‘Dokter Spesialis’ Bank Bermasalah
Sigit Pramono
[DIREKTORI] Ibarat soerang dokter, ia adalah ‘dokter spesialis’ bank bermasalah (sakit). Berhasil mengatasi kredit bermasalah di Bank Mandiri, kemudian memimpin penyehatan Bank Internasional Indonesia (BII) yang ‘sekarat’. Setelah berhasil menyehatkan BII, ia lalu dipercayakan menjabat Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) yang tengah bermasalah akibat L/C fiktif Rp 1,7 trilyun.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BNI (19/5/2005), Sigit Pramono yang tetap dipertahankan menjabat Direktur Utama BNI. Dia didampingi Gatot M Suwondo yang diangkat menjabat Wakil Direktur Utama menggantikan Arwin Rasyid. Sementara direksi yang lain juga dipertahankan.
Sigit, pria kelahiran Batang, 14 November 1958 adalah seorang banker yang telah teruji mengatasi beberapa kesulitan bank tempatnya bekerja. Seorang banker yang meniti karir dari bawah, mulai dari officer Bank Exim (1984) sampai dipercaya menangani permasalahan sulit yang dihadapi beberapa bank.
Pemegang saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dalam RUPSLB (Senin 15/12/03) mengangkat Sigit Pramono menjadi Dirut BNI menggantikan Saifuddien Hasan. Jabatannya sebagai Direktur Utama Bank Internasional Indonesia Tbk (BII), sehari sesudahnya )Selasa 16/12/03) diserahkannya kepada Henry Ho Ceong yang terpilih dalam RUPSLB BII.
Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) BNI juga merombak susunan pengurus BNI. Perubahan itu merupakan dampak kasus pembobolan BNI melalui letter of credit/LC senilai Rp1,7 triliun di BNI cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Direksi baru BNI terdiri dari 10 orang. Lima dari internal BNI, yaitu Wakil Dirut BNI Arwin Rasjid, Direktur Fero Poerbonegoro, Achmad Baiquni, Suroto Muhadji, dan Ignatius Supomo. Empat lagi mantan pejabat Bank Mandiri. Yaitu, Sigit Pramono (sebelum di BII berasal dari Bank Mandiri), Bien Soebiantoro, Kemal Ranadireksa, dan Tjahjana Tjakrawinata. Kemudian satu dari Bank Indonesia (BI), yaitu Achil Ridwan Djajadiningrat.
Sementara Komisaris BNI tujuh orang terdiri dari Komisaris Utama Zaki Baridwan, Wakil Komisaris Utama Irwan Sofyan, dengan Komisaris Agus Haryanto, Arif Arryman, Dradjad Hari Wibowo, Ahyar Ilyas, dan Yap Tjay Soen.
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) juga menyetujui pengunduran diri dan pemberhentian dengan hormat anggota direksi yang mengundurkan diri, Binsar Pangaribuan dan Mohammad Arsjad. Direksi yang diberhentikan dengan hormat adalah Saifuddien Hasan, Eko Budiwiyono, Suryo Sutanto, Rachmat Wiryaatmadja, dan Agoest Soebhekti.
Meniti karir dari bawah
Sigit Pramono meniti karir dari bawah. Pengalaman dan keahliannya di bidang perbankan mengantarkannya sebagai Presiden Direktur BII sejak 7 November, 2002 yang sebelumnya menjadi Ketua Tim Pengelola BII (17 Mei-07 November,2002). Sebelumnya adalah pejabat Executive Management di Bank Mandiri yaitu sebagai Senior Vice President, Credit Recovery Group (Agustus 2001), Senior Vice President, Credit Restructuring Unit (1999 – Agustus 2001), dan sebagai Kepala Divisi Loan Work Out Division (April-Juli 1999).
Sejak tahun 1984 berkarir di Bank Exim sebagai officer di Cabang Semarang (1984 – 1985), Assistant Manager pada Domestic Banking Division (1985 – 1987), Assistant Manager pada Treasury & International Banking Division (1987 – 1988) serta pernah menduduki jabatan-jabatan penting lainnya yaitu sebagai Head of Loan Syndication Department (1997-1998) dan Head of Loan Remedial Division (1998-Maret 1999).
Jabatan lain yang pernah dipegang adalah sebagai Vice President Director Bank Merincorp (1993-1997), Vice President Director PT Merchant Investment Corporation (1992-1993), Komisaris PT Bank Merincorp Securities (1992-1993), dan Direktur PT Exim Leasing.
Memperoleh Master of Business Administration dalam bidang Manajemen Bisnis Internasional dari Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, Jakarta pada tahun 1995 dan Sarjana Manajemen Perusahaan dari Universitas Diponegoro, Semarang pada tahun 1983. Pendidikan lainnya yang pernah diikuti adalah Syndicated Loan di Singapura (1997), Leasing di Leasing School in Salt Lake City, Utah, USA (1990) dan International Treasury Management Program di Singapura (1985).
‘Dokter Spesiali’
Dia tak pernah menggantung cita-cita, melainkan cuma ingin cepat kerja guna mengurangi beban orang tua. Namun, jalan hidup menggiringnya untuk menjadi spesialis menangani kredit-kredit bermasalah. Apa kiatnya? Piawai bernegosiasi. “Sebab, masalah ini berkaitan erat dengan human interest,” kata Sigit.
Cobalah tanyakan kepada Sigit Pramono, apa sebenarnya cita-citanya? Dia akan menggelengkan kepala dan menjawab: “Tidak tahu.” Memang, sejak awal, lelaki yang lahir di daerah Batang, Jawa Tengah, ini mengaku tidak pernah secara khusus bercita-cita kelak ingin menjadi apa. Apalagi bercita-cita menjadi seorang presiden direktur suatu bank nasional.
“Saya hanya ingin menyelesaikan sekolah tepat waktu dan kemudian bekerja agar tidak berlama-lama membebani orang tua,” ungkap Sigit. Itu pulalah yang melatari keputusan Sigit untuk menimba ilmu di jurusan manajemen perusahaan, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang. Ketika itu dia beranggapan bahwa bidang ekonomi merupakan bidang yang cepat menyerap tenaga kerja, di samping juga menyajikan pilihan bidang kerja yang luas.
Anggapan Sigit terbukti benar. Sebab, tidak lama setelah berhasil menggondol gelar sarjana, dia diterima bekerja sebagai staf di Bank Export Import (Exim) di kota Semarang. Tentu saja ini membuatnya merasa senang, karena keinginannya untuk tidak berlama-lama membebani kedua orang tuanya akhirnya terwujud. Namun, jangan salah sangka, Sigit juga sempat mengalami masa-masa prihatin ketika menunggu panggilan kerja dari suatu perusahaan ke perusahaan lainnya. Naik-turun bus di kota metropolitan sebesar Jakarta, sembari membawa-bawa berkas-berkas lamaran kerja, juga sempat dilakoninya.
Berkenalan dengan Dunia Perbankan
Dari sekian banyak perusahaan yang menjadi tujuan lamaran Sigit, Bank Eximlah yang pertama kali memanggilnya dan menerimanya bekerja pada tahun 1984. “Bisa dikatakan, ini menjadi awal karier saya di bidang perbankan,” kenang Sigit. Setahun di sana, Sigit mendapatkan kepercayaan untuk memegang jabatan sebagai asisten manajer pada divisi domestic banking. Posisi ini diembannya selama dua tahun, sebelum dia kembali dipercaya untuk menduduki posisi sebagai asisten manajer pada divisi treasury & international banking pada 1987 di bank yang sama.
Dalam waktu yang relatif singkat, pengalaman dan wawasan Sigit di bidang perbankan makin terasah. Oleh karena itu, tak heran jika hanya dalam kurun waktu empat tahun perjalanan kariernya, Sigit sudah dipercaya untuk menduduki posisi direktur di PT Exim SB Leasing, suatu perusahaan leasing patungan (joint venture) antara Bank Exim dan Sumitomo Bank dari Jepang. “Saya termasuk orang yang beruntung karena dalam waktu relatif singkat sudah dipercaya duduk di jajaran direksi,” kata Sigit.
Di perusahaan leasing itulah Sigit mengaku mulai mendapatkan gemblengan dan pengalaman untuk mengasah kemampuan manajerialnya. Hal ini tidak lepas dari kondisi perusahaan Jepang yang dikenal memiliki etos kerja dan disiplin yang tinggi, serta menerapkan cara pengambilan keputusan yang berbeda. Selain pengalaman manajerial, yang juga terasah adalah kemampuannya dalam bernegosiasi.
Pasalnya, menurut pria yang tahun ini bakal berusia 43 tahun itu, dalam suatu perusahaan patungan selalu dituntut kesediaan untuk melakukan kompromi, yang arus dikelola bersama antara kedua belah pihak. Dan kelak di puncak kariernya, kemampuan negosiasinya ini terbukti bermanfaat dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di perusahaan barunya.
Setelah menduduki posisi direktur selama empat tahun, karier Sigit pun makin menanjak dengan terpilihnya dia sebagai vice-president director di PT Merchant Investment Corporation. Perusahaan yang merupakan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) ini menjalankan bisnis yang serupa dengan investment banking. Salah satu tugasnya adalah mengatur perusahaan-perusahaan yang ingin go public.
Selang setahun setelah Sigit menduduki posisinya itu, PT Merchant Investment Corporation berubah bentuk menjadi Bank Merincorp. Saat itu, putra pensiunan pegawai pos ini masih dipercaya menduduki posisi vice-president director di perusahaan yang baru, Bank Merincorp. Di perusahaan itu pulalah Sigit mendapatkan pengalaman tambahan mengenai consumer financing, investment banking, dan sekaligus juga memperkuat kemampuan manajerialnya yang makin memuluskan perjalanan kariernya di perbankan.
Mulusnya perjalanan karier Sigit tentu tidak lepas dari kerja keras yang dia lakukan. Meski sempat merendah dengan mengakui bahwa semuanya itu dimulai dari faktor keberuntungan, Sigit tidak menampik bahwa tekad untuk bekerja dengan baik dan memiliki integritas yang tinggi akan mendatangkan keberuntungan-keberuntungan berikutnya. “Jika hanya mengandalkan faktor ‘bejo’ (keberuntungan– Red .), tetapi tidak bisa membuktikannya, saya rasa prestasi itu tidak akan berlanjut. Perkara mengapa saya yang dipilih, itu bukan urusan saya, tetapi urusan yang memilih. Bagi saya, yang paling penting adalah melakukan yang terbaik atas apa yang ditugaskan dan selalu berbuat lebih baik, lebih baik, dan lebih baik lagi ketimbang sebelumnya,” katanya, berbagi kiat sukses.
Jadi Dokter Bank-Bank Bermasalah
Setelah dari Merincorp, tepat saat krisis ekonomi melanda Indonesia, Sigit pun pulang kandang. Ia kembali lagi ke Bank Exim. Di sana dia ditugaskan untuk menangani sindikasi dan divisi penyelamatan kredit Bank Exim. Tugasnya makin berat ketika Bank Exim terpaksa melakukan merger bersama empat bank pemerintah lainnya, yaitu PT Bank Bumi Daya (BBD), PT Bank Dagang Negara (BDN), dan PT Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), dan menjadi bank baru dengan nama PT Bank Mandiri. Ketika itu dia dipercaya menjadi salah seorang eksekutif manajemen di Bank Mandiri, dengan tugas utama menangani restructuring unit. “Di sini saya menangani 70% – 80% portofolio kredit yang perlu direstrukturisasi, yang merupakan gabungan kredit dari empat bank tersebut,” tuturnya.
Bukan itu saja. Sigit juga harus menangani sekitar 615 debitur korporasi besar yang harus direstrukturisasi kreditnya, serta puluhan ribu kredit menengah dan kecil. Oleh karena waktu itu adalah masa awal krisis, portofolio Bank Mandiri mayoritas adalah kredit bermasalah. “Dan ini menjadi tanggung jawab unit kami untuk melakukan restructuring , atau istilahnya work out dari kondisi ini,” jelas Sigit.
Menangani bank yang bermasalah tentu bukanlah perkara mudah. Apalagi, ketika menangani proses restrukturisasi ini, organisasinya sendiri belum lagi terbentuk. Oleh sebab itu, sebagai langkah awal tugasnya, Sigit membentuk organisasi, merekrut orang-orang dari gabungan keempat bank tersebut dan membuat petunjuk kerja. “Jadi, bisa dikatakan kami mulai dari nol baik dari sisi hardware-nya, software-nya, dan dari brainware-nya. Dan ini saya rasakan sebagai suatu tantangan,” ungkap Sigit.
Tantangan itu pulalah yang diakui Sigit sangat menguras pikiran, fisik, dan jiwanya. Apalagi, dalam penanganan kredit bermasalah ini, Sigit harus berurusan dan bernegosiasi dengan para kreditur yang memiliki karakter yang beraneka-ragam.
Menghadapi persoalan ini, Sigit pun buka kartu. Ia mengaku bahwa di antara para kreditur bermasalah itu ada yang datang secara baik-baik dengan niat yang baik pula untuk menyelesaikan masalahnya. Akan tetapi, sekali waktu, ada juga yang datang dengan cara mengancam dan membawa-bawa nama orang-orang penting di negeri ini. Bahkan ada juga yang datang dengan menangis-nangis meminta belas kasihannya.
“Untuk menghadapi mereka, dibutuhkan kemampuan negosiasi yang cukup tinggi,” ungkap Sigit. Dan untungnya, kemampuan negosiasi ini telah dimiliki Sigit, keahlian yang ia petik selama bekerja di perusahaan patungan Indonesia – Jepang. Dari situ pulalah Sigit belajar bahwa, dalam menangani kredit bermasalah, yang diperlukan bukan sekadar ilmu, tetapi juga seni. Sebab, masalah ini berkaitan erat dengan human interest.
Sukses menangani restrukturisasi kredit di Bank Mandiri ternyata menjadi referensi bagi Sigit untuk menangani hal yang sama di PT Bank Internasional Indonesia (BII). Sebelum menduduki kursi sebagai presdir di bank tersebut, Sigit diserahi tugas sebagai ketua tim pengelola BII. Menurut Sigit, masalah yang dihadapi BII sifatnya menjadi multidimensi karena pengaruh kondisi eksternal, di mana negara juga sedang mengalami krisis. Untuk itu, pria yang mempunyai hobi fotografi dan menonton film ini lantas mengambil langkah-langkah yang dianggapnya strategis. Sigit membaginya dalam tiga tahap, yaitu tahap stabilisasi, tahap perubahan haluan untuk mengubah keadaan dari kondisi rugi menjadi untung, dan tahap transformasi guna membawa BII tumbuh ke depan menjadi lebih baik.
Dalam rangka transformasi ini pula Sigit, bersama tim manajemennya, mengubah logo BII. Ungkap Sigit, dirinya berharap, dengan perubahan logo ini, akan makin mempertegas visi BII untuk menjadi bank lokal sejati yang berstandar internasional. “Program saya dalam 100 hari pertama di BII adalah mengadakan banyak kegiatan customer gathering dan employee gathering sampai ke cabang-cabang. Begitu pula halnya dengan teman-teman direksi lainnya, kami berbagi tugas,” terang Sigit.
Bagi Sigit, ini penting guna membangun kepercayaan, baik bagi karyawan maupun para nasabahnya. Dalam kegiatan itu, Sigit bersama jajaran direksinya tak bosan-bosan menjelaskan mengenai program penyehatan perbankan yang ditempuhnya.
Hasilnya? Sigit bersyukur bahwa per September 2002 BII sudah mulai membukukan keuntungan. Nilai non-performing loan (NPL)-nya pun mulai turun dari sekitar 60% menjadi 40%, bahkan kini mencapai angka di bawah 10%. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah keberhasilan BII dalam menarik dana pihak ketiga, dari yang tadinya sebesar Rp23,3 triliun menjadi sekitar Rp29 triliun. Menurut Sigit, angka ini bahkan lebih baik dari posisi sebelum krisis. “Bagi kami, ini termasuk indikator penting dari keberhasilan program tadi,” tambahnya.
Kesuksesan Sigit dalam memimpin bank-bank bermasalah mengantarkannya pada satu kesimpulan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memberi motivasi dan mengajak semua pihak dalam organisasi yang dipimpinnya untuk mencapai misi dan tujuan yang sama. Caranya? “Membangun komunikasi yang baik, secara formal maupun informal,” ungkap Sigit.
Sebagai presdir, Sigit juga dituntut untuk mampu mengambil keputusan pada saat yang tepat. Mengenai hal itu, ayah berputra empat ini memegang prinsip yang dalam bahasa Latin dikenal sebagai primus entrepares. Ungkapan itu dia artikan bahwa dirinya tidak lebih tinggi dari jajaran direksi yang ada, tetapi dia merupakan orang pertama di antara mereka, yang harus berani mengambil keputusan, sepahit apa pun keputusan itu.
Sejauh ini, Sigit dapat bernapas lega karena proses restrukturisasi yang ditempuhnya berjalan sesuai dengan rencana. Namun, dia masih menyimpan obsesi yang ingin diwujudkannya, yaitu menyelesaikan seluruh tahapan restrukturisasi dengan baik sehingga pada saatnya nanti BII siap menghadapi persaingan dengan bank-bank lainnya.
“Saya ingin memastikan bahwa langkah-langkah restrukturisasi yang dilakukan berjalan dengan baik. Jika ini semua telah berjalan dengan baik, maka siapa pun yang melanjutkan tugas saya, tidaklah menjadi masalah,” harapnya.
Lalu, apa yang akan dilakukannya setelah tak lagi di BII? Berbekal pengalamannya, akankah Sigit pindah dan menangani tugas “menyehatkan” bank-bank bermasalah lainnya? Sembari berkelakar dia mengatakan, “Saya ini ibarat bengkel yang bertugas memperbaiki mobil-mobil yang penyok.” Di sisi lain dalam hidupnya, Sigit juga memendam obsesi untuk tidak berlama-lama berkarier sebagai seorang bankir. “Hidup ini hanya sekali. Jadi, saya ingin memanfaatkannya untuk mencari kegiatan yang lain. Namun, pada umur berapa dan bidang apa yang nanti akan saya lakoni, sampai sekarang masih belum pasti,” akunya.
Mungkinkah dia tertarik untuk menjadi seorang pengusaha? “Rasanya tidak. Sebab, belajar dari pengalaman empiris rekan-rekan profesional yang kemudian terjun ke dunia bisnis, ternyata mereka sering kali gagal,” tegasnya. Dan Sigit kelihatannya tak tertarik untuk mengikuti jejak itu. TI