Kesederhanaan dan Keberuntungan Tidak Melupakan Akar
Rini Soewandi
[ENSIKLOPEDI] Keberuntungan memang masih melekat pada diri Rini Soewandi. Presiden Megawati Sukarnoputri, mempercayainya duduk di kursi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kabinet Gotong Royong, dilantik 9 Agustus 2001. Padahal sebelumnya banyak orang memperkirakan bahwa karir Rini sudah habis selepas pemberhentiannya dari jabatan Presdir Astra Internasional.
Kenapa keberuntungan masih berpihak pada Rini? Menurut kerabat dan orang di sekitarnya, hal ini tidak terlepas dari kesederhanaan yang juga selalu melekat pada dirinya. Melihat Rini Soewandi, kita seperti berkaca pada kesederhanaan. Sebab, di balik deretan jabatan yang pernah ia pegang, Rini senantiasa tampil bersahaja.
Kesederhanaan itu tak lepas dari didikan orang tuanya, khususnya sang ayah, Soemarno. Rini selalu mengenang, dari cerita ayahnya, bagaimana sang ayah harus berjalan 14 kilometer setiap harinya untuk pulang pergi ke sekolah. “That’s every day he did,” kata penggemar segala jajanan pasar dan masakan Padang ini.
Padahal ayah Soemarno, kakek Rini, memiliki kedudukan cukup terpandang di masanya. Ia seorang lurah di sebuah desa kecil di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Figur ayahnya memiliki dasar-dasar kuat dalam hidupnya: sederhana dan tidak pernah melupakan akarnya, sehingga begitu berarti dalam perjalanan hidup Rini.
Karena itu, selain soal kesederhanaan, dari sang ayah, perempuan yang lahir di Maryland, Amerika Serikat, 9 Juni 1958, ini selalu mendapat ‘suntikan’ untuk selalu mengingat dirinya sebagai orang Indonesia. Padahal, hampir seluruh masa sekolahnya dihabiskan di luar negeri. Ada beberapa hal yang dilakukan dan dipesankan sang ayah untuk mengingatkan dirinya pada Indonesia.
Rini berada di negeri ‘Paman Sam’ hingga usia tiga tahun, karena sang ayah bertugas di sana. Setelah sempat menjalani sebagian masa pendidikan dasarnya di Jakarta, menginjak usia ke sepuluh, Rini mengikuti sang ayah yang bertugas ke Belanda. Di negeri Kincir Angin ini, untuk mengingatkan bahwa dirinya anak Indonesia, Soemarno membawa Rini ke tempat les. Bukan untuk belajar matematika atau Fisika, tapi tari Jawa.
Tahun 1982, setelah mendapat kesempatan bekerja magang di Departemen Keuangan AS, Rini memutuskan kembali ke Indonesia. Tidak ada dalam pikirannya untuk bekerja di luar negeri, meski kesempatan untuk itu terbuka. Ini tak lepas dari aturan orang tuanya, khususnya sang ayah, agar segera kembali ke tanah air setelah lulus sekolah. Begitupun dengan urusan jodoh. Sang ayah cukup tegas dalam hal ini. “Don’t ever marry a non Indonesian,” begitu pesan Soemarno setiap saat ketika Rini melanjutkan pendidikan menengah dan universitasnya di Amerika Serikat.
Begitu kembali ke Indonesia, Rini bekerja di Citibank Jakarta. Dalam setiap kerjanya, ibu tiga orang anak ini selalu ingin memberikan yang terbaik. Kerja kerasnya di Citibank tidak sia-sia. Karirnya terus melesat hingga menggapai kursi Vice President yang menangani Divisi Coorporate Banking, Marketing and Trainning.
Sukses di Citibank tak membuat Rini lantas berpangku tangan. Ia selalu menginginkan tantangan dalam bekerja sebagai rasa syukur memperoleh kesempatan dan berkah. Karena itu, pada 1989 ia kemudian memilih pindah ke PT Astra Internasional untuk dapat terus mengembangkan dirinya. Dengan filosofi ingin berkarya sebaik mungkin, Rini terus mendaki tangga sukses. Tahun 1990 karirnya di Astra Internasional berbintang terang. Tahun itu ia dipercaya William Soeryadjaya, komisaris perusahaan itu, menduduki kursi Direktur Keuangan Astra Internasional. Wanita berperawakan sedang ini lantas menjalani hari-harinya sebagai direktur keuangan Astra sampai 1998.
Awal 1998, Rini ditarik ke jajaran birokrasi. Ia dipilih Menteri Keuangan saat itu, Fuad Bawazier, untuk membantunya menjadi asisten bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional. Di tahun yang sama, tepatnya bulan April, pemerintah juga mengangkatnya menjadi Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tapi, rupanya dua jabatan itu hanya kuat dijalani Rini dalam hitungan bulan. Ada banyak faktor eksternal yang membuat dirinya tidak bisa berkarya secara maksimal di sana. Rini mengundurkan diri dari dua jabatan tadi dan kembali ke Astra Internasional. Ia memang tidak begitu membanggakan jabatannya di birokrasi.
Keputusan Rini kembali ke Astra mengundang banyak pertanyaan kawan-kawannya. Pasalnya, terjangan badai krisis ekonomi hampir membuat kapal Astra karam. Kerugian induk perusahaan otomotif terbesar di Indonesia itu pada semester pertama 1998 mencapai Rp 7,36 trilliun. Ketika itu, jika berkaca pada laporan Presiden Direktur Astra dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSBL) 8 Februari 1998, boleh dibilang perusahaan itu sudah bangkrut. Sahamnya sendiri di Bursa Efek Jakarta hanya bernilai Rp 225,- per lembar saham pada September 1998. Bandingkan dengan saat go public menjelang akhir 80-an yang mencapai belasan ribu rupiah.
Rini tak surut melihat beratnya tantangan yang ada di hadapannya itu. Beberapa langkah segera diambil, seperti program efisiensi usaha melalui pemotongan gaji jajaran eksekutif, penutupan jaringan distribusi yang kurang strategis, serta pengurangan 20 persen karyawan dari 100 ribu karyawan Astra saat itu. Selain itu, Rini juga mengajak karyawan menjadi bagian dari pemegang saham Astra sehingga kepentingan pemegang saham, perusahaan dan karyawan bisa selaras. Langkah lainnya adalah merestrukturisasi utang Astra Internasional yang mencapai US$ 1 milliar dan Rp 1 trilliun. Akibat langkah-langkah itu, keuntungan Astra untuk seluruh tahun 1999 mencapai Rp 800 milliar dari kerugian mencapai Rp 1,976 trilliun tahun 1998.
Namun, kerja keras dan prestasi Rini itu berbenturan dengan pemegang kebijakan. Kapal yang dinahkodainya dinilai Cacuk Sudaryanto, kepala BPPN yang baru, sebagai tidak kooperatif. Ini berkait dengan rencana BPPN melepas saham Astra yang dipegang pemerintah. Rini dinilai tidak memuluskan pelepasan saham itu karena tidak suka pada investor yang dipilih BPPN.
Rini sempat berang dengan tudingan itu dan mengirim surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Isinya membantah apa yang diungkapkan Cacuk. Buntutnya terjadi silang pendapat soal rencana penjualan saham Astra dan penggantian dirinya. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) 8 Februari 2000, dua tahun setelah ia dipilih dalam ajang yang sama, Rini harus merelakan kursi Presiden Direktur Astra Internasional kepada Theodore Permadi Rachmat. Mantan atasannya ketika ia masih menjabat sebagai direktur keuangan perusahaan itu.
Lepas dari Astra tak berarti Rini habis. Tak lama setelah pemberhentian, Rini masuk ke perusahaan multimedia Agrakom yang dikenal sebagai pemilik situs Detikcom sebagai komisaris. Ia kemudian juga mendirikan perusahaan otomotif sepeda motor Kanzen. Namun manajemen dan produk sepeda motor Kanzen ini dinilai berbagai pihak kurang baik.
Namun, keberuntungan memang masih melekat pada diri Rini Soewandi. Presiden Megawati Sukarnoputri, mempercayainya untuk duduk di kursi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kabinet Gotong Royong, dilantik 9 Agustus 2001.
Pada awal menjabat Memperindag, Rini mengatakan hal yang paling utama dan paling krusial di bidang perindustrian dan perdagangan adalah menurunnya angka ekspor. Padahal, katanya, ekspor itu merupakan andalan untuk memperoleh devisa dan terkait dengan kegiatan dunia usaha yang berkaitan dengan gairah ekonomi dan lapangan kerja.
Menurutnya, penurunan ekspor ini bisa dilihat dari dua sisi yakni persoalan di dalam negeri dan juga perekonomian dunia. “Kita tahu bahwa perekonomian dunia mengalami kelesuan dan itu terjadi di negara-negara tujuan ekspor kita. Tetapi kita juga harus berani melihat apa yang terjadi pada kita sendiri,” ujar Rini.
Lalu ia pun berjanji akan mencoba memperbaiki tatanan industri dan perdagangan. Kalau penurunan ekspor itu terjadi karena persoalan bea masuk atau aturan yang tidak mendukung, tentunya harus diperbaiki agar tidak terjadi hambatan dalam kegiatan ekspor.
“Satu hal lagi yang akan saya coba terapkan di Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta di dunia industri dan perdagangan adalah good corporate governance. Saya akan berusaha membuat peraturan dan aturan main yang setransparan mungkin agar semua bisa melihat dan tidak ada seorang pun yang harus merasa dirugikan,” demikian komitmen Rini.
AFTA 2002
Perdagangan merupakan kata kunci perekonomian bangsa. Berlakunya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun ini telah memaksa kesiapan Indonesia mengikuti regulasi penurunan tarif bea masuk impor 0 hingga 5%. Dalam liberalisasi perdagangan di tingkat ASEAN tersebut pemberian proteksi kepada sektor usaha justru akan menjadi bumerang bagi perekonomian nasional.
Namun, kenyataan di dalam negeri berkata lain. Banyak sektor usaha yang masih mengharapkan proteksi pemerintah, bahkan tidak jarang yang menyuarakan aspirasinya dengan ancaman mogok. Bukan tugas yang ringan bagi Rini Soewandi sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) untuk mengatasi persoalan yang sebenarnya merupakan tanggung jawab tim ekonomi kabinet Megawati Soekarnoputri.
Alumnus S1 Ekonomi Wellesley College, Massachusettes, AS, ini sedih melihat ketidaksiapan pelaku usaha di dalam negeri yang selalu beralasan masih dihantam krisis moneter pada 1997 lalu. Namun, menurutnya, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak siap menyambut AFTA 2002 mengingat kesepakatan melaksanakan perdagangan bebas di kawasan ASEAN sudah dicanangkan sejak 1993.
Sayangnya, keinginan dan optimisme memenangkan persaingan bebas itu tidak mendapat dukungan penuh dari semua pihak. Itu tecermin dari mencuatnya polemik-polemik yang terkesan memojokan Depperindag sebagai regulator perdagangan. Tidak sedikit pula, pihak-pihak yang mencoba mempertentangkan tim ekonomi di kabinet yang baru berumur sembilan bulan.
Sebut saja, kasus paha ayam impor asal Amerika Serikat maupun pengenaan bea masuk (BM) impor gula yang membuat Depperindag dan Departemen Pertanian harus ‘bersitegang’. Kesan ‘berseberangan’ itu semakin meruncing tatkala banyak pihak yang turut memanaskan keadaan tanpa memahami intisari persoalan.
Meski dipertentangkan, mantan Presdir PT Astra Internasional 2000 lalu itu meyakinkan semua pihak bahwa sampai hari ini tim ekonomi kabinet Megawati Soekarnoputri masih tetap kompak dan berkoordinasi dengan baik. Tapi, harus diakui, tidak semua pihak puas dengan pernyataan itu, terutama mereka yang memiliki vested interest. Apakah mereka yang mengatasnamakan petani atau kelompok pengusaha tertentu.
Tumpang-tindih kebijakan
Rini menyadari saat ini masih terjadi tumpang-tindih kebijakan dari setiap instansi yang pada akhirnya justru membebani industri atau kegiatan usaha lainnya. Karena itu, diperlukan upaya-upaya menyinergikan kebijakan maupun peraturan yang dikeluarkan instansi pemerintah lainnya. Dan, yang pasti, landasan yang harus dipakai adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sudah terpuruk lebih dari empat tahun ini. TI, Tempo dan berbagai sumber