Pendiri Pondok Inabah Suryalaya
Abah Anom
[ENSIKLOPEDI] Namanya identik dengan Pondok Inabah Suryalaya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Pondok ini terkenal karena berhasil mengobati para pecandu narkoba dengan mengandalkan nilai-nilai hakiki agama Islam. Soeharto, Megawati, Jusuf Kalla dan SBY bahkan pernah bertandang dan bersilaturahmi menemui tokoh yang ikut memperjuangkan kemerdekaan dan menumpas gerombolan DI/TII bersama prajurit TNI ini.
KH Shohibulwafa Tajul Arifin atau yang biasa disapa Abah Anom lahir pada 1 Januari 1915 di Kampung Godebah, Suryalaya, Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pageurageung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia merupakan putra kelima pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Syekh H Abdulloh Mubarok bin Nur Muhammad atau Abah Sepuh dan istrinya Hj Juhriyah.
Pada tahun 1923, Abah Anom menempuh pendidikan umum di Sekolah Dasar zaman Belanda “Vervoleg School” selama lima tahun. Setelah itu, Abah Anom meneruskan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah di Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya. Sebagai anak yang tumbuh di lingkungan agamis, Abah Anom juga secara khusus mendalami ilmu agama di sejumlah pesantren. Mulanya, ia mempelajari ilmu fiqih dari seorang kyai terkenal di Pesantren Cicariang, Cianjur.
Ilmu yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia itu kemudian semakin didalaminya di Pesantren Jambudipa. Di pesantren yang juga terletak di kota Cianjur ini, wawasan Abah Anom kian kaya setelah mempelajari ilmu lain seperti nahwu, sorof dan balaghah. Setelah sekitar dua tahun menimba ilmu di Pesantren Jambudipa, ia melanjutkan ke Pesantren Gentur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi.
Kiprahnya sebagai tokoh agama yang banyak menyentuh bidang sosial kemasyarakatan berawal dari pemahamannya tentang makna zuhud. Jika kebanyakan kaum sufi berpendapat zuhud adalah meninggalkan dunia, yang berdampak pada kemunduran umat Islam. Tak demikian menurut pandangan Abah Anom, “Zuhud adalah qasr al-‘amal artinya, pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal dan bersikap realistis. Jadi zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian compang camping.”
Kemudian di tahun 1935, Abah Anom melanjutkan pendidikan agamanya di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi selama dua tahun. Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Di pesantren inilah, Abah Anom memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren. Kegemarannya bermain silat dan pengetahuan ilmu agamanya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.
Kemudian atas perintah ayahnya, Abah Anom juga melaksanakan Riyadoh dan ziarah ke makam para wali sambil menimba ilmu di pesantren Kaliwungu-Kendal-Jawa Tengah, serta di Bangkalan Madura bersama kakak kandungnya H.A Dahlan dan wakil Abah Sepuh KH Pakih dari Talaga, Majalengka.
Sifatnya yang selalu haus akan ilmu didukung dengan kecerdasannya membuat Abah Anom cepat menyerap pelajaran. Bahkan di usia yang masih relatif muda, 18 tahun, ia telah berhasil menguasai berbagai cabang ilmu agama Islam. Ketertarikannya pada dunia pesantren, pada akhirnya mendorong sang ayah, Abah Sepuh yang merupakan pemimpin Thoriqot Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) untuk mengajarinya dzikir TQN hingga Abah Anom dirasa pantas untuk menjadi wakil talqin di pesantren Suryalaya yang didirikannya. Mungkin sejak itulah, ia mulai dikenal dengan sebutan Abah Anom.
Abah Anom mengakhiri masa lajangnya pada tahun 1938 di usia 23 tahun. Setelah menikah, ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di Tanah Suci umat muslim itu, ia juga memperdalam ilmu Tasawuf dan Tarekat selama tujuh bulan kepada Syekh H Romli asal Garut, wakil Abah Sepuh yang bermukim di Jabal Gubeys, Mekah. Abah Anom menjelaskan eksistensi tasawuf dalam ajaran Islam yang menurutnya bukan hanya produk asli Islam, tapi telah berhasil mengembalikan umat Islam kepada keaslian agamanya pada kurun-kurun tertentu. Tasawuf yang dipahami Abah Anom, bukanlah kebanyakan tasawuf yang cenderung mengabaikan syari’ah karena mengutamakan dhauq (rasa). Menurutnya, sufi dan pengamal tarekat tidak boleh meninggalkan ilmu syari’ah atau ilmu fiqih. Bahkan, menurutnya lagi, ilmu syari’ah adalah jalan menuju ma’rifat.
Sepulang dari Mekah pada tahun 1939, wawasan keagamaannya pun semakin lengkap. Selain menguasai tasawuf, Abah Anom juga menguasai tafsir, hadits, fiqih, dan kalam. Ia juga fasih berbahasa Arab dan piawai berpidato, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda. Dalam bidang budaya dan sastra Sunda, kepandaian Abah Anom bisa disetarakan dengan sarjana ahli bahasa Sunda dalam penerapan filsafat etnik Kesundaan. Tak hanya Sunda, Abah juga cukup baik berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa.
Di tengah kesibukannya mensyiarkan Islam, Abah Anom turut berperan aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan. Medan pertempuran bukanlah sesuatu yang asing baginya. Pada masa-masa perang kemerdekaan, ia bahu-membahu bersama Brigjen Akil memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya.
Pada tahun 1950, Abah Anom secara resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di pesantren tasawuf tersebut. Ketika itu, Tanah Air tengah berada dalam kondisi rawan dengan berbagai kekerasan bersenjata antar berbagai kelompok yang ada di masyarakat, terutama antara DI/TII melawan TNI. Abah tak tinggal diam, ia membantu para prajurit TNI menumpas gerombolan pemberontak yang mengancam keutuhan NKRI itu. Demikian pula saat pemberontakan PKI meletus pada tahun 1965. Dengan bantuan para santri, Abah Anom melakukan perlawanan bersenjata.
Di masa awal berdirinya republik ini, kondisi perekonomian rakyat juga amat memprihatinkan. Oleh sebab itu, Abah Anom mempelopori pemberdayaan ekonomi umat dengan membangun irigasi untuk mengatur pertanian, serta membangun kincir angin untuk pembangkit tenaga listrik. Sementara untuk mengantisipasi krisis pangan, ia membuat semacam program swasembada beras di kalangan masyarakat Jawa Barat. Karena upaya tersebut, Menteri Kesejahteraan Rakyat Suprayogi dan Jendral A. H. Nasution pernah berkunjung ke Pesantren Suryalaya guna meninjau aktivitas tersebut.
Tak hanya pada hal yang bersifat materi, Abah Anom juga mengadakan program “rehabilitasi rohani” bagi para mantan anggota PKI. Kontribusinya itu berhasil mendatangkan berbagai penghargaan dari Jawatan Rohani Islam Kodam VI Siliwangi, Gubernur Jawa Barat dan instansi lainnya.
Sementara di bidang pendidikan, Abah Anom juga sangat konsisten terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan ilmu pengetahuan. Ia mendirikan Yayasan Serba Bakti dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk pendidikan formal mulai TK, SMP Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah Mubarokiyah.
Ketika Abah Sepuh wafat di tahun 1956, Abah Anom harus sepenuhnya mandiri dalam memimpin pesantren. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang salah satu isinya adalah taat kepada perintah agama dan negara. Maka selain melakukan pembinaan spiritual umat, Ponpes Suryalaya juga mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya. Dukungan yang diberikan bukan hanya secara moril namun juga ikut aktif membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di berbagai bidang mulai dari pertanian, pendidikan, lingkungan hidup, sosial, kesehatan, koperasi ,hingga politik.
Salah satu sumbangan terbesarnya dalam upaya mengentaskan manusia Indonesia dari limbah kenistaan adalah dengan mendirikan pondok Inabah. Pondok tersebut menampung para santri yang mengalami gangguan kejiwaan karena ketergantungan terhadap obat-obat terlarang. Dalam kacamata tasawuf, kata Inabah merujuk pada nama sebuah peringkat ruhani (maqam), yang harus dilalui seorang sufi dalam perjalanan ruhani menuju Allah swt.
Dalam teorinya, untuk menancapkan iman dalam qalbu, tak ada cara lain kecuali dengan dzikir laa ilaha ilallah, atau yang lazim dikenal di kalangan TQN sebagai talqin. Para santri yang dirawat di Inabah harus diberikan ‘pedang’ untuk menghalau musuh-musuh di dalam hati mereka, pedang itu adalah dzikrullah. Selama menjalani masa rehabilitasi, mereka diperlakukan layaknya orang yang terkena penyakit hati, yang terjebak dalam kesulitan, kebingungan dan kesedihan. Mereka telah dilalaikan dan disesatkan setan sehingga tak mampu lagi berdzikir pada-Nya. Ibarat orang yang tak memiliki senjata lagi menghadapi musuh-musuhnya. Walhasil, obat untuk mereka adalah dzikir.
Salah satu bentuk dzikir adalah shalat. Menurut pandangan Abah Anom, para santri yang menjadi pasiennya itu belum dapat shalat karena masih dalam keadaan mabuk (sukara). Oleh karena itu, langkah awalnya adalah menyadarkan mereka dari keadaan mabuk dengan mandi junub. Apalagi sifat pemabuk adalah ghadab (pemarah), yang merupakan perbuatan syaithan yang terbuat dari api. Obatnya tiada lain kecuali air.Jadi, selain dzikir dan shalat, untuk menyembuhkan para pasien itu digunakan metode wudhu dan mandi junub. Perpaduan kedua metode itu dirasa cukup berhasil sampai saat ini dan tetap dipertahankan di pondok Inabah untuk mengobati para pasiennya dari yang tingkat kecanduannya paling ringan sampai yang paling berat. Terhitung sudah ratusan ribu santri binaannya yang berhasil sembuh dari ketergantungan pada narkotika. Sejak itu, cabang Inabah pun tak hanya ada di Indonesia, namun mulai menjamur ke sejumlah negara Asia seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand.
Pondok yang berdiri sejak tahun 1968 dan baru diresmikan pemerintah pada 1980 itu rupanya membawa hikmah lain. Di antaranya menjadi jembatan emas untuk menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi, dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama yang datang dari berbagai benua seperti Afrika, Eropa dan Amerika. Mereka mulai yakin bahwa agama Islam dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom menunjuk tiga orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal Abidin Anwar, dan H. Dudun Nursaiduddin.
Kiprahnya sebagai tokoh agama yang banyak menyentuh bidang sosial kemasyarakatan berawal dari pemahamannya tentang makna zuhud. Jika kebanyakan kaum sufi berpendapat zuhud adalah meninggalkan dunia, yang berdampak pada kemunduran umat Islam. Tak demikian menurut pandangan Abah Anom, “Zuhud adalah qasr al-‘amal artinya, pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal dan bersikap realistis. Jadi zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian compang camping.”
Ia kemudian merujuk pada surat An-Nur ayat 37 yaitu, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat, (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati menjadi guncang.” Jadi, menurutnya seorang yang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan harta kekayaannya untuk menjadi pelayan, sedangkan ia sendiri dapat bertakwa kepada Allah swt semata. Atau seperti dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, “Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”
Gaya ulama kharismatik ini dalam memimpin pesantren maupun saat mengabdi di tengah masyarakat membuat para tokoh di Tanah Air menaruh hormat pada sosoknya. Para presiden atau wakil presiden RI bahkan pernah bertandang ke Ponpes Suryalaya. Diawali dengan kunjungan mantan Presiden Soeharto pada tahun 1995. Kedatangan Presiden Soeharto saat itu didamping Moerdiono yang ketika itu menjabat Menteri Sekretaris Negara. Menjelang pemilihan presiden tahun 2004, giliran Megawati Soekarnoputri yang didamping tokoh Partai Golkar Akbar Tandjung. Lima tahun berselang, Jusuf Kalla yang saat itu ingin mencalonkan diri sebagai presiden pada pilpres 2009 juga mengunjungi Abah Anom. Di tahun yang sama, Presiden SBY pun tak mau ketinggalan melakukan silaturahmi ke Abah Anom.
Meski amat disegani, sebagaimana lazimnya sosok sufi, Abah Anom sebenarnya tak ingin menjadi sosok yang terkenal. Itulah sebabnya, ia sangat sulit untuk diwawancarai wartawan. Walau begitu, ia bukanlah seorang sufi yang lari ke hutan-hutan dan gunung-gunung dan hidup untuk dirinya sendiri, serta menuding masyarakat sebagai musuh yang menghalangi dirinya dari Allah swt.
Abah Anom berpulang ke rahmatullah Senin 5 September 2011 sekitar pukul 11.50 WIB atau bertepatan dengan hari Milad Pesantren Suryalaya 5 September 1905. Sebelumnya almarhum tidak terbaring sakit atau dirawat di rumah sakit, bahkan sempat menerima tamu di kediamannya di Suryalaya. Usai menerima tamu, tiba-tiba ia mendadak merasakan sakit. Almarhum memang diketahui mengidap penyakit jantung.
Ia meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Tasikmalaya Medical Centre (TMC). Menurut keterangan dokter yang memeriksanya, Viktor Sugiarta, Abah tiba di rumah sakit sekitar pukul 12.00 WIB. Tim medis yang langsung menangani tidak bisa berbuat banyak karena ketika tiba di rumah sakit, Abah Anom sudah meninggal dunia.
Almarhum selama semalaman dibaringkan di masjid Nurul Asro dan belum dapat dimakamkan pada hari meninggalnya karena masih banyaknya pelayat yang terus berdatangan. Selama dibaringkan dalam masjid, para pelayat terus memadati kawasan masjid untuk mendoakan dan mensholatkan almarhum serta berzikir bersama secara bergantian.
Jenazah Abah Anom baru dikebumikan pada 6 September 2011 di sebuah bangunan dekat dengan makam ayahnya Syekh H Abdulloh Mubarok bin Nur Muhammad dan makam keluarga besar Suryalaya lainnya yang terdapat di Puncak Suryalaya atau sekitar komplek pesantren. Prosesi pemakaman Abah Anom dimulai sekitar pukul 09.00 WIB dan dipimpin langsung oleh keponakannya KH Zaenal Abidin Anwar. muli, red