Api yang Tak Kunjung Padam

Roeslan Abdulgani
 
0
443
Roeslan Abdulgani
Roeslan Abdulgani | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Ia dikenal sebagai tokoh penting bagi terselenggaranya Konferensi Asia – Afrika di Bandung, 1955. Jiwa nasionalismenya tak lekang dimakan usia, laksana api yang tak kunjung padam. Dia selalu memimpikan dapat melihat dunia yang benar-benar damai.

Hari-hari terakhir Cak Roes, demikian Roeslan Abdulgani disapa, tidak berubah. Setiap pagi ia masih menyempatkan pergi ke kantornya di gedung BP-7 di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Di saat senggang, dia masih suka jalan-jalan, membaca, dan mendengarkan musik klasik. Ia juga masih melakukan suka mencatat intisari dari setiap buku yang dibacanya.

Namun, Tuhan jua yang menentukan kehendak-Nya. Cak Roes dipanggil keharibaan-Nya pada Rabu, 29 Juni 2005, pukul 10.20 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta. Jenazahnya kemudian disemayamkan di kediaman Jalan Diponegoro sebelum dimakamkan pada Kamis, (30/6) di TMP Kalibata.

Kepergian Cak Roes adalah kehilangan yang sangat besar bagi bangsa ini. Dalam usianya yang akan 91 tahun pada tanggal 24 November nanti, kondisi kesehatan Dr Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, dan tokoh yang menduduki berbagai posisi penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini, memang sering mengalami gangguan.

Berkat olahjiwa yang dilakukannya secara intensif 20 tahun terakhir ini yang membuatnya panjang usia. Menurut pengakuan mantan Menteri Luar Negeri era Soekarno ini, olahjiwa membuatnya selalu ingat, “Kalau Tuhan memanjangkan usiamu, harus disadari, kekuatanmu akan dikurangi. Tapi tidak pikiran dan cita-citamu”.

“Ibu saya selalu mengingatkan Surat Yassin Ayat 68 yang saya tafsirkan seperti itu,” sambung Cak Roeslan.

Tubuh adalah gambaran paling nyata dari ketidakabadian. Semakin tua, kondisi fisik-biologis secara alamiah akan menurun. Akan tetapi, Sophocles yang menulis karya besarnya, Oedipus, ketika berusia lebih dari 80 tahun dan Goethe yang menyelesaikan Faust setelah berusia 80 tahun, setidaknya membuktikan bahwa usia tidak begitu saja melapukkan pikiran, semangat, dan cita-cita.

“Sebab usia adalah kesempatan itu sendiri; sebagaimana kemudaan, meski dalam busana lain. Tatkala senja berlalu, langit dipenuhi bintang yang tak terlihat di siang hari,” begitu terjemahan bebas dari kutipan Henry Wadworth Longfellow yang ia pegang. “For age is opportunity no less/ Than youth itself, though in another dress. And as evening twilight fades away/ The sky is filled with stars, invisible by day…”

Pada Seminar Asia Afrika di Kairo, Mesir, 1985, ia mewakili Indonesia. Selain menyampaikan makalahnya, The Spirit of Bandung, Regional Association and International Organization, ia juga menyerahkan Deklarasi Peringatan 30 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Peringatan ini diselenggarakan beberapa hari sebelum seminar itu berlangsung.

Dia selalu memimpikan dapat melihat dunia yang benar-benar damai. Kendati dia sadari impian itu sulit terwujud. Mantan Sekjen KAA I ini pensiun dari pegawai negeri sejak 1972. Tampaknya dia berhasil menenggang apa yang disebutnya perasaan sepuh (tua), sepi (menyendiri), sepo (hambar), dan sepah (terbuang). Walaupun diakui bahwa dia pernah mengalami post-power syndrome — sindrom purna-kuasa.

Advertisement

Tetapi, enam bulan menjalani pensiun, mantan Menlu RI (1956) ini diundang memberikan kuliah di Universitas Monash, Australia. Tiga bulan Cak Roes di sana. Kemudian ia ke Negeri Belanda, atas undangan Pangeran Bernhard, enam bulan mengadakan riset tentang arsip dan dokumentasi. Oleh markas Unesco di Paris, ia kemudian diminta menjadi konsultan di bidang komunikasi massa dan kebudayaan. Bekas Dubes RI di PBB ini menerima gelar doctor honoris causa dari Unpad, Unair, dan IAIN Sunan Kalijaga.

Semua kegiatannya dianggapnya telah memberi kepuasan intelektual. Namun, ia tetap merasa prihatin mengingat tenaga dan daya pikirnya mengalami proses menua. Ia berharap agar generasi muda sebagai penerus, belajar lebih baik lagi. Apalagi, menurut dia, menghadapi tantangan dunia yang kian berat.

Hidup ikhlas
Anak keempat dari lima bersaudara ini mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi orang penting. Toh, kenyataannya dia masih dipercaya memegang jabatan cukup penting. Antara lain sebagai Ketua Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-7), pada era Soeharto.

Pada masa remajanya, Cak Roes pernah ingin menjadi militer. Gagal, sebab di zaman Belanda akademi militer hanya terbuka bagi anak priyayi, ia lalu masuk sekolah guru. Dikeluarkan karena anggota Indonesia Muda, ia juga tiga kali ditangkap Belanda, lantaran ketahuan mengikuti dan meneruskan cita-cita ayahnya, Almarhum Haji Abdulgani, yang saat itu termasuk tokoh Sarekat Dagang Islam.

Trauma sewaktu tertembak Belanda tanggal 19 Desember tahun 1948 di Yogya sesekali masih dirasakannya. Lukanya parah. Operasinya berkali-kali. Luka-luka akibat tembakan itu meninggalkan cacat. Jari tangan kanannya hanya tiga, bentuknya tidak normal. Ingatan akan situasi perang kemerdekaan seperti film yang diputar berulang-ulang. Selain trauma, dia juga sering merasakan eforia. Eforia yang sering datang berkaitan dengan perasaan sukacita ketika Indonesia merdeka.

Lingkungan pergerakanlah yang membentuk pribadi bekas tokoh PNI ini sampai akhir hayatnya. Ia pernah menjadi Ketua IV DPP PNI, ketika ketua umumnya Almarhum Ali Sastroamidjojo. Pada 1960-an, di AD ia pernah diangkat sebagai jenderal berbintang empat, suatu “kepangkatan politis.

Cak Roes menjalani hidupnya dengan ikhlas, karena hidup ini sebenarnya sebuah lakon. “Kita nglakoni lakon kita masing-masing. Karena itu sehabis sholat saya selalu bertanya, mengapa Tuhan memberi saya umur panjang. Banyak yang lebih muda sudah lebih dulu pulang.”

Suatu hari, ia pernah bertanya kepada Presiden Corry Aquino, apakah ia pernah berpikir suatu saat akan menjadi Presiden Filipina. Cak Roes mengenal Ninoy Aquino, suami Corry di PBB. Jawaban Corry menurutnya sangat bagus. Katanya, “Pak Roeslan, Tuhan punya rencana atas semua manusia. Terpulang pada setiap orang bagaimana menemukan jawaban dari rencana Tuhan itu.”

Pengaruh orangtua dan guru
Ibunya, Siti Moerad, wafat tahun 1964 pada usia 90-an. Ibunya yang selalu mengatakan bahwa menjadi sepuh (tua) itu sepi karena tidak banyak yang mengunjungi lagi. Kalau sepi lalu sepa (hambar), dan setelah itu lalu jadi sepah (ampas). Cak Roes jangan sampai seperti itu. Jadi, sebagai orang yang sudah tua, Cak Roes pun tahu diri. Ia pun minggir sebelum dipinggirkan orang.

Cak Roes senang mengutip puisi karya penyair Belanda, Henriette Roland Holst yang menggambarkan tentang usia tua: “Mengapa engkau hanya bernyanyi untuk bunga-bunga di musim semi? Bukankah daun-daun yang jatuh pada musim gugur akan menjadi penyubur bagi bunga di musim semi?” Menurut Cak Roeslan, orang tua jangan dilupakan. Ia adalah pupuk bagi generasi berikutnya.

Ia juga selalu ingat ucapan gurunya, Jan Ligthard. Menurut gurunya itu, “jadikan anak-anakmu berjiwa semerah matahari terbit. Ia harus berani hidup, berani menghadapi tantangan karena hidup ini perjuangan. Ada pasang, ada surut. Jangan takut pada kesulitan.”

Cak Roes pun menambahi ucapan gurunya itu, bahwa matahari yang tenggelam juga tak kalah indah merahnya dari matahari terbit. Ia mengimbau agar generasi muda sebagai matahari terbit dan generasi tua sebagai matahari tenggelam, membuat dunia menjadi indah dengan berlomba berbuat kebaikan kepada sesama, tanpa membeda-bedakan, karena semua ini ciptaan-Nya.

Ada satu kutipan favorit Cak Roes lainnya. Life can only be understood backward, but should be lived forward. Itu kata Kierkegaard. Hidup hanya bisa dimengerti kalau kita melihat ke belakang, melihat sejarah, tetapi harus dilakoni untuk masa depan. Jangan terbelenggu pada masa lalu. Sejarah harus membuat orang berpikir kreatif.

Ibunya juga selalu mengingatkan, hakikat hidup adalah memberi. Kalau minta ke Tuhan saja. Paring pangan marang kan kaliren, paring sandhang marang kang kawudan, paring teken marang kang kalunyon. (Memberi makan pada yang kelaparan, memberi baju pada yang telanjang, memberi tongkat pada yang berjalan di jalan yang licin). Kalunyon itu dalam arti luas. Selalu ingat pada Sang Pencipta. Kalau jalan jangan melihat ke atas saja, tetapi juga ke bawah supaya tidak tersandung. Kalau tiba di persimpangan, uluklah salam, assalamualaikum, tanya kepada-Nya, supaya tidak salah jalan.

Cak Roeslan sendiri adalah pengoleksi tongkat. Sedikitnya 200 tongkat tersimpan di ruang tamunya. Penghargaannya pada beragam agama tercermin pada koleksinya, memperlihatkan caranya beragama lebih menukik pada esensi. Tak sulit pula menangkap kesan bahwa ia seorang humanis.

Pengaruh ibunya memang sangat kuat dalam hidup Cak Roeslan. Ibunya adalah seorang guru ngaji, yang pandangan hidupnya lebih mencerminkan sinkretisme Jawa yang toleran dan memandang ritual agama sebagai kesadaran pribadi. Ketika Roeslan kecil bertanya kepada ibunya di mana sebetulnya Tuhan berada, ibunya tersenyum sambil berbisik, “Carilah di dalam sanubarimu. Karena itu, sing eling….”

Hubungan ibu dan anak itu sangat dekat, terutama setelah ia dilarang bertemu ayahnya karena sang ayah berniat menikah lagi. Ibunya adalah istri kedua ayahnya. Saudara-saudara pun Cak Roes banyak.

Ayahnya, Dulgani atau Abdulgani, adalah satu dari tiga orang kaya di Surabaya pada masa itu. Sebagai saudagar yang menjual keperluan sehari-hari – Bung Karno muda sering ngebon di toko ayahnya ketika indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya – sang ayah juga memiliki tujuh mobil Fiat yang disewakan. Ayahnya meninggal ketika Roeslan duduk dibangku sekolah lanjutan pertama. Latar belakang inilah yang membuat Cak Roeslan berseberangan pendapat dengan Bung Karno dalam soal poligami.

Meski begitu, Roeslan sangat mencintai ayah-ibunya. Merekalah yang ngotot agar Roeslan ke sekolah pemerintah saat Roeslan berusia enam tahun. Roeslan menyelesaikan HBS-B, setara dengan SMA zaman Belanda, kursus tata buku A dan B serta kursus notariat.

Jiwa nasionalismenya mulai tumbuh ketika sering diajak ayahnya berkeliling ke desa-desa untuk melihat nasib bangsanya. Sejak kecil ia sudah belajar memahami keberagaman. e-ti | rh

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

02 | Sahabat Para Pemimpin

Cak Roeslan berguru banyak hal pada Bung Karno, termasuk caranya berpidato. Namun, di depan umum Soekarno mengakui dirinya banyak belajar dari Cak Roeslan.

Suatu kali, Cak Roes pernah difitnah punya ‘simpanan’ bernama Rustini. Padahal, itu nama puterinya yang tertua. Sepanjang hidupnya, Cak Roeslan setia pada satu-satunya istri yang dinikahinya tanggal 17 Februari 1938 itu. Ketika Sihwati mulai menderita Alzheimer setelah operasi pengangkatan tumor di bagian perut tahun 1989, Cak Roes dengan setia menemani dan merawatnya. Sihwati meninggal tiga tahun lalu, saat berusia 87 tahun.

Dalam soal poligami, Cak Roes memang tak sepaham dengan Bung Karno. Namun bukan berarti hubungannya dengan presiden pertama RI itu tak dekat.

Ia tidak pernah menyesal setia pada Bung Karno. Ia dipercaya Bung Karno dan Bung Hatta, sekaligus menjadi bumper kalau terjadi ketidaksesuaian paham di antara keduanya. Namun Cak Roeslan mencatat, dua orang itu saling menghormati. Bung Hatta menghormati Bung Karno dalam soal Pancasila. Bung Karno tetap hormat pada Bung Hatta kalau menyangkut Pasal 33 UUD 45.

Hubungan Cak Roeslan dengan keluarga Bung Hatta pun cukup dekat. Meutia Hatta, puteri Bung Hatta selalu mengunjunginya. Hubungannya dengan keluarga Bung Karno sama dekatnya, khususnya dengan Megawati, sampai sebelum Mega memegang tampuk kekuasaan.

Cak Roeslan berguru banyak hal pada Bung Karno, termasuk caranya berpidato. Namun, di depan umum Soekarno mengakui dirinya seperti kebo nyusu gudhel karena merasa banyak belajar dari Cak Roeslan, yang menjelaskan Pancasila secara gamblang, mendalam, dan mampu mendefinisikan nasionalisme Soekarno.

Sampai hari ini, mantan Menteri Luar Negeri RI dan salah satu dari enam Wakil Perdana Menteri pada awal Orde Baru itu juga masih rajin menulis. Menurut Hafilia, putri bungsunya, ayahnya tidak bisa mengetik dengan komputer. Namun hal itu tidak menjadi halangan baginya. Artikel-artikelnya tersebar di media massa. Beberapa bukunya ditulis dan terbit pada tahun-tahun terakhir ini setelah sedikitnya sembilan buku mengenai sejarah politik, nasionalisme, dan perdamaian.

Di tahun-tahun terakhir hidupnya, suaranya masih keras meski terdengar semakin lemah. Begitu juga jalan dan pendengarannya. Ia tidak bisa sesering dulu turun naik ke perpustakaan pribadinya di lantai dua rumahnya. Namun sesekali ia masih melakukannya kalau Min, asistennya, tidak menemukan buku yang ia inginkan. Ia juga masih ke kantor setiap pagi di Gedung eks BP-7, Pejambon, Jakarta Pusat, bersebelahan dengan Gedung Departemen Luar Negeri, setelah kantor lamanya di Gedung Pola ‘digusur’.

Berteman dengan Pak Harto
Cak Roes masih terus membaca dan mencatat inti dari buku-buku yang dibacanya, meskipun tangannya sering gemetar. Salah satu buku yang ia baca belakangan ini adalah Bhagavat Gita. Di buku itu ia menemukan kalimat “aja rumangsa bisa, ning bisa rumangsa”; suatu filsafat Jawa tentang kerendahhatian yang pernah diucapkan Soeharto.

Setelah membaca itu, ia teringat Pak Harto. Ia pun memberikan buku itu ke Pak Harto dan menunjukkan kalimat itu. Sayangnya Pak Harto sudah tidak bisa membaca. Puteri Pak Harto, Tutut, membacakan untuk ayahnya. Buku itu seperti the Celestial Song, Nyanyian Illahi, yang dibaca banyak orang besar, seperti Mahatma Gandhi, di pertapaan mereka. Ia juga mengirimkannya ke Tommy Soeharto di LP Nusakambangan, dengan harapan putera bungsu Pak Harto itu bisa merenungkan makna hidup di sana. Tapi ketika ia menjenguknya di RSPAD, Tommy bilang buku itu sulit dibaca.

Hubungan Roeslan dengan Soeharto sejak awal memang cukup baik. Ia dipilih memimpin delegasi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1966 untuk bergabung lagi dengan organisasi itu setelah Indonesia sempat keluar tanggal 20 Januari 1965. Roeslan kemudian menjadi Kepala Perwakilan Tetap Indonesia di PBB selama empat tahun sejak tahun 1967. Di New York ia sempat belajar lagi di Hunter College dan Barnard College.

Soeharto, meski tidak mencolok, punya perhatian kepada keluarga Cak Roeslan. Waktu ia akan membayar biaya perawatan istrinya di RS Pertamina, ternyata semuanya sudah dibayar Pak Harto.

Cak Roeslan lebih sering mengunjungi Soeharto justru ketika mantan presiden kedua Indonesia itu dijauhi orang-orang yang dulu menjilatnya. Keduanya juga saling berkunjung di hari ulang tahun masing-masing. “Secara fisik Pak Harto kelihatan sehat, tetapi sebenarnya sudah banyak hal terhapus dari ingatannya. Bisa bicara saja baru belakangan, itu pun pelan sekali,” ujar Cak Roeslan suatu kali.

Apa saja yang dibicarakannya dengan Pak Harto? Menurut Cak Roes, ingatan Pak Harto sudah banyak yang hilang, terutama ingatan saat ia menjelang lengser. Jika ia coba bicara yang lain, Pak Harto hanya ingat sedikit sekali.

Cak Roes berusaha menstimulasi ingatannya. Suatu kali, ia mengingatkan Pak Harto tentang pidatonya di Pasar Klewer tahun 1971. Menurut Cak Roes, itu pidato yang hebat, tanpa teks, dan untunglah ada rekamannya. Waktu itu Pak Harto bicara mengenai tahap-tahap industri berbasis pertanian. Ia mau membuat pabrik pupuk sendiri, seperti Bung Karno membuat Pertamina. Kalau mendengar itu, menurutnya, rencana pembangunan Pak Harto sebenarnya melanjutkan yang dirintis Bung Karno.

Bagi Cak Roeslan, seperti Bung Karno, Pak Harto juga orang besar. Orang besar itu jasanya banyak, salahnya banyak. Temannya banyak, musuhnya juga banyak. Itulah realitas hidup. e-ti | rh

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

03 | Kepergian Sang Penjaga Sejarah

Kematian hanya berlaku pada raga, tidak pada roh dan jiwa. Karena itu, hiduplah yang baik karena semua yang ada di dunia ini cuma titipan.

Kedekatan Cak Roes dan Pak Harto, dua tokoh bangsa itu, akhirnya harus dipisahkan oleh takdir. Cak Roeslan lebih dulu berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa, Rabu, 29 Juni 2005.

Sebelumnya, menjelang masuk ICU hari Minggu (19/6), sampai seluruh peralatan selesai dipasang selama lebih kurang satu jam, menurut puteri Cak Roes, Wati Abdulgani, Pak Harto ditemani ajudan dan putrinya, Mamiek, menunggui Cak Roes yang sudah tidak bisa berkomunikasi.

“Bapak terlihat sangat sedih setelah pulang dari menengok Pak Roeslan,” begitu kata Mamiek seperti dikutip Wati.

Suatu hari dalam wawancara dengan sebuah media, Cak Roes pernah ditanya apa makna kematian bagi dirinya. Ya dipanggil Tuhan, jawabnya kala itu. Itu tinggal kepercayaan. Tapi kalau secara ilmiah, jiwa itu energi. Kalau manusia mati, energinya kembali ke universe yang terus recycling. Kematian hanya berlaku pada raga, tidak pada roh dan jiwa.

“Saya tidak tahu di sana nanti, hanya ibu saya selalu mengingatkan, hiduplah yang baik karena semua di dunia ini cuma titipan.”

Cak Roeslan dirawat di rumah RSPAD sejak 16 Juni 2005 karena sakit yang disebabkan faktor usia lanjut. Kondisi tokoh Konferensi Asia Afrika itu sempat berangsur-angsur pulih. Sebelumnya dia dirawap di rumah oleh puteranya dr Hafild B. Abdulgani. Sementara Tim dokter kepresidenan ditugaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu pagi, untuk ikut merawat Cak Roes.

Ia dirawat akibat keluhan penurunan kesadaran, lemas, dan sesak napas yang disebabkan infeksi di paru-paru yang memang dideritanya. Dari hasil pemeriksaan, untuk sementara waktu tim dokter sepakat menilai masalah kesehatan utama yang dialami Cak Roes adalah faktor usia lanjut. Pada Minggu pagi kondisinya sempat semakin menurun.

Namun dari hasil tes jantung, diketahui kondisi jantung Cak Roes juga masih baik. Dijelaskan bahwa sekitar bulan Februari lalu Roeslan pernah menjalani perawatan dan operasi untuk mengobati penyakit keropos tulang.

Sejumlah tokoh nasional sempat datang menjenguk Cak Roes. Selain mantan Presiden Soeharto, tampak pula Des Alwi, Jakob Oetama dan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.

Jenazah Almarhum disemayamkan di rumah duka di Jalan Diponegoro, Jakarta, dan dimakamkan Kamis pagi, 30 Juni, di TMP Kalibata. Upacara pelepasan jenazah dipimpin Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sedangkan upacara pemakaman dipimpin Menko Polhukam Widodo AS.

Sampai jauh malam, pelayat dari berbagai lapisan terus mengalir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Jusuf Kalla dan mantan Presiden Soeharto juga tampak melayat ke rumah duka Rabu siang.

“Bapak meninggal dengan tenang,” tutur Hafilia, putri bungsu Cak Roes. Ia bersama suaminya berada di samping ayahnya sampai detik terakhir. “Bapak lelah, sudah saatnya pulang,” sambung Wati Abdulgani, putri kedua Cak Roes.

Ketua Tim Dokter Kepresidenan dr Martijo Subandono kepada pers saat itu mengatakan Cak Roes meninggal karena stroke dan infeksi paru. Ia meninggalkan lima anak, 10 cucu, dan enam cicit.

Penjaga Sejarah
Cak Roes dilahirkan di Surabaya tanggal 24 November 1914. Ia menikahi Sihwati Nawangwulan. Kesetiaannya pada kehidupan perkawinan ditunjukkan dengan merawat dan mendampingi sang istri yang menderita alzheimer selama 13 tahun sampai meninggal dunia tiga tahun lalu.

Sebagai pribadi, Cak Roes punya beberapa penyesalan. Penyesalannya adalah waktu muda ia merasa tidak terlalu pemurah. Ia juga menyesal karena pernah membenci orang.

Namun tokoh yang menguasai empat bahasa asing ini tidak pernah menyesali yang telah terjadi dalam hidupnya, yang terburuk sekali pun, seperti ketika dituduh korupsi waktu menjadi Menteri Luar Negeri. Ia disidang, dijatuhi denda, karena terbukti tidak tahu kalau titipan amplop itu berisi dolar AS. Padahal membawa dolar AS ke luar negeri pada masa itu adalah pelanggaran.

Denda yang harus dibayarnya dikumpulkan pembaca surat kabar yang simpati padanya. Uang itu berlebih, sehingga ia sumbangkan ke yayasan orang cacat (YPAC) di Solo, karena ia merasa sudah dicacati. Ia menduga ada orang yang tidak ingin ia bertugas ke London pada pagi tanggal 13 Agustus tahun 1956 itu.

Usianya tak pernah meruntuhkan semangat dan pemahaman nasionalismenya. Menurutnya, bentuk nasionalisme terus berubah seiring dengan perubahan di dunia. Kalau nasionalisme tidak bisa menyesuaikan dengan tuntutan zaman, ia bisa hilang. Nasionalisme Indonesia harus menyesuaikan kepada perubahan itu dan bersumber pada keadilan sosial, kerakyatan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Rohnya dikuatkan dengan itu semua.

Ia melihat perpecahan di negeri ini hanya a challenge of this time karena dulu sentralisme begitu kuat. Minyaknya rakyat Aceh disedot, juga sumber daya alam di Irian, Maluku, dan di berbagai tempat lainnya. Konflik dan perang di berbagai tempat di dunia banyak disebabkan oleh perebutan sumber daya alam dan ekonomi, meskipun bungkusnya macam-macam. Ekstremisme, ketidaktoleranan, dan fundamentalisme agama juga akan teratasi.

Kalau membaca sejarah, sekarang ini Nuswantara ketiga. Sejarah memperlihatkan, andaikata pun sampai remuk redam, Nuswantara ini akan bangkit lagi. Selain itu, bangsa ini sebenarnya juga sedang menghadapi krisis moral dan etika khususnya di kalangan pemegang kekuasaan.

Dalam peringatan ke-50 KAA di Bandung beberapa waktu lalu, Cak Roes amat beruntung masih bisa ikut merayakannya. Kala itu, ia bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara Asia Afrika yang menghormatinya sebagai tokoh yang ikut andil dalam sejarah besar itu.

Menurutnya, sampai kapanpun tujuan KAA tetap relevan, karena tujuan utamanya adalah menjaga perdamaian dunia. Dengan pertikaian dan perang yang berkecamuk di mana-mana, harus diingatkan kembali bahwa hubungan antarnegara tak bisa tercapai kalau tak ada perdamaian. Untuk itu, persoalan ketidakadilan global harus dibicarakan secara serius dan diselesaikan secara tuntas.

Dalam perjalanannya sebagai seorang tokoh bangsa, ada yang menyindirnya sebagai ‘tokoh sepanjang masa’, dalam arti dirinya adalah seorang oportunis. Cak Roes membantahnya. Apa yang dilakukannya adalah untuk kepentingan bangsa, bukan kepentingan pribadi seperti dilakukan seorang oportunis.

Sikapnya yang seperti itu, menempatkan Cak Roeslan dalam posisi melawan arus. Wajar, karena Cak Roeslan selalu melihat ke masa depan, bukan kepentingan sesaat.

Pada zaman Orde Lama, Cak Roeslan adalah tokoh penyeimbang dari pengaruh kaum Komunis/PKI. Cak Roeslan mengerem kebijakan Bung Karno yang menguntungkan PKI. Toh Bung Karno pun amat percaya kepadanya. Bung Karno menyerahkan masalah ideologi bangsa kepada Cak Roeslan. Meski pemikiran PKI telah ikut memberi warna ideologi dan politik negara, Bung Karno menyerahkan juru bicara politik dan ideologi kepada Cak Roeslan.

Kepergian Cak Roes adalah kehilangan besar. Dia adalah satu dari sedikit tokoh yang masih hidup, yang terlibat dalam proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Semasa hidupnya, Cak Roes tak bisa menutupi kerisauannya tentang perkembangan situasi di negeri ini. “Bacalah sejarah, belajarlah dari sejarah,” katanya selalu mengingatkan. e-ti | rh

Data Singkat
Roeslan Abdulgani, Wakil Perdana Menteri (1966-1967) / Api yang Tak Kunjung Padam | Ensiklopedi | Menteri, Duta Besar, sekjen, Dubes, DPA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini