Pelaku dalam Beberapa Perubahan
Slamet Effendy Yusuf
[ENSIKLOPEDI] Anggota DPR-RI (1992-2009) berwawasan kebangsaan ini sangat sering berada pada momen perubahan yang sangat penting dan dahsyat. Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor (1985-1995) ini salah seorang konseptor kembalinya Nahdlatul Ulama ke Khittoh 1926. Ketua Dewan Kehormaatan DPR (2004-2007)ini, berperan penting dalam perubahan dan peningkatan etos kerja anggota legislatif.
Mantan wartawan ini seorang yang berperan penting dalam konvensi calon presiden dari Partai Golkar, suatu inovasi dalam dunia politik Indonesia. Saat mahasiswa, ia menjadi juru bicara memperjuangkan agar PMII, menjadi organisasi yang independen dari struktur Partai NU. Kemudian, sebagai Wakil Ketua Panitia Ad-Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR aktif mempersiapkan perubahan UUD 1945.
Tokoh muda yang sering berperan dalam perubahan ini, sungguh punya andil dalam kembalinya NU ke Khittoh 1926. Pada awal tahun 80-an, tokoh-tokoh muda NU, mendorong agar NU mengambil langkah untuk keluar dari partai politik (Partai Persatuan Pembangunan). Agar NU kembali ke Khittoh 1926. Karena selama masih terlibat dengan politik, segala enerjinya terserap ke arah itu. Padahal hakekatnya NU didirikan adalah untuk mengurus hal-hal keagamaan, pendidikan, dakwah, sosial dan perekonomian. Sehingga pada tahun 1983 mereka merumuskan strategi pembaruan NU melalui tema Kembali ke Kkhittoh Nahdlatul Ulama.
Ketika itu, ia termasuk orang yang membidani konsep tersebut di kelompok G yaitu sebuah kelompok yang sering berkumpul di sebuah gang bernama Gang G di Mampang, Jakarta Selatan. Kelompok inilah sebagai motor pergerakan perubahan di NU saat itu,” ungkap si ‘anak nakal’ semasa remaja ini, dalam percakapannya dengan wartawan Tokoh Indonesia.Com, di ruang kerjanya di Jakarta, Senin, 25 November 2002. (Tokoh Indonesia.Com juga mewawancarai tokoh bersahaja ini pada Senin 21 Juli 2003).
Kemudian pada tahun 1983 diadakan Munas Alim Ulama NU dilanjutkan dengan muktamar NU 1984, setahun kemudian . Dalam Munas maupun Muktamar itu, ia menjadi sekretaris komisi khittoh. Dengan sendirinya ia menjadi salah seorang perumus. Sesungguhnya persiapan rumusan itu dikerjakan oleh tim kecil dari Jakarta. Waktu itu yang ditugaskan adalah Abdurahman Wahid untuk menyiapkan naskah.
Tetapi karena sibuk, Slamet atas permintaan Almarhum Dr.Fahmi Saifuddin menyusun naskah Khittoh NU. Ia mengerjakannya malam itu juga. Paginya, ia menyerahkan naskah tersebut ke Fahmi dengan pesan agar dibaca dulu oleh Abdurrahman Wahid sebelum diperbanyak. Ketika ia ketemu Gus Dur, ia tanya sudah membaca naskah itu, dijawabnya sudah. “Sudah baik kok Mas”, kata Gus Dur.
Peran Slamet diakui sendiri oleh Abdurrahman Wahid. Antara lain dalam pidatonya di stadion Widodo, Purwokerto, tahun 1985 seusai Muktamar NU. Di depan massa, Gus Dur secara jujur mengatakan, bahwa banyak orang mengira yang menyusun dan membidani Khittoh NU adalah dirinya. Padahal, katanya, bidannya adalah orang Purwokerto. Maksudnya yaitu Slamet Effendy Jusuf.
Hal serupa pernah dikemukakan Gus Dur di depan Menteri Agama Munawir Sjadzali di rumah Gus Dur (waktu itu masih di Cilandak) selesai Muktamar. Sambil menunjuk Slamet, Gus Dur bilang: “Pak Munawir, sebenarnya ini ibarat kerbau punya susu, tapi sapi punya nama. Mas Slamet yang nyusun orang-orang mengira saya.” Maka tak berlebihan ketika Majalah Aula, sebuah majalah NU di Jawa Timur, mengungkapkannya dalam artikel berjudul “Slamet Effendy Yusuf, Konseptor Sejati Khittoh.
Sebelumnya, sebagai Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, pada tahun 1972, ia ikut memotori perubahan agar PMII independen dari Partai NU. Begitu pula dalam mempersiapkan perubahan UUD 1945, ia aktif sebagai Wakil Panitia Ad-Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR.
Ia memang seorang pelaku dalam beberapa perubahan. Terakhir, sebagai Ketua Pelaksana Harian Panitia Konvensi Nasional Partai Golkar, ia berperan dalam sebuah terobosan baru penyeleksian calon presiden dan wakil presiden dari Partai Golkar.
Dia pun menulis buku yang berjudul “Ikut dalam Perubahan.’ Sebelumnya, dia sudah menulis beberapa buku bersama sahabat-sahabatnya. Antara lain:buku “Reformasi Konstitusi, Perubahan Pertama UUD’ 45” yang disusun bersama Umar Basalim, diterbitkan tahun 2000 dan buku “Dinamika Kaum Santri” yang disusun bersama Ichwan Sjam dan Masdar F.Mas’udi, diterbitkan oleh penerbit Rajawali, tahun 1983.
Matan Ketua DPP Partai Golkar ini, dikenal sebagai seorang politisi yang berjiwa kebangsaan. Ketika direkrut menjadi anggota Golkar, sebuah majalah di luar negeri, Asia Week, menyebutnya sebagai seorang yang mempunyai wawasan kebangsaan yang kental, memiliki sifat yang tidak eksklusif, kendati lahir dari kalangan santri dan pemimpin muda Islam.
Semasa menjabat Ketua Umum Pemuda Ansor, ia memang sering mengadakan kerja sama atau acara-acara bersama dengan organisasi kepemudaan agama lain, Katolik, Budha, Protestan dan Hindu. Sebagai contoh, ketika Pemuda Ansor mengadakan acara yang bernama Kemah Pemuda Untuk Kebangsaan. Acara itu diikuti berbagai organisasi kepemudaan dari berbagai agama. Saat itu ia membuat kebijaksanaan, dalam setiap tenda harus terdiri dari anggota berbagai agama. Hal itu dilaksanakan dengan baik dan membuahkan saling pengertian.
Sering kali mereka justru saling mengingatkan. Ketika menjelang subuh, yang Kristen membangunkan dan mengingatkan yang Islam untuk sembahyang subuh. Kemudian ketika hari Minggu, yang Islam mengingatkan yang Kristen untuk kebaktian. Sehingga di situ setiap orang belajar untuk menghormati bahkan mendorong penganut agama lain untuk melaksanakan ajaran agamanya. (Bersambung) Mangatur L. Paniroy
***TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Santri Cinta Tanah Air
Mantan Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta ini, dilahirkan di sebuah desa kecil, Desa Lesmana, Kecamatan Ajibarang, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Ia anak pertama dari 4 bersaudara, tapi ia juga anak kedua dari 5 bersaudara, karena ayahnya sebelum beristri ibundanya, pernah beristri di Cirebon.
Tanggal lahirnya tidak diketahui pasti. Sebab, pada masa itu, masa perjuangan kemerdekaan dan ayahnya, KH Yusuf Azhari, sedang dalam pengejaran tentara kolonial Belanda. Slamet kecil bersama ibunya, Hj. Umi Kulsum harus diungsikan ke Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Sementara ayahnya tetap bergerilya di daerah sekitar Banyumas bersama pejuang kemerdekaan lainnya. Namun bila dilihat dari sejarah itu, tentara Belanda memasuki Banyumas sekitar tahun 1949, maka ketika dalam ijazah diperlukan tanggal lahir, ia memprediksi saja, bahwa hari lahirnya tanggal 12 Januari 1948.
Karena tidak adanya kepastian itu, ia sendiri tidak pernah merayakan hari kelahirannya. Orangtuanya hanya ingat anaknya lahir hari Selasa Kliwon, hari yang “wingit” bagi orang Jawa.
Mantan Ketua Umum DPP Gerakan Pemuda Ansor dua periode (1985-1995) ini dibesarkan dalam kelangan santri. Ayahnya, seorang kiai dan semasa perjuangan kemerdekaan sempat ikut sebagai pejuang laskar Hizbullah/Sabilillah. Keluarga ini mengalami kesulitan pada awal tahun 50-an. Terutama karena di laskar terjadi perbedaan visi antara ayahnya dan teman-temannya. Sebagian teman-temannya ayahnya memilih menjadi gerombolan, DI/TII. Sedangkan ayahnya memilih ikut Republik Indonesia.
Ayahnya mempunyai keyakinan, Islam di Indonesia hanya bisa dikembangkan dalam wadah negara yang bersatu dan merdeka sebagaimana diperjuangkan bersama-sama seluruh rakyat. Slamet kecil sangat menghayati situasi sulit tahun lima puluhan ketika rumahnya dipakai menginap orang-orang yang takut menjadi sasaran gerombolan, termasuk untuk persinggahan TNI, sementara terkadang bekas teman-temannya yang takut diburu TNI karena dicurigai DI, sering berlindung di rumahnya.
Namun sejak tahun 1950, setelah Indonesia kembali memperoleh pengakuan kedaulatan, ayahnya kembali menjadi Kiai, guru ngaji, bergerak dilingkungan NU. Ayahnya dikenal sebagai seorang yang liberal, temannya terdiri dari berbagai kelompok, dari tokoh-tokoh Muhammadiyah, tokoh-tokoh politik tingkat kampung, kecamatan, atau kabupaten.
Satu hal yang terus diturunkan ayahnya kepada anak-anaknya adalah cinta tanah air sebagai bagian dari keimanan seorang Islam. Ayahnya selalu mencontohkan tokoh-tokoh daerah tersebut yang menonjol seperti Sudirman, Saifuddin Zuhri, Kiai Muslih sebagai orang-orang yang sangat setia kepada Republik karena landasan cinta tanah air yang berakar dari iman.
Liberal dan Toleran
Ayahnya juga memberi contoh agar orang hidup sadar kebersamaan. Tidak eksklusif. Selalu diajarkan keluasan wawasan, dan pergaulan. Ayahnya mencontohkan pergaulan dengan tokoh-tokoh Masjumi, PNI, Muhammadiyah, orang-orang pemerintah, bahkan dengan kiai-kiai yang dicurigai ikut memberontak.
Mungkin karena pegaulan yang luas, ayahnya termasuk liberal pula dalam mendidik putra-putrinya. Sekalipun hidup di lingkungan keluarga Kiai, orang tuanya tidak menanamkan sikap ‘sam’an wa tho’atan’ (dengar dan taati) yang biasanya berkembang di kalangan pesantren secara membabi buta. Anak-anaknya tidak dilarang mempertanyakan dan mendebat apa yang dianggap doktrin sekalipun.
Sebagai orang NU, selain berlangganan suratkabar NU, Duta Masyarakat, ayahnya juga sering membeli Koran Abadi (milik Masjumi) dan Suluh Indonesia/Suluh Marhaen (milik PNI), maupun majalah Pembela Islam dan Al-Muslimun yang diterbitkan oleh Persatuan Islam (Persis), organisasi yang dalam banyak hal berbeda pandangan mengenai masalah-masalah agama dengan NU.
Bacaan-bacaan tersebut tentu ikut mempengaruhi proses pertumbuhan Ketua Yayasan Islam Fajar Dunia ini. Selain itu, kedua orangtuanya mengajarkan agar seseorang dalam meyakini kebenaran yang dianutnya, tidak boleh menafikan kebenaran yang dipeluk orang lain. Bahkan jika diperlukan, orang harus berani memikirkan ulang pendiriannya, jika ada hujjah (argumentasi) yang lebih baik dan kuat.
Orangtuanya selalu mengatakan, “kamu harus yakin kebenaran yang kita anut. Tetapi kamu tidak boleh meyakini bahwa kebenaran-kebenaran itu mesti milik kita saja. Jangan-jangan kebenaran itu berada di tempat orang lain. “Jadi, ia dan saudara-saudaranya tidak pernah diajarkan untuk menyalahkan orang lain. Ayahnya memang dikenal sebagai seorang yang paling toleran dengan paham orang lain. Namun ayahnya akan menjadi keras apabila ada paham pihak lain yang menyalahkan pahamnya secara apriori.
Jika ada orang yang mulai menyalah-nyalahkan orang lain, ayahnya selalu katakan, “selesaikan dulu ngajinya supaya tahu mana yang benar dan salah.” Sebab menurut ayahnya, orang yang demikian itu ngajinya pas-pasan atau ilmu agamanya tanggung. Berbeda dengan orang yang berwawasan luas akan tahu permasalahan dengan benar. Tidak mudah menyalahkan orang lain, apalagi menuduh sesat.
Kendati orangtuanya tidak pernah secara formal aktif dalam organisasi politik, hanya aktif dalam lembaga pendidikan, yang belakangan mengasuh Ma’had Tahfidzul Qur’an di Desa Lesmana Ajibarang, Purwokerto, namun suasana pergaulan ayahnya dan dialog di rumah ikut mempengaruhi minatnya terhadap politik. Sebab, ayahnya bersama tamu-tamu sering juga berbicara tentang masalah-masalah umat Islam, masayarakat, bangsa dan negara yang berkembang saat itu.
Sang Ayah memang dibesarkan dalam lingkungan madrasah dan pesantren. KH.Yusuf muda pernah tinggal di Mesir, Palestina dan Makkah. Dalam mengajarkan sesuatu kepada anak-anaknya selalu menggunakan media pengalamannya di sana. Jadi, ayahnya melihat desa tempat tinggal mereka sebagai bagian kecil dari dunia yang luas.
Apalagi ayahnya seorang penghafal Al-Qur’an. Sehingga selalu juga menggunakan cerita dalam Al-Qur’an untuk mendidik anak-anaknya. Seperti kisah-kisah Nabi, kisah tentang bangsa Rum, kisah tentang Ratu Saba dan sebagainya. Mengaji Al-Qur’an kepada ayahnya, adalah sebuah pengembaraan. Sebuah perjalanan.
Penafsirannya tentang ayat Al Qur’an mendorong keingintahuan lebih lanjut. Tempat-tempat bersejarah yang banyak disebut oleh Al-Qur’an ia coba jelaskan’ “Kamu kalau sudah besar harus pergi ke sana”, sering diucapkan ayahnya. Dikutipnya ayat yang menyuruh orang untuk berjalan di muka bumi untuk melihat perbuatan manusia, yang baik maupun buruk.
Semua pengasuhan orang tuanya itu, meninggalkan tanda dan kesan mendalam dalam hidupnya. Sejak kecil, cita-citanya untuk melihat luasnya dunia itu telah tertanam dalam dirinya. Alhamdulillah, Slamet sudah mengunjungi semua benua, kecuali Antartika.
Masuk Sekolah Rakyat
Pada tahun 1957 ia masuk Sekolah Rakyat (SR), sekarang Sekolah Dasar (SD). Setahun sebelumnya ia sudah sampai menangis mohon kepada mbahnya agar mendaftarkannya ke SR. Mbahnya berupaya mengabulkan. Namun ia tetap ditolak, karena tangan kanannya belum dapat mencapai telinga kiri. Jadi, baru pada tahun 1957 ia diterima masuk SR dan lulus 1962.
Pada masa itu, guru-guru sudah memiliki orientasi politik masing-masing. Ada beberapa guru-guru yang aktivis PNI dan juga PKI. Namun komunikasi antara guru-guru dengan murid waktu itu sangat baik. Walaupun pada waktu itu ia dikenal sebagai anak nakal, iseng dengan teman-teman yang lain. Ia termasuk anak yang sering meneruma hukuman, disetrap.
Seperti, di hari pertama masuk sekolah, seorang murid perempuan duduk di depannya sudah menjadi obyek keisengannya. Mengetahui bangku yang diduduk temannya sudah berlepasan, ketika murid tersebut diminta ke depan kelas untuk berkenalan, sengaja diam-diam mengganjelnya dengan genteng. Keruan saja ketika duduk kembali, murid perempuan itu terjatuh. Lalu gurunya langsung tahu dia yang jahil. Ia distrap di hari pertama masuk sekolah. Namun walaupun demikian, ia merasa disayang guru-gurunya. Ia selalu menerima jika dihukum karena ia tahu itu semua akibat perbuatannya.
Setelah lulus SR, ia melanjutkan ke Madrasah Mualimin Al-Hidayah di Karang Suci, Purwokerto, yang berjenjang 6 tahun. Sebuah pendidikan setingkat SMP dan SMU. Lembaga pendidikan dari yayasan yang didirikan oleh 7 tokoh NU termasuk di dalamnya Ki Mukhlis pamannya. (Bersambung) Mangatur L. Paniroy
***TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Titisan Sang Ayah
Pria yang bukan seorang politisi karbitan ini, sejak dari SR sudah aktif dalam organisasi, ekstrakurikuler. Kegemarannya berorganisasi merupakan titisan sang ayah. Ia ikut dalam kepanduan Ansor. Kemudian ketika di Madrasah Mualimin Al-Hidayah, ia juga aktif di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Lalu ketika kuliah, waktunya banyak digunakan untuk aktivitas di PMII dan Dewan Mahasiswa IAIN Jogjakarta. Sampai setelah selesai kuliah, aktif di Gerakan Pemuda Ansor, organisasi pemuda Nahdlatul Ulama.
Keaktifannya di IPNU, boleh dibilang tidak sengaja. Ketika masih kelas 2 madarasah, sekitar tahun 1964, secara tidak sengaja ia langsung menjadi ketua IPNU Kecamatan Ajibarang. Ketika itu, pagi-pagi, saat ia sedang di kebun, ada rombongan teman-temannya yang kebetulan lewat mau ke Ajibarang. Ia tanya, “hey, mau ke mana?”, mereka bilang mau pergi ke konferensi IPNU anak cabang Ajibarang. Lalu ia diajak. Kemudian ia pun ikut saja rombongan itu.
Sampai di sana, ternyata dalam konferensi, setiap orang yang hadir boleh bicara. Lalu ia pun ikut bicara. Ia bicara tentang pentingnya kepemimpinan di sebuah organisasi seperti IPNU, supaya maju. Setelah itu diadakan pemilihan ketua, eh ia yang terpilih. Padahal waktu itu ia menjadi anggota pun belum.
Kegiatan IPNU waktu itu masih di sekitar mempromosikan IPNU ke lingkungan madrasah-madrasah. Tapi juga termasuk kelas 6 SR sudah diajak bergabung. Jadi, ia selaku ketua, bersama teman-temannya dari Ajibarang, sering berangkat menjelang shalat subuh menelusuri desa. Pada subuh-subuh itu, mereka menggunakan obor menyeberangi sungai menuju desa lain yang cukup jauh. Kadang kala di jalan diselingi dengan shalat subuh. Saking jauhnya suatu desa yang dituju, mereka bisa sampai sekitar jam 8 pagi. Bahkan kalau ada undangan pengajian subuh, mereka harus berangkat lebih awal, malam hari.
Walaupun ia tergolong nakal dan aktif dalam organisasi, prestasi belajarnya sejak SR adalah terbaik. Prestasi ini tidak lepas dari peranan guru-guru pada waktu itu, yang benar-benar mendidik murid-muridnya. Salah satu gurunya, Pak Suwono, selalu ia kenang. Seorang guru yang keras dan galak, tetapi guru yang selalu mendorong murid-muridnya untuk belajar dan berkompetisi dengan sehat. Misalnya di dalam kelas dibentuk dua kelompok. Kemudian diberi kesempatan membuat soal. Lalu, setelah itu, soal ditukar. Setiap kelompok yang dapat menyelesaikan soal tersebut mendapat penghargaan.
Selain itu, Pak Suwono itu juga sering menuliskan soal di papan tulis, yang biasanya sangat sulit. Bagi setiap siswa yang mampu menjawabnya akan diperbolehkan pulang lebih dahulu. Sedangkan yang lain harus tinggal sampai jam setengah satu. Biasanya, si ‘anak nakal’ ini dapat menyelesaikan lebih cepat. Namun kadang ia merasa tidak enak, lalu memberikan jawaban kepada teman-temannya yang lain. Tapi, Pak Suwono tetap mempersilakannya lebih duluan pulang. Karena Sang Guru tahu, ia mampu menjawabnya.
Dari guru, yang aktivis PNI, ini ia pertama memperoleh pinjaman buku “Indonesia Menggugat” pidato pembelaan Soekarno.”Saya tidak tahu mengapa saya yang baru lulus SR dipinjami buku seberat itu”, katanya mengenang. Selain Suwono, ia terus mengingat jasa Ibu Guru Suryani, orang PNI, yang pertama mengajarkan ia melek huruf di Klas 1 SR.
Guru Sairin, yang pandai berceritera Si Pincang. Pak Guru Tarwan, orang yang kalau menyanyi lagu-lagu mars perjuangan sangat bersemangat, yang kemudian lama masuk tahanan karena dituduh PKI. Pak Guru Salip yang langganan Si Kuncung dan secara istimewa membolehkan Slamet membawa pulang majalah itu. Dan gurunya yang lain.
Otak encernya ia buktikan ketika mengakhiri sekolahnya di madrasah Mualimin Al-Hidayah, ia menjadi siswa teladan.
Pada saat di Madrasah Mualimin itu, ia juga banyak bergabung dalam pergerakan pelajar. Ikut demo-demo semasa peralihan pemerintahan dari orde lama ke orde baru yang menentang kekuasaan yang otoriter. Ia menjadi anggota KAPPI rayon kota Purwokerto. Di waktu-waktu luang, ia juga mendalami dunia seni, yang ia rasakan itu sebagai bakat. Ia malah pernah menulis naskah drama. Bahkan pernah guru Bahasa Indonesianya menggunakan naskah drama itu dalam pentas sekolah.
Selain menulis naskah drama, ia juga ikut dalam memainkan peran dalam pentas drama. Kegiatan seni ini, ia kerjakan sampai di tingkat dua perguruan tinggi. Setelah itu, karena terlalu sibuk dengan berbagai aktivitas organisasi, ia pun lupa menjadi seorang seniman.
Selesai dari Madrasah Mualimin, ia sempat melanjutkan di Fakultas Tarbiyah di kotanya, hanya selama dua bulan. Kemudian ia pindah ke Jogja (1968) masuk Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga dan meraih gelar sarjana S1. Semasa kuliah itu, ia pun bergabung dalam PMII, masih organisasi NU.
Sebenarnya ia juga sudah punya pikiran untuk bergabung ke organisasi lain yang bukan berbasiskan NU. Namun ia diwanti-wanti oleh teman dekatnya, yang sekarang menjadi istrinya, Dra. Siti Aniroh, untuk tidak masuk organisasi lain selain PMII. “Itu kan terusannya IPNU”, kata pacarnya.
Memang semasa mahasiswa, boleh dibilang secara total ia terjun dalam aktivitas kemahasiswaan. Sejak dari tukang pasang spanduk, pamflet, corat-coret tembok, membuat laihan-latihan, hingga memimpin demonstrasi.
Ketika tingkat dua, ia diangkat sebagai Ketua Komisariat PMII di Fakultas Syariah. Ketika masih Ketua Komisariat PMII Fakultas Syariah, ia menjadi juru bicara cabang Jogjakarta yang memperjuangkan agar PMII, sebagai gerakan mahasiswa, menjadi organisasi yang independen dari struktur Partai NU.
Argumentasinya, sebagai cendekiawan muda, mahasiswa dalam gagasan maupun gerakan tidak boleh didasarkan kepada pertimbangan kepentingan politik, tetapi harus dengan alasan moral, kebenaran dan keadilan serta berorientasi kepada kepentingan negara, bangsa dan kemanusiaan. Karena itu PMII seharusnya tidak menjadi onderbow partai politik.
Lalu dalam kesempatan itu ia menjadi salah seorang perumus Deklarasi Murnajati, yang mendeklarasikan PMII menjadi organisasi mahasiswa yang independen, lepas dari hegemoni Partai NU.
Ketua Dewan Mahasiswa
Kemudian, ia dipilih menjadi Ketua Cabang PMII Jogja (1972). Pada saat yang sama, ia juga ikut sebagai pengurus Senat Mahasiswa IAIN Fakultas Syariah. Lalu tak lama kemudian terpilih menjadi ketua Dewan Mahasiswa IAIN (1973-1975).
Pada masa-masa ini adalah saat sulit baginya. Karena ia menjadi ‘langganan’ polisi, dianggap sebagai aktivis pemberontak. Peristiwa demonstrasi mahasiswa 1973-1974, sempat membawanya ke Tahanan Corps Polisi Militer dan Rumah Penjara Wirogunan bersama-sama tokoh-tokoh mahasiswa dan dosen-dosen muda di Yogyakarta, seperti Firdaus Basuni, Anhar Gonggong, Yusuf Muhammad, Ali Muhtarom, Ashadi Siregar dan lain-lain.
Bahkan, ia pernah diciduk polisi dari rumahnya, ketika sedang pulang kampung menghadiri hajatan pernikahan adiknya. Ia dibawa ke Polres Banyumas dan ditahan selama 3 hari, karena dianggap mendalangi protes mahasiswa Fakultas Tarbiyah Sunan Kalijaga Cabang Purwokerto. Jadi, baginya “berhubungan” dengan polisi waktu itu, sebagai aktivis mahasiswa, sudah biasa.
Sewaktu pengadilan atas tokoh Malari, Hariman Siregar digelar, ia menjadi salah seorang saksi yang didatangkan ke Jakarta. Ia juga pernah merasakan menjadi orang yang dicekal oleh Kejaksaan Agung, tidak boleh ke luar negeri. Ketika itu ia gagal maenghadiri acara pemberian hadiah sebagai salah seorang juara penulis Radio Malaysia di Kuala Lumpur, karena di cekal.
Sebagai seorang mahasiswa daerah yang baru pertama kali ke luar negeri, tiba-tiba dicekal, tidak boleh ke luar negeri, ia tentu sangat kecewa. Ia pun mondar-mandir ke Kejaksaan Agung selama tiga hari, sampai akhirnya bertemu dengan Suhadibroto, Jaksa yang pernah memeriksanya pada Peristiwa Malari. Setelah itu, barulah pencekalannya dicabut. Ia pun akhirnya berangkat, walaupun sudah terlambat. (Bersambung) Mangatur L. Paniroy
***TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
04 | Ijazah Bukan untuk Nafkah
Namun dengan berbagai kegiatan semasa mahasiswa itu, ia masih bisa menyelesaikan kuliahnya di IAIN Jogja, dengan membawa ijazah. Kendati dalam proses mendapatkan ijazah itu, ada pengalaman yang membuatnya tersentak untuk tidak menggunakan ijazah mecari kerja.
Ketika itu menjelang wisuda tingkat fakultas, ia diminta oleh teman-temannya dan fakultas untuk menyampaikan kata sambutan di acara wisuda mewakili wisudawan. Dalam sambutan itu, ia mengkritik berbagai keburukan akademis, kepemimpinan fakultas, kebebasan yang langka pada mahasiswa dan penyampaian materi perkualiahan yang tidak mengembangkan intelektual.
Lalu ketika penyerahan ijazah secara simbolik, ia menjadi salah seorang wakil sarjana yang menerima ijazah di panggung. Mereka mendapatkan ijazah yang belum diberi cap fakultas, sehingga harus dikembalikan lagi. Ketika ijazah ia terima kembali, nilai judicium telah diubah dengan sengaja, yang kemungkinan sebagai akibat sambutannya ketika acara wisuda itu.
Lalu, ia datang menghadap dekan dan meminta kepadanya untuk mengubah kembali nilai tersebut ke nilai sebenarnya. Setelah berdebat, dekan yang terpojok, bertanya dengan nada tinggi, “Oke, kamu mau apa, mau nilai berapa? Cum Laude?” Lalu ia jawab bahwa tidak ingin nilainya ditambah, tetapi juga tidak mau nilainya dikurangi. Ia menegaskan, hanya ingin nilai sebenarnya.
Kemudian ia mengatakan kepada dekannya, “Percaya sama saya Pak, kalau saya tidak akan hidup dari kertas yang Bapak tandatangani. Saya hanya ingin melaporkan kepada orangtua, bahwa saya sudah menyelesaikan kewajiban saya. Saya ke sini untuk meminta hak saya.” Ia tinggalkan ijazah itu di meja Pak Dekan. Akhirnya, kurang lebih satu bulan kemudian, ijazah tersebut dikirim kepadanya dengan nilai yang asli.
Bakat Seni dan Kegemaran Menulis
Berbagai aktivitasnya sejak SR sampai mahasiswa ditunjang juga oleh kesenangan dan kemampuannya menulis. Dimulai dengan mendirikan sebuah majalah pelajar stensilan (karena pada saat itu belum ada peralatan fotokopi dan peralatan cetak masih sangat mahal, pasti tidak terjangkau oleh pelajar madrasah itu), bernama “Nur Al-Hidayah”.
Bakat menulisnya diteruskan ketika ia melanjutkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Ia juga aktif menulis di beberapa suratkabar yang terbit di Jogjakarta, maupun di Jakarta, seperti Masa Kini, Eksponen, Harian Kami, Kompas, dan Sinar Harapan. Dan sempat pula menjadi penyiar Radio Mahasiswa IAIN (1970).
Bakat seninya masih sempat disalurkan ketika ia aktif menempeli dinding kantor Senat Mahasiswa dengan berbagai artikel budaya, puisi, cerpen, hingga makian kreatif terhadap situasi. Ia masih menulis naskah drama dan memainkannya, hingga 1971.
Tapi bakat seninya seperti terkubur setelah waktunya habis oleh aktivitas kemahasiswaan. Tetapi hasratnya sebagai penulis tetap dipeliharanya. Sewaktu Dewan Mahasiswa dibekukan oleh Komando Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib), ia bersama teman-temannya merintis majalah bulanan mahasiswa Arena. Majalah itu bertahan cukup lama, dilanjutkan oleh mahasiswa sesudahnya.
Setelah menyelesaikan studi S1, tahun 1997, ia berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan di Harian Pelita yang waktu itu dipimpin oleh Barlianta Harahap. Profesi wartawan ini merupakan pilihan sejati karena selain di latar belakangi oleh bakatnya, ia melalui profesi kewartawanan ingin terus berkomunikasi, bersosialisasi, dan berdialog dengan berbagai kalangan, baik tokoh-tokoh mahasiswa, pemuda, masyarakat maupun tokoh politik.
Sementara aktif dalam profesi wartawan, pada tahun 1979, ia dipilih menjadi Wakil Sekjen Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor. Setelah itu, pada kongres 1985 terpilih menjadi Ketua Umum Pucuk Pimpinan gerakan pemuda NU itu untuk periode 1985-1990. Setelah 5 tahun menjabat sebagai ketua umum, pada kongres 1990, ia pun terpilih lagi untuk kedua kalinya, hingga 1995.
Saat bekerja menjadi wartawan Pelita, ia lebih senang melakukan reportase kegiatan mahasiswa, pendidikan dan politik. Karena itu ia bergaul erat dengan tokoh-tokoh dewan mahasiswa maupun ormas kemahasiswaan/kepemudaan dan politik. Slamet berhenti menjadi wartawan Pelita pada tahun 1998, setelah sempat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi/Wakil Pemimpin Umum.
Di samping itu, ia juga termasuk orang yang ikut membidani Majalah Forum Keadilan. Suatu ketika pada 1989, ia kembali bertemu dengan Suhardibroto di ruang kerja Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Di situ, sudah ada Panda Nababan, Sutradara Gintings, dan Lukman Umar. Jaksa Agung meminta mereka merancang majalah hukum dan keadilan. Lahirlah majalah Forum Keadilan. Di majalah ini, ia sempat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Wakil Pemimpin Umum sebelum berhenti pada 1992, karena perpindahan manajemen.
Sebelumnya, ia juga pernah menjadi salah seorang pendiri dan Pemimpin Redaksi Warta NU, sebuah media untuk kalangan Nahdlatul Ulama. Juga sempat menjadi redaktur majalah Risalah Islamiyah, Risalah NU, Jurnal Kebudayaan dan Jurnal Pendidikan di era 80-an.
Dari Wartawan Masuk Golkar
Keputusan untuk meninggalkan profesi wartawan diambil bukan karena tidak cinta lagi pada dunia itu, tapi itu lebih karena kesibukannya sebagai politisi dan anggota DPR. Puncak komunikasi politik yang menghantarkannya menjadi anggota MPR, terutama ketika ia menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor sejak tahun 1985-1990/1990-1995. Dari sinilah ia memiliki banyak kenalan di kalangan elite politik, termasuk dari kalangan tokoh-tokoh Golkar.
Pada tahun 1987, menjelang Pemilu 1988, diadakan Rapat Pimpinan (Rapim) Golkar. Waktu itu ia turut diundang oleh Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmadja. Ketika itu salah satu ketuanya AE Manihuruk dan Ketua Umumnya Sudharmono. Saat mengikuti Rapim itu, ia sendiri belum terdaftar menjadi anggota Golkar. Sehingga Sarwono sendiri agak kaget kalau ia belum menjadi anggota Golkar.
Kemudian pada tahun 1988, diadakan Munas Golkar. Wahono terpilih menjadi Ketua Umum, dan Achmad Witoelar sebagai Sekjen. Ia sendiri, yang baru setahun masuk Golkar, langsung terpilih menjadi Ketua Departemen Pemuda DPP Golkar. Saat itu, gegerlah Golkar, karena ada orang yang datang dari komunitas bukan Golkar yang menjadi pengurus DPP. Selama 3 bulan media memuat polemik tentang dirinya, termasuk media asing. Menanggapi hal itu, dalam hati, ia mengatakan bahwa menjadi pengurus DPP Golkar bukan keinginannya, bukan hasil kasak kusuk dan lobynya.
Ketika itu, sebelum munas Golkar, ia menerima telepon dari Menteri Agama Munawir Sadzali yang meminta bertemu. Saat bertemu, Munawir mengajaknya untuk masuk dalam DPP Golkar. Ia pun menyatakan siap saja, asal jangan pengurus harian saja. Selain Munawir, ada juga orang-orang tertentu yang memintanya bergabung di DPP Golkar.
Namun pengangkatannya menjadi Ketua Departemen Pemuda DPP Golkar sempat diperdebatkan, khususnya oleh AMPI. Sampai-sampai diadakan Rapim AMPI untuk membahas masalah tersebut. Dalam Rapim tersebut dibuat sebuah resolusi untuk mengeluarkannya dari DPP Golkar. Ketika itu, Agung Laksono, Ketua Umum AMPI, menelponnya, bahwa ia harus menandatangani permintaan tersebut ke DPP Golkar. Ia bilang, “Ya tandatangani saja, saya masuk DPP juga bukan karena keinginan saya. Kita lihat saja nanti.” Slamet tidak pernah dikeluarkan dari DPP sampai 1993.
Tahun 1988 sampai tahun 1993, ia dipilih menjadi anggota MPR dari unsur pemuda sebagai utusan golongan. Bersamaan dengannya Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid juga masuk MPR sebagai utusan golongan. Ia dan Gus Dur memilih Fraksi Karya Pembangunan di MPR. Kemudian semenjak tahun 1993-1997 hingga 2004-2009, ia menjadi anggota DPR dari Golkar.
Politisi yang menyelesaikan program magister ilmu politik di Pasca Sarjana Universitas Indonesia pada 2001 ini sempat tersingkir dari kepengurusan DPP Golkar 1993-1998. Tetapi ia kembali, malah menjadi salah seorang Ketua DPP Golkar, setelah berubah nama menjadi Partai Golkar dengan paradigma barunya, dipimpin oleh Akbar Tanjung. (Bersambung) Mangatur L. Paniroy
05 | Berperan dalam Perubahan UUD
Di DPR, ayah dari Lulu Diany Zuhdiyya, Syarief Hidayatullah Az-Zaky, dan Ridlo Mohammad Fahmi ini pernah di Komisi IX (Komisi yang membidangi antara lain, Agama, Pendidikan dan Generasi Muda ), Komisi I (membidangi Politik LN, Pertahanan, Keamanan dll) dan di Komisi III (membidangi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan).
Lalu, sejak 1999, ia lebih banyak aktif di MPR, terutama dalam menangani perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Ia adalah Wakil Ketua Panitia Ad-Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR yang mempersiapkan perubahan UUD 1945 ini. Terakhir, periode 2004-2009, dia menjabat Ketua Kehormatan DPR, meletakkan dasar-dasar etika dan etos kerja para anggota legislatif.
Perubahan terhadap UUD’45, yang ikut digumulinya itu adalah sebuah upaya penyesuaian konstitusi terhadap tuntutan zaman. Baginya, UUD’45 telah memberikan pelajaran ketika diterapkan. Bangsa kita pernah menggunakan UUD’45 dari tahun 1945-1949, walaupun tidak diterapkan dengan benar. Sebab pengangkatan Perdana Menteri, pada November 1945, yang sudah menyalahi sistem yang dianut UUD’45 itu sendiri. Sehingga bukan lagi pemerintahan presidensil, tapi pemerintahan parlementer.
Kemudian UUD’45 diganti dengan UUD RIS (1949-1950). Setelah itu, sejak tahun 1950 sampai 1959, NKRI menggunakan UUD Sementara. Lalu kembali lagi ke UUD’45. Sejak tahun 1959 hingga tahun 1966, Indonesia menerapkan apa yang disebut Demokrasi Terpimpin ala Bung Karno. Kemudian sejak tahun 1966 hingga tahun 1998 UUD’45 diterapkan dalam model yang disebut sebagai sistem Demokrasi Pancasila ala Jend. Soeharto.
Namun, baik Demokrasi Terpimpin maupun Demokrasi Pancasila menghasilkan model kepemimpinan yang sama, yaitu kepemimpinan yang bersifat diktatorial, ototiter dan koruptif.
Jika kehendak menerapkan UUD’45 justru menghasilkan kepemimpinan yang diktatorial, otoriter dan koruptif, akhirnya menimbulkan pertanyaan: Mengapa? Lalu ditemukanlah jawabannya, bahwa kekuasaan esksekutif terlalu besar, masa jabatan presiden tidak diberi batasan yang jelas, hubungan fungsional antarlembaga negara tidak didasarkan pada “check and balances,” rakyat belum memperoleh hak demokratiknya karena terkooptasi oleh superbody MPR, dan lain-lain.
Soekarno menjadi presiden seumur hidup, sedangkan Soeharto terpilih setiap 5 tahun hingga 30 tahun lebih secara berturut-turut sebagai presiden. Itu semua dimungkinan karena UUD-nya. Karena itulah, diperlukan perubahan UUD’45. Belum lagi karena konstitusi memungkinkan munculnya pemerintahan yang bersifat sentralistik.
Hubungan pusat dengan daerah seperti tuan dengan sapi perahannya. Lalu muncullah ketidakadilan, sehingga tidak heran begitu banyak lahir pergolakan di daerah-daerah seperti di Aceh dan Papua.
Selain itu, salah satu alasan mendasar diperlukannya perubahan dalam UUD’45 yaitu kurang detilnya rumusan bagi penghargaan, pemuliaan, dan perlindungan terhadap HAM. Hanya ada beberapa pasal yang mengandung prinsip HAM itu. Dengan undang-undang dasar seperti ini, hampir dapat dipastikan tidak dapat dibangun sebuah negara yang demokratis, berkeadilan, dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Sehingga dengan alasan inilah, UUD’45 mutlak memerlukan perubahan.
Slamet mengatakan, memang dalam masyarakat, ada beberapa kelompok yang ingin tetap mempertahankan UUD’45 apa adanya, dengan alasan bahwa bukan UUD-nya yang salah, tetapi pelaku dan pelaksanaannya. Namun ia menilai alasan seperti ini adalah ahistoris, tidak mengerti fakta, dan mengabaikan sejarah, serta tidak lebih dari pendirian yang meletakkan sejarah adalah sebuah masa lampau saja. Padahal menurutnya, sejarah adalah juga harus dipahami dan diukir dalam semangat dialektik yang menyerasikan aspek kontinuitas dan perubahan.
Jika ditanyakan apakah perubahan UUD ini sudah dapat mengakomodir seluruh kepentingan kelompok masyarakat? Ia berkeyakinan sebagian besar sudah, tapi tidak seluruhnya. Menurutnya, tidak ada satupun UUD di dunia yang dapat menampung keinginan semua kelompok. Namun, menurutnya, yang diperlukan bagaimana mengakomodasikan aspirasi perubahan sedemikian rupa, sehingga bisa ditangkap hasrat utama masyarakat in optima prima.
Dengan demikian, UUD memenuhi ketentuan sebagai living constitution atau konstitusi yang hidup. Bukan konstitusi yang berorientasi ke belakang, yang terpenjara dan terpaku pada masa lampau. Orientasi pada masa depan, bukan berarti melupakan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945. Baginya, semangat Proklamasi dengan mekanisme penyelenggaraan kehidupan bernegara yang ada dalam UUD’45, bukanlah sesuatu yang harus sama dan sebangun selamanya.
Karena itu yang harus dipertahankan adalah Pembukaan UUD ’45 sebagai sebuah perjanjian luhur bangsa dan kontrak sosial yang menyatu dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, serta mengandung rumusan Dasar Negara, Pancasila. Namun pasal-pasal yang bersifat operatif, mengatur mekanisme berpemerintahan, mengatur penggunaan hak dan kewajiban orang perorangan dalam sistem yang demokratis, dll, harus selalu terbuka bagi perubahan.
Pada masa pemerintahan Soeharto, perubahan UUD’45 dibuat sulit, dengan lahirnya Tap Tentang Referendum, sebelum dilaksanakan ketentuan Pasal 37. Selain itu, presiden memiliki hak mengisi keanggotaan MPR melalui pengangkatan dengan jumlah yang sangat signifikan. Hal ini memungkinkan yang dipilihnya adalah kolega-koleganya atau orang-orang yang dianggap dapat membantu mempertahankan kekuasaannya.
Sementara dalam undang-undang disebutkan pula bahwa gubernur dan panglima selalu ikut sebagai anggota MPR sebagai utusan daerah. Belum para menteri dan isteri pejabat melalui utusan Golongan. Kalau dibayangkan jika ada menteri, gubernur dan panglima dalam MPR, tidak mungkin berbeda pendapat dengan presiden. Jadi, distorsi politik yang terjadi di bangsa kita adalah bohong jika dikatakan kalau salah satunya bukan bersumber dari UUD yang terlalu mudah untuk ditafsirkan seperti itu.
Konvensi Partai Golkar
Setelah UUD 45 diubah, distorsi politik seperti itu tidak akan terjadi lagi. Presiden sudah dibatasi masa jabatannya hanya dua kali lima tahun. Presiden juga harus dipilih langsung oleh rakyat.
Sehingga perubahan ini memunculkan gagasan dalam suatu pembicaraan informal, tentang sistem dan mekanisme penjaringan calon presiden dari Partai Gokar. Lalu, pada suatu malam ketika berbincang-bincang, Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, “Cobalah konsep tersebut diwujudkan”.
Kemudian munculah gagasan konvensi yang dikonkritkan dalam Rakornas Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar yang dipimpinnya, pada Februari 2003 di Jakarta. Rakornas ini memutuskan (merekomendasikan) bahwa Partai Golkar akan menyelenggarakan konvensi, termasuk juga mengenai mekanismenya.
Kemudian, rekomendasi Korbid Pemenangan Pemilu itu diputuskan dalam Rapim Partai Golkar, pada April 2003, bahwa konvensi harus diselenggarakan dan sekaligus disususn meknismenya termasuk jadwal dimulainya proses penjaringan, penyaringan, pra-konvensi hingga pelaksanaan konvensi. Ia pun terpilih sebagai Ketua Pelaksana Harian Panitia Konvensi tersebut. Semakin kukuhlah sosoknya sebagai seorang yang sering berperan dalam momen perubahan. (Bersambung) Mangatur L. Paniroy
06 | Kisah Politik dengan Gus Dur
Pada Sidang Umum MPR 1999, ia juga berperan dalam proses pemilihan presiden. Terpilihnya KH Abdurrahman Wahid tak terlepas dari kemampuan lobynya. (Ia sendiri tidak pernah memanggilnya Gus, sebab panggilan itu adalah sebutan feodal di lingkungan santri. Ia biasa memanggilnya Mas Dur).
Ceritanya begini. Dalam suatu pertemuan yang dihadiri Slamet, Gus Dur meminta dukungan dari Ketua Umum DPP Golkar Akbar Tandjung untuk menjadi presiden. Dengan janji akan mendukung Akbar Tandjung menjadi wakil presiden.
Sehari kemudian, Gus Dur meminta bertemu dengan Slamet. “Karena dia adalah Ketua NU dan saya mantan Ketua Umum Pemuda Ansor, saya memenuhinya,” kata Slamet. Pada pertemuan itu, Mas Dur bicara panjang lebar yang intinya, agar ia mendukungnya menjadi presiden.
“Apa alasan saya secara spesifik untuk mendukung Mas Dur menjadi Presiden, untuk apa?” tanya Slamet.
Mas Dur menjawab: “Ya, begini Mas Slamet, kita ini teman lama, kita memang sering berbeda tetapi lupakanlah perbedaan itu, kita harus bisa menegakkan demokrasi di negeri kita. Sekarang sampean lihat sendiri Mega pakai uang, Habibie pakai uang, demokrasi tidak bisa didirikan dengan yang seperti ini, belum lagi kemampuan mereka, pemahaman mereka tentang demokrasi selama ini, nggak ada itu.”
“Oke Mas, kalau memang untuk membangun demokrasi saya dukung, tetapi komitmen yang kemarin diucapkan kepada Pak Akbar, sampean juga pegang,” kata Slamet.
Lalu Gus Dur jawab: “Ya, udah Mas percaya sama saya!”
Mereka pun lalu bersalaman. Slamet pun melakukan berbagai loby untuk mendukung Gus Dur.
Pada sidang umum itu sebenarnya Golkar mendukung Habibie. Tetapi karena mereka tahu dukungan terhadap Habibie sudah melemah, karena pertanggungjawabannya ditolak maka mereka mau mendukung Gus Dur. Maka ketika berbicara dengan Gus Dur, ia mengatakan “Kalau dukungan terhadap pertanggungjawaban Habibie lemah, kami akan mendukung Mas Dur.”
Akhirnya, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden. Lalu setelah Abdurrahman Wahid terpilih, dalam rangka pencalonan wapres, ia bersama Akbar dan Ginanjar datang ke Cigancur sekitar jam 11 malam. Tetapi dalam perjalanan mereka dihubungi, ternyata Gus Dur sudah pindah ke Istana Negara. Akhirnya mereka ambil arah putar balik, baru sampai jam 12:30 di Istana.
Dalam pembicaraan itu, Abdurrahman Wahid tetap mengatakan akan meloloskan Akbar Tandjung sebagai wapres. “Nanti, kalau mengenai surat-menyurat itu urusan Pak Akbar saja, saya hanya menandatangani sajalah,” katanya menirukan ucapan Gus Dur untuk meyakinkan.
Di sela-sela pembicaraan, Yenni bicara kepadanya. “Mas Slamet, saya ini nggak mengira masih mau membantu Bapak. Karena selama ini Mas Slamet kan musuhan sama Bapak.”
“Kalau saya bukan masalah pribadi tetapi hanya persolan komitmen yang lebih mendalam, karena katanya Bapak mau membangun demokrasi, ya saya bantu,” jawab Slamet.
Setelah pembicaraan meyakinkan, lalu mereka bertiga pulang dengan rasa mantap, kembali ke Hotel Mulia. Namun sesampai di Hotel Mulia, mereka merasa perlu bertemu dengan Wiranto. Jam 3 pagi mereka berangkat menemui Wiranto. Ternyata Wiranto masih tetap ingin maju sebagai calon wapres.
Akbar menjelaskan pembicaraannya dengan Gus Dur mengenai calon wapres kepada Wiranto. “Loh kalau soal meminta, saya dua bulan sebelum Sidang Umum sudah ditelepon bahwa saya diminta menjadi wapres. Jadi kalau soal dijanjikan, saya juga dijanjikan bahkan sebelum Sidang Umum MPR,” kata Wiranto. Ternyata dagangan wapres ini sudah dijual Gus Dur ke mana-mana. Akhirnya mereka pulang jam 4 pagi.
Setelah sholat subuh sebentar, ia pun tidur. Tapi, kemudian jam 5:30 datang telepon dari Akbar. Akbar memberitahu bahwa ia baru menerima telepon dari Gus Dur bahwa sudah diputuskan wakilnya adalah Megawati.
“Wah, tidak bisa dong tadi malam dia kan berjanji begini,” kata Slamet. Lalu Akbar mencoba menenangkan: “Sudahlah Mas”.
Tapi tetap saja Slamet merasa kecewa sekali. Ia pun segera pergi menemui Amien Rais. Kepada Amien ia katakan, “Dulu kan Anda berjanji, kalau Anda menjadi ketua MPR, Pak Akbar sementara menjadi ketua DPR, setelah itu menjadi wakil presiden dan Hamzah Haz menjadi Ketua DPR. Sekarang kalau Pak Akbar tidak menjadi wapres kan Pak Hamzah Haz juga hanya menjadi wakil ketua DPR. Bagaimana ini?”
Kemudian pada siangnya, ia langsung bertemu dengan Gus Dur, minta klarifikasi. Gus Dur berdalih bahwa dia dipaksa oleh fraksinya, dan dengan berbagai alasan lainnya. Padahal ternyata, ia baru tahu kemudian, jam 8 malam, sebelum mereka bertemu itu, Gus Dur sudah pergi ke Kebagusan. Dia datang ke Mega untuk menenangkan Mega dan pengikutnya. Meminta Mega menjadi wakil presiden. “Kami benar-benar dikadali,” ucap Slamet.
Akhirnya ia paham perihal orang pesantren punya pribahasa: “Siasat itu tipu daya.” Tetapi ia melihatnya berbeda, ia mengartikan bahwa politik itu ada cara-cara dan etikanya. Sementara GusDur mempraktekkannya dengan cara demikian.
Lalu, setelah Gus Dur menjadi presiden, banyak pihak yang menduga Slamet akan terpilih menjadi menteri. Akbar memang mengusung juga nama Slamet salah satu yang diajukan ke Gus Dur. Tapi Gus Dur menolaknya.
Setelah berselang beberapa waktu, tiba-tiba menteri dari Golkar dicopoti dari jabatannya oleh Gus Dur. Kemudian muncul lagi Dekrit antara lain membubarkan Golkar. Sebelum itu, ketika sedang berbuka puasa, Gus Dur mengeluarkan pernyataan bahwa “Di akhir periode saya, partai itu tinggal dua yaitu PDI-P dan PKB”.
Ketika itu semua terjadi, dalam hati Slamet bergumam bahwa Mas Dur sudah mengkhianati perjanjian dengannya yaitu untuk menegakkan demokrasi. Partai Golkar yang legitimate dengan dukungan 23-24 juta rakyat lewat Pemilu telah dikadali dan akan dibubarkan oleh seorang presiden yang pendukungnya lebih kecil. “Seperti halnya juga dia menghianati perjanjian dengan saya, ia juga sudah menghianati Pak Akbar tidak menjadi wapres, ditambah lagi dengan menghianati demokrasi dengan mau membubarkan Partai Golkar,” katanya.
Ia dan teman-temannya di Golkar akhirnya mengambil keputusan untuk tidak memberi dukungan. Kemudian akhirnya muncullah kasus-kasus seperti Buloggate. “Tapi sebenarnya Mas Dur jatuh bukan karena kasus itu, melainkan karena mengeluarkan dekrit. Mas Dur terprovokasi terhadap kasus ini, dia keluarkan dekrit, dan akhirnya kita jatuhkan karena dekrit,” ucap seorang kader terbaik nahdliyin ini. Mangatur L. Paniroy
07 | Siap Pimpin PBNU
BERITA TOKOH 010809: Mantan Ketua Gerakan Pemuda Ansor Slamet Effendi Yusuf (SEY), yang pada tahun 80-an sungguh punya andil dalam kembalinya NU ke Khittoh 1926, mengatakan dirinya siap memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ke depan jika dipilih dalam Muktamar Maret 2010.
Pada awal tahun 80-an, tokoh-tokoh muda NU, di antaranya Slamet Effendi Yusuf, mendorong agar NU mengambil langkah untuk keluar dari partai politik (Partai Persatuan Pembangunan). Agar NU kembali ke Khittoh 1926. Karena selama masih terlibat dengan politik, segala enerjinya terserap ke arah itu.
Maka tidak heran jika SEY menyatakan kesiapan dirinya memimpin NU. “Kalau memang diminta muktamirin (peserta muktamar), saya siap mendarmabhaktikan tenaga dan pikiran saya untuk membangun PBNU ke depan,” kata Slamet di Jakarta, Jumat (31/7/2009).
Menurut SEY, untuk memimpin PBNU seseorang harus paham betul kulturnya. Karena itu diperlukan seorang dirigent yang paham untuk melakukan refungsionarisasi dari badan-badan otonom dan sejumlah lembaga.
SEY mengatakan memimpin NU itu ibarat seorang dirigent yang memimpin musik orkestra. Jadi diperlukan pemahaman yang mendalam. Menurutnya, hal ini penting untuk melakukan refungsionarisasi badan-badan otonom dan lembaga. Hal itu dikatakan berhubungan dengan rencana muktamar NU pada Maret2010.
SEY pun memang menjadi salah seorang calon terkuat ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (2010-2015). Dia bersaing dengan dengan sembilan calon lainnya.
Meski kalah dalam pemilihan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Slamet Effendi Yusuf menyampaikan ucapan selamat kepada Said Agil Siradj yang terpilih sebagai ketua umum melalui pemungutan suara. Slamet Effendi dan Said Agil pun berpelukan.
Kedua kubu yang sebelumnya bersaing juga terlihat akur. Bahkan, usai pemilihan, Said Agil dan Slamet Effendi terus bergandengan tangan dan melakukan jumpa pers bersama. Dalam Muktamar ke-32, di Komplek Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu 27 Maret 2010, pemilihan ketua umum berlangsung dua putaran. Aturan main yang disepakati, setiap calon yang meraih suara di atas 99 dari total 503 suara, berhak maju ke putaran kedua.
Pada pemilihan putaran pertama, Said Agil Siraj. Said Agil memperoleh suara tertinggi yakni 178 suara. Di posisi kedua Slamet Effendi Yusuf dengan perolehan 158 suara. Kedua kandidat ini lolos ke putaran kedua. Sementara kandidat lain yang gagal karena tidak memenuhi 99 suara sebagai syarat minimal dukungan dalam pemilihan tahap pertama, adalah KH Sholahuddin Wahid (83 suara), Ulil Abshar Abdalla (22 suara), Ahmad Bagja (34 suara), Ali Makhsun (delapan suara), Abdul Aziz (tujuh suara), Masdar Mashudi (enam suara), Hasan Mutawaqqil (satu suara) dan Hasyim Muzadi (enam suara).
Kemudian pada pemilihan putaran kedua, setelah melalui perhitungan suara yang berlangsung selama satu jam, Slamet Effendy Yusuf meraih 201 suara dan Said Agil memenangkannya dengan meraih 294 suara, sedangkan satu suara dinyatakan abstain. Secara sportif, Slamet Efendy Yusuf langsung menyampaikan ucapan selamat kepada Said Agil. Slamet Effendi dan Said Agil pun berpelukan, yang disambut tepuk tangan riuh dari para peserta muktamar. Said gil berjanji akan mengajak semua kandidat bergabung membesarkan NU. Dengan demikian, untuk periode 2010-2015, PBNU akan dipimpin oleh duet KH MA Sahal Mahfudh di jajaran syuriah yang sudahlebih dulu terpilih secara aklamasi dan Said Agil di jajaran tanfidziyah. bti/crs