Bahagia Bersama Keluarga
Zaenal Soedjais
[ENSIKLOPEDI] Sebagaimana orang zaman dahulu belum begitu familiar dengan sistem pertanggalan kalender, maka kapan persisnya hari lahir Zaenal Soedjais tidak ada yang tahu. Resminya tercantum 10 Agustus 1942. Namun Soedjais mengaku itu tidak akurat melainkan hanya “katanya”. Sebab, jika ditanya ayahandanya, almarhum H. Abdullah Harun, jawabannya cuma “ya… kira-kira”.
Sebagaimana orang zaman dahulu belum begitu familiar dengan sistem pertanggalan kalender, maka kapan persisnya hari lahir Zaenal Soedjais tidak ada yang tahu. Resminya tercantum 10 Agustus 1942. Namun Soedjais mengaku itu tidak akurat melainkan hanya “katanya”. Sebab, jika ditanya ayahandanya, almarhum H. Abdullah Harun, jawabannya cuma “ya… kira-kira”.
Sumber lain dari tetangga terdekat bernama Pak Senen. Dia pun hanya menyebutkan hari lahir Soedjais sama dengan anak perempuannya yakni tanggal 3 September 1943. Bedanya, Soedjais lahir malam hari sedangkan anak perempuan Pak Senen pagi hari. “Jadi, tampaknya tanggal lahir saya satu tahun lebih tua dari yang sebenarnya. Mana yang benar saya tidak tahu,” sebut Soedjais.Pada tanggal 4 September 1971 ia menikah dengan Sri Afifah yang dulunya merupakan muridnya di Universitas Gajah Mada (UGM). Namun, ia mencantumkan tangggal lahirnya 10 Agustus 1942.
Pada tanggal 4 September 1971 ia menikah dengan Sri Afifah yang dulunya merupakan muridnya di Universitas Gajah Mada (UGM). Dia yang telah memberinya empat orang anak, semasa kuiah adalah temannya Fuad Bawazier, mantan menteri keuangan yang juga muridnya. Kalau Budiono, Menteri Keuangan Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Ibu Megawati Soekarnoputri adalah kawan sekelasnya di UGM.
Sri Afifah dalam pandangannya ketika itu merupakan orang yang biasa-biasa saja. Sehingga, orang-orang mengiranya akan memilih yang lain. Ternyata ia memilih Sri Afifah, sebab pribadinya luar biasa dan parasnya juga cukup menggoda.
Keluarga ini hidup rukun dengan empat buah hati. Lahir berselang-seling laki-laki, perempuan, laki-laki perempuan. Anak pertama bernama Mohammad Zain Mawardi Arif, dia lulusan dari Amerika. Yang kedua bernama Laksmi Yuliandri, nama itu ia beri terpengaruh dengan Perdana Menteri India Laksmi Pandit. Anak kedua ini lulusan dari Universitas Indonesia (UI). Anak ketiga bernama Dodi Surya Wijaya, ia seorang ahli komputer juga lulusan dari UI. Dan yang terakhir bernama Hartina Riani Sofana, dia ini menggeluti seni suara menjadi seorang artis penyanyi yang lagunya dia gubah sendiri. Anak bungsunya ini sudah mengeluarkan album bertajuk Benang Merah. Dia masih sekolah di London School.
Ada yang menurutnya “aneh” tentang anak-anaknya itu. Mereka tidak mau bekerja dengan orang lain. Hanya mau bekerja sendiri dengan membikin perusahaan sendiri. Hal itu ia biarkan saja. Tetapi sudah ia pesankan agar mereka jangan mengganggu ayahnya. Jangan pernah menginjak Pusri. Dan jangan ada bisnis dengan Pusri. Karena pasti akan menimbulkan conflict of interest. “Walaupun saya itu fair, tidak ada apa-apa misalnya jika berbisnis dengan mereka, namun kalau orang melihat bahwa ada anak saya yang terlibat di dalam bisnis Pusri pasti akan menimbulkan kecurigaan,” katanya.
Hormati Orangtua
Ketika ibunya sudah berumur 75 tahun, pada akhir tahun 80-an, ia meminta berhenti berdagang. Ia bilang akan menjamin masa tuanya. Lalu dibelikan mobil untuk ibunya. Tetapi justru inilah yang membuat ia menyesal berkepanjangan. Sebab ibunya justru menjadi sering sakit karena tidak pernah lagi berkumpul sama orang lain di pasar, bersosialisasi sesama orang. Itulah mungkin yang membuat Sang Ibu merasa tidak berguna. Mungkin merasa nggak ada gunanya hidup. Akhirnya sang Ibu meninggal dan ia sangat menyesal.
Sementara, ayahnya masih terus bekerja hingga meninggal dunia ketika sudah berusia tua 97 tahun. Pada usia itu kendati sudah tua, Sang Ayah bukannya sudah harus dibopong atau pikun atau pakai kursi roda. Tetapi, masih seperti orang berusia 50-an tahun. Sang Ayah masih menyetir mobil sendiri. Dan kalau orang lain menyaksikan bagaimana cara ayahnya menyetir mobil, pasti mengira itu anak muda. Karena Sang Ayah tidak akan merasa happy nyetir mobil kalau roda belakang tidak bunyi, ciit, ciit.
Ia juga tidak habis pikir kenapa ayahnya bisa hidup berusia panjang. Padahal kalau bicara soal makan, wah seleranya tidak tanggung-tanggung, sate kambing, kepala kambing, otak dan lain-lain. Kalau masuk restoran Padang, misalnya, kalau tidak tersedia otak sang Ayah tidak akan makan. Beliau juga tidak ada pantangan. Pagi-pagi sudah minum coca cola kemudian kreatingdaeng tanpa campuran apa-apa. Padahal orang lain, kalau minum kreatengdaeng tidak dicampur dengan air putih pasti langsung sakit perut. Ia sendiri kalau main golf, biasanya minum kreatengdaeng tapi harus campur air putih. Beda dengan Sang Ayah, yang pagi-pagi sudah minum tanpa campuran.
Kalau kamu ingin kaya, kamu harus berzakat. Kalau kamu ingin sehat, kamu harus banyak sadakoh. Kalau kamu ingin umur panjang, kamu harus sering silaturahmiLalu, kemudian ia menemukan apa kunci dari itu semua. Ia pernah mendengar dari Kyai. Kalau kamu ingin kaya, kamu harus berzakat. Kalau kamu ingin sehat, kamu harus banyak sadakoh. Kalau kamu ingin umur panjang, kamu harus sering silaturahmi ketemu orang. Oh, itulah kebiasaan yang dilakukan Sang Ayah. Suka zakat, sadakoh dan selalu silaturahmi dengan orang.
Pada usia 90-an tahun Sang Ayah masih bisa memanjat pohon mangga. Suatu ketika ia pernah diambilkan buah mangga. Sementara ia sendiri tidak berani manjat. Pada usia tua itu, Sang Ayah juga masih suka naik motor besar Harley Davidson karena kebetulan di rumah tersedia.
Ada beberapa mobil yang pernah Sang Ayah pakai. Tapi yang paling disukainya adalah Trooper. Trooper itu adalah mobil Soedjais dahulu dari Kaltim. Karena pakai solar, perjalanan Jakarta – Cirebon pulang pergi waktu itu cukup dengan uang Rp 17.000. Menurut Sang Ayah, setir mobil Trooper ini bisa dikendalikan hanya dengan jari satu.
Sangat banyak kenangan berharga dengan ayah-bundanaya. Sehingga ia, sebagai seorang anak yang merasa tidak pernah menentang orang tua, berniat mengeluarkan buku khusus mengenai memorinya dengan orang tua. marjuka, crs (Majalah Tokoh Indonesia Edisi 12)