Keteguhan Menulis Anak Petani
Raudal Tanjung Banua
[DIREKTORI] Meski terlahir sebagai anak petani dengan berbagai keterbatasannya, ia tetap rajih berlatih menulis puisi dan cerita pendek. Kerja keras pengelola Komunitas Rumah Lebah Yogyakarta, Penerbit Akar Indonesia, dan Jurnal Cerpen Indonesia ini akhirnya berbuah ditandai dengan sejumlah penghargaan dan karya yang dimuat di pelbagai media massa dan antologi.
Kemunculan Raudal Tanjung Banua sebagai seorang penulis mungkin tak seheboh penulis lainnya. Meski ia mengawali karirnya di bidang tulis menulis perlahan-lahan, keuletannya dalam berkarya akhirnya menorehkan namanya sebagai salah satu penulis muda berbakat dengan karya-karya yang bermutu. Hal itu bisa dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Parang Tak Berulu yang berhasil masuk nominasi dalam ajang sastra bergengsi, Khatulistiwa Literary Award tahun 2005.
Pria kelahiran Desa Lansano, Sumatera Barat, 19 Januari 1975, ini mengawali karir menulisnya sebagai koresponden di harian Semangat dan harian Haluan di Padang, Sumatera Barat. Tak lama di dua harian tersebut, Raudal kemudian memutuskan untuk pergi merantau ke Denpasar, Bali. Di Pulau Dewata, ia bergabung dalam komunitas Sanggar Minum Kopi. Di komunitas itu, Raudal mulai belajar sastra pada penyair Umbu Landu Paranggi.
Ketertarikannya pada bidang seni mengarahkan niat Raudal untuk melanjutkan studi ke Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Jurusan Teater pada tahun 1997. Di kota gudeg itu, Raudal mendirikan komunitas Rumah Lebah dan giat dalam lembaga kajian kebudayaan AKAR Indonesia. Lembaga kajian yang menerbitkan Jurnal Cerpen Indonesia.
***
Pria dengan pembawaaan tenang ini besar dalam lingkungan keluarga petani. Sejak SD, ia dan dua orang adiknya sudah diajak oleh orangtuanya tinggal di ladang dengan tempat tinggal sebuah pondok yang sederhana. Mereka sebenarnya mempunyai rumah, namun rumah itu tak ubahnya hanya menjadi tempat persinggahan saja karena mereka tinggal di sana hanya tiap akhir pekan saja.
Ketika ladang tak lagi bisa menjanjikan kemakmuran bagi para petani, sebagian besar petani di daerahnya kemudian mulai pindah. Mereka berduyun-duyun merantau ke tanah jauh. Namun tidak demikian halnya dengan keluarga Raudal, mereka tetap tinggal dan hidup di ladang. Masa hidup di ladang itu belakangan menjadi kenangan tersendiri dalam diri Raudal.
Dalam hal menulis, kegemaran Raudal sudah tampak sejak usia remaja. Walau dengan bentuk sederhana, ketika itu ia sudah kerap membuat cerita, puisi, bahkan novel. Goresan penanya telah beberapa kali mengantarkannya memenangkan lomba mengarang yang mewakili sekolah. Walau dalam lingkungan yang terbatas, hasil karya Raudal banyak beredar seperti di kalangan guru, kawan sekolah, dan orang sekampung.
Hobinya membaca memberikan andil yang makin besar dalam mengembangkan kemampuan menulisnya. Ketika itu, semua karangan ia tulis dalam buku tulis tebal yang dipotong sedemikian rupa sehingga ukurannya mirip seperti novel yang ia baca. Semua ia susun rapi persis seperti buku yang ia pinjam di perpustakaan sekolah.
Yang lebih mengagumkan lagi, ketika itu ia berkreasi dalam kondisi yang sangat terbatas. Ia menulis karya-karyanya dengan pena di atas buku tulis yang hanya mengandalkan penerangan lentera, dengan bertelungkup pula, karena kursi dan meja tidak ada di pondoknya. Karena sudah menjadi kebiasaan, Raudal setiap hendak memulai tulisan selalu mengawalinya dengan menyusun cerita dengan tulisan tangan dulu, baru kemudian ia ketik.
Niat kuat Raudal untuk menulis rupanya mampu mengalahkan keterbatasan yang ada. Saat remaja, proses kreatif Raudal banyak terinspirasi oleh sejumlah nama-nama pengarang ternama, seperti NH Dini, Citrawarsita, Motinggo Busye, Fredy S, dan JJ Sloerhoef.
Namun sayang, karya-karya yang ia hasilkan dulu, sekarang hanya hidup dalam kenangannya. Pasalnya, semua karya itu lenyap tanpa ia ketahui entah kemana. Setelah beberapa waktu berselang, ia pun sadar bahwa ternyata itu semua adalah titik awal proses kreatifnya dalam menulis. Kini, setelah ia merefleksi segalanya, ia baru sadar akan indahnya pengalaman dan proses kreatifnya dulu.
Di tanah rantau, Raudal banyak mengenang segala pengalaman kecilnya. Ia mulai menghidupkan lagi cerita ibu dan ayahnya yang gemar bercerita. Dari nostalgia itulah, Raudal menciptakan sebuah cerita. Tentunya ia menyesuaikan dengan keadaan saat ini.
Setelah keduanya digabungkan, ia pun memberikan sentuhan bahasa, tema, karakter, plot dan nilai-nilai estetik sastra lainnya sehingga nostalgia tersebut bisa menjadi cerita. Selanjutnya, Raudal memberikan unsur ekstrinsik agar cerita tersebut memberikan gairah pada pembaca.
Proses kreatif itulah yang menuntunnya menyusun kumpulan cerita pendek Parang tak Berulu (PTB). Raudal bercerita mulai dari mitos asal usul kelapa di kampung, ubun-ubun di kepala seorang anak, dan cerita lain yang ia dapat dari kedua orang tuanya.
Kumpulan cerita PTB memang berbeda dengan dua kumpulan cerpen lainnya, seperti Ziarah Bagi Yang Hidup (Matahari, 2004) dimana Raudal memberikan sentuhan yang seluruhnya fiksi alias surealis dan Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela) dimana Raudal menyuguhkan cerita yang separuh fakta dan separuh fiksi. Sementara dalam Parang Tak Berulu, Raudal mencoba cerita yang dibingkai lebih realis.
Selain Parang tak Berulu, karya Raudal yang sempat masuk final ajang penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2005 untuk kategori prosa dan puisi adalah Gugusan Mata Ibu (Bentang Pustaka). Setahun sebelumnya yakni pada tahun 2004, ia berhasil memperoleh penghargaan puisi terbaik Sih Award dari Jurnal Puisi dan Anugerah Sastra Horison untuk cerpen terbaik dari Majalah Sastra Horison. eti | muli, red