Jenderal Peredam Kerusuhan
Sutiyoso
[ENSIKLOPEDI] Rekam jejak langkah Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, SH sebagai Pangdam Jaya menunjukkan bahwa dia seorang jenderal (pemimpin) lapangan yang amat teruji. Teruji, bagaimana dia berhasil dengan baik meredam dan mengatasi berbagai peristiwa dan kerusuhan, seperti peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 dan rentetan kerusuhan pada masa kampanye Pemilu Mei 1997. Dengan gaya dan karakter kepemimpinannya yang berani dan terkesan dingin, Sutiyoso mampu bertindak cepat dan tepat untuk meredam berbagai peristiwa kerusuhan tersebut menjadi bersifat lokal dan tidak merembet lebih luas ke mana-mana.
Setelah menjabat Kepala Staf Kodam Jaya selama hampir dua tahun (November 1994-Maret 1996), lalu pada 30 Maret 1996, Sutiyoso dilantik menjadi Panglima Komando Daerah Militer Jaya (Pangdam Jaya), komando daerah militer yang paling strategis di Tanah Air. Pangdam yang bertanggung jawab terhadap masalah pertahanan dan keamanan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan daerah penyangga (hinterland) Depok, Tangerang dan Bekasi (Jadetabek).
Sutiyoso adalah Pangdam Jaya ke-13.1] Sebuah jabatan yang dianggap sebagai ujian terberat bagi seorang Pati berbintang dua menuju pangkat dan jabatan militer lebih tinggi. Apalagi pada tahun itu kondisi politik sudah mulai menghangat menjelang Pemilu 1997. Satu bulan lagi, tepatnya pada 1-20 Mei 1996, pendaftaran pemilih sudah dimulai. Sesuai dengan jabatan barunya, sebagai Pangdam Jaya, pangkat Sutiyoso pun dinaikkan dari Brigadir Jenderal (Brigjen, bintang satu) menjadi Mayor Jenderal (Mayjen, bintang dua). Pengangkatannya menjadi Pangdam Jaya berpangkat Mayjen itu telah melalui seleksi ketat dan pertimbangan matang dari Dewan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi (Wanjakti)2] sesuai jejak rekam dan prestasi Sutiyoso.
Jika melihat bagaimana kiprah dan kedekatan Sutiyoso dengan lingkaran pusat kekuasaan kala itu, dia tidak termasuk Perwira Tinggi yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Soeharto atau kerabat dan lingkaran dekatnya. Dia tidak pernah menjadi Ajudan atau Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Juga tidak pernah dipercaya menjabat jabatan yang langsung berhubungan dengan Presiden. Serta tidak punya hubungan kekerabatan dengan keluarga Presiden Soeharto. Padahal kala itu, Presiden Soeharto memiliki kekuasaan amat terpusat, bahkan disebut cenderung otoriter dan hanya mau menempatkan orang-orang dekatnya (loyalis) pada posisi-posisi strategis.
Maka, pengangkatan Sutiyoso sebagai Pangdam Jaya adalah suatu hal istimewa yang sekaligus menunjukkan bahwa Pak Harto dengan kekuasaannya yang terpusat itu, pada saat dan kondisi tertentu, juga menghargai dan mengapresiasi (reward) kemampuan, profesionalitas dan prestasi seseorang di atas kedekatan hubungannya (loyalitas) secara pribadi.
Sutiyoso sebagai prajurit profesional, sangat menyadari hal itu. Maka, dia pun selalu berupaya menjalankan amanah dan kepercayaan profesional itu dengan segala kemampuan prajurit profesional yang dimilikinya. Sebagai prajurit sejati, dia pun selalu wajib taat dan loyal pada atasan. Dia tidak memandang siapa itu atasannya secara pribadi. Loyalitasnya selalu diletakkan dalam kerangka tugas dan tanggung jawab secara profesional yang berpegang teguh pada Sapta Marga3] dan Sumpah Prajurit4].
Sebagai patriot, dia selalu berupaya menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak mengenal menyerah. Sebagai kesatria, dia mengasah diri untuk membela kejujuran, kebenaran dan keadilan. Sebagai prajurit, dia memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit. Juga mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada negara dan bangsa. Serta selalu setia dan menepati Janji dan Sumpah Prajurit.
Peristiwa 27 Juli: Bagaimana pun, dalam suasana krusial seperti itu, kehadiran seorang panglima komando, jenderal lapangan yang handal, sangatlah penting dan wajib. Maka, Sutiyoso tidak mau diam atau berlindung di balik tirai, kendati dalam medan peristiwa itu sarat nuansa politicking yang sesungguhnya amat dilematis baginya. Tetapi, dalam kondisi sesulit apa pun, dia berani mengambil keputusan untuk meredam dan melokalisir kerusuhan sehingga tidak menjadi chaos. Kepemimpinan (field general) itulah yang membuat kondisi itu memang jauh berbeda dengan tragedi yang terjadi dua tahun kemudian, Tragedi Mei 1998, pembiaran kerusuhan yang meluluh-lantakkan Jakarta.
Itulah sosok keprajuritan Sutiyoso! Sosok di mana Sapta Marga dan Sumpah Prajurit mengalir dalam sikap dan tindak perbuatan kesehariannya. Sosok di mana Sapta Marga dan Sumpah Prajurit tidak hanya diucapkan dan diwacanakan dalam tatanan formalitas, apalagi keterpaksaan atau kepura-puraan. Tetapi, sungguh-sungguh tercermin, memancar dan hidup dalam realitas kesehariannya. Sikap, dedikasi, integritas, loyalitas, kapabilitas, akseptabilitas dan kompetensi keprajuritan, kepatriotan dan keksatriaan itulah milik paling berharga bagi Sutiyoso sebagai seorang prajurit sejati.
Sosok prajurit sejati! Dia yakin dengan mengasah diri sebagai prajurit sejati, dia patut mendapat kepercayaan menjadi perwira tinggi berbintang dua dan menjabat Pangdam Jaya. Bahkan, setelah itu, sebagai prajurit sejati, dia patut memimpikan bintang tiga dan empat serta menjabat jenjang karier kemiliteran lebih tinggi, seperti Pangkostrad, Kasad dan Panglima TNI.
Sutiyoso tidak meletakkan mimpinya secara instan. Dia menjunjung dan menggapai mimpinya dengan perjuangan, fight dengan selalu meningkatkan kemampuan keprajuritan dan pengabdiannya. Jabatan Pangdam berbintang dua, dia gapai dalam proses panjang, berliku dan terjal. Mulai dari proses pengasuhan dan pengasahan dari sejak kecil, hingga penggemblengan dalam pendidikan militer dan jalan panjang kariernya sebagai prajurit dalam tugas operasi maupun teritorial.
Sutiyoso telah diasah menjadi mutiara dengan berbagai tantangan dan kesulitan sejak kecil. Dia telah memiliki spirit keprajuritan, kepejuangan, kepatriotan, keksatriaan dan kepemimpinan sejak kecil hingga menjabat Pangdam Jaya.
Sebagai pemimpin berjiwa prajurit berpengalaman dalam berbagai medan operasi dan tanggung jawab teritorial, Sutiyoso telah pula merajut diri dengan kearifan dan kebijaksanaan yang mumpuni. Dia bukanlah prajurit dan pemimpin robot yang loyalitas dan dedikasinya telah di-setting dan diprogram tanpa nilai dan nurani. Tetapi, dia adalah seorang yang bertalenta pemimpin dan berkarakter prajurit sejati melalui pengasahan diri dan penanaman nilai-nilai kearifan berhati nurani, bermoral dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Footnote:
1] Setelah mengalami perubahan dari Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKB-DR) menjadi Komando Daerah Militer (Kodam) V/Jaya (Kodam Jaya) dipimpin panglima berpangkat Mayor Jenderal TNI. Hingga 2011, telah dijabat 26 Pangdam yakni: 1. Pangdam Jaya kesatu Umar Wirahadikusuma, 1960 s/d 1965; 2. Amir Machmud, 1965 s/d 1969; 3. Makmun Murod, 1969 s/d 1970; 4. Poniman, 1970 s/d 1973; 5. G.H. Mantik, 1973 s/d 1977; 6. Norman Sasono, 1977 s/d 1982; 7.Try Sutrisno, 1982 s/d 1985; 8. Soegito, 1985 s/d 1988; 9. Suryadi Sudirja, 1988 s/d 1990; 10. K. Harseno, 1990 s/d 1993; 11. A.M. Hendropriyono,1993 s/d 1994; 12. Wiranto, 1994 s/d 1996; 13. Sutiyoso, 1996 s/d 1997; 14. Sjafrie Syamsoeddin, 1997 s/d 1998; 15. Djadja Suparman, 1998 s/d 1999; 16. Ryamizard Ryacudu, 1999 s/d 2000; 17. Slamet Kirbiantoro, 2000 s/d 2001; 18. Bibit Waluyo, 2001 s/d 2002; 19. A. Yahya, 2002 s/d 2003; 20. Joko Santoso, 2003 s/d 2004; 21. Agustadi Sasongko Purnomo, 2004 s/d 2006; 22. Liliek AS. Sumaryo, 2006 s/d 2007; 23. J. Suryo Prabowo, 2008 s/d 2008; 24. Darpito Pudyastungkoro S.Ip, MM, 2008 s/d 2010; 25. Marciano Norman, 2010 s/d 2011; dan 26. Waris, 2011 sampai sekarang. (Pusat Data Tokoh Indonesia)
2] Suatu badan tingkat Mabes TNI yang membahas dan memberikan saran/usul kepada Panglima TNI mengenai jabatan dan kenaikan pangkat militer pada Perwira Tinggi untuk kemudian diusulkan pengangkatannya kepada Presiden RI selaku Panglima Tertinggi.
3] SAPTA MARGA: 1. Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila; 2. Kami Patriot Indonesia, pendukung serta pembela Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah; 3. Kami Ksatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan; 4. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia; 5. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit; 6. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa; 7. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit.
4] SUMPAH PRAJURIT: Demi Allah saya bersumpah/berjanji: 1. Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan; 3. Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan; 4. Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia; 5. Bahwa saya akan memegang segala rahasia Tentara sekeras-kerasnya.
Penulis: Ch. Robin Simanullang | TokohIndonesia.com | Dari Buku Biografi Militer Sutiyoso: The Field General, Penerbit Pustaka Tokoh Indonesia, 2013