Berawal ‘Tumpangan’ PDI Pro Mega

Erwin Pardede
 
0
504
Erwin Pardede
Erwin Pardede | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Namanya menjadi terkenal saat sebuah gedung miliknya di Jalan Raya Tengah, Condet, Jakarta Timur, dia kontrakkan kepada kelompok PDI Pro Mega yang sedang dijegal rezim Orde Baru, di tahun 1996. Hal itu memberinya kesempatan berkenalan lebih dekat dengan Megawati Soekarnoputri. Bahkan menghantarkan pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara pada 17 Agustus 1943 ini berpolitik ke Senayan sebagai anggota Fraksi PDI-P DPR RI dari daerah pemilihan Simalungun, Sumatera Utara.

Erwin Pardede mempunyai Kartu Tanda Anggota (KTA) PDI Perjuangan keluaran tahun 1998, bernomor B.4-7/27640/KA/DPC/IX/98. Bekerja sebagai wiraswasta, tepatnya kontraktor jasa konstruksi sebagai pemegang saham sekaligus pimpinan berbagai perusahaan yang dia dirikan.

Pria penganut paham sekuler namun mengaku menganut pula agama Kristen Protestan menamatkan pendidikan SD tahun 1958, SMP tahun 1961, dan SMA tahun 1964 ketiganya di Pematang Siantar. Sedangkan pendidikan Diploma III dia selesaikan di Bandung tahun 1968.

Dari istrinya Rusline Hutasoit dia dikaruniai lima orang anak, yaitu putri sulung Errata Jundini Atmira kelahiran 10 Juni 1972 yang menikah dengan Sibarani dan telah memberinya seorang cucu. Lalu, Errinto Sahat Pahala anak lelaki tertua kelahiran 16 Juli 1973, Erly Ika Suminar lahir 12 September 1974, Ersan Timbul Marudut lahir 8 Agustus 1977, dan si bungsu Erna Ade Surya Ponti kelahiran 19 September 1981.

Dua keahlian khusus yang dia torehkan dalam catatan pribadinya adalah bidang teknik bangunan dan berorganisasi. Aktivitas dan jabatan resmi yang pernah dia pegang selama di PDI Perjuangan adalah Wakil Bendahara Pemenangan Pemilu Pusat PDI Perjuangan Tahun 1999.

Dia sangat familiar dengan insan pers. Nama dan tampangnya kerapkali menghias lembar suratkabar dan majalah serta layar kaca televisi. Sekalipun topik yang dibangun begitu ringan. Semisal, kaitan antara posisi anggota dewan yang terhormat di DPR RI dengan kebiasaan menggunakan pakaian setelan jas yang rapi.

Jika diajak bicara dia yang menyebut pimpinan partainya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dengan Ibu Mega, selalu memposisikan diri “antagonis” untuk mampu melahirkan wacana baru perdebata. Peran “antagonis” itu lalu terkadang mengarah ke hal-hal pembicaraan yang kontroversial sehingga yang lalu ada adalah semacam parodi anti kemunafikan sesuai dengan “trade mark” diri yang mulai dia perkenalkan, anti kemunafikan.

Dia mendekati paham filosofi Kahlil Gibran, yang pernah menyebutkan, ‘Sampaikanlah pikiranmu. Jika itu benar dia telah menunjukkan sebagian dari kebenaran. Jika itu salah dia akan merangsang lahirnya pikiran yang lebih benar. Baik ketika benar maupun ketika salah menyampaikan pikiran selalu lebih baik daripada diam sama sekali’. Itulah Erwin Pardede yang “rajin” bicara.

Dahulu dia adalah pendengar yang baik. Ketika ilmu sudah cukup sebagai pendengar maka dia berubah menjadi pembicara yang baik terutama di gedung DPR/MPR RI Senayan Jakarta. Di situ dia menyampaikan, kalau bisa sekaligus memperjuangkan aspirasi rakyat yang sampai kepadanya. Dia berencana meluncurkan buku berisi pesan anti kemunafikan persis pada tanggal 17 Agustus 2004. Derivatif dari judul buku itu menurutnya masih bisa melahirkan tujuh puluh judul buku baru yang siap dia tuliskan.

Erwin Pardede memang politisi yang berbeda. Dia terjun ke gelanggang politik setelah merasa cukup secara materi. Awalnya dia bertekad, persis pada usia lima puluh tahun sudah harus berhenti bekerja alias pensiun setelah materi yang dia persiapkan cukup untuk kebutuhan satu generasi. Setelah tekad awal itu tercapai tinggallah berpolitik praktis sambil tetap menyalurkan hobi arsitek dengan mendesain rumah, membangun, lalu menjual rumah tersebut dengan nilai tambah yang sudah berlipat kali ganda.

Advertisement

Berpolitik praktis memperoleh momentum tepat saat seorang anak bangsa bernama Megawati Soekarnoputri, yang notabene adalah putri sulung tokoh nasional Proklamator Bangsa Ir Soekarno mengalami kematian hak-hak politik. Oleh rezim yang sedang berkuasa ketika itu dia ditindas, karakternya dibunuh bahkan menjadi assasinate kesohor di era Orde Baru.

Sebagai assasinate Megawati bukan hanya tidak boleh memimpin partai. Bahkan, berdiripun di kantornya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusatdia tidak diizinkan. Kantor itu dihancurkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Megawati menjadi pesakitan politik dan tidak tersedia satu tempat pun bagi dia untuk berlindung.

Rasa simpati terhadap Mega muncul dari mana-mana namun hanya Erwin Pardede yang berani “menampung” pesakitan politik itu di sebuah gedung di Jalan Raya Tengah, Kelurahan Gedung, Condet, Jakarta Timur, miliknya. Gedung itu menjadi tempat bersinggah bagi kelompok PDI Pro Mega, yang pada 27 Juli 1996 diperlakukan seperti manusia tanpa jiwa.

Erwin menerima uang kontrak dari kelompok PDI Pro Mega sebab deal-nya adalah sewa-menyewa. Tapi apa lacur di sini pun PDI Pro Mega tetap diburu. Kantor itu oleh aparat berwenang disegel dengan alasan peruntukan bukan untuk perkantoran.

Uniknya, dengan ketulusan mengontrakkan gedung yang lalu disegel itu nama Erwin ikutan meroket sebagai assasinate baru. Dia tidak mempedulikan usaha jasa konstruksinya dipotong dimana-mana sebab sudah tidak diperkenankan lagi mengerjakan proyek-proyek baru yang biasanya mudah dia peroleh. Peristiwa yang menimpanya membuat rasa simpati dia terhadap Mega sebagai orang tertindas malah menjadi makin menggebu-gebu.

Dia yang sebelumnya selalu golongan putih (golput) alias tidak pernah menggunakan hak pilih pada setiap pemilihan umum (pemilu), tiba-tiba muncul di sebuah koran pagi nasional terbesar Indonesia. Nama dia bersama beberapa pengusaha terkemuka lain menyatakan diri bergabung ke partai pimpinan Megawati, di tahun 1998.

Karena reformasi masih terus bergulir maka pada Pemilu 1999 posisi PDI-Perjuangan sudah sangat didukung oleh rakyat untuk menumbangkan rezim lama secara politis dan ksatria. Dengan posisi sebagai Wakil Bendahara Pemenangan Pemilu Pusat (Pappusat) PDI Perjuangan Erwin Pardede bahu-membahu memenangkan partai.

Walau begitu langkah dia ke Senayan mewakili daerah pemilihan (Dapil) Simalungun, Sumatera Utara tidak mudah. Keputusan partai memilih Erwin, nama yang tidak berhasil memperoleh bilangan pembagi pemilih (BPP), ke Senayan ditentang berbagai pihak terutama kader pendukung kandidat lain dari PDI-P dari Dapil sama. Uniknya Erwin ada bersama para pendemo itu menggugat keputusan pengurus partai yang meloloskan namanya ke Senayan. Entah, dia sekadar bergurau atau serius.

Rendah hati

Erwin Pardede selalu berbicara apa adanya. Rendah hati namun penuh rasa percaya diri. Dia menyebutkan dirinya tak lebih sebagai masyarakat kecil seorang awam yang tidak mempunyai andil untuk republik. Bukti bahwa dia seorang awam adalah PDI-P menempatkan namanya hanya di nomor urut lima Dapil III Sumatera Utara pada Pemilu 2004. Dikatakannya, kalau dia orang berpengaruh seharusnya nomor urutnya dibuat di nomor satu atau dua untuk mempengaruhi orang lain.

Dia menyebutkan kemungkinan namanya akan berpengaruh jika telah meluncurkan buku yang sedang ditulisnya, “Anti Kemufikan”. Buku tersebut sebelum diluncurkan telah menuai banyak kontroversi mengingat isinya sangat bertentangan dengan budaya dan keyakinan yang dianut kebanyakan orang. Dengan buku itu pria yang menolak disebutkan mulai melempem dan tidak lagi dinamis tersebut berharap bisa mengubah sikap manusia Republik Indonesia menjadi tidak munafik.

“Saya manusia yang dinamis dan berani menantang keadaan,” tegas dia. Dia selalu konsisten terhadap sikap dan jatidirinya untuk menjadi jujur, berani menantang orang lain dalam soal cara berfikir dan yang terutama konsisten sebagai penganut anti kemunafikan. Dia malah menyimpulkan bahwa republik ini jatuh karena kemunafikan.

Fungsi dan peran dia selama lima tahun di kursi terhormat DPR disebutkannya banyak kerjaan namun tidak pernah menjadi ketua. Karena itu prestasinya sebagai wakil rakyat dia anggap biasa-biasa saja. Padahal, kliping berita kegiatan dan pernyataan sikap politik dia sebagai anggota dewan telah menghasilkan tumpukan bundel berita yang sudah tak terhitung jumlahnya. Toh, kemunculan dia di media massa itu dikatakannya sekedar sekedar saja.

Menang di putaran pertama
Sebagai kader yang direkrut di puncak pergolakan PDI Pro Mega loyalitas dia kepada partai terutama figur Megawati sangat tinggi. Dia selalu menyebut pimpinan partainya itu dengan sebutan Ibu Mega. Tidak lebih tidak kurang. Karena itu, walau di luaran terdengar begitu banyak suara prihatin terhadap PDI-P namun dia konsisten menyebut partainya tetap solid dan cukup baik. Kali ini dia bicara tanpa bertendensi kemunafikan. Nomor urut lima bukan kendala baginya untuk mengubah loyalitas kepada partai apalagi kepada pimpinan tertinggi yang kini dipercaya memimpin republik.

Dia memprediksi partainya akan memperoleh suara antara 35 hingga 45 persen pada Pemilu Legislatif 2004. Dan, Ibu Mega akan menjadi presiden pada Pemilu Presiden di putaran pertama. Kalau putaran pertama sudah 51 persen yang mendukung dia, maka, sudah tidak perlu ada putaran lain lagi,” tegasnya. Optimisme itu menurutnya didasari oleh kinerja Megawati yang cukup baik.

Partai yang paling menarik di masa depan menurutnya adalah partai nasionalis. Sebab, tutur dia, tidak akan mungkin republik ini menjadi kekuasaan yang berazaskan agama melainkan nasionalis. Karena hal itu sudah menjadi tekad pada saat republik ini dibentuk. “Para proklamator kita dahulu menginginkan republik ini adalah republik yang nasionalis, bukan republik yang agamis. Republik ini dibangun di atas keragaman dan di atas azas kenegaraan.”

Dia pun menepis adanya semacam konsensus diantara para patron pendiri PDI Perjuangan, yang dahulu bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil fusi berbagai partai aliran nasionalis dan aliran agama Nasrani. Konsensus yang tidak tertulis itu mengisyaratkan jika ketua umumnya muslim maka sekjen sebagai orang kedua diberikan kepada umat Nasrani, atau sebaliknya.

Konsensus tersebut dirasa mulai hilang saat Alexander Litay tidak lagi menjadi Sekjen PDI-P, digantikan oleh Sutjipto saat Kongres Semarang tahun 2000. Tergusurnya Alex Litay bukan hanya dinilai mengingkari konsensus namun menafikan kesetiaan Alex saat berjuang berdua saja bersama Mega dalam kelompok PDI Pro Mega.

Erwin menyebutkan konsensus itu menurut sejarah tidak pernah ada. Demikian pula dalam penyusunan daftar calon legislatif yang konon hanya ditentukan oleh 11 orang, termasuk penentuan nama dia di nomor urut lima Dapil III Sumatera Utara. PDI Perjuangan tidak pernah bicara muslim bukan muslim, warna kulit, dan sebagainya sebab PDI Perjuangan konsisten dengan apa yang mesti dilakukan.

“Tapi, kalau pun ada pribadi atau sikap-sikap yang demikian, kita tidak perlu mengatakan itu adalah PDI Perjuangan. Kalau umpamanya ada yang diskriminatif di sana, itu bukan PDI Perjuangan tapi oknum,” kata Erwin yang meminta agar dibedakan antara kehendak institusi dan oknum pribadi.

***

Dua keahlian khusus ditorehkan Erwin Pardede dalam catatan pribadinya. Yaitu di bidang teknik bangunan dan berorganisasi. Aktivitas dan jabatan resmi yang pernah dia pegang selama di PDI Perjuangan adalah Wakil Bendahara Pemenangan Pemilu Pusat PDI Perjuangan Tahun 1999.

Sebagai ahli di bidang teknik bangunan, Erwin Pardede antara lain pernah bekerja sebagai Kepala Bagian Teknik N.V. Zain di Bandung, tahun 1965 hingga 1967. Lalu, sebagai Pimpinan Proyek pada PT Sapta Daya di Bandung tahun 1967-1968, mengekspor barang kerajinan ke Singapura tahun 1968-1970, Direktur dan Pemegang Saham PT Lanze sejak tahun 1970 hingga sekarang, Direktur dan Pemegang Saham PT Daya Mandiri Alam sejak tahun 1985 hingga sekarang, serta Direktur dan Pemegang Saham PT Naga Saco sejak tahun 1994 hingga sekarang.

Keahlian dia berorganisasi cukup beragam baik organisasi profesi maupun kemasyarakatan. Di organisasi profesi, Erwin Pardede pernah menjadi Wakil Ketua BPD Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional (Gapensi) DKI Jakarta antara tahun 1980 hingga 1983, sebagai Wakil Ketua Bidang Konstruksi Kadin Jaya tahun 1981-1983, Ketua Departemen Konstruksi Kadin Jaya tahun 1983-1985, Sekretaris Jenderal BPP Gapensi tahun 1983-1987, Ketua Kompartemen Jasa Konstruksi Kadin Jaya tahun 1985-1994.

Kemudian, sebagai Ketua Bidang Organisasi BPP Perhimpunan Ahli Teknik Indonesia (PATI) pada tahun 1986 hingga 1994, Anggota Dewan Penasehat Kadin Jaya tahun 1993-1994, Ketua Bidang Pemagangan, SDM, dan Ketenagakerjaan Kadin Indonesia tahun 1994-1998, Ketua Bidang Organisasi DPP Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tahun 1994-1998, Ketua BPP PATI sejak tahun 1994 hingga sekarang, Ketua DPP Apindo Urusan Sosial sejak Juni 1998 hingga sekarang, Sekretaris Kelompok Kerja (Pokja) Sertifikasi Pekerja Bangunan di Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) sejak Juli 1998 hingga sekarang, dan sejak Oktober 1998 hingga sekarang sebagai Anggota Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).

Di bidang kemasyarakatan, istri dari Rusline Hutasoit antara lain aktif sebagai Tim Koordinasi Usaha Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Cacat di Departemen Sosial (Depsos) sejak Juli 1997 hingga sekarang, Tim Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Depsos sejak Agustus 1997 hingga sekarang, Tim Koordinasi (Joint Coordinating Comitte) Pengembangan Sistem Rehabilitasi Vakasional di Depsos sejak April 1998 hingga sekarang, Koordinator Umum Forum Peduli Anak Indonesia (FPAI) sejak Juli 1998 hingga sekarang, Wakil Sekretaris Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) sejak November 1998 hingga sekarang, Ketua Perhimpunan Keluarga Pardede Se Jabotabek tahun 1986-1995, serta Sekretaris Jenderal Paguyuban Partukkoan Dalihan Natolu (Palito) sejak 1994 hingga sekarang.

Aktivitas dan partisipasi dia dalam pertemuan tingkat nasional tercatat antara lain sebagai Tim Perumus pada Rakernas Pengusaha Kecil KP2KO Maret 1985, Ketua Komisi B pada Rakernas JKKRET Kadin Indonesia Juli 1985, Tim Perumus pada seminar ekonomi negara-negara Eropa Timur di Lemhanas Desember 1985, Tim Perumus Munas ke-VI Kadin Indonesia September 1985, sebagai moderator di beberapa seminar dan pertemuan tingkat nasional lainnya, serta sebagai pembicara pada berbagai seminar nasional khususnya bidang yang terkait dengan masalah sosial, anak terlantar, dan ketenagakerjaan.

Walau ditempatkan di nomor urut lima dalam daftar calon legislatif DPR RI pada daerah pemilihan III Sumatera Utara, yang pasti Erwin Pardede menyebut diri tetap happy dan enjoy berjuang untuk diri dan bangsanya. Dia menyebut berjuang untuk dirinya dahulu, baru untuk bangsa. Sebab, adalah omong kosong jika ada orang mengatakan berjuang untuk bangsa tanpa berjuang untuk dirinya. “Karena tidak ada pejuang yang sakit menjadi berjuang, kecuali Sudirman.”

Berdasar filosofi sederhana itu, dengan rendah hati dia menyebut dirinya tidak punya jasa di PDI Perjuangan. Melainkan, dia malah mengambil dari PDI-P. Dia juga mengaku tidak pernah dekat dengan Ibu Mega. Melainkan, pernah mengenal Ibu Mega. Itupun saat mengontrak gedung miliknya di Condet. “Pada saat dia disingkirkan orang lain, atau orang lain tidak mau mengontrakkan rumah atau gedung kepada PDI Pro Mega, ya saya bersedia untuk mengontrakkan kepada PDI Pro Mega walaupun kontrak itu hanya untuk sekedar uang pindah. Itu saja.”

Walau hanya mengontrakkan namun efeknya cukup banyak buat Erwin. “Pada saat itu saya berbisnis saya dijegal, saya di-cut tidak bisa lagi dapat proyek. Itu saja. Tapi bukan berarti itu jasa saya kepada PDI Pro Mega. Tidak. Saya tidak punya jasa kepada PDI Pro Mega.”

Karena itu Erwin tidak berani menyebut kedudukannya di DPR adalah atas jasa dia terhadap PDI Pro Mega. Melainkan, karena kenal dengan Megawati pimpinan partai wong cilik itu lalu diberi kesempatan kepada dia untuk menjadi anggota DPR. “Apakah itu penilaian karena saya pernah memberikan kantor saya untuk dikontrak, itu urusan Bu Mega. Tapi yang pasti, saya sudah mengambil hikmah dari perkenalan saya dengan PDI Pro Mega: Saya menjadi anggota DPR satu periode,” ujarnya sambil menyebut merasa puas satu periode saja sebab sebelumnya sama sekali tidak pernah berangan-angan menjadi anggota DPR.

Erwin menyebutkan daerah pemilihannya adalah gudang PDI Perjuangan. Karenanya dia memperkirakan perolehan suara partainya bisa mencapai 30 hingga dibawah 50 persen. Dia kini tinggal membuktikan apakah pemilih itu juga cinta terhadap Erwin Pardede untuk meraih BPP, satu-satunya kesempatan terbuka bagi pemegang nomor urut lima ini melenggang ke Senayan.

Namun Erwin tidak menetapkan perolehan BPP sebagai tujuan berkampanye. Melainkan, “… saya akan menunjukkan kepada rakyat bahwa PDI Perjuangan itu masih yang solid dan mempunyai harapan untuk membangun republik ini.” Sebagai tokoh anti kemunafikan Erwin dipastikan tidak akan mengatakan bisa memperjuangkan sesuatu yang memang tidak bisa dia perjuangkan.

“Tapi, saya mengatakan PDI Perjuangan akan berjuang. Kalau pribadi Erwin Pardede belum tentu bisa berjuang,” tegas pria tambun ini. Sikap mengedepankan perjuangan atas nama partai itu pula yang menyebabkan dia tidak mau menandatangani kontrak sosial dan politik dengan konstituen. Masalahnya, demikian Erwin yang sesungguhnya selalu berusaha berbuat baik terhadap semua orang, jangankan kontrak sosial dirinya pun tak bisa dia kontrak untuk berbuat baik. Terlebih kontrak dengan orang lain.

“Tapi, kalau saya akan berbuat baik untuk rakyat Sumatera Utara itu bisa saya katakan, ya, tapi bukan kontrak. Karena diri saya pun tidak bisa saya kendalikan,” tegas penggemar renang yang sudah mulai membiasakan diri pensiun dari DPR. Pembiasaan itu, misalnya saat ini mulai gemar menulis buku. Dulu dia adalah pendengar yang baik, setelah menjadi anggota DPR menjadi pembicara yang berusaha baik, dan setelah selesai menjadi pendengar kini dia menjadi penulis yang berusaha untuk menjadi penulis yang baik. Bagi dia mendengar adalah untuk mencari ilmu, berbicara setelah mempunyai ilmu, dan menulis setelah bisa membuat beberapa ide untuk republik ini. “Diantaranya, buku yang menghapuskan kemunafikan dari republik ini.”

Sebagai orang yang rendah hati dan mengedepankan atas nama partai selalu, Erwin pun tidak menyebut pencapaiannnya selama di DPR sebagai kinerja pribadi melainkan atas nama Komisi IV, khususnya Sub Komisi Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) dimana dia sebagai pimpinan. Seperti, beberapa undang-undang yang berhasil diundangkan, kebijakan-kebijakan pemerintah yang berhasil diarahkan supaya menjadi baik serta kontrol terhadap anggaran dan proyek-proyek. Demikian pula keberhasilan mewujudkan double track jalur kereta api sepanjang Pantura.

Demikian pula tentang Undang-Undang Sumberdaya Air (SDA), dimana nama Erwin Pardede cukup dominan berperan. Disebutkannya, walaupun masih ditentang oleh sebagian kelompok orang namun keberadaan undang-undang ini sudah cukup baik sebab ada keinginan mengelola air secara baik dari air kotor menjadi air bersih. “Mengelola air ‘kan tidak bisa berdoa saja, harus ada usaha, atau usahe,” katanya berlogat Betawi menanggapi kekhawatiran banyak orang akan tendensi privatisasi pengelolaan air. Menurut Erwin privatisasi bukanlah tujuan UU melainkan sebentuk usaha pengelolaan.

Sebagai pembuat kebijakan di tingkat undang-undang Erwin menyebut tujuan UU SDA adalah agar pemanfaatan air lebih efektif dan tidak terbuang percuma. Lalu, kualitas air diharapkan semakin lama semakin baik sebab sifatnya sudah dikelola. Demikian pula kepemilikan air akan bisa menjadi lebih merata untuk semua orang sebab proporsi pengusahaannya sudah mulai terbagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara swasta dengan koperasi, dan antara swasta dengan BUMN sebab semua mempunyai proporsi yang sudah diatur. Mudah-mudahan anak cucu Erwin kelak mengucap syukur atas pengundangan sumberdaya air itu. e-ti

Data Singkat
Erwin Pardede, Mantan Anggota DPR RI / Berawal ‘Tumpangan’ PDI Pro Mega | Direktori | Pengusaha, KADIN, kontraktor, Lemhannas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini