Pelopor Pendidikan Terpadu
AS Panji Gumilang03 | Visi Kenegaraan

Membangun negara, tak ubahnya dengan menanam pohon jati. Dibutuhkan kerelaan dan keiklasan yang murni untuk mau bersusah payah, namun dengan sadar ia tahu hasilnya tidak akan sempat dinikmatinya namun dinikmati oleh generasi berikutnya.
Berpikir untuk dirinya sendiri, Syaykh yang kini hanya makan jagung, buah, ikan yang harus direbus serta daging sekali seminggu, ini sebenarnya tidak menginginkan begitu banyak lagi. Namun berpikir untuk masa depan anak-anaknya, anak-anak bangsa, baik dalam pengertian sebenarnya maupun dalam pengertian berbangsa, kini ia masih menanam jati. Harapannya apa yang ia tanam sekarang akan bisa dinikmati oleh putra-putri bangsa ini.
Melihat permasalahan yang dialami bangsa ini, Syaykh mengatakan, permasalahan bangsa Indonesia sekarang adalah masyarakat urbannya. Menurutnya, bangsa ini terdiri dari 57% rural dan 43% urban. Namun urbannya bangsa ini masih tidak menghormati hukum, masih kurang memahami HAM, jiwa toleransinya kurang tinggi, cinta damainya makin tidak nampak.
Di negeri ini, orang ramai-ramai meninggalkan pekerjaan yang terpaksa yaitu bertani. Itu dilakukan bukanlah karena kecerdasannya, tapi karena memang tidak bisa bergerak lagi. Petani itu sudah laksana terendam lumpur sebatas leher sehingga ombak sekecil apapun sudah menenggelamkan. Karena itu bertani pun ditinggalkan, kemudian masuk ke kota. Jadi masyarakat urban negeri ini belum mengenal nilai dan peradaban urban yang sebenarnya.
Meratakan kualitas penduduk urban dan rural inilah sebenarnya yang harus ditata. Oleh karena itu, rural development dan urban development perlu dijembatani oleh pendidikan yang berkualitas. Sehingga antara rural dan urban sedikit demi sedikit akan mendekat karena sistem dan kualitas pendidikannya sama.
Perbaikannya, menurutnya, tidak ada jalan lain lagi kecuali melalui pendidik-an. Pendidikan itu harus diciptakan sebagai gula dan ekonomi sebagai semutnya. Jangan malah ekonomi yang diciptakan sebagai gula dan rakyat jadi semutnya. Bila pendidikan sebagai gula dan ekonomi sebagai semut, maka semut (ekonomi) akan mendatangi orang yang terdidik. Karena semut adalah makhluk yang mengerti kualitas dirinya terhadap gula, sehingga semut tidak akan terkena sakit gula.
Sekarang, bangsa Indonesia membuat ekonomi sebagai gula dan rakyat jadi semutnya, sehingga banyak yang kena sakit gula. Sakit gula ekonomi, sakit gula jiwa. Gulanya kelewatan, akhirnya diamputasi.
Di negeri ini harus diciptakan pendi-dikan berkualitas sebanyak mungkin, sebab simpanan atau invesment yang paling besar adalah manusia yang su-dah punya knowledge. Dan knowledge itu dibentuk dari pendidikan.
Mengingat negara ini sebagai negara agragris, maka produk andalannya harus dibuat dari hasil pertanian. Pertanian yang dikelola oleh manusia yang terdidik dan tenaga mahir. Karena ke depan, hajat dunia ini lebih dari 50% adalah produk pertanian, maka negeri ini harus siap dengan itu. Jika negeri ini tidak siap dengan itu maka dengan sendirinya akan mengimpor. Dan tatkala mengimpor, republik ini akan dimakan oleh kekuatan yang sengaja mau menenggelamkannya.
Jadi produk pertanian harus ditingkatkan, tapi tentunya kiblatnya bukan green revolution. Walaupun kreim revolusi itu mempunyai makna besar dalam menata, menghilangkan kelaparan, tapi kita jangan berkiblat ke situ.
Selanjutnya jika bangsa ini nanti sudah terdidik, maka kemudian akan masuk pada gen revolusi. Masuk pada gen revolusi, bangsa ini akan menggetarkan dunia melalui kemampuan knowledge tadi. Dan menurut Syaykh, hal itu tidak lama kalau dipersiapkan. Dengan optimis ia mengatakan bahwa tahun 2020 hal itu sudah bisa tercapai.
Di samping itu, Syaykh yang suka olahraga murah yakni naik turun masjid, ini mengatakan bahwa bangsa ini juga harus dekat ke masyarakat desa. Menata pendidikannya, menata perikehidupannya, untuk didekatkan ke masyarakat kota. Dengan demikian, tidak ada kecemburuan sosial antara masyarakat kota dan desa. Dan pelan-pelan desanya menjadi kota, kotanya seperti masyarakat desa. Akhirnya Indonesia yang sangat luas ini menjadi berekosistem.
Untuk merubah semua ini, tidak perlu menunggu orang lain, tapi bisa dimulai dari diri masing-masing. Sebab negara ini adalah milik rakyat, jadi tatkala rakyat sudah cerdas, dengan sendirinya negara ini juga pasti cerdas.
Melihat bangsa ini yang sepertinya kurang inovatif sehingga menjadi pembeli sampai sekarang, menurutnya, hal itu terjadi karena diawali dari pendidikan yang tidak menanamkan rasa entrepreneurship yang tinggi, sehingga penyelenggara pendidikan dan peserta didiknya bercita-cita untuk menjadi pegawai bukan bercita-cita untuk mempunyai pegawai sebanyak-banyaknya.
Dikatakannya, kalau menjadi petani seharusnya seperti petani Amerika yang jumlahnya cuma 3 juta atau hanya 7,2% dari jumlah penduduk usia kerja, tapi mampu memberi makan 1,3 milyar manusia di dunia atau satu petani mampu memberi makan 400 orang. Hal tersebut bisa terwujud karena satu petani menghasilkan 74 ton biji-bijian untuk dimakan manusia.
Ia kemudian membandingkannya dengan petani Indonesia yang jumlahnya 42,5% dari tenaga kerja yang jumlahnya 40 juta lebih sekarang ini. Maka seorang petani Indonesia cuma bisa menghasilkan 1,48 ton. Jadi 1 berbanding 50. Padahal pengalaman berbangsanya sama, dimana Amerika dulunya menggali tanah dengan kuda, sedangkan Indonesia di sini dengan kerbau. Namun karena dibekali ‘knowledge’ maka Amerika menjadi ‘knowledge worker’.
Pengalaman adalah guru yang paling baik, kata-kata bijak itu masih melekat dalam hati Syaykh. Tatkala melihat perkembangan bangsa ini, ia menyimpulkan bahwa bangsa ini sepertinya tidak pernah mau belajar dari pengalaman masa lalu. Padahal sekedar membandingkan, ia melihat bangsa-bangsa yang mau belajar dari pengalaman seperti Amerika dan Jepang, sekarang sudah luar biasa. Seperti Jepang yang menyerah pada sekutu pada Perang Dunia II tahun 1945 misalnya, mereka mau belajar dari kekalahan itu, yakni perlunya penguasaan ilmu pengetahuan. Ketika itu, pertanyaan Sang Kaisar pada bawahannya bukan berapa banyak tentara yang masih ada, tapi berapa lagi guru yang tinggal. Kaisar memikirkan pendidikan agar bisa menyamai Amerika yang mengalahkan mereka.
Di negeri ini, jika pemimpin masih belum sadar mengenai pentingnya mengutamakan pendidikan, menurut Syaykh rakyat tidak harus menunggu sama-sama sadar baru berbuat. “Tatkala kapal mau tenggelam, harus ada satu yang berani tidak tenggelam. Jangan semua mau tenggelam. Kalau semuanya tenggelam selesailah kapal kita ini. Jangan nunggu rame-rame,” katanya mengibaratkan.
Syaykh sangat prihatin melihat cara pemikiran bangsa ini. Bukan hanya pemimpin tapi juga guru sendiri. Seperti yang belakangan ini terjadi di Kabupaten Kampar. Dimana mau menumbangkan bupati saja, seluruh guru meliburkan sekolah. Anak disuruh demonstrasi, guru disuruh demonstrasi. Ini cara berpikiran yang belum sehat.
Padahal seorang guru itu dalam menghadapi gubernur atau bupati cukup dengan diplomasi guru saja. Guru yang punya Metodik Didaktik dimana untuk menaklukkan murid yang bodoh saja bisa pintar, apalagi bupati yang sudah pintar. Jadi menurutnya tidak perlu meliburkan sekolah sampai berpekan-pekan di luar hari libur sekolah. Itu sudah kebiasaan yang tidak bisa ditolerir.
Disitulah kelihatan bahwa guru sendiri masih belum mementingkan pendidikan anak-anak itu sendiri. Guru merusak sistem hanya alasan menjatuhkan bupati, menurutnya itu bukan area atau domain guru. Domain guru adalah mendidik, libur sesuai dengan waktu libur yang disepakati, itulah sistem. Guru melanggar sistem, dunia ini hancur.
Dalam perjalanannya yang masih panjang membangun Ma’had Al-Zaytun, Syaykh sangat mensyukuri rahmat Tuhan yang diterimanya hingga saat ini. Ia makan dengan menu yang teratur dan sehat serta rutin melakukan olahraga murah, naik turun masjid. Pola makan dan gaya hidupnya ini bisa menurunkan berat badannya dalam jumlah yang sangat signifikan dari 104 kg menjadi 85 kg sekarang ini. atur-juka-crs