Pilih KIM, Tanggalkan Kapten
Urip Santoso
[ENSIKLOPEDI] BIO 05 | Setelah keluar dari penjara, Urip kembali aktif lagi jadi tentara. Mula-mula dia ditugaskan ke Yogya, kemudian pindah lagi ke Jakarta dan masuk lagi ke kesatuan baru, semua bagian informasi dan intelijen, dan komandannya Zulkifli Lubis[1]. Sebaik Urip keluar penjara, Zulkifli Lubis langsung memerintahkan dinas lagi. Pake uniform lagi dengan pangkat Kapten TNI Angkatan Darat. Semua tugas dilaksanakan dengan baik.
Sampai suatu ketika, Urip menumpahkan isi hatinya kepada Zulkifli Lubis. “Pak Lubis, saya nggak enak karena pangkat kapten tapi belum pernah dilatih sebagai militer benar,” ungkap Urip, lalu menyampaikan hasratnya untuk sekolah lagi.
“Wah, jangan dulu karena lagi ada westerling, tapi kalau misalnya pendidikan militer apa boleh buat,” kata Zulkifli Lubis. Kebetulan, setelah percakapan itu, iklan yang pertama muncul adalah sekolah angkatan laut ke Belanda. Urip pun segera mengambil kesempatan itu. Walaupun konsekuensinya, dia harus melepas pangkat Kapten TNI AD yang sudah disandangnya. Dia merasa akan lebih pantas menyandang pangkat tertentu setelah menjalani sekolah dan latihan militer yang sesungguhnya.
Dia pun memilih masuk Akademi Angkatan Laut Belanda — KIM (Koninklijke Instituut der Marine, den Helder) – walaupun dia menyadari setelah tamat pun dari KIM, dia tidak mungkin langsung berpangkat kapten, tetapi turun menjadi Letnan Dua. Dia tidak menyesal. “Saya pokoknya jadi militer benaran,” katanya.
Urip pun selalu enjoy. Apa lagi dia merasa bahagia dan bangga sebagai alumni KIM. Semua orang tahu, masuk KIM itu tidak mudah. Sebagai pembanding, orang Indonesia yang masuk Akademi Angkatan Darat Belanda di Breda sudah ada pada zaman sebelum perang kemerdekaan. Sedangkan untuk masuk KIM (Akademi Angkatan Laut Belanda), jangankan orang kita, orang Belanda-nya saja diseleksi dengan sangat ketat. Testnya cukup berat. Ketika Urip masuk, yang mengikuti tes di Jakarta lebih 1000 orang, tapi yang diterima lebih kurang dari dua persen, termasuk Urip sendiri.
Makanya dia pantas merasa beruntung dan berbahagia. Walaupun pangkat Kapten TNI AD-nya dicopot. Dia jadi matrus kembali, tanpa menyesal. Walaupun kemudian hari dia melihat teman-teman seangkatannya di TNI AD, baik yang berpangkat Kapten maupun Letnan Satu, pangkatnya naik terus sampai 3-4 bintang tanpa sekolah (kala itu). Seperti, Yoga Sugama[2] satu-satunya yang dikenal waktu itu dan dia adalah lulusan Akademi Militer Jepang. Sementara dia sendiri berujung di bintang satu, Laksamana Pertama “Tapi saya pikir kembali, nasib saya lain kenapa diributin,” kenangnya. Hal mana dia tak pernah menyesal, walaupun jika dia tetap di Angkatan Darat, tanpa sekolah lagi, mungkin dia mencapai paling tidak bintang tiga.
Dalam kaitan ini, ada suatu hal yang perlu dicatat. Pada suatu hari, di tahun 1951, saat Urip sudah ada di KIM, dia masih menerima pengangkatan resmi jadi Letnan Satu TNI AD. Skepnya ditandatangani Mayor TNI A. Tahir. Hal ini berkaitan kebijaksanaan Pak Nas dalam rangka Re-ra, semua pangkat diturunkan satu tingkat.
Namun, dia lebih merasa bangga meniti karir militer melalui jenjang sekolah yang mumpuni. Apalagi dia sebagai alumni Akademi Angkatan Laut Belanda, yang kala itu, bahkan sampai saat ini, memiliki kelasnya sendiri. Semua orang tahu, bahwa sekolah-sekolah Belanda, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, termasuk Akademi Angkatan Laut, adalah memiliki sistem dan out put yang baik. Bahwa pihak Belanda, kala itu bermaksud mendidik orang Indonesia untuk hanya menjadi clerk saja, itu boleh saja. Tapi buktinya, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun segi karakter dan budaya, banyak yang muncul jadi pemimpin, seperti Sutan Syahrir[3], Bung Hatta4, dan Bung Karno5. Pokoknya di periode itu lain dengan pendidikan saat ini.
Urip menjalani pendidikan di Akademi Angkatan Laut Kerajaan Belanda — Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM) di Den Helder, Belanda, dengan harapan menjadi Perwira AL sungguhan. Dia berangkat awal September 1950. Proses pendidikan di KIM, yang berlangsung dengan amat ketat itu, diikutinya dengan seksama.
Pada saat pertama ngantri mau masuk komplek KIM, di depannya ada upacara penerimaan, sejenak dia menghela nafas. Lalu menatap gedungnya yang tampak angkuh, seram. Dalam alam pikirnya terbayang Penjara Glodok dan Bukit Duri, di mana dia terkurung hampir tiga tahun. Baru saja dia keluar penjara, sekarang di KIM itu, dia harus terkurung lagi selama tiga tahun. Walaupun keadaannya berbeda, tetapi posisinya tetap terkurung.
Sejenak muncul keraguan dalam hatinya. Namun, tekadnya untuk menjadi Perwira AL berlatar pendidikan yang mumpuni, mengalahkan keraguan itu. Lalu, setelah enam bulan, dia merasa kurang pas karena dimasukkan dalam korps administrasi yang pelajarannya dirasa itu-itu saja serta sangat kurang banyak mengenai kemaritiman. Kepada mentornya, dia pun minta pindah korps. Perpindahan korps itu juga karena dia memegang amanat Zulkifli Lubis, agar belajar maritim secara sungguh-sungguh. Tapi mentornya dan pimpinan KIM mempersyaratkan, dia harus membuktikan dulu selama satu tahun, jika di korps itu dia tidak naik baru bisa usul pindah korps.
Kalau syarat ini dipenuhi, berarti dia harus menunggu setahun lagi, atau kehilangan satu tahun. Jadi akan total 4 tahun dia di situ. Akhirnya dia mengambil hal positifnya. Dia pun melakoninya dengan baik. Toh pelajaran apa pun pasti berguna dan tak akan hilang. Baik pelajaran administrasi, manajemen kemaritiman dan angkatan laut, dia lakoni dengan baik.
Setelah tiga tahun, tepatnya September 1950 sampai Agustus 1953, dia menyelesaikan pendidikan di KIM dan segera pulang ke tanah air. Dia langsung berdinas dengan pangkat Letnan Muda. Padahal, sebelum berangkat belajar ke Akademi Angkatan Laut Kerajaan Belanda itu, dia telah berpangkat Kapten TNI-AD. Pada saat dia baru disematkan pangkat Letan Muda AL itu, dia melihat teman-temannya di Angkatan Darat, yanag waktu revolusi dia tahu pendidikannya juga tidak benar, sudah menyandang pangkat jauh melebihi dia.
Selain itu, alumni KIM kadang dicemooh seolah antek Belanda. Padahal itu tidak benar. Bukankah mereka itu dikirim oleh Republik Indonesia? Perihal kontroversi ini dan pikiran anak-anak (alumni) KIM, sudah ada bukunya yang diterbitkan Kompas Gramedia. Buku itu mereka tulis dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Belanda. Dalam buku itu digambarkan antara lain perihal motto KIM yakni Knowledge is power but character is more, yang singkatan KIM juga. Prinsip ini, umumnya mereka pegang sampai akhir hayat. Pendidikan karakter yang sejak awal ditegaskan Bung Karno, Character Building. Bio TokohIndonesia.com | crs-ms
Footnote:
[1] Zulkifli Lubis (1923-1992) Komandan Intelijen Pertama. Lahir di Banda Aceh (Kutaraja), 26 Desember 1923. Dia adalah perintis dan komandan pertama badan intelijen Indonesia. Dia bergerilya di Sumatera dalam perang kemerdekaan. Pemimpin Gerakan Anti 17 Oktober 1952, Deputi Kepala Staf dan Penjabat Kepala Staf Angkatan Darat selama beberapa tahun dengan pangkat kolonel hingga meletakkan jabatan pada tahun 1956. Dia salah satu gembong dalam pemberontakan PRRI – Permesta (1958). Terakhir tinggal di Bogor sebagai pengusaha, dan meninggal 1992. (Pusat Data Tokoh Indonesia)
[2] Yoga Sugama, Jenderal TNI (Purn), lahir di Blitar 12 Mei 1925 dan meninggal dalam usia 78 tahun di Jakarta, 23 April 2003 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dia menjabat Kabakin (Kepala Badan Koordinasi Inteljen Nasional) selama 2 periode yaitu 1968-1969 dan 1974-1978. Dia juga pernah menjabat wakil tetap RI di PBB New York (1971-1974). Pernah mengenyam pendidikan militer di Jepang dan pendidikan Intelejen di Inggris. (Pusat Data Tokoh Indonesia)
[3] Sutan Syahrir – Soetan Syahrir (1909-1966) adalah Perdana Menteri Republik Indonesia Pertama (14 November 1945 hingga 20 Juni 1947). Pria kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909, ini seorang politikus yang mendirikan Partai Sosialis Indonesia (1948). Ia wafat di dalam pengasingan sebagai tawanan politik (Zürich, Swiss, 9 April 1966) pada usia 57 tahun. (www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sutan-syahrir/)
[4] Bung Hatta, Mohammad Hatta (1902-), Sang Proklamator. Wakil Presiden RI pertama ini lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 dan meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980. Dia diberi kehormatan sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). (www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/h/hatta/)
[5] Bung Karno, Soekarno (1906-1970) Berdiri di Atas Kaki Sendiri. Dia Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu. Meninggal dunia di Jakarta, 21 Juni 1970 dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. (www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soekarno/)