Taipan Pendiri Sinar Mas Grup
Eka Tjipta Widjaya
[ENSIKLOPEDI] Berkat keuletannya dalam menjalankan usaha, Eka Tjipta Widjaya menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Usahanya di bawah bendera Grup Sinar Mas yang menaungi lebih dari 200 perusahaan dengan ratusan ribu karyawan telah melebar ke bisnis keuangan, bubur kertas (pulp), kertas, agrobisnis, perumahan/real estate hingga teknologi informasi.
“Kesulitan apa pun yang dihadapi, asal punya keinginan untuk berjuang, pasti semua kesulitan bisa diatasi,” demikian prinsip Eka Tjipta Widjaya dalam menjalani kehidupan. Berkat kegigihannya berusaha, pendiri Grup Sinar Mas ini tampil menjadi salah seorang taipan (orang kaya) di Indonesia. Menurut Majalah Globe Asia (Mei 2010), ia merupakan orang terkaya kedua Indonesia tahun 2010 dengan kekayaan US$ 4 miliar atau sekitar Rp 36 triliun. Usaha Grup Sinar Mas menggurita dari bubur kertas hingga perkebunan. Eka Tjipta mengendalikan usahanya melalui empat unit usaha, yaitu Asia Pulp and Paper Co., PT Sinarmas Multiartha Tbk., PT Duta Pertiwi Tbk., dan PT Sinarmas Agro Resources and Technology Tbk.
Jauh sebelum terkenal sebagai pengusaha kaya yang sukses, Eka Tjipta Widjaya sudah merasakan getirnya hidup. Ia lahir dalam keluarga miskin di Coan Ciu, Hokian, pada 3 Oktober 1923. Penghasilan orang tuanya yang pas-pasan memaksa keluarganya hanya bisa makan bubur dan ubi setiap hari.
Saat usianya masih 9 tahun, Eka bersama ibunya menyusul sang ayah migrasi ke Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Di Makassar, ia membantu ayahnya yang telah memiliki sebuah toko kecil. Berbekal sepeda dan barang eceran dari toko milik ayahnya, ia menjual barang-barang makanan dari rumah ke rumah. Meski hanya dapat berkomunikasi dalam bahasa Hokkian, Eka tetap berjualan. Dengan modal bahasa ‘Tarzan’, menujuk-nunjuk atau menggunakan bahasa tubuh, ia berjualan membantu menambah penghasilan untuk keluarganya.
Setelah dua tahun di Makassar, pria bernama asli Oei Ek Tjhong ini masuk sekolah dasar. Namun, tamat sekolah dasar, ia tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena keterbatasan ekonomi. Karena dibesarkan dalam keluarga pedagang, ia kemudian berusaha sendiri pada usia yang masih sangat belia, 15 tahun. Usaha pertama yang ia pilih adalah menjual biskuit dan gula-gula. Namun karena tidak ada modal, Eka lantas bermaksud mengambil barang dulu dan membayar kemudian setelah barang laku. Pada awalnya, banyak toko grosir tidak percaya dan tidak mau memberikan barang. Tidak mau berputus asa, Eka menjadikan ijazah SD-nya sebagai jaminan agar bisa dipercaya mengambil barang dagangan.
Dengan cara ini, ia pun pelan-pelan mendapat kepercayaan mengambil barang tanpa harus membayar di muka, meski barang yang bisa dijual tidak banyak. Kala itu, ia mendapat jatah empat buah kaleng biskuit dan gula-gula kembang senilai 21,50 gulden. Dengan barang jualan itu, ia bersepeda menawarkan dagangan ke toko-toko di wilayah Makasar. Pelan tapi pasti, usahanya berkembang hingga akhirnya ia bisa berjualan dengan menyewa becak.
Saat usahanya mulai berkembang, pasukan Jepang masuk menyerbu Indonesia, termasuk ke Makassar, sehingga usahanya ikut hancur. Di tengah kegalauannya, Eka mengayuh sepedanya keliling Makassar hingga sampai ke Paotere (pinggiran Makassar, yang kemudian menjadi salah satu pangkalan perahu terbesar di luar Jawa). Di situ ia melihat truk-truk tentara Jepang yang sedang membuang sak-sak tepung terigu, semen, dan besi-besi bekas. Ide bisnisnya seketika muncul. Barang-barang bekas tersebut lantas dibawanya kembali ke rumah, dipilah yang kondisinya masih baik, dibungkus seperti semula, kemudian dijualnya. Barang-barang bekas itu ternyata laku dan memberinya sejumlah keuntungan.
Setelah barang-barang bekas itu habis, Eka beralih profesi dengan menjadi pedagang kopra. Dalam bisnis ini, ia pernah berlayar berhari-hari ke Selayar (Selatan Sulsel) dan ke sentra-sentra kopra lainnya untuk mencari kopra murah. Namun karena adanya aturan dari penjajah Jepang, Eka rugi besar dan nyaris bangkrut. Terbentur dengan usaha kopra, Eka mencari peluang lain, yakni berdagang gula, lalu teng-teng (makanan khas Makassar dari gula merah dan kacang tanah), wijen, dan kembang gula. Tapi ketika usaha tersebut mulai menggeliat, harga gula jatuh, ia pun rugi besar, modalnya habis lagi, bahkan berutang.
Keberhasilan Eka dalam menjalankan bisnisnya tidak lepas dari prinsip hidup yang dipegangnya. Baginya, kesulitan apa pun yang dihadapi dalam menjalankan bisnis, asal punya keinginan untuk berjuang, pasti semua kesulitan bisa diatasi. Prinsip selanjutnya, jujur, menjaga kredibilitas, bertanggung jawab, baik terhadap keluarga, pekerjaan maupun linkungan sekitar. Hidup hemat dan tidak berfoya-foya.
Pada usia 37 tahun, Eka pindah dari Makassar ke Surabaya. Eka sempat memiliki kebun kopi dan kebun karet di Jember, pabrik minyak kelapa dan penggilingan padi di Ciluas, Serang. Namun perusahaan merugi sehingga harus dijual separuh harga. Tidak mau berhenti berusaha, ia kemudian mendirikan CV Sinar Mas yang melakukan ekspor hasil bumi dan impor tekstil.
Seiring dengan bisnisnya yang terus berkembang, ia mendirikan PT Tjiwi Kimia pada 1976 yang bergerak di bidang bahan kimia. Kemudian pada tahun 1980-1981, ia membeli perkebunan kelapa sawit seluas 10 ribu hektar, mesin serta pabrik berkapasitas 60 ribu ton di Riau serta perkebunan dan pabrik teh seluas 1.000 hektar berkapasitas 20 ribu ton. Tahun 1982, ia membeli Bank Internasional Indonesia (BII) yang kemudian berkembang pesat, dari dua cabang dengan aset Rp.13 milyar menjadi 40 cabang dan cabang pembantu, dengan aset Rp. 9,2 trilyun. PT Indah Kiat yang juga dibeli Eka yang awalnya (1984) hanya memproduksi pulp 50.000 ton per tahun, tapi sepuluh tahun kemudian mampu memproduksi 700.000 ton pulp dan 650.000 ton kertas per tahun.
Tidak berhenti di bisnis perbankan, kertas, dan minyak, penggemar taichi ini kemudian merambah ke bisnis real estate. Ia misalnya, membangun ITC Mangga Dua, ruko, apartemen lengkap dengan pusat perdagangan. Di Roxy, Jakarta Barat, ia membangun apartemen Green View, sedangkan di Kuningan dia membangun Ambassador.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1998 membuat banyak perusahaan gulung tikar. Bisnis yang dibangun Eka juga ikut guncang. Ia terpaksa melepas BII serta 39 perusahaan lain kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Nilai totalnya US$ 1,2 miliar. Ini sebagai konsekuensi atas suntikan modal pemerintah – dalam bentuk obligasi rekapitalisasi – untuk menyelamatkan bank yang dihantam kredit macet itu.
BII terlalu banyak mengucurkan kredit untuk membiayai usaha grup sendiri. Eka dan empat putranya (Indra, Muchtar, Teguh, dan Franky) harus menyerahkan diri sebagai jaminan pribadi atas penyelesaian seluruh utang kepada pemerintah. Bank Indonesia juga melarang mereka mengelola bank selama lima tahun. Alasannya, keluarga Eka tidak hati-hati sehingga melanggar batas maksimal pemberian kredit.
Asia Pulp and Paper Co., salah satu unit grupnya yang bergerak di industri bubur kertas dan produk kertas, juga terjebak utang raksasa. Akibat banyaknya obligasi yang diterbitkan, utangnya menjadi US$ 12 miliar. Ketika itu, Asia Pulp and Paper yang terdaftar di bursa Wall Street tercatat sebagai penerbit surat utang terbesar di dunia.
Saat itu banyak orang mengira konglomerasi yang dirintis Eka sejak 1960-an itu bakal berakhir. Tapi, nasib baik berpihak pada sang taipan. Perlahan-lahan, dengan keteguhan dan keuletan, Sinar Mas bangkit menyelesaikan persoalannya. Urusan utang dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional selesai pada 2004. Grup Sinar Mas kemudian berbenah diri. Eka menyerahkan 100 persen pengelolaan perusahaan kepada anak-anak, cucu, dan para profesional. Nama Sinar Mas diubah menjadi Sinarmas. Perubahan itu tak hanya soal nama, tapi juga sebuah definisi. ‘Sinar Mas’ adalah kisah perusahaan yang terhantam krisis. Sedangkan pergantian ke huruf kecil, menurut juru bicara grup Yan Partawijaya, menunjukkan Sinarmas tidak sombong. Selain itu, induk usaha (holding company) juga dihapus. Tujuannya, agar utang dari satu perusahaan tidak membebani bidang usaha lain.
Empat anak Eka kemudian mendapat tugas mengelola empat unit usaha. Si sulung Teguh Ganda Widjaja memimpin Asia Pulp and Paper Co. Indra Widjaja memegang PT Sinarmas Multiartha Tbk., yang bergerak di bidang keuangan. Muktar Widjaja mengelola perusahaan properti PT Duta Pertiwi Tbk. Franky Oesman Widjaja menangani perusahaan agro dan teknologi, PT Sinarmas Agro Resources and Technology Tbk. Generasi ketiga Widjaja juga disertakan dalam bisnis. Fuganto Widjaja, anak Indra Widjaja, menjadi salah satu komisaris di Sinarmas Multiartha. Oei Kang Eric, putra Teguh, menjadi Direktur Pelaksana HK Construction, yang berkongsi dengan Grup Sinarmas membangun sejumlah properti di Hong Kong.
Keberhasilan Eka dalam menjalankan bisnisnya tidak lepas dari prinsip hidup yang dipegangnya. Baginya, kesulitan apa pun yang dihadapi dalam menjalankan bisnis, asal punya keinginan untuk berjuang, pasti semua kesulitan bisa diatasi. Prinsip selanjutnya, jujur, menjaga kredibilitas, bertanggung jawab, baik terhadap keluarga, pekerjaan maupun linkungan sekitar. Hidup hemat dan tidak berfoya-foya. “Bila kita hidup hemat, uang yang ditabung bisa digunakan untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Dan, kita harus sebisa mungkin berusaha membantu orang lain yang kurang mampu, tanpa diskriminasi. Kemanusiaan itu tidak pandang bulu,” katanya.
Untuk menyalurkan kepedulian sosialnya, Eka kemudian mendirikan yayasan “Eka Tjipta Foundation” (ETF) pada Maret 2006. Visi ETF tercermin dalam motto: “menanam kebaikan menuai kesejahteraan” atau “good deeds create good seeds”, yang lebih tegas tertuang dalam maksud dan tujuan ETF yakni meningkatkan kualitas kehidupan, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidup dengan memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan bangsa dan negara Indonesia secara berkelanjutan.
Setelah perusahaan dipegang anak-anaknya, Eka lebih banyak menghabiskan hari-harinya melakukan kegiatan sosial, bertemu dengan teman-teman lama dan sesekali ke Singapura untuk berobat. Satu-satunya jabatan yang masih dia pegang adalah Ketua Badan Pembina Eka Tjipta Foundation. eti | mlp