Dalami Agama dan Gemar Membaca
Muhammad Nazar
[DIREKTORI] Muhammad Nazar dibesarkan dalam keluarga agamais yang mementingkan pendidikan. Kegemarannya membaca dan berorganisasi membuat dia tampil sebagai sosok yang cerdas, kritis dan suka memimpin.
Muhammad Nazar dilahirkan pada 1 Juli 1973 di sebuah kampung bernama Menasah Kumbang, Pidie yang masuk dalam pemekaran Pidie Jaya. Ia dibesarkan dalam keluarga besar ulama dan politisi. Ayahnya seorang ulama yang sehari-hari berprofesi sebagai guru matematika, bahasa arab, juga seorang veteran pejuang kemerdekaan RI. Nazar sendiri merupakan anak ke empat dari 11 bersaudara, dimana dua adik kandungnya yang sedang kuliah di Fakultas Ekonomi telah pergi mendahuluinya pasca peristiwa gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004.
Nazar dan saudara-saudaranya dididik cukup keras oleh orangtuanya. Nazar baru diijinkan bermain bila sudah selesai belajar mengaji, belajar Kitab Kuning, dan Kitab Arab. Kalau tidak belajar, Nazar akan mendapat hukuman. “Kalau tidak mengaji, belajar dihukum. Tidak bangun sholat subuh saja disiram air. Keras pendidikan keluarga saya, setengah militer. Mendidik kedisiplinan,” ujar Nazar.
Pernah suatu kali Nazar bolos dari sekolah. Sebagai hukuman, ia tidak diperbolehkan makan. Ia mengakui pengaruh lingkungan sedikit mempengaruhi waktu itu sehingga ia ikut-ikutan menjadi anak yang nakal. Ia juga sudah mulai mencuri-curi kesempatan untuk merokok. Namun hal tersebut tidak sampai membawanya terjerumus kenakalan remaja. “Alhamdulillah saya tidak sampai tergiring ke kenakalan remaja,” katanya.
Sebagai seorang aktivis, ia pernah ditangkap hingga enam kali dimana dua di antaranya membuat ia mendekam di penjara cukup lama. Ia dituduh menyebarkan kebencian terhadap pemerintah RI dan menyerukan referendum. Padahal semuanya itu ia lakukan demi terciptanya perdamaian di Aceh.
Meski dididik dengan keras, Nazar dan saudara-saudaranya tidak pernah dipukul sampai berlebihan. Orangtuanya yang sangat mencintai pendidikan, terus mendorong Nazar dan saudara-saudaranya untuk bersekolah.
Sedari kecil, Nazar sudah suka bertanya kritis dan memprotes. Orangtuanya yang juga mantan aktivis PII dan PSII, mendidik mereka untuk menghargai perbedaan pandangan dan pendapat. Dalam hal berpartai misalnya. Nazar sendiri menjadi anggota AMPI yang merupakan sayap Partai Golkar. Kemudian masuk Partai Bulan Bintang (PBB). Setelah dari PBB, ia kemudian mendirikan partai lokal Aceh, Partai SIRA yang terbentuk menjelang Pilkada Aceh 2006. Tidak hanya itu, saudara ibunya ada yang di Partai Golkar dan PPP.
Nazar menempuh sekolah di Iktidayah, Sanaaliyah, SMA, dan MAN. Sewaktu nyantri di pesantren, kemahirannya membaca Al-Quran dan menafsirkannya membuat ia diangkat menjadi guru mengaji. Ia memiliki status sebagai guru sementara (Tengku Rangkang), begitu masyarakat Aceh memanggilnya. Pada sistem pengajaran di pesantren tradisional, yang senior mengajar yang junior. Namun Nazar dikategorikan ‘senior’, mengajar yang lebih tua darinya. “Kalau di pesantren, itu tidak ada ukuran umur. Orangtua mungkin baru kelas satu, karena dia baru belajar ngaji,” katanya. Nazar juga kadang-kadang menjadi imam, khotib dalam ibadah di kampungnya. Kebiasaan berceramah ini juga terbawa hingga menjadi wakil gubernur Aceh periode 2006-2011.
Saat melanjut ke perguruan tinggi, Nazar mengambil S1 Sosial Jurusan Humaniora di IAIN Narairy. Padahal waktu SMA, ia sangat menyukai ilmu fisika sehingga mengambil jurusan IPA. Keputusan Nazar memilih jurusan humaniora berbeda dengan saudara-saudaranya yang mengambil jurusan kimia, pertanian, pajak, akuntansi, dan manajemen. Sejak mahasiswa, Nazar aktif dalam kegiatan organisasi. Ia pernah menjadi salah satu pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Adab IAIN Ar Raniry (1993-1994), anggota HMI, Pengurus Senat Mahasiswa Institut IAIN Ar Raniry (1994-1995), Pengurus Fokusgampi (1994-1996), Dewan Presidium Fokusgampi (1999 -2000), dan ikut mendirikan Angkatan Intelektual Muda Darussalam (1998-1999).
Pernah satu kali, Nazar yang memiliki prestasi akademik cukup baik ini, mendapat beasiswa untuk belajar ke Negeri Jiran Malaysia. Namun tawaran itu ditolaknya. Selain tidak ingin jauh dari keluarganya, kecintaannya pada tanah kelahirannya membuatnya urung mengambil beasiswa tersebut dan lebih memilih sekolah di Aceh. “Saya ingin dekat dengan orangtua, bisa pulang kampung sesekali. Karena saya juga memiliki kultur sosial yang kuat, sudah terbiasa ramai dalam masyarakat desa, kampung,” ungkap Nazar yang suka berolahraga bola kaki, badminton, tenis meja dan bela diri ini.
Sementara itu, debutnya sebagai aktivis mulai menyolok saat konflik terjadi di Aceh. Ia semakin terlibat karena tidak tahan melihat penderitaan masyarakat Aceh karena ketidakadilan. Ia mulai terlibat dalam dunia politik dengan tampil sebagai Ketua I Dewan Pimpinan Wilayah Aceh Pemuda Bulan Bintang pada tahun 1998 dan sebagai Ketua Dewan Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sejak tahun 1999. Sebagai seorang aktivis, ia pernah ditangkap hingga enam kali dimana dua di antaranya membuat ia mendekam di penjara cukup lama. Ia dituduh menyebarkan kebencian terhadap pemerintah RI dan menyerukan referendum. Padahal semuanya itu ia lakukan demi terciptanya perdamaian di Aceh.
Setelah keluar dari penjara, Nazar ikut mencalonkan diri dan terpilih sebagai wakil gubenur. Ia menjadi Wakil Gubernur Aceh termuda dimana saat itu ia masih berusia 33 tahun. Bagi Nazar, menjadi wakil gubenur bagai mimpi yang terwujud. Sebab sejak kecil, orang tua dan orang-orang di kampungnya, melihat Nazar berpotensi menjadi seorang pemimpin. Namun sayang, ayahnya meninggal saat Nazar menjadi orang hukuman di penjara, sehingga tidak lagi menyaksikan realisasi pernyataan ayah dan orang-orang di kampungnya itu.
Gemar Membaca
Sewaktu kecil, Nazar sering dibawa ke sekolah oleh orang tuanya. Ia kemudian ditempatkan di sudut ruangan belajar saat orangtuanya sedang mengajar. Pada saat itu, ia sudah bisa membaca meski belum sekolah. Sehingga waktu masuk sekolah, ia sudah tidak kesulitan lagi belajar membaca. Bahkan ketika guru mendiktekan menulis bahasa Arab, ia sudah mampu.
Nazar juga gemar membaca. Tanpa mengenal tempat, setiap ada waktu, Nazar selalu menyempatkan untuk membaca entah itu di dalam mobil, halte, atau bis kota. Saat belajar di bangku kuliah, kegemarannya membaca makin kuat. Buku-buku agama Islam hingga tokoh-tokoh sejarah yang dianggapnya membawa perubahan, habis dibacanya. Misalnya buku tentang tokoh ulama besar dari Iran Qomaeni, Gandhi dari India, Presiden John F Kennedy dari Amerika Serikat. “Sejarah apapun saya baca dari agama Islam maupun yang lain-lain. Dimana ada perubahan, pergerakan revolusi, saya baca,” kata Nazar yang mengaku menulis skripsinya tentang sastra dan politik kekuasaan pada masa Dinasti Amawiyah atau Dinasti Bani Umaiyah dalam bahasa Arab.
Kebiasaannya membaca buku itu sempat diledek oleh teman-temannya. “Dulu kawan-kawan mengejek saya. Dibilang sok akademik, tapi saya tidak ada masalah,” kenangnya. Kegemarannya membaca kemudian membuat dia gemar menulis. Sejak duduk di bangku SMP, Nazar sudah kerap melakukan korespondensi dengan media-media luar negeri seksi Indonesia seperti radio-radio luar negeri, VOA dan BBC London. Ia juga pernah ditawari menjadi wartawan karena pernah menjadi jurnalis terbaik se-Indonesia. Saat mahasiswa, ia sempat menulis di beberapa koran nasional seperti Waspada dan Republika.
Kebiasaan membaca terus terbawa saat ia di penjara. Setiap sudut ruang tahanannya diisi dengan buku, kitab dan majalah. “Saya hobi membaca apapun, membaca buku dari dulu. Maka rambut saya ini rontok,” katanya. Begitu pula saat ia menjadi wakil gubernur. Ia membaca apa saja, mulai dari buku hingga bacaan-bacaan di internet. Penulis: atur-san-bety | Bio TokohIndonesia.com