Nyaris Jadi Presiden

[ Prabowo Subianto ]
 
0
366
Prabowo Subianto
Prabowo Subianto | Tokoh.ID

[DIREKTORI] H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo, lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951. Menantu (mantan) Presiden Soeharto dan putera begawan ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, itu dalam satu dekade terakhir menunjukkan perjuangan gigih untuk mewujudkan obsesinya jadi Presiden RI. Namun, impiannya masih selalu kandas. Dalam Pilpres 9 Juli 2014, dia nyaris jadi Presiden RI.

Sepekan menjelang hari H Pilpres 9 Juli 2014, kecenderungan Prabowo akan memenangkan Pilpres sudah mengemuka. Namun, celakanya, terjadi blunder yang menjadi titik balik, yang memupus obsesi Prabowo menjadi Presiden RI Ketujuh. Dimulai dari terungkapnya orang-orang di belakang penerbitan tabloid Obor Rakyat yang dengan gencar melancarkan kampanye hitam over dosis. Disusul pernyataan politisi PKS Fahri Hamzah (tim pemenangan Prabowo-Hatta) yang menyebut sinting atas pernyataan Jokowi menerima usulan santri menjadikan 1 Muhharram sebagai hari santri. Pelecehan dan penghinaan yang over dosis tersebut tampaknya telah mengubah pilihan sebagian publik secara signifikan. Prabowo pun harus bekerja keras lagi untuk mewujudkan obsesinya jadi Presiden RI.

Catatan TokohIndonesia.com, Prabowo telah memulai upayanya secara terbuka menjelang Pilpres 2004. Ketika itu mantan Danjen Kopassus yang diberhentikan dari dinas militer tersebut, mengikuti Konvensi Capres Partai Golkar. Prabowo dan peserta konvensi lainnya dikalahkan mantan Panglima ABRI (TNI) Jenderal TNI (Purn) Wiranto. Namun walaupun Prabowo masih gagal mewujudkan impiannya jadi Presiden RI tersebut, keikutsertaannya dalam konvensi ini telah menjadi suatu pencapaian politik, hal mana dia layak diperhitungkan sebagai salah seorang kandidat presiden setidaknya dalam internal Partai Golkar.

Hal ini tampaknya membuka harapan lebaih besar baginya, sehingga dia pun mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sebagai Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, dia pun melakukan beragam langkah untuk membesarkan Gerindra yang diharapkannya bisa mengantarkannya ke kursi RI 1. Iklan-iklan pencitraan dirinya dan Partai Gerindra pun tampil sepanjang tahun di berbagai media sejak 2004.

Hasilnya, pada Pemilu Legislatif 2009, Partai Gerindra berhasil melampaui parliamentary threshold 3% dengan meraih 4.646.406 (4,46%) suara dan menempatkan 25 kadernya di kursi parlemen. Kendati hanya dengan modal 4,46% suara tersebut, Partai Gerindra, berhasil pula mengantarkan Prabowo menjadi Calon Wakil Presiden peserta Pemilu 2009 mendampingi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri sebagai Calon Presiden.

Posisi pencapresan Megawati yang ketika itu yang terdesak karena belum memiliki mitra koalisi untuk mencapai 25% suara atau 20% kursi DPR (presidential threshold), dimanfaatkan secara maksimal oleh Prabowo. Selain berhasil maju sebagai Cawapres, Prabowo (Gerindra) juga mampu menekan Megawati (PDIP) yang memeroleh suara jauh lebih besar yakni 14.600.091 (14,03%) suara dan 95 kursi DPR, dengan berbagai syarat yang belakangan dikenal dengan Perjanjian Batu Tulis.

Dalam perjanjian (kesepakatan) di Batu Tulis tanggal 16 Mei 2009 tersebut antara lain berisi: (2) Prabowo Subianto sebagai wakil presiden, jika terpilih, mendapat penugasan untuk mengendalikan program dan kebijakan kebangkitan ekonomi Indonesia yang berdasarkan azas berdiri di kaki sendiri, berdaulat di bidang politik, dan kepribadian nasional di bidang kebudayaan dalam kerangka sistem presidensial. (3) Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto bersama-sama membentuk kabinet. Berkaitan dengan penugasan pada butir 2 diatas, Prabowo Subianto menentukan nama-nama menteri yang terkait. Menteri-menteri tersebut adalah Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Menteri ESDM, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Pertahanan. (7) Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014.

Tetapi, dalam Pilpres 2009, pasangan Megawati-Prabowo tersebut gagal. Obsesi Prabowo untuk berkuasa belum bisa terwujud. Namun, dia tidak mau patah arang. Iklan-iklan politiknya terus ramai di berbagai media. Tampaknya, Prabowo sudah punya harapan besar akan terpilih menjadi Presiden RI pada Pilpres 2014. Dia pun yakin akan didukung oleh Megawati sesuai butir tujuh perjanjian Batu Tulis. Tetapi Megawati dan PDIP menganggap perjanjian tersebut tidak berlaku karena pada Pilpres 2009 pasangan Megawati-Prabowo tidak terpilih.

Namun, bagi Prabowo, hal ini belumlah sebagai akhir. Kendati dalam Pilpres 2014 ini dia masih diungguli Jokowi, tapi raihannya yang mencapai 62.576.444 suara, suatu bukti bahwa dia adalah seorang tokoh yang masih patut diperhitungkan dalam Pilpres 2019 mendatang. Apalagi dia kini berhasil memimpin Koalisi Permanen Merah Putih yang sudah ditandatangani para pimpinan partai (Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP dan PBB). Tentu, partai yang telah menandatangani koalisi permanen ini, kelak tidak mau disebut partai pembohong, sehingga tidak akan mengingkari kesepakatan tersebut.

Menjelang Pileg 2014, Megawati pun menunjuk (menugaskan) kader terbaiknya Joko Widodo (Jokowi) menjadi Capres PDIP. Serta-merta Prabowo menuding Megawati ingkar janji dan menyerang Jokowi sebagai pembohong karena dinilai mengingkari janjinya untuk menyelesaikan masa jabatannya sebagai gubernur. Bahkan Prabowo berulangkali menyebut dalam pidatonya: “Apakah saudara-saudara mau dipimpin boneka?” Kendati dia tidak secara eksplisit menyebut siapa pemimpin boneka itu, tetapi publik memahami maksud pernyataannya adalah Jokowi.

Di mata sebagian orang, seperti orang yang ‘kerasukan setan’, dia bekerja keras dengan berbagai upaya untuk merebut hati rakyat. Hasilnya, dalam Pileg 2014, Partai Gerindra berhasil menduduki peringkat ketiga dengan meraih 14.760.371 (11.81%) suara atau 73 kursi DPR. Peringkat pertama disuduki PDIP meraih 23.681.471 (18,95%) suara atau 109 kursi DPR. Di urutan kedua Partai Golkar meraih 18.432.312 (14,75%) suara atau 91 kursi DPR.

Advertisement

Kemudian terjadi dinamika dalam penggalangan koalisi pasangan Capres. Posisi pencapresan Prabowo sempat berada di ujung tanduk. Nasib lebih buruk dialami Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie. Capres Partai Golkar itu gagal meyakinkan partai lain untuk mendukungnya sebagai Capres, bahkan sebagai Cawapres pun.

Hal ini membawa hikmah bagi Prabowo. Karena Jokowi dan PDIP (belajar dari pengalaman 2009) dengan percaya diri menggalang koalisi (kerjasama politik) tanpa syarat. Pada detik-detik akhir, Aburizal Bakrie yang berusaha bergabung dengan koalisi PDIP (Jokowi) dengan mengajukan beberapa syarat, tidak mendapat tempat. Prabowo pun, besoknya segera menangkap peluang menyambangi Aburizal Bakrie dengan tawaran Menteri Utama dan 10 jabatan menteri untuk Partai Golkar.

Dengan demikian, secara matematis perhitungan suara Pemilu Legislatif, pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, lebih berpeluang terpilih dibanding pasangan Jokowi – Jusuf Kalla. Karena perolehan suara Pileg koalisi partai pendudukung Prabowo-Hatta (Gerindra, PAN, PKS, PPP, Golkar, PBB dan Demokrat) mencapai 59,12% suara.

Tapi hitungan matematis tersebut tidak linear dengan pilihan rakyat pada Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Hasil akhir perhitungan rekapitulasi suara Pilpres secara nasional oleh KPU pada 22 Juli 2014, pasangan Prabowo-Hatta dikalahkan pasangan Jokowi-JK. Prabowo-Hatta berhasil meraih 62.262.844 (46,85%) suara dan Jokowi-JK meraih 70.633.576 (53.15%) suara sah nasional. Selisih suara 8.370.732.

Proses perhitungan suara oleh KPU di semua tingkatan menjadi pusat perhatian publik. Sudah tercium adanya aroma bau busuk dengan adanya hasil quick count lembaga survei abal-abal (tidak bersedia diaudit) yang menampilkan angka presentase perolehan suara yang bertolak belakang (jauh berbeda) dengan hasil quick count lembaga survei kredibel (bersedia diaudit dan telah teruji).

Akibatnya, kebimbangan sempat muncul dibenak sebagian orang. Lalu, KPU pun mengantisipasi bau busuk tersebut dengan mengunggah Formulir C1 (hasil Pilpres di TPS) di laman KPU. Transparansi KPU ini disamput pula anak-anak muda yang dimotori Ainun Nadjib dengan menampilkan tabulasi/rekapitulasi berdasarkan Formulir C1 tersebut dalam laman kawalpemilu.org. Sehingga sebelum KPU secara resmi melakukan perhitungan rekapitulasi secara nasional, publik telah mendapat informasi akurat tentang hasil Pilpres. Publik sudah merasa yakin siapa pemenang Pilpres.

Lalu, KPU melakukan sidang pleno terbuka rekapitulasi perhitungan suara Pilpres secara nasional pada 22 Juli 2014, menjelang penetapan hasilnya, Prabowo tanpa didampingi Hatta berpidato menyampaikan pernyataan sikap menolak hasil Pilpres 2014 dan menyatakan diri mengundurkan diri dari proses Pilpres. Hal ini diikuti walk out tim saksi Prabowo-Hatta dari sidang pleno terbuka KPU tersebut.

Hampir bersamaan, Mahfud MD menyatakan mengundurkan diri sebagai Ketua Tim Pemenangan (Kampanye) Prabowo-Hatta. Kemudian Mahfud digantikan Letjen TNI (Purn) Yunus Yosfiah sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Hatta yang berubah nama menjadi Tim Koalisi Merah Putih untuk Kebenaran dan Keadilan.

Kemudian Tim Koalisi Merah Putih menjelaskan maksud pernyataan sikap Prabowo bahwa yang dimaksudkannya adalah bukan mengundurkan diri sebagai Capres, tetapi mengundurkan diri dari proses rekapitulasi di KPU. Setelah itu, (tiga hari setelah penetapan KPU) kubu Prabowo-Hatta pun menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dalil telah terjadi kecurangan secara sistematis, struktural, dan masif pada pelaksanaan Pilpres 9 Juli 2014. Banyak pihak menduga bahwa Prabowo kemungkinan telah dikibuli oleh tim tabulasinya perihal angka-angka perolehan suara dan hal-hal lain yang disebut sebagai kecurangan secara sistematis, struktural, dan masif

Kemudian, partai-partai Koalisi Merah Putih (kecuali Demokrat) di bawah pimpinan Prabowo menandatangani kesepakatan koalisi permanen di Pelataran Tugu Proklamasi, Jakarta, Senin (14/7/2014).

Selain menggugat ke MK, Prabowo juga memperkarakan Pemilu Presiden 2014 dengan mengajukan gugatan etik ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Juga sempat berencana mengadukan KPU ke kepolisian, juga mewacanakan gugatan kePengadilan Tata Usaha Negara, bahkan akan menempuh jalur politi dengan mengajukan Pansus Pilpres di DPR. Meskipun sebagian anggota tim tahu betul bahwa langkah-langkah tersebut tak akan membatalkan hasil Pilpres, menurut juru bicara tim Prabowo-Hatta, Tantowi Yahya, sesuai pesan Prabowo, perjuangan tetap harus dilakukan. Tantowi mengatakan, gugatan tersebut ditempuh karena timnya sudah menemukan cara untuk mengubah keputusan KPU terkait hasil Pemilu Presiden 2014.

Lalu, setelah melalui proses persidangan, baik DKPP maupun MK membacakan putusannya pada hari yang sama, Kamis 21 Agustus 2014. DKPP lebih awal membacakan hasil putusannya, mulai pukul 11.00 Wib. Disusul MK mulai pukul 14 sampai pukul 20.44 Wib. Ternyata, MK menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa tidak satu pun dalil Prabowo-Hatta yang terbukti dalam persidangan. Sebelum Ketua MK Hamdan Zoelva membacakan konklusi yang menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta, sembilan hakim konstitusi secara bergiliran membacakan pertimbangan-pertimbangan keputusan MK tersebut.

Mahkamah Konstitusi menilai hitungan suara pemilu presiden yang diklaim pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tidak beralasan menurut hukum. Dalam pokok permohonannya, Prabowo-Hatta meminta MK agar menetapkan mereka sebagai pemenang Pilpres karena mereka mengklaim mendapatkan 67.139.153 suara, sementara pasangan Jokowi-JK hanya mendapatkan 66.435.124 suara. Kuasa hukum Prabowo-Hatta menilai hitung-hitungan KPU yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak sah. KPU menetapkan Prabowo-Hatta mendapatkan 62.576.444 suara dan Jokowi-JK mendapatkan 70.997.833 suara.

MK menegaskan tidak ada bukti yang meyakinkan Mahkamah kalau suara pemohon (Prabowo-Hatta) berkurang dan suara terkait (Jokowi-JK) bertambah. Selain itu, MK juga menilai keterangan saksi yang telah dihadirkan tidak mampu menunjukkan kebenaran hitung-hitungan dari tim Prabowo-Hatta itu.

Atas dalil mengenai pengabaian daftar penduduk potensial pemilih per kelurahan (DP4) dalam penyusunan daftar pemilih sementara (DPS) ataupun daftar pemilih tetap (DPT), DPT memang merupakan keputusan KPU sebagai penyelenggara yang berada pada puncak struktur. Namun, proses dari tahap-tahap tersebut bersifat bottom up, yakni dari struktur penyelenggara yang paling bawah, berlanjut setahap demi setahap sampai pada struktur yang tertinggi dalam kerangka waktu sebagaimana diuraikan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpendapat, maka apabila ada keberatan mengenai DPT, seperti penambahan dan modifikasi jumlah pemilih sebagaimana didalilkan pemohon, seharusnya permasalahan tersebut diselesaikan oleh penyelenggara dan peserta dalam kerangka waktu tersebut melalui mekanisme yang menurut hukum tersedia pada tahap-tahap sebagaimana diuraikan di atas.

Perihal dalil pemohon khusus mengenai pengabaian DP4 dalam penyusunan DPS dan DPT sebagaimana disebutkan dalam tabel permohonan (halaman 44), pemohon tidak menjelaskan bagaimana pengabaian tersebut terjadi karena pemohon hanya menyebut angka data pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP) yang diunduh dari laman KPU dan angka penambahannya yang kemudian menjadi angka DPT Pilpres.

Mengenai dalil daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb), MK berpendapat bahwa salah satu ketentuan hukum yang mengatur tentang pemilu menunjukkan bahwa negara berkewajiban untuk menetapkan DPT, sementara warga negara berhak untuk didaftarkan pada DPT tersebut dalam rangka pelaksanaan pemilu.

Berdasarkan definisi, secara hukum dan administratif, warga negara yang dapat memilih adalah yang terdaftar dalam DPT. Permasalahannya adalah bagaimana dengan warga negara yang secara hukum telah memenuhi syarat untuk memilih, tetapi tidak terdaftar dalam DPT. MK pun mengutip Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009, dan Peraturan KPU.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, MK berpendapat, DPTb, DPK, dan DPKTb yang diatur dalam PKPU harus dinilai sebagai implementasi penyelenggaraan pemilu dalam rangka memenuhi pelaksanaan hak konstitusional warga negara untuk memilih karena ketentuan konstitusional dalam UUD 1945 dan putusan MK sebagai putusan pengadilan konstitusional secara faktual belum ditindaklanjuti dalam undang-undang. Oleh karena itu, secara materiil, DPTb, DPK, dan DPKTb yang diatur dalam PKPU tidak bertentangan dengan hukum atau konstitusi,” kata dia.

Demikian juga dalil adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang berupa mobilisasi pemilih di 46.013 TPS, MK menilai bahwa semua TPS yang dipersoalkan oleh pemohon tidak terkait dengan perselisihan hasil perolehan suara. MK Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, dalil adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif tidak terbukti menurut hukum.

MK juga menyatakan tidak terbukti terjadi kecurangan Pilpres secara terstruktur, sistematis, dan masif, yang secara signifikan memengaruhi perolehan suara pemohon sehingga melampaui perolehan suara pihak terkait. Oleh karena itu, menurut MK, dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Kendati merasa kecewa, tim koalisi pendukung Prabowo, dalam konfrensi pers 21 Agustus 2014 malam menyatakan mengakui keutusan MK tersebut.

Namun, bagi Prabowo, hal ini belumlah sebagai akhir. Kendati dalam Pilpres 2014 ini dia masih diungguli Jokowi, tapi raihannya yang mencapai 62.576.444 suara, suatu bukti bahwa dia adalah seorang tokoh yang masih patut diperhitungkan dalam Pilpres 2019 mendatang. Apalagi dia kini berhasil memimpin Koalisi Permanen Merah Putih yang sudah ditandatangani para pimpinan partai (Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP dan PBB). Tentu, partai yang telah menandatangani koalisi permanen ini, kelak tidak mau disebut partai pembohong, sehingga tidak akan mengingkari kesepakatan tersebut. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com

Data Singkat
Prabowo Subianto Djojohadikusumo, lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951. Menantu (mantan) Presiden Soeharto dan putera begawan ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, itu dalam satu dekade terakhir menunjukkan perjuangan gigih untuk mewujudkan obsesinya jadi Presiden RI. Namun, impiannya masih selalu kandas. Dalam Pilpres 9 Juli 2014, dia nyaris jadi Presiden RI.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here