
[DIREKTORI] Pada awalnya ia dikenal luas sebagai penari di Istana Negara yang sudah sering tampil di berbagai festival tari kesenian di dalam negeri maupun mancanegara termasuk tampil di depan sejumlah tokoh dunia seperti mendiang Lady Di, Bill Clinton, dan Corry Aquino. Selain sebagai penari, dosen Fakultas Seni Pertunjukan IKJ ini juga dikenal sebagai bintang film dan pemain sinetron.Â
Siti Nurchaerani Kusumastuti atau yang lebih dikenal dengan nama Nungki Kusumastuti lahir di Banda Aceh, 29 Desember 1958. Anak keempat dari lima bersaudara pasangan Sayid Warsito dan Siti Retnorini ini sudah belajar menari sejak usia lima tahun saat ia dan keluarganya menetap di Banjarmasin. Awalnya ia menari karena menuruti keinginan orangtuanya. Sang ayah berprofesi sebagai dokter yang kemudian menjadi tentara yang memang dikenal menyukai kesenian, sementara ibu Nungki di masa mudanya amat gemar menari Serampang. Kebiasaan itu jamak ditemui di keluarga Jawa yang masih memegang teguh tradisi. Maka dipanggillah guru tari ke rumah. Lama-lama Nungki menyenanginya dan jadi terbiasa.
Pada tahun 1967, Nungki dan keluarganya meninggalkan Banjarmasin untuk selanjutnya hijrah ke Jakarta. Di ibukota, saat masih duduk di bangku kelas 4 SD, ia kembali meneruskan kegiatan menarinya. Bersama salah seorang kakaknya ia tekun berlatih. Meski berdarah Jawa, Nungki pada saat itu enggan mempelajari tari Jawa, ia lebih memilih tari Bali. Sejak itu, ia aktif di sanggar dan kursus tari.
Setiap hari Minggu, orang tuanya mengantar Nungki berlatih menari di Sanggar Diahtantri, letaknya di belakang Sarinah. Nungki berlatih tari Bali sampai SMP. Kadang ia diajak manggung di Pulau Dewata, tempat asal tarian yang dipelajarinya itu. Tetapi kegiatan itu, tak lagi ia lakukan ketika mulai bersekolah di SMA Santa Ursula Jakarta.
Di sekolah yang terletak di samping gereja Katedral itu, Nungki aktif dalam beberapa kegiatan ekstrakurikuler terutama yang berhubungan dengan kesenian. Meski begitu, ia tak dapat menyembunyikan sisi lainnya layaknya remaja yang tengah mencari jati diri. Semasa sekolah, ia kerap membolos terutama pada saat jam pelajaran Bahasa Inggris.
Padahal Santa Ursula dikenal sebagai sekolah Katolik yang paling ketat menerapkan kedisiplinan. Namun Nungki tak kehabisan akal, tiap kali membolos, ia selalu mencari alasan untuk mengelabui suster penjaga pintu gerbang yang terkenal galak. Setelah lolos dari penjagaan, ia dan teman-temannya langsung bergegas ke Pasar Baru yang tidak jauh dari sekolahnya untuk sekadar jalan-jalan atau makan bakmi. Suatu ketika, seorang suster mencium aksi Nungki dan kawan-kawannya, mereka pun kemudian dikurung di sebuah ruangan. Penjara kecil-kecilan, begitu Nungki mengistilahkan hukuman tersebut. Tapi bukannya menyesal, mereka malah tertidur pulas di ruangan itu.
Sewaktu SMA, Nungki juga amat menggemari pelajaran hukum dan tata negara. Sehingga ia sempat bercita-cita menjadi seorang ahli hukum. Tetapi pada saat yang sama, Nungki juga berpikir untuk semakin mendalami tari.
Karena bingung, setamat SMA, sempat terlintas di benaknya untuk menekuni kedua bidang tersebut. Waktu itu sekitar tahun 70-an, sekolah hukum yang ngetop pada waktu itu adalah Unpad. Namun sayang, saat itu, universitas itu hanya diprioritaskan untuk orang-orang Bandung dan sekitarnya.
Nungki pun kecewa. Sedangkan masuk ke perguruan tinggi lain seperti Universitas Indonesia (UI), ia tidak berminat. Akhirnya ia memutuskan untuk masuk sekolah tari setelah mengutarakan keinginan itu pada orangtuanya. Meski mencintai seni, orangtuanya tetap meragukan pilihan Nungki tersebut. Mereka khawatir masa depan putrinya tidak terjamin dengan hanya mengandalkan profesi sebagai penari.
Berbekal ilmu yang didapatnya semasa kuliah, ibu dari Nurizka Aliya Hapsari ini mulai mengaplikasikannya ke dunia pendidikan dengan menjadi pengajar mata kuliah apresiasi seni pertunjukan dan literatur tari, di samping masih disibukkan dengan kegiatan syuting film dan sinetron.
Walaupun sempat ditentang, tekadnya tak lantas mengendur, ia kembali meyakinkan orangtuanya bahwa pilihannya untuk masuk sekolah tari tak hanya sekadar ingin menjadi penari saja, karena kalau hanya menjadi penari tidak perlu kuliah, cukup berlatih di sanggar. Waktu itu Nungki mengutarakan keinginannya untuk menjadi peneliti tari, alasannya sederhana saja, peneliti tari di Indonesia masih sangat langka.
Kebetulan jurusan penelitian tari baru saja dibuka di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang digagas oleh ibu Edy Sedyawati. Nungki pun mendaftar dan dinyatakan lolos menjadi mahasiswa Diploma Tiga Penataan Tari IKJ angkatan tahun 1977. Baru setahun menjalani hari-harinya di kampus, tawaran bermain film menghampirinya. Nungki memulai debutnya sebagai aktris figuran lewat film November 1828 yang disutradarai Teguh Karya.
Pada tahun 1981, ia berhasil merampungkan pendidikannya. Dua tahun kemudian, tak puas hanya menempuh pendidikan hingga jenjang diploma, istri Febrimanzah Lubis ini melanjutkan studi sarjananya di Jurusan Antropologi IKJ kemudian diteruskan hingga jenjang S-2 di Universitas Indonesia (UI).
Berbekal ilmu yang didapatnya semasa kuliah, ibu dari Nurizka Aliya Hapsari ini mulai mengaplikasikannya ke dunia pendidikan dengan menjadi pengajar mata kuliah apresiasi seni pertunjukan dan literatur tari, di samping masih disibukkan dengan kegiatan syuting film dan sinetron.
Selain itu, ia juga sempat menjabat berbagai posisi penting di dunia tari dan akademik seperti Direktur Indonesian Dance Festival, Ketua Bidang Program Forum Apresiasi Seni Pertunjukan ke Sekolah, Pimpinan Produksi, Humas, Ketua Bidang dana pertunjukan grup Padnecwara, Wakil Ketua Dekan I Bidang Akademik Fakultas Seni Pertunjukan IKJ, Sekretaris Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan dan Pengurus Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Nungki yang juga menurunkan ilmu tarinya ke putri semata wayangnya ini beberapa kali dianugerahi penghargaan atas dedikasinya di dunia tari salah satunya Citra Adhikarsa Budaya untuk pelestarian budaya Nusantara sebagai Wanita Berprestasi di Bidang Seni. eti | muli, red