Pejuang Tanpa Pengkotakan Politik
Saparinah Sadli02 | Pejuang Keadilan untuk Perempuan

Perjalanan untuk tiba usia 80 tahun adalah perjalanan panjang dalam hitungan waktu yang umum. Pada Saparinah Sadli, perjalanan itu sangat penuh. Sejarah mencatat ketokohannya dalam berbagai peristiwa penting bagi perjuangan keadilan untuk perempuan dan bagi kehidupan bersama yang bebas dari segala bentuk kekerasan.
“Di tengah kita, Ibu Sadli adalah pembawa pelita. Kadang berjalan di belakang untuk menerangi, kadang di depan untuk membuka jalan, kadang di tengah untuk menghangatkan….
“Ketika ada yang terluka, Ibu menjadi tempat bersandar yang kokoh, nyaman dan terpercaya, sambil kita mencari jalan untuk memulihkan diri. Dalam keraguan, Ibu Sadli memberi ketegasan: sekali tidak, tetap tidak. Jangan coba-coba mengubah hatinya!”
Potongan dari catatan Kamala Chandrakirana, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), untuk Bu Sap—begitu Saparinah disapa—yang belum sempat dikirim itu menyiratkan peran Bu Sap bagi Kamala dan bagi aktivis gerakan perempuan di Indonesia.
Beberapa bagian dari perjalanan Bu Sap adalah perjalanan melawan badai. Ia berada di depan pada saat-saat kritis bangsa ini. Dia adalah tokoh yang bersama dengan sekelompok tokoh dan aktivis perempuan menghadap Presiden Habibie untuk mendesak agar pemerintah mengakui dan meminta maaf atas terjadinya pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei tahun 1998.
Atas desakan itu, pemerintah akhirnya membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menyelidiki peristiwa kerusuhan Mei, kekerasan seksual menjadi bagian yang integral.
Dan yang sangat penting bagi perjuangan perempuan Indonesia adalah dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sebagai komisi nasional yang independen. Dia kemudian memimpinnya sampai paruh pertama tahun 2004.
Kegigihannya menolak berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan dan kelompok terpinggirkan adalah warisan yang harus dilanjutkan.
Ia terus memberi dorongan bagi kaum muda bertindak, seraya memuji perjuangan keras dan berbahaya demi keadilan, pemberdayaan, dan perbaikan kondisi perempuan yang dilakukan perempuan di akar rumput. Seperti Aleta Ba’un dari Timor Barat dan Mutmainah Korona dari Palu, penerima Penghargaan Saparinah Sadli tahun 2007.
“Mereka sungguh luar biasa,” ujar Bu Sap.
Acara pemberian penghargaan yang diselenggarakan para sahabat tepat pada hari ulang tahunnya tanggal 24 Agustus 2007 di Jakarta itu tidak ia hadiri. Absennya Bu Sap berbeda dibandingkan dengan acara sama saat Anugerah Saparinah Sadli pertama, tahun 2004, diberikan kepada Maria Ulfah dari Fatayat NU.
Bu Sap hadir sebentar pada diskusi informal “Perempuan Pejuang Menitipkan Pesan Bagaimana Mengisi Kemerdekaan” tanggal 28 Agustus 2007, untuk menghormati kemerdekaan RI dan ulang tahunnya ke-80.
Sudah lebih dari dua minggu ia menginap di rumah sakit, menunggui suaminya, Prof Mohamad Sadli (85), yang belakangan tidak lagi mengenali siapa pun yang datang, termasuk istrinya.
Ketika ditemui suatu siang pekan lalu, Bu Sap sedang membaca buku pemberian Kamala, The Year of Magical Thinking karya Joan Didion.
Kebersamaan
Bu Sap bukan tipe yang sentimental, meski hampir tak bisa dimungkiri, pikirannya tersita untuk kondisi kesehatan pasangan hidupnya itu.
Pasangan itu unik. Begitu banyak perbedaan yang mewarnai sikap dan pandangan mereka. Misalnya, ketika Bank Dunia bersidang di satu negara di Eropa untuk mengevaluasi penggunaan pinjaman di Indonesia, pasangan itu berada di posisi berpunggungan. Bu Sap pada posisi kritis bersama kelompok organisasi nonpemerintah, sementara Prof Sadli berada di pihak pemerintah.
Kehidupan perkawinan mereka yang dimulai 26 April 1954 tampak seperti yang digambarkan filsuf Lebanon, Kahlil Gibran, sebagai pasangan yang makan bersama dengan dua piring di satu meja makan. Keduanya memiliki konvensi sendiri-sendiri; juga tidak selalu runtang-runtung. Misalnya, Pak Sadli baru tahu Bu Sap dicalonkan menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 1990-an dari telepon teman, tetapi keduanya saling menghormati perbedaan pandangan di antara mereka.
Itu, barangkali, yang membuat ikatan batin keduanya sangat kuat. Bagi Bu Sap, Pak Sadli adalah pasangan dan sahabat jiwa, soulmate.
“Mula-mula sih flu biasa,” jelas Bu Sap tentang kondisi kesehatan Pak Sadli, yang rentan terhadap flu, tetapi sulit diajak berobat ke dokter. “Kami masih makan di luar sebelum Pak Sadli masuk rumah sakit,” ia melanjutkan.
Semua upaya mengatasi penyakit Pak Sadli harus mempertimbangkan kondisi ginjalnya yang sejak setahun lalu harus dirawat dengan dialisis tanpa mesin dengan metode CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis), empat kali sehari. Di rumah, Bu Sap melakukannya sendiri. Hanya sesekali saja dibantu pekerja rumah tangga.
“Banyak faktor kerentanan karena usianya sudah tua,” kata Bu Sap.
Kesehatan usia lanjut adalah masalah rumit. Usia harapan hidup yang meningkat, membawa persoalan besar terkait dengan populasi yang bertambah, tetapi tidak diikuti fasilitas yang menunjang. “Media tidak memberi cukup perhatian pada persoalan ini,” ia melanjutkan.
Ia sendiri merasa bersyukur karena melewati usia 80 tahun dengan kesehatan yang baik. “Sehat bagi usia lanjut merupakan faktor yang sangat penting,” tuturnya. “Yang terpenting bagi saya sekarang adalah menjadi tetap sehat.”
Bu Sap mengaku tidak menjalani check-up kesehatan secara rutin. Dalam soal makan, ia tak ketat berpantang. Ia juga tidak terlalu rajin olahraga; juga tidak minum jamu. Waktu usianya lebih muda ia suka berkebun. Setiap hari ia bangun pagi untuk shalat. Setahun terakhir ia ikut senam osteoporosis di Wisma Oktrooi Kemang, Jakarta Selatan. “Setiap Sabtu jam 08.00. Saya paling tua di situ,” katanya.
Kalau tidak ada yang dijaga secara khusus, bagaimana ia memiliki energi yang sedemikian berlimpah?
Tahun 2002, ia masih menemui pejuang hak asasi perempuan, Mama Yosefa, di Timika, Papua, yang membekaskan kesan sangat dalam. “Ketika melihat tanah yang dieksplorasi Freeport menganga seperti kawah, Mama Yosefa berteriak histeris, ‘Mana Ibu saya…. Mana Ibu saya….’ Bumi adalah Ibu baginya,” Bu Sap Mengenang. Ia berada di Aceh cukup lama setelah tsunami.
Sampai hari ini ia masih mengajar dan membimbing disertasi. Bahan mengajarnya selalu diperbarui dan berkonteks, membuat ia harus rajin membaca dan berdiskusi. Kegiatannya di luar masih banyak, dan ia selalu siap kalau dibutuhkan, khususnya oleh Komnas Perempuan.
Bersama Kaum Muda
Mungkin ritme hidup seperti air mengalir itu resepnya. Akan tetapi, ada yang lebih penting. “Saya bekerja dengan anak muda,” katanya. Ini mengingatkan pada ungkapan senada dari sastrawan, aktivis, dan feminis Mesir, Nawal El Saadawi.
Hampir seluruh kegiatannya dilakukan dengan mereka yang usianya jauh lebih muda; beberapa pernah menjadi muridnya. Penampilannya pun lebih menyerupai para aktivis. Busananya selalu chic. Wajahnya selalu segar dengan rias tipis. Ia suka perhiasan etnik, yang sering harus direlakan bila diminta.
Di kalangan aktivis, Bu Sap dikenal sangat demokratis. “Saya sulit untuk mengemukakan pendapat dengan jujur, kecuali dengan Bu Sap,” ujar Dr Kristi Purwandari, Ketua Program S-2 Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, generasi ketiga yang memimpin program itu, setelah dibidani dan dipimpin Bu Sap selama 10 tahun sejak program itu dibuka, 17 tahun lalu.
Bu Sap menjadi “orang besar” karena mau mengakui keterbatasannya. “Dia terbuka untuk menerima masukan,” Kristi menyambung, “saya banyak mendapatkan ide dari diskusi dengannya. Ia sosok yang selalu memberi inspirasi pada kami.”
Banyak orang kagum kepadanya. Seperti Ny Sinta Nuriyah Wahid yang pernah menjadi muridnya di Kajian Wanita UI. “Beliau mendukung penuh saat kami berjuang untuk perdamaian melalui Suara Perempuan untuk Perdamaian tahun 1999,” ujarnya.
Dukungan juga diberikan Bu Sap dengan menjadi staf ahli pada Puan Amal Hayati, lembaga yang didirikan Sinta Nuriyah untuk melakukan kajian Kitab Kuning dengan perspektif yang lebih adil untuk perempuan.
Saparinah berasal dari keluarga priayi Jawa yang ketat dengan tradisi, tetapi memberi kebebasan kepada anak-anak perempuannya untuk memilih sekolahnya.
Setelah lulus Sekolah Asisten Apoteker di Yogyakarta, ia sempat bekerja di apotek di Yogya dan Jakarta, lalu tahun 1954 ikut tes di Jurusan Psikometri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia—cikal bakal Fakultas Psikologi UI—karena bosan bekerja di laboratorium. “Saya buat obat, tetapi tak kenal yang mengonsumsi.”
Setelah menikah pada tahun 1954 juga, dia mengikuti suaminya belajar ke AS selama tiga tahun. “Ya belajar anatomi segala. Jadi, awalnya memang sangat klinis. Tiga tahun di Amerika, kembali ke Jakarta, saya kuliah lagi,” ujarnya.
Saparinah muda kagum pada ketekunan Madame Curie, penemu radioaktif dan penerima Nobel bidang fisika tahun 1903. Namun, Janet Hyde melalui bukunya, Half of Human Experience, Psychology of Women tahun 1974, adalah salah satu yang membawanya tiba pada point of no return bagi perjuangan untuk hak-hak asasi perempuan. (Maria Hartiningsih & Ninuk Mardiana Pambudy, Persona Kompas 2 September 2007) ti
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)