Dokter Ahli Bedah Saraf
Eka Julianta W
[DIREKTORI] Dia salah seorang dokter ahli bedah saraf yang masih terbilang langka di Indonesia. Dia sudah menemukan teknologi baru operasi bedah saraf otak, yakni melalui hidung yang disebutnya dengan Trans Clival. Selama kurun waktu 10 tahun, dr Eka sudah menangani operasi 2.839 penderita, dan hanya 2 persen yang gagal dengan berbagai alasan medis.
Untuk melakukan operasi itu, pria bernama lengkap Dr Eka Julianta Wahjoepramono Sp BS, kelahiran Klaten, 27 Juli 1958, yang mempelajari ilmu yang ditekuninya itu di sejumlah negara, kini sudah menemukan teknologi baru operasi bedah saraf otak, yakni melalui hidung yang disebutnya dengan Trans Clival. Bahkan Eka dan tim nya sudah menangani penderita dari berbagai negara yang mempercayainya sebagai ahli bedah saraf otak terkemuka.
Dokter ahli bedah saraf masih sangat langka di Indonesia. Padahal kasus bedah saraf dari tahun ke tahun meningkat. Sebagai perbandingan, RS Siloam Gleneagles di kawasan Lippo Karawaci Tangerang pada 1996 hanya menangani 50 kasus, namun pada 2006 ini yang perlu penanganan operasi hampir mendekati 500 kasus.
Di tengah kesibukannya menangani pasien maupun menjadi konsultan dari berbagai rumah sakit dan organisasi bedah saraf, maupun sebagai Honorary President 6th Asian Conference of Neurosurgical Surgeon (ACNS) 2006, ia bersedia menerima Pembaruan untuk berbincang-bincang di ruang kerjanya RS Siloam, Selasa (21/3). Perbincangan dilakukan bertepatan dengan 10 tahun dia memimpin Neuro Science Centre. Berikut petikannya.
Kasus bedah saraf jumlahnya terus meningkat. Indikasi apa ini?
Betul, kami juga merekam angka yang cukup fantastis untuk kasus bedah saraf terutama saraf otak. Beberapa sebab bisa dikemukakan, antara lain karena kecelakaan, stroke, atau pembuluh darah pecah, tumor otak, tumor tulang belakang, dan sebagainya. Namun, saya lebih banyak menangani operasi otak karena stroke yang mencapai angka 902 kasus, disusul tumor sebanyak 657 kasus, tumor tulang belakang 516 kasus, dan trauma akibat kecelakaan sebanyak 486 kasus.
Dari penanganan kasus-kasus itu, menunjukkan indikasi selain penyakit yang berkembang bertambah juga menunjukkan kita sudah bisa menangani kasus ini secara baik, sehingga banyak yang percaya dan datang ke kami agar dapat ditangani.
Penderitanya dari mana saja?
Saya dan kita semua bersyukur bisa membantu pasien yang berdatangan dari Sabang sampai Merauke, bahkan juga dari negara lain seperti Singapura. Padahal, mereka memiliki banyak tenaga ahli, namun datang ke saya untuk ditangani. Yang membanggakan, semuanya bisa ditangani dengan baik. Saya sekarang lagi menangani WN Jepang dan Amerika, dan semuanya menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Saya sendiri merasa terharu. Ternyata, kalau kita mau bekerja baik, bisa memberikan kepercayaan kepada bangsa lain. Saya akan sangat malu kalau kita tidak bisa mengobati otak bangsa sendiri yang perlu dioperasi karena berbagai penyakit yang dideritanya.
Selain alasan medis, ada alasan lain sehingga mereka memilih berobat kepada Anda?
Yang pasti, jika berobat di sini, jauh lebih murah. Misalnya di Singapura untuk operasi bisa mencapai Rp 250 juta, tetapi kita bisa seperlimanya saja. Bahkan jika di Amerika harus ada jaminan Rp 500 juta baru bisa ditangani oleh ahli di sana. Makanya, tidak heran jika ada orang Singapura atau Jepang datang ke Indonesia, karena mereka sudah percaya kita bisa menangani dengan baik dan memberikan fasilitas yang baik pula.
Ada sejumlah pasien saya yang sudah berobat ke Amerika dan telah menghabiskan biaya sangat banyak, ada yang lebih dari Rp 30 miliar akhirnya kembali ke Indonesia dengan pesawat carteran dan minta penanganan ke saya.
Mereka akhirnya percaya tidak perlu lagi berobat ke luar negeri. Karena ada juga yang berobat ke Singapura karena didorong pihak asuransinya. Sementara dokter di sana ada juga yang tidak jujur dan memaksakan pasien tersebut harus dioperasi padahal indikasinya tidak perlu dilakukan.
Beberapa kasus sudah terjadi. Saya mengatakan hal itu karena si pasien sendiri yang sebelum dioperasi menghubungi saya, dan setelah mempelajari penyakitnya saya mengatakan tidak perlu. Hal itu kemudian didukung pernyataan sejumlah dokter lainnya di negara itu, sehingga si pasien langsung pergi meninggalkan rumah sakit itu dan kembali ke Jakarta. Seorang mahasiswi mengalami kejadian buruk. Waktu itu rambutnya sudah digundul, tinggal dioperasi. Iseng-iseng dia mengirim SMS tentang penyakitnya. Saya kemudian memberitahu untuk menanyakan kepada dokter lainnya dulu karena menurut saya tidak perlu dioperasi. Pendapat dokter yang ditanya itu juga sama dengan saya.
Hal itu terjadi karena adanya kongkalikong petugas asuransi dengan dokter di sana. Namun bukan berarti dokter di sana seperti itu semua, karena yang baik juga masih banyak. Jadi kita perlu berhati-hati.
Kepercayaan yang Anda sebutkan bisakah dipertahankan?
Mengapa tidak? Kita harus bisa. Memang kita harus punya komitmen yang kuat, dan mau bekerja keras. Saya selalu tekankan kepada staf saya tidak boleh ada sedikit pun kesalahan atau human error dalam penanganan pasien. Semuanya harus mendapat pelayanan terbaik. Penderita dan keluarga mereka akhirnya percaya, kami benar- benar menjalankan komitmen profesi kami.
Bidang ini sepertinya tidak men- dapat perhatian serius dari pemerintah maupun Departemen Kesehatan?
Ya, memang investasi yang harus ditanamkan untuk mengembangkan pengetahuan bedah saraf otak mahal, dan yang ditangani tidak sebanyak penyakit yang berkembang di masyarakat seperti flu burung, DBD, AIDS dan sebagainya. Untuk satu kasus bedah saraf membutuhkan dana Rp 25 juta hingga Rp 50 juta, kecuali yang memerlukan perawatan berulang-ulang karena terinfeksi penyakit lain.
Tapi, kita harusnya malu, hanya negara kita yang tidak memiliki peralatan lengkap seperti Gamma Knife untuk menangani kasus bedah otak di batang otak yang memang sulit. Saya terpaksa mengirimkan pasien tersebut ke negara lain seperti Singapura atau Jepang, karena kami tidak punya alat.
Untuk membelinya butuh biaya besar mencapai Rp 40 miliar dan itu pun punya batas waktu pemakaian. Di hampir semua negara mereka memiliki alat itu walaupun satu buah. Karena memang penting untuk penanganan bedah saraf otak.
Kalau peralatan operasinya mahal, bagaimana menyiasatinya sehingga Anda dan tim bisa menangani pasien yang membutuhkan pertolongan?
Jujur saya katakan, kita tidak jarang membeli alat bekas dari Jepang. Di sana mereka biasa mengganti peralatan operasi setiap dua tahun sekali padahal terkadang alatnya masih bagus. Nah, itu kita beli dengan harga miring. Mereka juga terkadang menghibahkannya. Tetapi itu pun kita kadang kesulitan membayar ongkos pengiriman.
Memang semuanya butuh perjuangan. Namun, justru dengan kenyataan itu kita tetap bersemangat bekerja dan membuktikan kita justru bisa melakukan banyak hal di tengah keterbatasan.
Anda juga beberapa kali mengembangkan teknologi penanganan operasi saraf otak termasuk bedah otak melalui hidung. Bagaimana penjelasannya?
Dalam setiap pekerjaan kita perlu improvisasi termasuk ketika saya melakukan bedah saraf otak.
Namun, tentunya dengan memperhatikan pertimbangan medis dan kondisi di pasien. Hal yang terjadi berulang- ulang terkadang menimbulkan ide baru dan setelah kita coba ternyata bisa menjadi pilihan baru.
Seperti Trans Clival itu bisa dilakukan karena si penderitanya memiliki tumor di dekat batang otak dan dia memiliki rongga yang cukup besar untuk dimasuki alat. Namun, tidak banyak penderita yang memiliki rongga yang bisa dikerjakan melalui hidung.
Dari sekian ribu pasien, beberapa di antaranya gagal. Bagaimana Anda menyikapi?
Saya pernah berniat mengundurkan diri empat tahun lalu sebagai ahli bedah saraf ketika salah seorang pasien saya meninggal. Sebenarnya dia masih sehat, namun meminta saya segera mengoperasinya. Saya yang lagi berlibur ke Selandia Baru bersama keluarga segera pulang.
Operasi pun di lakukan dan sebenarnya sukses. Namun, menjelang finish, tiba-tiba terjadi accident yang tidak kami ketahui dari mana, ketika ada udara masuk yang masuk melalui pernapasan dan akhirnya ke jantung sehingga pasien saya meninggal.
Setelah itu lebih dari dua minggu saya seperti tidak bisa bangun dan selalu kepikiran. Dari direktur rumah sakit hingga rekan-rekan dokter dan perawat semua berusaha menghibur, namun saya sudah tidak ambil peduli.
Niatnya mau berhenti saja sebagai dokter sampai akhirnya istri pasien yang meninggal itu mengirimkan SMS yang menyatakan dia ikhlas atas kepergian suaminya dan meminta saya untuk tidak berhenti bekerja dan mengabdi kepada kemanusiaan. Sejak itulah jiwa saya bangkit dan akhirnya melanjutkan tugas saya lagi.
Pernah mengalami kesulitan menangani pasien?
Pernah, ketika empat tahun lalu saya harus mengoperasi penderita tumor yang posisi tumornya berada di dalam batang otak.
Padahal, yang namanya batang otak kesenggol saja tidak boleh. Saya melakukannya selama 24 jam dan 24 jam lagi seminggu kemudian. Itu benar-benar pengalaman yang sangat berharga. Syukur kepada Tuhan pasien tersebut sekarang dalam keadaan baik.
Anda juga menangani pasien tidak mampu?
Suatu kebanggaan tersendiri jika bisa membantu orang lain terutama yang tidak mampu. Kalau memang ada yang tidak mampu kita punya Yayasan Otak Indonesia. Kami sebagai dokter yang menangani tidak mengambil biaya seperser pun.
Tetapi kita membutuhkan banyak peralatan dan obat. Untuk itu semua kita mendapatkan dari donator. Sejauh ini masih ada yang suka membantu kami. (Pewawancara: Dewi Gustiana, Suara Pembaruan Minggu, 26 Maret 2006) e-ti