Ketidakadilan Menjadikannya Kuat
Dimyati Hartono02 | Dekat dengan Megawati

Mengenai kedekatannya dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, Guru Besar Tetap Universitas Diponegoro dan Pasca Sarjana Universitas Indonesia ini mengatakan, “Sebenarnya saya sudah lama kenal dengan Mbak Mega yaitu ketika Mbak Mega belum jadi apa-apa. Waktu itu yang namanya keluarga Soekarno ini ibarat virus, dimana orang mendekat saja sudah takut, karena sikap orde baru yang memotong semua lini hubungan-hubungan dari semua pengikut-pengikut Soekarno,” katanya.
Jadi Mbak Mega dan Taufik waktu itu datang ke rumah saya, dan saya merasa sangat senang, karena dulu di hati kecil saya, saya itu bisa menjadi orang, bisa menjadi sarjana, terangkat derajat keluarga saya, hal itu bisa karena merdeka, dan Indonesia merdeka karena jasa Soekarno. Jadi saya ingin sekali bisa membalas jasa pada beliau, tetapi belum apa-apa beliau sudah wafat. Tapi, datanglah putrinya ke rumah, dalam pikiran saya, barangkali Tuhan menunjukkan jalan bagi saya, inilah tempat untuk membayar utang saya kepada Bung Karno. Maka dari awal saya mendukung Mbak Mega,” katanya lebih lanjut.
“Kalau datang ke rumah selalu jam 20 ke atas. Rumahnya saat itu masih di Jalan Sumatera, yaitu rumah orang tuanya Taufik. Kemudian di lain hari dikasih rumah oleh Ali Sadikin di Cempaka Putih. Sementara yang lain-lain ini, misalnya yang di Tubagusan apalagi yang di Teuku Umar itu masih belum ada. Kalau mereka datang, kita ngomong-ngomong sampai soal-soal politik,” katanya mengingat-ingat. Dan menurutnya, kalau Ibu Mega atau Pak Taufik mau datang, mereka selalu telepon dulu. “Datangnya malam-malam sebab diawasi oleh Soeharto. Kalau sudah hampir dekat ke rumah, lampu teras saya matikan dulu. Kemudian mobil mereka masuk. Demikian juga kalau mereka hendak pulang, lampu masih tetap saya matikan. Kalau mobil mereka sudah agak jauh barulah lampu saya nyalakan lagi. Kita ngobrol-ngobrol sampai jam 12 atau jam 1 malam. Dan itu tidak berhari-hari atau berbulan tapi bertahun-tahun,” katanya lebih jelas.
Sampai ketika Ibu Megawati ditawari oleh Suryadi (mantan Ketua Umum PDI) agar masuk PDI, itupun menurutnya didiskusikan dulu di rumahnya. “Mbak Mega tanya pada saya, masuk apa nggak. Terus saya jawab, masuk saja,” katanya. Karena menurutnya kalau Ibu Megawati masuk PDI, nanti bisa membesarkan partai itu.
Kemudian waktu Ibu Megawati ditawari masuk anggota DPR, itupun didiskusikan dulu di rumahnya dengan Pak Taufik. Dia menyarankan agar Ibu Mega mau masuk karena menurutnya dengan duduk di bangku DPR, Ibu Mega bisa tahu banyak tentang pemerintahan Soeharto. Di samping itu ada keuntungan yang bagus buat Ibu Mega dan Pak Taufik, sebab kalau masuk DPR, berarti ada perlindungan ‘Protokoler’. Jadi tidak bisa ditangkap begitu saja, tapi harus dengan ijin Presiden. Akhirnya Ibu Mega kemudian masuk jadi anggota DPR,” katanya lagi.
Ketika Ibu Megawati mulai keliling untuk kampanye, Dimyati menyarankan agar Ibu Mega memegang UU Politik agar aman berkampanye. “Mbak Mega setuju, terus saya buatlah matriks,” katanya. Akhirnya PDI menjadi besar, tapi dia sendiri masih belum masuk PDI karena PDI itu masih PDI Suryadi.
Akhirnya terjadi konflik antara Suryadi dan Mega. “Saya saat itu sudah diminta untuk menjadi Penasehat Hukumnya. Saya mengatakan pada Mbak Mega bahwa saya membantu dari segi hukum saja. Jadi kemana-mana saya selalu ikut, tiap-tiap Munas, Raker, sampai kongres di Bali,” katanya sambil menunjukkan surat kuasa dari Megawati kepadanya, dan fotonya bersama Megawati saat peluncuran bukunya yang berjudul ‘Lima Langkah Membangun Pemerintahan yang Baik’.
Ketika Kongres di Bali, dia mengatakan bahwa dia mendampingi Mega secara tidak langsung. Ketika Mega sudah terpilih sebagai Ketua Umum, dalam pembicaran berdua, Mega mengajaknya masuk PDI. Namun sebelum mengiyakannya, dia tanya dulu jadi apa, Mega mengatakan bahwa dia nanti jadi Ketua DPP. Kemudian dia telepon dulu istrinya, dia bilang, “Ini Mbak Mega, minta saya untuk masuk partai jadi Ketua DPP, saya belum ambil keputusan, terserah anda”. Menurutnya, ia harus bertanya dulu kepada istrinya karena disadarinya, kalau sudah terjun ke dunia politik, berarti waktu harus 24 jam. Istrinya harus setuju. Kalau tidak setuju, tidak akan jalan. Jadi dia katakan lagi pada istrinya, “Kalau anda bilang ya, maka saya bilang pada Mbak Mega, ya, tapi kalau anda bilang tidak, saya juga bilang tidak pada Mbak Mega”. Baru ngomong begitu, Ibu Mega berkata padanya, “Mas, saya nanti bicara sama Mbak”.
Istrinya kemudian menjawab, “Pertama, saya sudah lihat, anda itu orang dekatnya Mega, jadi untuk mengatakan tidak, saya nggak bisa. Jadi daripada setengah-setengah, ya… sudahlah ikut sekalian. Kedua, saya lihat anda mempunyai kontribusi yang besar kepada perkembangan partai dalam hal pemikiran-pemikiran anda. Kalau itu dijalankan orang lain, belum tentu seperti yang anda konsepsikan. Jadi kalau anda di dalam, anda bisa melaksanakannya”. Dan terakhir istrinya mengatakan, “Kalau saya hitung, hidup kita ini kan sudah cukup. Tuhan sudah memberikan kemurahan yang banyak, anak kita sudah tidak menjadi beban, kita diberi rejeki cukup dan anda diberi kepandaian. Mungkin Tuhan ada maunya, anda harus berbuat untuk orang banyak”. “Jadi bagaimana?” tanyanya lagi meminta kepastian. Istrinya jawab, “Boleh”.
“Pada Ibu Mega, langsung saya bilang, boleh Mbak. Kemudian Mbak Mega bilang, Ya, kalau begitu sudah Mas, saya turun dulu. Kami langsung turun ke lantai bawah,” katanya mengisahkan.
Ibu Mega didampinginya terus sampai pemilu sukses. Sebelum pemilu, PDI-P sudah dibentuk. Dialah yang mencari Notaris dan menghubungi teman-teman separtai mereka di seluruh Indonesia, membuat fax, surat kuasa dan segala macamnya. Dia juga yang membicarakan soal nama PDI-P dan soal lambang ‘Kepala Banteng’ dengan Menteri Kehakiman yang waktu itu Pak Muladi. Saat itu, Pak Muladi bilang, kalau tidak pakai tambahan nggak boleh karena nanti jadi sama dengan PDI sebelumnya. Pada Ibu Mega dia tanya, “Bagaimana Mbak, kata ‘Perjuangan’ ini dipakai nggak?” Mega kemudian menyetujui. Sehingga dia total mendampingi Ibu Mega sampai menjadi Presiden.
Berani Menentang demi Perubahan
Tapi akhirnya sejarah berkata lain. Karena sudah menjadi sifatnya seperti ‘Brotoseno’, kalau tidak lurus, dia berani menentang. Ketika sudah menang, dia melihat partai itu tidak berjalan dengan benar tapi jadi lucu-lucu, rebutan kedudukan, rebutan rejeki, dan macam-macam.
Dia mengingatkan, pertama, sebaiknya Ketua Umum jangan merangkap jabatan. Karena dulu sudah janjinya, kalau sudah jadi presiden atau wakil presiden, itu berarti menjadi milik rakyat Indonesia, bukan milik PDI-P saja. Tapi dia merasa saran-sarannya tidak didengar. Kedua, partai jangan dibuat bergantung pada satu orang, tapi harus dibangun dengan manajemen yang baik. Karena itu dia mengusulkan perubahan-perubahan. Tapi itu juga tidak didengar sehingga dia merasa sudah tidak terlalu berkenan lagi di hati Ibu Megawati. “Namun tidak apa-apa, saya tetap sampaikan. Dalam rapat, saya usulkan buat buku kecil. Maksud saya buku itu jadi bukunya DPP tapi tidak didengar. Akhirnya secara pribadi saya cetak beberapa puluh ribu dan saya bagikan pada teman-teman di seluruh Indonesia supaya mendapat respon, tapi nggak dapat respon juga, responnya malah negatif, saya dicap mau merongrong pimpinan,” katanya sambil menunjukkan buku tersebut yang berjudul, ‘Evaluasi Akhir Tahun 1999 dan Prediksi Dasawarsa Abad ke 21 PDI-P. Isinya antara lain sebagai berikut: Langkah-langkah yang perlu antara lain… perbaikan sebagai persiapan menjadikan PDI-P sebagai suatu partai yang modern, solid, tangguh, berwawasan ke depan…
Ketika Pak Dim panggilan Pak Dimyati ditanya apakah pemikirannya tersebut sebelumnya sudah pernah diutarakan secara pribadi dengan Ibu Mega, dia mengatakan sudah. Namun Ibu Megawati katanya tidak meresponnya, hanya diam saja.
Akhirnya pada Kongres Semarang, teman-temannya dari beberapa daerah datang padanya mengatakan bahwa mereka berniat mencalonkannya sebagai Ketua Umum. Dia menyetujui. “Boleh tapi dengan syarat, kalau anda mencalonkan saya, harus berjuang di dalam kongres, tidak di luar kongres,” katanya kepada temannya dari daerah tersebut.
“Saya sadar, pada tahun 2000 belum ada yang bisa menandingi Megawati. Jangankan di dalam tubuh partai, di Indonesia saja tidak ada yang menandingi,” katanya bermaksud meluruskan masalah tersebut.
Mengenai alasannya melakukan tindakan itu, dia mengatakan bahwa dia tadinya mempunyai keinginan. Pertama, menjadikan partai PDI-P menjadi partai yang menunjukkan diri kepada publik sebagai partai demokrasi. Salah satu contohnya yaitu dimana calonnya tidak tunggal seperti jaman orde baru. Karena menurutnya orde baru itu selalu mengajarkan demokrasi yang tidak benar, misalnya selalu membuat calon tungggal sehingga demokrasi saat itu lebih pantas disebut ‘dekorasi’. Kedua, dia ingin memberikan pendidikan politik kepada bangsanya bahwa berdemokrasi itu harus begitu. Jika perlu, berani mengambil resiko demi kebenaran.
Itulah awal dari pemutaran haluan. Sejak itu dia mulai dikucilkan dari DPP. Saat tugas sebagai anggota DPR ke Jerman bersama Ketua DPR, dia diberitahu seseorang dari tim yang mengatakan bahwa di internet dilihatnya bahwa dia sudah dicopot sebagai ketua fraksi. Atur Lorielcide Paniroy – Marjuka
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)