Ketua KPAI Pertama
Giwo Rubianto Wiyogo
[DIREKTORI] Giwo Rubianto Wiyogo dikenal sebagai perempuan pengusaha yang aktif dalam berbagai organisasi diantaranya Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang pertama untuk periode 2004 -2007 dan Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), 2014-2019.
Nama Sri Woerjaningsih mungkin terdengar asing di telinga, namun jika menyebut nama Giwo Rubianto Wiyogo tentu banyak orang mengenal sosok ini. Kala ia masih menjabat sebagai Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) periode 2004-2007, wajahnya sering menghiasi media massa baik cetak maupun elektronik. Setiap kali ada masalah yang menimpa anak-anak, wanita ini selalu muncul menjadi penengah. Dengan jabatan yang diamanatkan padanya saat itu, Giwo berusaha melindungi anak-anak dari segala macam bentuk tindakan kekerasan dan perselisihan orang tua.
Terlahir dalam keluarga yang berkecukupan, putri pasangan H. R. Wirjatmo dan Hj. Tahjaningsih ini melewati masa kecilnya penuh kebahagiaan. Ayahnya adalah seorang mantan polisi dan sempat menjadi direktur utama Damri dan PPD. Sedangkan ibunya aktif di berbagai organisasi sosial. Meski bernama asli Sri Woerjaningsih, Sang Ayah lebih suka memanggilnya dengan nama Giwo. Awalnya Sang Ayah memanggilnya Wu atau Wo, yang berasal dari Woerjaningsih dan memiliki arti sebagai nama kesayangan gadis Jawa. Lama kelamaan nama panggilannya itu berubah menjadi Giwo. Selain ayahnya, seluruh anggota keluarga serta teman-temannya pun menyapanya dengan nama Giwo hingga saat ini.
Tak hanya berkecukupan secara materi, kedua orangtua perempuan kelahiran Bandung, 8 Mei 1962 ini juga memberikan limpahan kasih sayang. “Masa kecil saya sangat bahagia,” kenang anak kedua dari empat bersaudara itu. Tak heran, hatinya mudah terenyuh jika mengetahui ada anak yang mengalami kekerasan atau hal-hal yang kurang menyenangkan. Atas dasar keprihatinan yang mendalam pada nasib anak-anak yang kurang beruntung itulah yang kemudian mendorongnya untuk berkecimpung di dunia anak-anak melalui KPAI.
Wanita kelahiran Bandung namun besar di Jakarta ini sejak kecil dikenal sebagai anak perempuan yang sangat aktif di berbagai kegiatan termasuk bergabung dalam organisasi di sekolah dan kampus. Pengalaman berorganisasi di masa lalulah yang turut menempa kemampuannya menjadi seorang pemimpin.
Bisa dibilang hidup Giwo nyaris sempurna, lahir dalam keluarga yang berkecukupan, kemampuan intelektual yang baik, serta dikaruniai paras yang rupawan. Maka tak heran sewaktu remaja, selain aktif berorganisasi, alumni SMUN 70, Bulungan ini sempat menekuni dunia modeling.
Meskipun disibukkan dengan aktivitasnya sebagai model, Giwo tak lantas melupakan pendidikan. Hal itu dibuktikannya saat ia mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikan dengan mengambil gelar Sarjana Pendidikan FPTK IKIP Jakarta (sekarang UNJ). Selama kuliah, Giwo juga aktif di kelembagaan senat mahasiswa dan kegiatan sosial kemahasiswaan lainnya. Ia juga mengambil jurusan Arsitektur Lansekap Universitas Trisakti dan lulus tahun 1989. Belum puas dengan pendidikan sarjananya, Giwo kemudian melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan mengambil jurusan Manajemen Pendidikan dan program doktoral (S3) di universitas dan jurusan yang sama.
Pada akhirnya, jiwanya lebih memilih untuk terjun di dunia anak-anak dan organisasi ketimbang harus menekuni dunia modeling. Pendidikan bagi perempuan satu ini memang menempati posisi yang cukup penting selain keluarga dan kegiatan di organisasi.
Selepas meninggalkan dunia modeling, untuk meneruskan usaha sang ayah, ia kemudian menjadi seorang pengusaha properti. Bersama suaminya, Ir. Rubianto Wiyogo, ia mendirikan sebuah grup perusahaan properti yang diberi nama PT Bumisatu Group. Sejak didirikan, grup perusahaan properti yang membangun banyak proyek ini berkembang pesat. Terakhir, ia merupakan Presiden Direktur dan Komisaris PT. Bumisatu Group, PT Wisma Bumisatu, PT Bumisatu Bali, PT Grya Agung Mandiri Sentosa, PT Masagi Mandiri, PT Bumisatu Indah dan PT Waringin Multicipta.
Pada tahun 1992, Giwo menderita sakit tipes yang kemudian menyebar menjadi penyakit liver dan hepatitis A. Kondisi kesehatannya pun semakin memburuk seiring dengan makin parahnya penyakit yang dideritanya. Untuk memulihkan kondisinya, ia membutuhkan waktu hampir satu tahun. Cobaan penyakit yang dideritanya itu rupanya membawa hikmah pada kehidupannya selanjutnya.
Dengan latar belakangnya sebagai pengusaha, Giwo mengaku, sempat meragukan kemampuannya memimpin KPAI. Namun berkat pembelajaran dan dorongan keinginan yang kuat untuk memperjuangkan nasib anak-anak Indonesia, ia pun akhirnya berteguh hati menerima kesempatan tersebut.
Giwo sadar bahwa dalam hidup, ia tidak boleh selalu mengejar kekayaan materi semata, melainkan banyak hal penting lainnya yang harus dikejar di dalam hidup, termasuk salah satunya dalam kehidupan sosial dan memikirkan kehidupan orang banyak.
Sejak saat itu, ibu empat putra ini memutuskan untuk membagi kehidupan kariernya sebagai pengusaha dan wanita yang aktif di dalam organisasi sosial. Organisasi pertama yang digelutinya adalah IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) sejak awal tahun 1990-an. Tak hanya perusahaan propertinya saja yang mengalami peningkatan, tapi kegiatan keorganisasian di IWAPI juga mengalami peningkatan seiring dengan dijabatnya Ketua IWAPI DPD DKI Jakarta periode 1994-1997.
Tawaran untuk menjadi ketua KPAI yang kala itu baru terbentuk datang ketika ia masih aktif di IWAPI. Giwo mengakui banyak pihak yang mendorong pencalonannya sebagai ketua KPAI. Berkat keinginan untuk lebih banyak membantu anak-anak dan juga dorongan dari banyak pihak, Giwo pun terpilih sebagai ketua KPAI dan ditetapkan berdasarkan Keppres No 95/M tahun 2004.
Dengan latar belakangnya sebagai pengusaha, Giwo mengaku, sempat meragukan kemampuannya memimpin KPAI. Namun berkat pembelajaran dan dorongan keinginan yang kuat untuk memperjuangkan nasib anak-anak Indonesia, ia pun akhirnya berteguh hati menerima kesempatan tersebut.
Setelah tiga tahun menjabat, persisnya pada tahun 2007, masa kepemimpinan Giwo di KPAI pun berakhir. Mengenai raihan kinerjanya selama memimpin komisi tersebut, dengan jujur Giwo mengaku bahwa ia sendiri belum merasa puas dengan kinerja kepemimpinannya. Tapi, dengan beberapa kasus yang ia tangani, ia berharap telah memberikan suatu perubahan yang cukup baik dalam KPAI.
Keputusan Giwo yang tidak ingin lagi menjabat ketua KPAI disesalkan oleh banyak pihak. Salah satu misalnya disampaikan oleh anak-anak yang sempat ia bantu. “Ibu kenapa nggak mencalonkan lagi,” begitu misalnya ucapan seorang anak terhadap Giwo. Mendengar ungkapan kehilangan dari anak-anak itu, Giwo mengaku merasakan kesedihan yang amat dalam. Tapi itulah keputusan yang dianggap paling baik diambil Giwo untuk saat itu.
Walaupun tak lagi menjabat sebagai ketua KPAI, Giwo tetap ingin berbuat sesuatu untuk anak-anak. Salah satu keinginannya adalah mendirikan sekolah untuk anak-anak terlantar. “Sekolah ini bebas biaya dan bernuansa Islami,” ujar Giwo. Buktinya, di daerah Purwakarta, berbagai fasilitas, seperti gedung dan masjid pun sudah dibangun.
Setelah tidak menjabat Ketua KPAI, Giwo terus aktif dalam berbagai kegiatan organisasi dan aktivitas sosial diantaranya Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) periode 2014-2019, Ketua Umum Gerakan Wanita Sejahtera, Ketua Umum YPWI ISWI (Yayasan Pendidikan Wanita Indonesia), Ketua DPD ISIKKI-IHEA DKI Jakarta Ikatan Sarjana Ilmu Kesejahteraan Keluarga Indonesia, dan anggota IALIA (Ikatan Arsitektur Lanskap Indonesia).
Selain itu, ada sisi lain dari diri Giwo yang perlu diketahui. Sebagaimana dikutip dari situs kowani.or.id, Giwo sangat mencintai binatang bernama kura-kura. Kecintaannya itu semakin terbukti setelah ia menerima penghargaan Rekor Muri ‘Koleksi 1001 Kura-kura’ pada tahun 2013.
Baginya, di balik kehidupan kura-kura tersimpan makna filosofis. Kura-kura selalu hidup berkelompok dan menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya. Kura-kura juga selalu berjalan maju ke depan, tidak pernah berjalan mundur. Ini artinya, bila kita punya masalah, harus mencari solusi bukan malah mundur atau lari dari masalah. Hal lain yang bisa dipelajari dari kura-kura adalah kebiasaan menyembunyikan telur-telurnya di dalam pasir. Hal ini memberi makna bahwa ketika kita sudah berbuat banyak atau menghasilkan sesuatu bukan untuk diumbar sehingga menjadi riya, tapi kita simpan rapat-rapat kebaikan tersebut. Bio TokohIndonesia.com | cid, red