIN dalam Struktur Pemerintahan saat ini yang dipandang berpotensi “outlier”, terjawab dengan integritas dan kesetiaan serta kemampuan menyatakan kebenaran, tanpa mengkuatirkannya secara berlebihan. Justru menjadi sangat berbahaya jika BIN berkedudukan di luar struktur pemerintahan (eksekutif). Sama berbahayanya jika TNI berada di luar struktur pemerintahan (eksekutif). Yang sangat diperlukan adalah optimalisasi profesionalisme BIN dan TNI sebagai lini pertama dan garda terdepan keamanan nasional di bawah otoritas penguasa (pemerintahan) sipil sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang relevan.
Penulis: Ch. Robin Simanullang, Wartawan TokohIndonesia.com
Bersambung: BIN Tidak Netral Secara Ideologis
Klik: Artikel INTELIJEN terkait
Footnotes:
[1] Siregar, Sarah Nuraini, 2022. Politisasi dan Depolitisasi Intelijen di Indonesia. Dalam Haripin, Muhamad, (ed.), 2022. Membangun Intelijen Profesional di Indonesia, Menangkal Ancaman, Menjaga Kebebasan. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, h. 129.
[2] Sejak didirikan pada 7 Mei 1946, lembaga intelijen negara ini sudah enam kali berganti nama. Mulai dari Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani), Badan Koordinasi Intelijen (BKI), dan Badan Pusat Intelijen (BPI), Komando Intelijen Negara (KIN), Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), hingga menjadi Badan Intelijen Negara (BIN).
[3] Siregar, Sarah Nuraini, 2022. Politisasi dan Depolitisasi Intelijen di Indonesia, h. 128-129.
[4] Simanullang, Ch. Robin, 2014. Biografi Hukum Romli Atmasasmita: Jalan Keadilan di Tengah Kezaliman. Jakarta: Pustaka Tokoh Indonesia, h. 64.
[5] Kingsbury, Damien, 2003. Power Politics and the Indonesian Military. London – New York: RoutledgeCurzon, p.240
[6] Kingsbury, Damien, 2003. Power Politics and the Indonesian Military, p.241-242
[7] Mietzner, Marcus, 2001. Abdurrahman’s Indonesia: Political Conflict and Institutional Crisis; in Indonesia Today: Challenges of History; Editors: Grayson Lloyd and Shannon L Smith. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, p. 43.
[8] Lloyd, Grayson J. and Shannon L. Smith, 2001. Thoughts on Indonesian History; in Indonesia Today: Challenges of History; Editors: Grayson Lloyd and Shannon L Smith. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, p. 2.
[9] Ricklefs, M.C., 2001. Indonesian Views of the Future; in Indonesia Today: Challenges of History; Editors: Grayson Lloyd and Shannon L Smith. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, p. 234.
[10] Setkab.go.id, 09/09/2016. Budi Gunawan Akan Kuatkan Peran BIN Agar Semakin Profesional dan Berintegritas. https://setkab.go.id/budi-gunawan-akan-kuatkan-peran-bin-agar-semakin-profesional-dan-berintegritas/
[11] Okezone.com. 03/09/2016. Dua Hal Positif Jika Budi Gunawan Jadi Kepala BIN. https://nasional.okezone.com/read/2016/09/03/337/1480586/dua-hal-positif-jika-budi-gunawan-jadi-kepala-bin
[12] Investor.id, 05/11/2014. Kepala BIN Mendatang Sebaiknya dari Masyarakat Sipil. https://investor.id/national/99206/kepala-bin-mendatang-sebaiknya-dari-masyarakat-sipil
[13] Gresnews.com, 10/09/2016. Peluang Reorientasi BIN Dalam Genggaman Budi Gunawan. https://www.gresnews.com/berita/politik/110143-peluang-reorientasi-bin-dalam-genggaman-budi-gunawan/
[14] Gresnews.com, 10/09/2016. Peluang Reorientasi BIN Dalam Genggaman Budi, Ibid.