Gubernur BI Berkepribadian Kuat

Burhanuddin Abdullah
 
0
1127
Burhanuddin Abdullah
Burhanuddin Abdullah | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis. Baginya, jabatan Gubernur BI suatu amanah dan prestasi, sebagai accomplishment dari perjalanan karir yang dititi dari bawah. Bagi Menko Perekonomian (2001), ini kekayaan bukan lagi tujuan hidup. Hidup baginya bukan untuk diri dan keluarga semata, tetapi untuk bangsa dan melayani orang banyak.

Pria kelahiran Garut, Jawa Barat, 10 Juli 1947, lulusan S2 (MA) dalam bidang Ekonomi dari Departement of Economics, Michigan State University, USA (1984), ini mengawali tugasnya sebagai Gubernur Bank Indonesia (2003-2008) dengan tiga komitmen. Yakni komitmen kebangsaan, kerjasama dan pergaulan keindonesiaan.

Burhanuddin yang ditetapkan sebagai Gubernur Bank Indonesia berdasarkan Keppres RI Nomor 61/M Tahun 2003 tertanggal 17 Mei 2003, itu menegaskan independensi Bank Indonesia harus dikawinkan pada kepentingan bangsa atau sikap kenegarawanan, bukan kepada kepentingan politik. Sesuai amanat UUBI No.3/2004 Pasal 4 ayat 2, Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain.

Ketua Umum ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) periode 2003-2005, ini juga memiliki pribadi dan karakter yang kuat. Dia pemimpin berkepribadian kuat. Terbukti, berbagai fitnah dan isu miring yang sempat menerpanya saat proses uji kelayakan dan kepatutan, tidak membuatnya goyah. Dia tetap kukuh pada kemampuan, kebenaran dan keyakinan diri. Sehingga dia diyakini memiliki kepemimpinan yang berkepribadian menakhodai bank sentral secara independen.

Dia Gubernur BI era keterbukaan. Gubernur BI ketujuh setelah Syahril Sabirin, Soedrajat J. Djiwandono, Adrianus Mooy, Arifin M. Siregar, Rachmat Saleh, dan Radius Prawiro. Hanya saja, berbeda dengan para pendahulunya, sarjana pertanian lulusan Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung (1974) dan gelar MA dalam bidang Ekonomi dari Departement. of Economics, Michigan State University, USA (1984), ini dipilih secara demokratis setelah melalui mekanisme proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and propher test) oleh Komisi IX DPR RI, Senin, 12 Mei 2003.

Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Proses pemilihan di Komisi IX DPR RI dimulai dengan mendengarkan misi dan visi masing-masing calon gubernur. Ada tiga calon yang diajukan Presiden Megawati Soekarnoputri kala itu, yakni Miranda S Goeltom, Cyrillus Harinowo dan Burhanuddin Abdullah. Miranda S Goeltom mendapat kesempatan pertama di siang hari, Cyrillus Harinowo mendapat giliran kedua, dan Burhanuddin mendapat kesempatan paling akhir pada malam hari.

Ada banyak hal yang menjadi kunci penentu terpilihnya Burhanuddin. Di antaranya tatkala menjawab pertanyaan anggota Komisi IX DPR, dia dengan terus terang mengakui bahwa kebijakan moneter BI juga dapat digunakan untuk hal-hal yang tidak diinginkan dalam menjalankan kehiduan berbangsa dan bernegara. Dia memberikan contoh kejadian pada tahun 1965, waktu itu inflasi menyebabkan Presiden Soekarno turun dari panggung kekuasaannya. Demikian pula dengan Presiden Soeharto, yang juga turun karena rupiah yang jatuh merosot. Hal yang sama pernah pula terjadi di Argentina.

Oleh sebab itu, lanjut Burhanuddin, bank sentral harus dipimpin oleh orang yang profesional dan berakhlak baik serta memiliki jiwa negarawan. Mengenai otoritas jasa keuangan (OJK), yang sebelumnya sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI, Burhanuddin meminta masalah itu ditunda dulu lima hingga 10 tahun lagi.

Tugas Rutin
Begitu terpilih dan dilantik sebagai Gubernur Bank Indonesia, dia segera melaksakan tugas-tugas rutin. Tiga tugas pokok stabilisasi yang dijalankannya adalah stabilitas moneter, stabilitas nilai rupiah, dan stabilitas sistem keuangan dan perbaikan sistem pembayaran. Dia juga fokuskan perhatian utama kepada upaya bagaimana meningkatkan peran perbankan dalam memberikan akses financing terhadap sektor riil.

Misalnya, segera bertemu dengan 15 bank besar untuk menampung pikiran-pikiran mereka. Sebab kenyataannya suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sudah turun tetapi suku bunga pinjaman masih saja tidak mau turun. Dia ingin tahu secara riil, apa yang terjadi di kalangan perbankan ketika itu walau secara teori sudah mengetahui masalahnya. Pertemuan rutin semacam itu diagendakan secara informal tetapi terjadwal dan punya agenda yang jelas.

Advertisement

Burhanuddin juga tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai aturan di dalam BI yang dibuat BI sendiri, jangan-jangan itu ada hal yang memang menghambat keberanian perbankan menyalurkan kredit dengan menurunkan suku bunga. Masih dalam konteks stabilisasi, dia juga membuat pertemuan nonformal terjadwal dengan pemerintah, terutama dengan Departemen Keuangan (Depkeu). Pertemuan itu didesain terjadi pada berbagai level, baik pada level policy dan pada level teknis.

Selain dengan Depkeu, juga dianggap penting melakukan pembicaraan dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag). Sebab inflasi dipengaruhi oleh selain faktor-faktor moneter dari sisi permintaan, juga faktor suplai, termasuk masalah distribusi. Hal yang sama dilakukan dengan dunia usaha, misalnya dengan Kadin, tokoh-tokoh asosiasi, dilakukan pertemuan-pertemuan yang bersifat koordinatif untuk mengetahui persoalan apa yang terdapat di sisi dunia usaha.

Independensi BI
Sebagai Gubernur Bank Indonesia yang menerima warisan segudang ‘pekerjaan rumah’ yang harus dibereskan, Burhanuddin, menjanjikan akan lebih mendengarkan kepentingan sektor riil, mengkaji kemungkinan memperlonggar kebijakan moneter secara berhati-hati, dan memodifikasi regulasi di Bank Indonesia dalam rangka mendorong perbankan untuk lebih banyak menyalurkan kredit.

Burhanuddin juga akan mengadakan pertemuan secara berkala untuk mendapatkan masukan dari para pelaku usaha. Sepanjang lima tahun masa jabatannya, bank sentral dan perbankan nasional akan dibawa ke arah yang lebih baik. Keleluasaan itu adalah seiring dengan nafas dan semangat independensi bank sentral yang tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 yo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

Kekuatan independensi bank sentral itulah yang mampu memupus isu adanya ‘harga’ yang harus dibayar atas dukungan politis yang diterimanya dari kekuatan-kekuatan politik di DPR yang memililihnya. Dia menegaskan independensi Bank Indonesia harus dikawinkan pada kepentingan bangsa atau sikap kenegarawanan, bukan kepada kepentingan politik. “Itu komitmen saya. Di berbagai negara friksi seperti itu bisa saja terjadi. Makanya, penting sekali untuk berkomunikasi,” jamin Burhanuddin.

Tiga Komitmen
Pada awal menjalankan tugasnya, Burhanuddin menyampaikan tiga komitmen. Pertama, komitmen kebangsaan. Yakni komitmen bekerja untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan untuk kepentingan golongan, partai, dan sebagainya. Walau komitmen demikian terdengar klise, baginya komitmen demikian itu sangatlah penting. Sebab dia menyadari bermodalkan independensi sebuah bank sentral justru berpotensi menghancurkan perekonomian, jika pejabat pemegang otoritas tidak punya komitmen kebangsaan.

Kasus yang pernah terjadi di Indonesia dan negara lain menunjukkan, kesalahan kebijakan bank sentral bisa memojokkan bahkan bisa mencampakkan sebuah negeri. Karena itu, baginya, niat komitmen kebangsaan harus dipegang sebagai basic untuk komitmen lainnya sekaligus menjadi motivasi.

Kedua, komitmen kerjasama jangka panjang dengan kekuatan politik manapun. Komitmen ini sangat ditegaskannya, berlaku tidak hanya satu atau tiga bulan tetapi selama lima tahun periode jabatan sepanjang duduk sebagai Gubernur BI. Selama lima tahun, dia mengajak kekuatan politik dan BI boleh bekerjasama dalam berbagai hal. Dan tentu saja persoalannya menjadi bukan berada padanya tetapi pada kesiapan partai politik. “Jadi, berlomba-lombalah untuk berbuat kebaikan. Tentu ada partai yang sudah memiliki infrastruktur yang baik, memiliki orang yang lebih siap, dan sebagainya. Ada partai yang belum. Silakan untuk berlomba,” kata Burhanuddin.

Ketiga, komitmen pergaulan. “Saya tidak tahu apakah itu ke-Indonesia-an, atau namanya sebuah kepatutan yang ukurannya sangat subyektif dari rasa terima kasih. Kalau kita diundang hajatan saja, kan, selain disuguhi makan kita juga membawa berkat ke rumah. Kepatutan-kepatutan semacam itu, saya kira masih di dalam konteks ke-Indonesia-an,” jelas ayah dari Putik Rindu, Sultan Bestari, Arsy Syaikhan, dan Rizki Firdaus sebagai buah dari hasil perrnikahannya dengan Ike Yuliawati.

Bertindak Tegas
Sebagai pemimpin otoritas bank sentral, dia telah berketetapan hati untuk bertindak lebih tegas terhadap oknum-oknum yang mengotori citra perbankan. Tindakan tegas baginya sudah merupakan kewajiban. Untuk itu dia membutuhkan kerjasama dan koordinasi dengan banyak pihak untuk mencegah tindakan-tindakan yang dilakukan berdasarkan itikad buruk pemilik maupun pengurus bank.

Kerjasama itu, seperti, perbankan harus terus kritis terhadap praktik-praktik yang terjadi di dalam lingkungannya, termasuk memberikan masukan dan dukungan bagi ketersediaan perangkat hukum yang memadai sekaligus penegakan hukum yang lebih kuat.

Di sisi lain, perbankan juga tetap menghadapi tantangan operasional yang kian besar. Perkembangan teknologi yang sangat pesat akan meningkatkan kompleksitas kegiatan usaha perbankan dan mendorong munculnya produk-produk yang semakin inovatif.

Karena itulah, selama kepemimpinannya, dalam rangka peningkatan kualitas dan kompetensi SDM perbankan di bidang manajemen risiko BI telah mempersyaratkan proses sertifikasi manajemen risiko untuk semua lapisan manajemen bank. Program sertifikasi dimulai tahun 2004 melalui pelaksanaan program eksekutif. Program sertifikasi kembali dilanjutkan pada tahun 2005 bagi para komisaris dan semua pegawai perbankan yang terkait dengan pengelolaan dan pelaksanaan manajemen risiko.

Sempat Dikira ‘Sudah Habis’
Putera bangsa dari Jawa Barat, yang memulai karir pertamanya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada Departemen Pertanian (Deptan), malam itu berhasil mendapatkan kepercayaan 34 anggota Komisi IX DPR. Sedangkan dua kandidat lain, Miranda S. Gultom meraih 18 suara dan Cyrillus Harinowo tak mendapatkan satu suara pun.

Beberapa hari setelah itu, tepatnya 17 Mei 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 61/M TAHUN 2003, yang menetapkan mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid ini sebagai Gubernur BI masa tugas 2003-2008.

Burhanuddin memulai menapaki karir di Bank Indonesia sejak tahun 1981 sebagai staf di Urusan Kredit dan Urusan Riset Ekonomi & Statistik, kemudian sebagai Staf Gubernur. Pada 1989-1990, dia ditugaskan sebagai Fixed-Term Staff di IMF, Washington, DC, yang dilanjutkan sebagai Assistant Executive Director juga di IMF (1990-1993).

Setelah itu, dia menjabat Kepala Bagian Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Internasional (1993-1995). Kemudian, pada 1995, diangkat sebagai Wakil Kepala Urusan Luar Negeri selama 1 tahun. Selanjutnya dipercaya menjabat Wakil Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, sampai 1998. Lalu, sejak Agustus 1998 hingga Agustus 2000 menjabat Direktur Direktorat Luar Negeri.

Tanggal 2 Agustus 2000 ditetapkan sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia. Setelah hampir setahun menjabat sebagai Deputi Gubernur, 12 Juni 2001 diangkat sebagai Menko Bidang Perekonomian pada Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, menggantikan Rizal Ramli. Namun jabatan Menko tersebut hanya dipegang hingga 9 Agustus 2001, seiring dengan turunnya Presiden Abdurrahman Wahid dari jabatannya.

Pengangkatan Burhanuddin sebagai Menko Perekonomian sendiri tergolong mengejutkan, sebab dia sesungguhnya sudah berstatus sebagai pensiunan pegawai BI sejak akhir 2000. Mantan Ketua Umum Ikatan Pegawai Bank Indonesia (1999), itu terakhir kali menjabat sebagai Deputi Gubernur BI berdasarkan Keppres RI No. 218/M Tahun 2000 tertanggal 20 Agustus 2000, ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Ketika itu, karir Burhanuddin dianggap oleh banyak kalangan perbankan sebagai “sudah habis”. karir.

Namun penikmat buku Dale Carnigie berjudul “How to Win Friends and Influence People”, serta buku-buku “Quick Fix” dari Stephen R. Covey, yang di dalamnya ada disebutkan bahwa apabila Anda ingin menjadi seseorang, katakanlah sesering mungkin bahwa Anda akan menjadi seseorang, itu berhasil menjaga determinasi diri. Buku-buku yang disebutkannya sebagai bacaan masa kanak-kanak, telah menimbulkan self suggestion yang maha dahsyat dalam diri Burhanuddin bahwa dia pasti masih akan kembali ke ‘habitat’ aslinya di BI.

Dari dua tahun masa ‘menganggur’ sebelum terpilih menjadi Gubernur BI, jika saja dihitung dengan hari, praktis hanya tiga bulan saja dia merasakan jangan-jangan tidak akan kembali ke BI dan pensiun. Sedangkan waktu sisanya dia terus pompakan semangat untuk ber-self suggestion bahwa akan kembali ke BI dan sebagai gubernur pula. Dan itu terbukti benar. Pada tanggal 17 Mei 2003 ditetapkan sebagai Gubernur Bank Indonesia berdasarkan Keppres RI Nomor 61/M TAHUN 2003.

Diterpa Berbagai Fitnah
Sejak awal dicalonkan menjabat gubernur, dia sudah sangat yakin akan berhasil. Dasarnya adalah setelah melihat peta, melihat kepada diri sendiri, melihat pergaulan yang luas, dan melihat kecenderungan republik. Burhanuddin merasa bakal menjadi pemenang walau keyakinan kuat itu sesungguhnya secara tersembunyi masih disertai dengan seringnya muncul kesangsian-kesangsian, atau up and down dari waktu ke waktu.

Namun pada proses pencalonan itu, dia pun diterpa berbagai fitnah dan isu miring yang dilontarkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Maklum, dia adalah calon terkuat. Di antara fitnah yang menerpanya, saat bertugas dan bermukim di AS berupa kabar bahwa Burhanuddin me-mark up rumah dinas di Sugarbush Lane, Washington DC seharga 600 juta dolar AS padahal waktu mau dijual BI tahun 2002 hanya sekitar 450 juta dolar saja.

Dia tak reaktif menepis isu yang makin gencar beredar justru pada saat pemilihan gubernur BI tengah berlangsung di dalam Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta itu. Dia menjawab isu tersebut beberapa hari kemudian setelah terpilih. Di lounge sebuah hotel berbintang lima, kepada wartawan sebuah harian nasional ,Burhanuddin bertanya balik: Apakah rumah itu sudah dijual?

Ini, menandakan bahwa dia sesungguhnya tak mengikuti perkembangan terbaru tentang apa yang ditudingkan sebab memang tak terkait dengannya. Burhanuddin kemudian menegaskan dirinya tak ikut membeli rumah itu. Yang membeli bukan dia sebab hanya kebagian menempati saja sebagai rumah dinas.

“Yang beli adalah kantor perwakilan BI New York. Saya itu hanya pegawai, yang menempati saja setelah dibeli oleh kantor perwakilan BI itu. Sama dengan rumah-rumah yang di Jakarta. Saya kan seumur hidup hanya tinggal di rumah dinas,” kata Burhanuddin, sekaligus menepis pula isu lain soal town house di pinggiran Washington DC, yang diisukan dibeli ternyata telah diberikan kepada anak yang diakui sebagai sepupu.

Selain itu, juga ada isu tentang Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan yang disebut-sebut sebagai figur yang sangat berperan pada terpilihnya Burhanuddin. Dia menyebutkan bahwa Fuad Bawazier tidak punya peran apa pun. Secara kategoris Bawazier tidak punya peran apapun. “Yang punya peran besar dalam kemenangan itu adalah saya,” tegasnya.

Kehidupan Burhanuddin yang sangat pribadi pun pernah dicoba digoyang dengan fitnah. Seperti, di sebuah koran daerah, disebutkan bahwa Burhanuddin sudah memiliki dua istri. Namun tudingan itu ditanggapi Burhanuddin dengan menyebutnya sebagai baru wacana. “Boleh kan, punya wacana,” katanya berkelakar.

Ketika pemilihan gubernur BI berlangsung antara Burhanuddin dengan Miranda Gultom, dikira banyak orang, seolah terjadi rivalitas yang sangat tajam dan kurang sehat. Padahal di kemudian hari, keduanya bisa membuktikan diri sebagai tim yang solid. Yang satu gubernur, satu lagi akhirnya terpilih sebagai deputi senior gubernur. Ternyata di antara keduanya sesungguhnya terjalin hubungan dan kerjasama sangat baik. Keduanya sering main golf bersama. Ini menandakan sesungguhnya tidak pernah ada masalah di antara mereka.

Sudah terpilih sebagai gubernur pun isu tak sedap masih saja tak henti berhembus. Semisal, keinginan karyawan BI yang mendambakan munculnya sosok Gubernur BI seperti Rachmat Saleh yang ideal dan tidak primordialis terhadap karyawan BI. Kemunculan wacana pegawai BI yang demikian seolah-olah menempatkan Burhanuddin sebagai seorang pribadi yang sangat primordalis. Atau, sepertinya dia harus ‘dipaksa’ untuk meniru 100 persen sosok Rachmat Saleh.

Namun, di hadapan karyawan BI, mantan Ketua Umum Ikatan Pegawai Bank Indonesia, itu menyebutkan dirinya hanya ingin menjadi seorang Burhanuddin Abdullah. “Saya pernah mengatakan kepada Rachmat Saleh. Saya katakan you are a living legend di dunia perbankan Indonesia. Tanpa, meniru dia, saya juga punya keinginan seperti itu,” papar Burhanuddin, menyakinkan para karyawan BI yang sebelumnya pernah dipimpinnya dalam organisasi serikat pekerja.

Bagi seorang pejabat Gubernur BI, diterpa berbagai fitnah dan isu miring bisa juga disebut sebagai bagian dari ujian yang harus dihadapi. Sebab, seorang Gubernur BI haruslah mempunyai kepribadian yang kuat, pemimpin yang punya karakter kuat. Tidak mudah goyah oleh terpaan berbagai fitnah, isu miring dan kritikan pedas, serta bujuk rayu dan sanjungan. Dia haruslah kuat untuk menakhodai bank central, sebuah lembaga independen yang tak bisa diintervensi dan semena-mena diturunkan oleh lembaga lain apapun selama lima tahun periode jabatannya.

Kepastian itu pernah dibuktikan oleh pendahulunya, Syahril Sabirin, yang tetap kukuh sebagai Gubernur BI kendati sempat dimasukkan ke sel tahanan. Hal itu sesuai dengan semangat independensi bank sentral yang tertuang sebagai amanat Undang-Undang tentang Bank Indonesia.

Burhanuddin pun selalu tampak tegar menghadapi beragam isu dan fitnah. Dia secara sadar juga tampaknya menganut filosofi pohon kelapa. Semakin menjulang ke atas semakin besar terpaan angin namun secara alamiah semakin kuat pula pohon kelapa menghadapi, sementara santan yang dihasilkan semakin kental saja. Itulah Burhanuddin Abdullah, yang sering diterpa beragam isu miring namun bersamaan itu posisinya semakin kuat pula dan memperoleh dukungan luas dari berbagai kalangan.

Tak lama setelah dilantik sebagai Gubernur BI, Burhanuddin pun terpilih menjabat Ketua Umum ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) periode 2003-2005, dalam Kongres XV ISEI di Batu, Malang, 13-15 Juli 2003. Dia mengalahkan Rudjito (Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia, kala itu), dan Muhammad Jusuf Kalla (Wakil Presiden, ketika itu masih menjabat Menko Kesra).

Sebelum pemilihan Ketua Umum ISEI berlangsung, baik Rudjito maupun Jusuf Kalla sepakat mengundurkan diri dari pemilihan sehingga secara aklamasi Burhanuddin terpilih sebagai ketua umum baru. Ketika berpidato di depan sidang pleno, Burhanuddin menyatakan tekadnya akan meningkatkan peran ISEI. Peranan itu antara lain memberikan pertimbangan pembangunan dan mengarahkan ISEI sebagai organisasi pembelajaran. Tapi agar ISEI tetap independen dan kritis, sebagai organisasi intelektual dan profesional, Burhanuddin mengatakan ISEI akan tetap menjaga jarak dengan pemerintah.

Ingin Jadi Novelis
Itulah Burhanuddin Abdullah. Kekayaan bukan lagi tujuan hidupnya. Karena itu dia menganggap uang, seperti yang pernah dituduhkan pada kasus dana bantuan bencana alam Garut, bisa membuatnya dilumuri dosa.

Menjadi Gubernur BI dianggapnya sebagai memberikan sesuatu kelebihan yang ada dalam dirinya untuk melayani orang banyak. Hidupnya bukan lagi untuk diri dan keluarga semata, tetapi sudah untuk bangsa. Jabatan Gubernur BI bagi Burhanuddin adalah sebuah prestasi, tepatnya sebagai accomplishment dari perjalanan hidup seseorang seperti dirinya yang meniti karir dari bawah.

Namun lebih dari itu, jabatan itu sebetulnya juga bukan dianggapnya sebagai telah berjalan mengikuti ladder (jenjang) dari step (langkah) satu ke step dua, sampai step yang terakhir sebagai Gubernur BI. Melainkan, dia menganggap ada satu titik di dalam perjalanan hidup orang-orang seperti seumurnya yang kemudian merasakan sesuatu harus diperbuat bukan untuk diri sendiri lagi. Tetapi, sudah untuk orang banyak, untuk yang lain, berbuat sesuatu yang lain yang bisa disebut sebagai panggilan. Sebab, jika itu masih dilakukan hanya untuk diri sendiri menjadi sudah tidak ada artinya.

“Anak-anak sudah bersekolah, semuanya dengan sederhana bisa disediakan. Barangkali itulah aktualitas yang sebenarnya, di dalam memberikan kepada yang lain, bukan di dalam menerima dari yang lain,” kata Burhanuddin.

Sosoknya diterima pasar karena pandangan-pandangannya yang dinilai cukup propasar. Dia dinilai sebagai sosok yang paling sedikit menghadapi resistensi publik. Dia adalah Gubernur Bank Indonesia di era keterbukaan. Sosoknya banyak dipojokkan namun dia berhasil melewatinya dengan mulus. Dia pun berjanji akan sungguh-sungguh terbuka memimpin bank sentral ini. Komunikasi dengan semua pihak akan dibangunnya untuk menghindarkan kesan Bank Indonesia bisa dijadikan sebagai alat pemukul rejim yang tak propasar.

Sesudah menjadi Gubernur BI, dia malah menyatakan obsesi baru ingin menjadi novelis. Ia memang sangat terkesima dengan tulisan Elie Weisel. Apresiasi singkat terhadap tulisan Elie Weisel disebutnya sebagai bukan main, kecil, pendek, bahasa Inggrisnya simpel. Judulnya “Twilight” bercerita tentang pelarian Polandia. Dengan buku itu Elie Weisel mendapatkan hadiah Nobel. “Ia itu orang Yahudi,” kata penyuka buku filosofi Cina karya Lin Yuntang. e-ti | crs-ht, dari berbagai sumber

Data Singkat
Burhanuddin Abdullah, Gubernur BI 2003-2008 / Gubernur BI Berkepribadian Kuat | Direktori | Unpad, Menteri, Gubernur, BI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini