Suri Tauladan Bangsa

YB Mangunwijaya
 
0
1539
YB Mangunwijaya
YB Mangunwijaya | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Ia dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela rakyat kecil. Kebaikan, keteladan, ketekunan dan jalan kebenaran yang ia tempuh, membuatnya dijadikan contoh oleh banyak orang.

Meskipun terlahir dalam keluarga yang berkecukupan – ayahnya pernah menjabat sebagai ketua DPRD Magelang di zaman Belanda – semasa hidupnya Yusuf Bilyarta atau yang lebih dikenal YB Mangunwijaya memiliki kepedulian yang tinggi pada nasib rakyat miskin. Anak sulung dari 12 bersaudara ini menamatkan pendidikan dasarnya di HIS Fransiscus Xaverius Magelang pada tahun 1943. Setelah itu ia meneruskan pendidikannya ke SMP di kota pelajar, Yogyakarta, yang ditamatkannya pada tahun 1947. Dari Yogyakarta ia hijrah ke Jawa Timur, tepatnya ke kota Malang untuk menempuh pendidikan SMA pada tahun 1951.

Putra pasangan Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah ini mulai terpanggil untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dan kepentingan umat setelah ia mendengar pidato Danyon Tentara Rakyat Indonesia Pelajar (TRIP) Mas Imam pada perayaan kemenangan RI di alun-alun kota Malang. Kala itu dalam pidatonya, Mas Imam mengatakan bahwa pahlawan sebenarnya adalah rakyat yang terjajah dan teraniaya. Sejak saat itu, Romo Mangun memutuskan untuk masuk seminari.

Setelah belajar di seminari kemudian melanjutkan ke Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru, pada 8 September 1959 ia ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Agung Semarang, yang waktu itu dijabat Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.

Kemudian pada tahun 1959, Romo Mangun melanjutkan studinya di jurusan arsitektur ITB. Setelah setahun menimba ilmu di ITB, ia kemudian melanjutkan ke sekolah Teknik Tinggi Rhein, Westfalen, Aachen, Republik Federasi Jerman. Ia menamatkan pendidikan teknik sipil tahun 1966 lalu kembali ke Tanah Air.

Terhitung mulai tahun 1967 hingga tahun 1980, ia menjadi Pastor Paroki di Gereja Santa Theresia, Desa Salam, Magelang. Walaupun sebagai pemuka agama Katolik, ia tidak segan menjalin hubungan dengan tokoh agama lain seperti Gus Dur dan Ibu Gedong Bagoes Oka.

Selain itu ia juga membagi ilmunya dengan menjadi Dosen Luar Biasa jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM. Hobi menulisnya disalurkan dengan menulis artikel untuk koran Indonesia Raya dan Kompas. Tulisan-tulisannya kebanyakan bertema: agama, kebudayaan, dan teknologi.

Menjadi insinyur sudah menjadi cita-citanya sejak lama. Keahliannya di bidang arsitektur ia gunakan untuk membangun komplek peziarahan Sendangsono, Gedung Keuskupan Agung Semarang, dan Bentang Budaya Jakarta.

Dalam bidang arsitektur, ia kerap mendapat julukan sebagai ‘Bapak Arsitektur Modern Indonesia’. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah Aga Khan Award, yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta.

Sebagai seorang tokoh agama yang peduli pada nasib rakyat kecil, ia tak lelah membela hak-hak kaum yang tertindas. Seperti saat masyarakat Kedungombo menggugat penggusuran tanah mereka tanpa ganti rugi yang berarti karena di tanah yang akan mereka tempati akan dibuat sebuah waduk. Pada 5 Juli 1994, MA akhirnya mengabulkan tuntutan kasasi 34 warga Kedungombo dengan ganti rugi yang cukup besar. Namun niat baik rupanya tidak selalu ditanggapi dengan baik. Romo Mangun yang setia melakukan pendampingan sejak tahun 1986 itu justru dituding berusaha melakukan Kristenisasi. Mendapat tudingan itu, pria yang pernah mengikuti kuliah singkat tentang kemanusiaan di Amerika Serikat itu hanya terdiam.

Dalam khasanah sastra Indonesia, Romo Mangun dikenal sebagai seorang penulis novel yang produktif. Sampai akhir hidupnya, ia telah menulis puluhan novel. Dalam setiap karyanya, Romo Mangun selalu memberikan tawaran pemikiran baru dan berbagai gagasan yang menarik tentang kehidupan. Karya-karya Romo Mangun banyak terinsipirasi dari cerita kedekatannya dengan rakyat miskin. Dari inspirasi tersebut, terciptalah novel Romo Rahardi (1981) yang menurut sebagian orang, novel itu mencerminkan kepribadian Romo Mangun.

Advertisement

Kemudian trilogi novel sejarah, Roro Mendut, Gendhuk Duku, dan Lusi Lindri. Ia juga banyak melahirkan kumpulan novel di antaranya Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, Durga/Umayi, dan esai-esainya tersebar di berbagai surat kabar di Indonesia.

Karena kepiawaiannya menulis, ia pun beberapa kali diganjar penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Sebut saja penghargaan sastra se-Asia Tenggara, Magsaysay pada tahun 1996 untuk karyanya yang berjudul ‘Burung-Burung Manyar’. Kemudian penghargaan buku non-fiksi terbaik tahun 1982 untuk bukunya ‘Sastra dan Religiositas.

Karya-karya Romo Mangun bisa dibilang tidak mudah untuk dinikmati dan agak sulit dicerna orang awam. Pasalnya, tulisannya kaya akan narasi filsafat, peleburan perbedaan antara Timur dan Barat, informasi teknologi, industri dan moralitas. Kalimat yang dipilih pun relatif panjang, berbelit dan nyaris tanpa titik. Mengenai ciri khas tulisannya itu, pria yang pernah menjadi pengantar makanan itu mengakui bahwa tulisannya memang menggambarkan realitas, kompleks, tak sederhana, tak satu dimensi, canggih, rumit dan banyak segi sehingga untuk membacanya, seseorang harus memiliki waktu, energi dan niat yang kuat.

Selain menaruh kepedulian yang tinggi pada nasib rakyat miskin, Romo Mangun juga dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dengan dunia pendidikan. “Anak-anak miskin yang tanpa sepengetahuan mereka terlempar lahir di kalangan kumuh, itulah yang sebetulnya lebih memerlukan pertolongan. Dari pengalaman itu saya mengambil kesimpulan bahwa prioritas selanjutnya yang ingin saya kerjakan adalah mengabdi kepada pendidikan dasar anak-anak miskin,” aku Romo Mangun.

Kekecewaan Romo Mangun terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Pada 19 Mei 1994, ia membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Sebelumnya, Romo Mangun membangun gagasan SD yang eksploratif untuk penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedungombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta. Romo Mangun yakin bahwa interaksi saling ajar antarguru dan murid adalah hal yang paling menentukan keberhasilan pendidikan. Menurutnya, meski pendidikan tinggi di Indonesia tidak cukup baik, tapi lantas jangan meninggalkan pendidikan dasar.

Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh politik dan kepentingan para pejabat menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Orde Baru. Bahkan tak jarang ia bersuara lantang memprotes kesewenang-wenangan seperti pada 26 Mei 1998, Romo Mangun menjadi salah satu pembicara utama dalam aksi demonstrasi peringatan terbunuhnya Moses Gatutkaca di Yogyakarta.

Namun sayang, semua kebaikannya harus terhenti karena kehendak Yang Maha Kuasa. Sosok pemuka agama yang santun dan bijak itu harus kembali ke haribaan-Nya ketika menghadiri sebuah acara. Kepergiannya terbilang tiba-tiba tetapi sangat tenang. Usai mengisi seminar ‘Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru’ di Hotel Le Meridien, tubuhnya seketika limbung. Ia pun dilarikan ke Rumah Sakit Saint Carolus, Jakarta. Namun tak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada Rabu, 10 Februari 1999 pukul 14:10 WIB akibat serangan jantung. Jenazahnya kemudian dimakamkan di makam biara komunitasnya di Kentungan, Yogyakarta.

Kepergian Romo yang mendadak menyisakan rasa kehilangan yang teramat dalam bagi orang-orang yang pernah mengenal sosoknya. Berbagai komentar dari tokoh masyarakat waktu itu, termasuk Mantan Presiden BJ Habibie, menunjukkan bahwa bangsa ini telah kehilangan seorang tokoh yang menjadi suri tauladan. Kebaikan, keteladan, ketekunan dan jalan kebenaran yang ia tempuh, membuatnya dijadikan contoh oleh banyak orang. Tidak hanya untuk orang yang seiman, mereka yang berbeda keyakinan pun juga mengamini pendapat itu. Di mata kawan-kawannya, ia dikenal sebagai pejuang yang cinta perdamaian, yang memberikan perhatian lebih pada mereka yang menderita dan butuh bantuan.

Romo Mangun menghabiskan sisa hidupnya di Gang Kuwera, jalan Gejayan, Yogyakarta. Sepeningalannya, bekas rumah tinggal sekaligus kantornya itu kemudian digunakan sebagai kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar.

Kini, kita memang sudah tak bisa lagi melihat sosok pria bijak itu. Namun, jiwa dan pemikirannya tentang pentingnya rasa saling menghargai antar sesama manusia menjadi warisan berharga yang ditinggalkannya. Keberpihakannya pada rakyat kecil dan kaum tertindas telah membuat nama YB Mangunwijaya juga tidak akan dilupakan dalam setiap langkah perjalanan bangsa ini. e-ti | muli, red

Data Singkat
YB Mangunwijaya, Rohaniwan, budayawan, pengajar, arsitek, penulis / Suri Tauladan Bangsa | Ensiklopedi | Budayawan, Katolik, penulis, arsitek, Rohaniwan, pengajar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini