Jalan Politik Jenderal Kontroversial
Kivlan Zen
[DIREKTORI] Mayor Jenderal TNI (Purn.) Kivlan Zen, SIP, MSi, mantan Kas Kostrad (Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat), putera Minangkabau kelahiran Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam, 24 Desember 1946. Seorang jenderal yang kontroversial namun teguh dalam prinsip jika terkait kedaulatan NKRI.
Alumni Akademi Militer (Akmil) 1971 ini menulis buku kontroversial “Konflik dan Integrasi TNI-AD.” Dia pun pernah dituding berperan dalam pusaran isu persaingan “ABRI Hijau” versus “ABRI Merah Putih” menjelang dan saat gerakan Reformasi 1998 bergulir.
Kivlan Zen yang menjadi Kas Kostrad saat Prabowo Subianto menjabat Panglima Kostrad, satu dalam barisan “ABRI Hijau” yang dikenal dekat dengan kalangan Islam, khususnya ICMI di bawah pimpinan BJ Habibie. Diisukan beberapa jenderal yang termasuk dalam barisan ini antara lain Jenderal Feisal Tanjung dan Jenderal Wiranto. ABRI Hijau tersebut berseberangan dengan kelompok “ABRI Merah Putih” yang satu barisan dengan Jenderal Benny Moerdani, Jenderal Try Sutrisno dan Jenderal Edi Sudrajat.
Inilah sekelumit isu dan kontroversi menjelang dan saat reformasi 1998 bergulir. Isu dan kontroversi itu juga ikut mewarnai kiprah dan jejak rekam Kivlan Zen yang kala itu menjabat Kas Kostrad. Dari sudut pandang kepejuangan ‘Tragedi Mei 1998’ itu, tentu menjadi suatu ujian juga bagi Kivlan Zen untuk menyatakan kebenaran. Siapa penanggung jawab keamanan yang paling bertanggung jawab atas begitu meluasnya Tragedi Mei 1998 itu?
Kelompok ABRI Hijau ini berhasil meyakinkan Presiden Soeharto, sehingga mengangkat Jenderal Feisal Tanjung menjabat Panglima ABRI (1993) menggantikan Jenderal Edi Sudrajat. Maka menjelang dan saat reformasi bergulir, barisan ABRI Merah Putih menjadi tersingkir. ABRI dan ICMI pun bergandengan tangan. Posisi ABRI yang dominan di Golkar pun ‘digantikan’ ICMI. Sangat bertolak belakang dari kondisi sebelumnya ketika ‘ABRI Merah Putih’ tidak sejalan dengan ICMI.
Namun, persaingan individu terjadi pula dalam barisan ‘ABRI Hijau’, terutama antara Jenderal Wiranto dengan Prabowo Subianto. Sehingga Jenderal Wiranto pun terkadang dituding bermain mata dengan barisan ‘ABRI Merah Putih’ oleh kalangan ‘ABRI Hijau’, termasuk Kivlan Zen. Maka oleh pihak tertentu, barisan Wiranto diisukan juga sebagai ‘ABRI Pelangi’.
Konflik elit TNI AD (Hijau) semakin mengemuka setelah Jenderal Wiranto menggantikan Jenderal Feisal Tanjung menjadi Panglima ABRI pada 16 Februari 1998, sementara Prabowo Subianto diangkat sebagai Panglima Konstrad. Dalam suasana ini pulalah kerusuhan 14 Mei 1998 terjadi, saat Presiden Soeharto berada di Mesir.
Dalam pengamatan Wartawan TokohIndonesia.com, persaingan ambisi individu tidak hanya terjadi dalam barisan ‘ABRI Hijau’ tetapi juga antarelit ICMI. Tidak semua mereka yang ‘ikhlas’ mendukung BJ Habibie menjadi Presiden. Ada beberapa tokoh potensial, di antaranya Amien Rais dan Adi Sasono juga sangat berambisi jadi presiden.
Itulah sekelumit isu dan kontroversi menjelang dan saat reformasi 1998 bergulir. Isu dan kontroversi itu juga ikut mewarnai kiprah dan jejak rekam Kivlan Zen yang kala itu menjabat Kas Kostrad. Dari sudut pandang kepejuangan ‘Tragedi Mei 1998’ itu, tentu menjadi suatu ujian juga bagi Kivlan Zen untuk menyatakan kebenaran. Siapa penanggung jawab keamanan yang paling bertanggung jawab atas begitu meluasnya Tragedi Mei 1998 itu?
Kontroversi juga yang mengemuka dalam hal ini. Sebagai Kas Kostrad, wajar saja Kivlan Zen mengatakan bahwa dia atau pihaknya (Kostrad) tidak dapat berbuat banyak ketika korban berjatuhan dalam kerusuhan 12-15 Mei 1998, itu meskipun memegang kendali pasukan Kostrad. Sebab, menurut Kivlan, kendali keamanan tetap ada di tangan Panglima ABRI Jenderal Wiranto.
Kivlan dengan tegas mengatakan, Wiranto sebagai Panglima ABRI, telah gagal mengatasi kerusuhan Mei 1998. Sebab, menurut Kivlan, Wiranto melarang pengerahan pasukan pada 14 Mei 1998. Kivlan, mengungkapkan, dia telah dihubungi Kasum ABRI, Letjen Fachrurazi agar tidak mengerahkan pasukan atas permintaan Wiranto. Kala itu, Wiranto sendiri justru berada di Malang, Jawa Timur, meresmikan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) ABRI.
Tapi pernyataan Kivlan ini tidak dibenarkan oleh Jenderal Wiranto. Terjadi perbantahan dan kontroversi. Kivlan sendiri teguh memandang bahwa kerusuhan Mei 1998 Jakarta bisa terungkap jika ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Tapi ada catatan menarik, Amien Rais yang saat itu sudah secara terbuka menyatakan diri siap menjadi Presiden, merencanakan people power untuk mengepung Istana Negara pada 16 Mei 1998. Kala itu, Kivlan dalam kapasitas sebagai Kas Kostrad, menyatakan akan menangkap Amien Rais dan meminta agar rencana itu dibatalkan untuk menghindari timbulnya korban. Tampaknya, nyali Amien Rais pun ciut, people power itu tak pernah terjadi.
Kemudian, 21 Mei 1998, Presiden Soeharto meletakkan jabatan dan menyerahkannya kepada BJ Habibie. Dalam suasana itu, nama Pangkostrad Prabowo Subianto dan Kas Kostrad Kivlan Zen mencuat ke permukaan lantaran pasukan Kostrad berada di sekitar Monumen Nasional (Monas), Istana Presiden dan kediaman BJ Habibie di kawasan Patra Kuningan. Sehingga pihak yang berseberangan dengan Prabowo menduga hal itu sebagai upaya kudeta. Namun dugaan itu, terbukti tak pernah terjadi.
Besoknya, pagi, 22 Mei 1998, sebagaimana diungkap Mayjen (Purn) Sintong Panjaitan dalam bukunya “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando,” bahwa Mayjen TNI Kivlan Zen sebagai Kepala Staf kostrad bersama Mayjen TNI Muchdi Pr sebagai Komandan Jenderal Kopassus mendapat tugas dari Pangkostrad Prabowo menghadap Presiden BJ Habibie di rumah kediamannya Patra Jasa, Kuningan, untuk membawa surat dari Jenderal Besar AH Nasution (Jenderal yang sangat dihormati Habibie). Surat itu berisi usulan pemisahan Menhankam dan Pangab serta berisi saran agar Jenderal TNI Subagyo HS diangkat menjadi Panglima ABRI, Jenderal TNI Wiranto Menteri Hankam dan Letjen TNI Prabowo Subianto menjadi KSAD. Selain itu, Kivlan dan Muchdi juga membawa surat dukungan 320 ulama Jawa Timur yang mendukung Habibie. (Buku Sintong tersebut dianggap Mayjen (Purn) Kivlan Zen sebagai upaya kubu Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggembosi Prabowo Subianto dan Wiranto menjelang Pilpres).
Presiden BJ Habibie sempat menyetujui pemisahan jabatan Panglima TNI dan Menhankam tersebut. Tetapi, sebagaimana pernah diungkapkan Jenderal Wiranto dalam bukunya, ketika Presiden BJ Habibie menyampaikan hal itu kepadanya, Wiranto menolak pemisahan jabatan itu karena kuatir akan menimbulkan dualisme kepemimpinan. Akhirnya, Presiden BJ Habibie menetapkan Wiranto merangkap kedua jabatan itu. Tampaknya, BJ Habibie lebih percaya kepada Wiranto.
Bahkan, setelah itu, 22 Mei 1998 malam, hanya akibat adanya isu kudeta, Probowo Subianto justru dicopot dari jabatan Pangkostrad, dan digantikan oleh Mayjen Johny Lumintang. Bahkan kemudian, pada 20 Juni 1998, Kivlan Zen juga harus meletakkan jabatan Kepala Staf Kostrad. Kivlan dituduh ikut membahas keabsahan jabatan Habibie dan perubahan UUD 1945 di Hotel Regent.
Hal yang juga kontroversial yang pernah diungkap oleh Kivlan Zen adalah tentang keberadaan Pam Swakarsa yang menjadi cikal-bakal Front Pembela Islam (FPI) yang belakangan sering melakukan aksi main hakim sendiri.
Menurut Kivlan, ketika itu digelar Sidang Istimewa (SI) MPR pada 10-13 November 1998. Waktu itu ada upaya demonstran untuk menggagalkan SI MPR. Sementara tidak ada demonstran (massa) yang berani mendukung SI secara terang-terangan. Maka dilakukan upaya perekrutan kekuatan massa pendukung SI (yang belakangan disebut Pam Swakarsa).
Kivlan Zen berperan merekrut massa dari kalangan ormas Islam. Sekitar 30 ribu massa pendukung SI yang tergabung dalam Komite Islam Bersatu Penyelamat Konstitusi (KIBLAT) mengadakan apel akbar di Parkir Timur Senayan empat hari menjelang digelarnya SI. Tapi, menurut Kivlan, perekrutan Pam Swakarsa itu atas perintah Wiranto serta diketahui Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol. Nugroho Jayusman, dan Pangdam Jaya Mayjen Djaya Suparman. Disebut juga keterlibatan pengusaha Setiawan Djodi sebagai pemberi bantuan dana Pam Swakarsa.
Ketika itu, terjadi bentrokan berdarah antara pendukung SI dengan anti-SI, serta bentrok mahasiswa dengan aparat sehingga menewaskan beberapa orang mahasiswa. Peristiwa ini dikenal sebagai “Peristiwa Semanggi I”. Akibat terbunuhnya aktivis dari suku tertentu dalam bentrok pendukung SI vs anti-SI pada 13 November 1998, rupanya berbuntut dendam. Sehingga massa yang terlibat, bentrok kembali di Ketapang Jakarta Pusat, pada 22-23 November 1998. Kerusuhan berlanjut di Kupang pada 30 November 1998, dan di Ambon, 19 Januari 1999.
Tapi, dalam bukunya bertajuk “Bersaksi di Tengah Badai”, Wiranto menyangkal keras keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Bahkan Wiranto sempat mengancam akan menuntut Kivlan. Atas ancaman ini, Kivlan bergeming. Kepada Imam Prawoto Wartawan Berita Indonesia dan TokohIndonesia.com, dalam wawancara yang cukup panjang, Kivlan Zen menegaskan pembentukan PAM Swakarsa atas perintah dari Jenderal Wiranto, tidak ada perintah dari Jenderal yang lain. “Pak Wiranto mengamankan Sidang Istimewa MPR 1998 dengan PAM Swakarsa. Saya ditugaskan langsung memimpin massa di lapangan. Pak Wiranto dapat 10 miliar, saya tidak dapat apa-apa alias nol. Kalau tidak PAM Swakarsa, Sidang Istimewa bisa dibubarkan oleh pendemo anti/menolak Sidang Istimewa oleh pemerintahan Revolusioner pimpinan LB. Moerdani,” katanya. Sebuah pengulangan pernyataan kontroversial.
Kontroversi atas nama Kivlan juga mencuat tatkala KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut inisial “Mayjen K” sebagai provokator kerusuhan Ambon. Banyak orang mengaitkan nama inisial “Mayjen K” itu dengan Mayjen Kivlan. Merasa namanya disudutkan, Kivlan mendatangi Gus Dur di rumahnya di Ciganjur untuk meminta klarifikasi. Kepada Kivlan, Gus Dur membantah bahwa inisial “Mayjen K” yang dimaksud itu adalah Kivlan Zen.
Kendati hanya sekadar isu dengan tudingan inisial “Mayjen K”, ketika itu Kivlan merasa perlu segera meminta klarifikasi, karena putranya yang sekolah di sebuah SMA di Malang merasa diteror dengan cemooh sebagai “anak provokator”. Lagi pula, bagi Kivlan, peristiwa sejarah harus diluruskan, kebenaran harus diungkap.
Itulah sekelumit kontroversi yang mewarnai perjalanan karier Mayjen Kivlan Zen. Dari sudut pandang ‘sekolah kehidupan’ hal itu sebuah gambaran betapa Kivlan Zen memiliki peran dan pengaruh signifikan dalam pusaran perjalanan sejarah reformasi 1998. Sebagai (hanya) Kas Kostrad dia pasti banyak tahu jalan sejarah itu. Yang jika melihat kemampuannya, seandainya kala itu dia memegang jabatan Panglima (pengendali keamanan) kemungkinan Tragedi Mei 1998 itu akan bisa cepat dilokalisir. Sebab, di mata publik, tragedi itu terjadi karena tidak adanya jenderal lapangan yang handal.
Dinamika Karier
Kivlan Zein, lulusan Akademi Militer (Akmil) angkatan tahun 1971. Dia memilih pengabdian di Kesatuan Infanteri, Baret Hijau. Dimulai sebagai Komandan Peleton (1971), kemudian Ki-B Batalyon 753, hingga Danyon (1973). Pada, 1974, pasukan Kivlan berhasil meringkus gerombolan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Juga ketika bertugas di Timor Timur, Kivlan dinilai berhasil sehingga mendapat kenaikan pangkat luar biasa.
Dia menjabat Kepala Staf Brigade Infanteri Linud 1/Cilodong/Kostrad (Kasdivif I Kostrad) dengan pangkat Kolonel, (1990). Tahun itu juga dia bertugas di Filipina, memimpin Kontingen Garuda. Lulusan Sekoad 1990 itu berhasil menjalankan tugasnya di Filipina. Terbukti dari penghargaan (medali kehormatan) yang dianugerahkan secara khusus kepadanya oleh Presiden Filipina Fidel Ramos karena Kivlan dinilai berhasil membujuk pimpinan MNLF, Nur Misuari, agar mengakhiri konflik Moro di Filipina Selatan. Kivlan yang memimpin Kontingen Garuda XVII, Pasukan Konga 17 di Filipina juga berperan menjadi pengawas genjatan senjata setelah adanya perundingan antara MNLF dengan pemerintah Filipina.
Setelah itu, dia menjabat Kepala Staf Daerah Militer VII/Wirabuana, dengan pangkat Brigadir Jenderal. Naik jabatan menjadi Panglima Divisi Infanteri 2/Kostrad, berpangkat Mayor Jenderal dan terakhir menjabat Kepala Staf Kostrad (1998).
Dinamika kariernya terbilang mulus. Kendati tatkala berpangkat mayor, dia sempat menyandangnya selama enam tahun dan letnan kolonel baru dia dapatkan setelah tujuh tahun saat dia bertugas di Timor Timur. Namun, setelah menyandang pangkat kolonel tahun 1994, dia hanya butuh waktu 18 bulan untuk naik menjadi jenderal (bintang satu) dan kemudian berakhir dengan pangkat jenderal bintang dua dalam jabatan Kepala Staf Kostrad.
Kivlan memiliki talenta kepemimpinan yang terasah sejak kecil. Sebelum masuk Akmil, Kivlan sempat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara. Kala itu, dia memilih Fakultas Kedokteran karena ingin mengabdikan diri untuk kehidupan sosial. Saat masih pelajar, Kivlan sudah aktif dalam organisasi. Dia telah bergabung dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (1962). Pada 1965, menjabat sebagai sekretaris Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Medan dan Ketua Departemen Penerangan KAMI Medan. Dia juga aktif dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Jalan Politik
Kivlan Zen ‘Sang Jenderal kontroversial’ penulis buku “Konflik dan Integrasi TNI-AD” semula memilih tidak bergabung dengan partai politik manapun demi menjaga independensi dalam menyuarakan kebenaran. Dia lebih memilih cukup bergabung dengan organisasi sosial kemasyarakatan saja.
Jenderal yang dengan lantang menyebut bahwa Jenderal (Purn) LB Moerdani dan Jenderal (Purn) Wiranto bersekongkol merencanakan kudeta terhadap Presiden Soeharto dan juga menuding Wiranto telah “main mata” dengan Wapres Habibie untuk menggulingkan Soeharto, itu kemudian sempat menyatakan diri siap mencalonkan diri jadi Presiden. Meski tidak menggandeng partai apa pun dan belum memiliki modal yang cukup, Kivlan Zen mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden RI di Gedung Museum Kebangkitan Nasional (eks Gedung Stovia), Jakarta, Kamis (5/6/2008).
Kivlan mengatakan bahwa niatnya murni untuk menyerahkan diri bagi bangsa Indonesia. “Saya harap saya bisa netral, dan saya bagian dari mereka semua (partai) sehingga saya nggak tersegmen-segmen dalam kelompok-kelompok tertentu,” ujar Kivlan kala itu.
Namun, Kivlan juga terbuka dan siap terhadap partai manapun yang ingin mengusungnya sebagai calon presiden maupun wakil presiden dengan syarat memperjuangkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Menurut Kivlan, di tengah-tengah situasi kritis saat ini, bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki ketegasan dan semangat pembaruan. Jika terpilih menjadi Presiden RI, kala itu (periode 2009-2014), dia berjanji akan menyejahterakan Indonesia dalam waktu satu bulan. Kivlan menargetkan pertumbuhan ekonomi akan naik menjadi 15 persen.
Kivlan ingin tampil sebagai Capres dari jalur independen. Namun, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU 42 Tahun 2008, terkait syarat pencalonan presiden, telah mengandaskan peluang para calon presiden independen. Dengan keputusan itu, calon presiden RI harus melalui mekanisme partai politik. Hanya partai/gabungan partai yang memeroleh suara 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional yang bisa mencalonkan pasangan calon presiden/wakil presiden. Kivlan pun legowo dengan keputusan MK tersebut.
Kemudian, kontroversi juga muncul dalam tampilan politik, ketika dalam masa kampanye Pilpres 2009, Kivlan yang dikenal dekat dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang kala itu tampil sebagai Cawapres berpasangan dengan Megawati, justru bergabung dengan tim sukses SBY-Boediono. Ketika itu, Kivlan Zein menghadiri Deklarasi Pandu 57 di Menteng Jakarta Pusat, Kamis (4/6/2009). Deklarasi itu dihadiri Wakil Ketua Tim Nasional Pemenangan SBY-Boediono, Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto, mantan Ketua Dekopin Sri Edi Swasono dan Cawapres Boediono. Djoko Suyanto menyambut baik kehadiran Kivlan Zen dalam tim sukses SBY-Boediono yang sebelumnya sering memberi komentar berbeda. “Selamat datang Pak Kivlan,” sambut mantan Panglima TNI itu.
Pada Pemilu 2014 nanti, jalan politik Kivlan Zen pun sudah berlabuh di Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP). Dia menjadi Caleg PPP. Mengapa Kivlan Zen memilih PPP sebagai jalan pengabdian politiknya? Baca wawancara Kivlan Zen dengan Imam Prawoto dari Majalah Berita Indonesia dan TokohIndonesia.com yang diterbitkan di Majalah Berita Indonesia (Berindo) Edisi 91. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com