Pemimpi MK Bersih
Mahfud MD
[ENSIKLOPEDI] Prof. Dr. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013) yang selama kepemimpinannya terkesan ‘memasang badan’ atas berbagai tudingan adanya mafia hukum, korupsi dan suap di lembaga tinggi negara terhormat itu. Dia pemimpi MK bersih dari kejahatan luar biasa itu.
Ternyata, sejak masa kepemimpinannya telah bercokol virus mafia hukum dan suap (korupsi) di MK. Terbukti, hanya beberapa bulan berselang setelah Mahfud menyerahkan kepemimpinan MK kepada penggantinya Dr. Akil Mochtar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membongkar kejahatan luar biasa yang telah mencengkeram MK tersebut.
Kebusukan itu mulai tidak terbantahkan setelah KPK menangkap tangan Akil Mochtar (2 Oktober 2013) dan menetapkannya sebagai tersangka (3 Oktober 2013) penerima suap yang terkait beberapa perkara Pilkada di MK, di antaranya diduga terjadi saat Mahfud masih memimpin MK.
Bagi seorang pemimpin yang pejuang, cerdas dan berakhlak mulia, sesungguhnya tidak akan sulit mendeteksi atau mencermati ada tidaknya mafia hukum, suap dan korupsi di MK. Lembaga tinggi negara yang amat terhormat ini hanya memiliki dan dikendalikan sembilan hakim konstitusi (termasuk ketua dan wakil ketua). Maka, bagi seorang ketua (pemimpin) MK, apa sulitnya mengenali perilaku delapan hakim konstitusi lainnya itu?
Bagi seorang pemimpin yang pejuang, cerdas dan berakhlak mulia, sesungguhnya tidak akan sulit mendeteksi atau mencermati ada tidaknya mafia hukum, suap dan korupsi di MK. Lembaga tinggi negara yang amat terhormat ini hanya memiliki dan dikendalikan sembilan hakim konstitusi (termasuk ketua dan wakil ketua). Maka, bagi seorang ketua (pemimpin) MK, apa sulitnya mengenali perilaku delapan hakim konstitusi lainnya itu.
Maka pantas saja jika ada pihak yang merasa heran, tatkala Mahfud Md menyatakan terkejut mendengar berita tertangkaptangannya Akil Mochtar, orang yang amat dipercayainya menjadi juru bicara MK itu. Ada beberapa pihak yang bimbang, apa benar Mahfud tidak mengetahui setidaknya mendeteksi gejala mafia hukum dan korup di lembaga tinggi tersebut selama kepemimpinannya.
Keraguan publik ini juga diungkapkan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqqie (pendahulunya). “Banyak orang yang menyampaikan kepada saya penilaian bahwa sebagai ketua selama lima tahun dia (Mahfud) tidak membina dengan benar sistem kerja internal, tapi malah cenderung melindungi kejahatan,” kata Jimly, sebagaimana dikutip detikcom, Sabtu (5/10/2013).
Jimly menyatakan Mahfud MD harus ikut bertanggung jawab atas kasus yang menjerat Akil Mochtar dan jatuhnya wibawa MK. Jimly menyebut Mahfud tak bertanggung jawab dengan melakukan pembiaran di MK. Jimly menuntut Mahfud bertanggung jawab. “Dia tidak boleh berkelit dari tanggung jawab atas keruntuhan wibawa MK sekarang ini,” tegas Jimly yang sangat menyesalkan kasus yang telah meruntuhkan kepercayaan publik kepada MK itu.
Namun, tampaknya Mahfud masih yakin atas dirinya. Dia masih tidak sungkan ikut menjadi Majelis Kehormatan MK yang dibentuk untuk mengusut dan mengadili pelanggaran etika hakim konstitusi terkait kasus yang membelit Akil tersebut.
Sehingga, selain Jimly, Erwin Natosman Oemar (Peneliti Indonesian Legal Roundtable), juga menyuarakan keresahan publik bahwa secara etika Mahfud MD tidak pantas menjadi anggota Majelis Kehormatan MK. “Dia seharusnya malu menerima tawaran (sebagai anggota) Majelis Kehormatan MK,” kata Erwin di kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (6/10/2013).
Erwin memberi alasan bahwa Mahfud pernah “pasang badan” ketika Refly Harun, mantan staf ahli MK, melaporkan dugaan suap Akil Mochtar pada tahun 2010. Refly pernah melaporkan Akil Mochtar, karena mantan anggota DPR dari Partai Golkar tersebut diduga bermasalah terkait indikasi suap. Namun, Mahfud dinilai bersifat defensif dalam menanggapi laporan itu.
Maka, Refly Harun menulis opini berjudul “MK Masih Bersih?” yang diterbitkan di harian Kompas 25 Oktober 2010. Sebuah kolom yang mengungkap dugaan adanya makelar perkara di MK. Refly dalam kolom itu menulis: “Sampai pukul 12.46 tanggal 19 Oktober, kami bersih 100 persen! Siapa yang punya bukti (sebaliknya) silakan, akan kami bayarlah.” Begitu kutipan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dalam jumpa pers di kantor MK, 19 Oktober (www.kompas.com, 19/10/2010). Mahfud dan kolega hakim MK rupanya merasa perlu menggelar jumpa pers karena rumor mafia perkara meresahkan mereka.
Ada asap tentu ada api. Selentingan tentang MK yang mulai masuk angin kerap saya dengar. Ketika berkunjung ke Papua beberapa waktu lalu, saya mendengar keluhan dari peserta pertemuan bahwa pilkada tidak perlu lagi. Biayanya terlalu besar, baik bagi penyelenggara maupun kandidat. “Setelah habis banyak dalam pilkada, nanti habis juga untuk bersengketa di MK. Ada yang habis Rp 10 miliar-Rp 12 miliar untuk MK,” katanya.
Ada juga yang bercerita tentang negosiasi yang gagal untuk memenangi perkara. Hakim, kata orang itu, meminta uang Rp 1 miliar. Pemohon, calon gubernur, hanya sanggup memberikan garansi bank senilai itu. Karena ditunggu sampai sore tidak juga cair, negosiasi gagal dan permohonan pun dicabut.
Semua kisah itu membuat saya miris dan sedih. Sebagai orang yang pernah berkontribusi membangun MK menjadi pengadilan yang tepercaya – sebagai staf ahli 2003-2007 – saya senantiasa memimpikan ada pengadilan di negeri ini yang bersih. Pencari keadilan hanya perlu bekerja keras membuktikan kebenaran dalil hukumnya, tidak perlu direcoki faktor-faktor nonhukum.
Namun, untuk menghibur diri, seperti halnya Mahfud, saya menganggap cerita tentang suap di MK hanyalah celoteh mereka yang kalah. Sebelum ada kejadian hakim tertangkap tangan menerima suap, cerita tetaplah cerita. Anggap saja tidak benar walau saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang dollar AS senilai Rp 1 miliar, yang menurut pemiliknya akan diserahkan ke salah satu hakim MK.
Salah satu alasan mengatakan MK bersih dari mafia peradilan adalah setiap putusan harus diambil oleh sembilan hakim konstitusi. Katakanlah, satu-dua hakim masuk angin, mereka tetap tidak dapat memengaruhi tujuh hakim yang lain. Apabila ada yang bertanya bagaimana caranya mendekati satu-dua hakim, saya selalu mengatakan percuma saja karena satu-dua hakim tidak banyak pengaruhnya terhadap konstelasi putusan MK.
Namun, yang saya rasakan, hal tersebut hanya berlaku untuk kasus-kasus non-pilkada. Dalam kasus pilkada, panel hakim yang terdiri dari tiga orang sangat memengaruhi, bahkan bisa dikatakan determinan terhadap putusan akhir. Hal ini dapat dimaklumi karena enam hakim lainnya sama sekali tidak terlibat dalam proses pemeriksaan perkara.
Lain halnya dengan kasus pengujian undang-undang, yang dalam beberapa kesempatan sering bersidang pleno dihadiri sembilan hakim konstitusi.
Selain itu, kasus pilkada yang didaftarkan ke MK tahun ini lebih dari seratus perkara. Hakim juga terbatas tenaganya. Bisa dikatakan mereka akan lebih berkonsentrasi pada kasus yang mereka tangani. Kasus yang ditangani panel hakim lain tidak dicermati secara serius, kecuali apabila ada putusan-putusan yang memerlukan debat panjang karena menyangkut paradigma hukum tertentu atau menarik perhatian publik.
Tiga hakim yang memutuskan perkara inilah yang rawan disusupi. Bagaimanapun hakim adalah manusia. Apabila di depan mata terhampar miliaran rupiah, bisa saja ia tergoda. Terlebih bila sejak awal kadar kenegarawanannya patut dipertanyakan karena perekrutan hakim konstitusi saat ini tidak lagi melewati saringan ketat.
Oleh karena itu, ketimbang berteriak di media bahwa MK tetap bersih, lebih baik Mahfud meningkatkan kewaspadaan, siapa tahu apa yang digunjingkan orang benar adanya.
Bagaimanapun, Mahfud dan kita semua tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi, kecuali kalau kita pelaku langsung. Dalam hal ini dan saya yakin seyakin-yakinnya bahwa kredibilitas Mahfud tidak perlu diragukan.
Mahfud, misalnya, bisa saja membentuk tim investigasi internal untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Mahfud pasti maklum khalayak tentu tidak bisa diharapkan kendati ia memiliki data atau pelaku langsung. Dalam hukum di negara ini yang kerap tidak adil, sering kejadian yang dialami Endin Wahyudin berulang.
Beberapa tahun lalu Endin berteriak lantang bahwa tiga hakim agung telah menerima suap. Tidak main-main, ia menyatakan, pelakunya adalah dirinya sendiri. Yang terjadi kemudian adalah belum lagi kasus suap itu diadili, Endin terlebih dahulu harus berhadapan dengan tuntutan klasik pencemaran nama baik. Endin dipersalahkan dan tiga hakim yang diadili oleh koleganya sendiri melenggang bebas.
Saya ingin meyakinkan Pak Mahfud, tidak perlu risau dengan segala rumor. Emas adalah emas, loyang akan tetap loyang. Apabila MK tetap emas, semua omongan tentang isu suap itu akan menguap bersama angin (gone with the wind). Namun, apabila MK sudah tidak emas lagi, belum terlambat untuk segera memperbaiki.
Rakyat sudah terlalu lelah menyaksikan bahwa tidak ada satu pun institusi di negeri ini yang layak dipercaya.
Tulisan Refly tersebut direspons Ketua MK Mahfud Md dengan membentuk Tim Investigasi Internal Mahkamah Konstitusi. Refly ditunjuk sebagai ketua tim. Refly Harun pun mengungkap dugaan Akil Mochtar telah menerima suap terkait perkara uji materi yang diajukan calon Bupati Simalungun Jopinus Ramli Saragih. Namun, Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menyimpulkan tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan Akil Mochtar dalam kasus tersebut.
Akil juga sempat dituding terlibat korupsi sepanjang 2003-2004 dalam kasus pemekaran daerah di Kalimantan Barat. Namun, seperti dugaan kasus suap calon bupati Simalungun yang sudah terbantahkan, tudingan yang kedua ini juga terpatahkan. Wakil Jaksa Agung Darmono yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat mengatakan, kasus dugaan korupsi itu tidak terbukti hingga saat dirinya meletakkan jabatan Kejati Kalbar. “Untuk Kalbar kaitan masalah dulu ada pemekaran wilayah, ada dana yang diduga mengalir Pak Akil waktu itu kasusnya tahun 2003-2004. Penyelidikan dengan data-data yang ada, sampai saya tinggal Kalbar, tidak ada bukti korupsi,” papar Darmono di Istana Bogor, Rabu (22/12/2010).
Selain itu, masih ada dugaan penyimpangan Akil sebagai hakim konstitusi yang disampaikan berbagai pihak melalui sms kepada koleganya di MK. Namun semua dugaan itu, ditanggapi Akil dengan santai. Ia mengaku sudah biasa mendapat serangan seperti itu sejak lama, sejak zaman Orde Baru. “Kita lihat saja, akhir pusaran ini. Saya sudah terbiasa dengan semua ini,” kata Akil (http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/184-lolos-dari-pusaran-tudingan)
Akil mengatakan, orang sering salah menilainya secara pribadi. Mungkin karena orang melihat saya mantan politisi, mantan anggota DPR yang flamboyan. Tapi jika saya orangnya tidak baik, pastinya saya tidak akan berada di Jl. Medan Merdeka Barat (Gedung MK) ini. Saya akan berada di Kuningan, di tahanan KPK,” ujarnya.
Hebatnya, Mahfud selaku Ketua MK tetap percaya kepada Akil meski berbagai tudingan negatif telah dialamatkan kepadanya. Mahfud tetap memercayai Akil dengan menunjuknya menjadi pengawas atau pengawal penyelesaian kasus pembuatan surat palsu Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pemilu 2009 di wilayah Sulawesi Selatan yang melibatkan mantan hakim MK Arsyad Sanusi, mantan anggota KPU Andi Nurpati, calon anggota legislatif Partai Hanura Dewi Yasin Limpo, dan mantan staf MK, Masyuri Hasan.
Mahfud bahkan memberi tugas baru kepada Akil sebagai Juru Bicara MK yang ditetapkan dalam rapat permusyawarakatan hakim yang digelar di Gedung MK (30/6/2011). Dengan penunjukan itu, ia dimandatkan untuk memberi penjelasan ke publik terkait persoalan-persoalan yang ditangani MK.
Bahkan setalah KPK menangkap tangan Akil, Mahfud masih bersikukuh mengatakan bah saat dia memimpin MK, semua hakim bersih dan putusan mahkamah sengketa pilkada bisa dipertanggungjawabkan. “Zaman saya (menjabat ketua) tidak ada penyuapan. Sudah saya serahkan kepada KPK. Saya kan bilang, Pak Akil ketika zaman saya itu bersih, tapi nggak tahu sekarang,” kata Mahfud usai menghadiri sidang majelis kehormatan di Gedung MK, Senin malam, 7 Oktober 2013.
“Buktinya, selama lima tahun memimpin MK, tidak ada masalah,” kata Mahfud yakin benar. Dia juga sangat yakin soal putusan MK tidak ada masalah. Karena, tiap putusan pada zamannya sudah melalui eksaminasi oleh pakar akademik dari berbagai kampus. Eksaminasi itu sudah bisa jadi ukuran untuk menilai kualitas putusan. “Eksaminasi itu menguji, di mana letak kesalahannya,” jelas Mahfud.
Dia pun mempersilakan sikap beberapa pihak yang meragukan Keputusan MK atas sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di sejumlah wilayah menyusul penangkapan Akil Mochtar oleh KPK. Mahfud menantang untuk membuka kembali putusan lama, bila memang ada yang memiliki bukti. “Silakan putusan yang lama dibuka. Tapi banyak yang genit, yang sudah kalah minta dibuka lagi,” katanya, sangat yakin. Sungguh, Mahfud masih bermimpi (berharap) MK bersih. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com