
[DIREKTORI] Suara merdu, pembawaannya yang kemayu serta lirik yang jenaka dan dekat dengan kehidupan sehari-hari membuat hampir seluruh lagu-lagu Waldjinah mendapat tempat istimewa di hati masyarakat. Walang Kekek dan Jangkrik Genggong adalah dua dari sekian banyak tembang keroncong yang dipopulerkannya.
Pada dekade tahun 60-an, saat pemerintah Orde Baru mulai berkuasa setelah berakhirnya kekuasaan Bung Karno, perekonomian rakyat sedang mengalami masa resesi. Dalam keadaan serba sulit seperti itu, masyarakat kelas bawah terbuai mimpi untuk menjadi orang kaya mendadak dengan membeli undian bernama Nasional Lotere alias Nalo.
Di saat yang bersamaan, radio swasta mulai bermunculan di sejumlah kota dan radio transistor menggeser radio listrik. Di masa itulah muncul Waldjinah dengan lagu “Walang Kekek”. “Sebelum Nalo dibuka (diumumkan hasil undiannya), di radio itu diputar dulu ‘Walang Kekek’. Wah, ramai sekali. Sambil nunggu Nalo orang-orang itu terhibur,” kata wanita kelahiran Solo, 7 November 1945 itu seperti dikutip dari harian Kompas.
Walang Kekek direkam oleh perusahaan rekaman Elshinta, Jakarta tahun 1968. Alkisah saat Waldjinah sedang tampil di Hotel Indonesia, suara merdunya terdengar oleh Suyoso, bos Elshinta. Tanpa butuh waktu lama, pria yang biasa disapa Mas Yos itu langsung mengajak Waldjinah untuk masuk dapur rekaman.
Menurut Waldjinah, lagu yang berhasil melejitkan namanya itu tidak diketahui penggubahnya, ia hanya menciptakan liriknya yang berisi sindiran untuk diri sendiri. Saat menciptakan liriknya, ia banyak terinspirasi dari pergaulan hidup sehari-hari. Ia kerap memotret romantika kehidupan masyarakat secara komedik dan karikatural. Tidak sok menggurui atau memaki tetapi mengajak orang untuk berintrospeksi dengan cara jenaka dan menghibur.
Walang Kekek sebenarnya bukan rekaman pertama Waldjinah. Sebelumnya, ia sudah merekam suara merdunya pada tahun 1959 di bawah bendera Lokananta, sebuah label yang berlokasi di kota Solo. Saat itu, ia menyanyikan lagu Kembang Katjang yang dimuat dalam sebuah album kompilasi bersama dua penyanyi lain, yakni S Bekti dan S Harti. Di usianya yang ketika itu baru genap 14 tahun, ia menjadi penyanyi termuda di antara dua seniornya tersebut.
Lima tahun berselang, ia kembali merekam suaranya di Lokananta dengan menyanyikan sebuah langgam Jawa yang kemudian menjadi sangat terkenal, yaitu Yen Ing Tawang Ana Lintang karya Anjarani.
Terhitung sejak tahun 1968 hingga 1972, ia produktif membuat tak kurang 20 album dan hampir semuanya menjadi hits, seperti Jangkrik Jenggong, Ayo Ngguyu, O Sarinah, Mathuk Thok, Pak-e Thole, Tanjung Perak, Enthit, E Jamune, dan Sugeng Riyadi.
Kesempatan untuk membuat album solo dengan namanya sendiri baru datang di tahun 1967, yaitu album Ngelami-lami yang memuat lagu Langensari. Barulah sesudah itu, namanya benar-benar mencuat setelah merilis lagu Walang Kekek.
Terhitung sejak tahun 1968 hingga 1972, ia produktif membuat tak kurang 20 album dan hampir semuanya menjadi hits, seperti Jangkrik Jenggong, Ayo Ngguyu, O Sarinah, Mathuk Thok, Pak-e Thole, Tanjung Perak, Enthit, E Jamune, dan Sugeng Riyadi.
Dalam lagu-lagunya, putri Wiryo Rahardjo ini juga banyak menyentil persoalan asmara, hubungan keluarga antara pasangan suami istri, serta ketidaksetiaan. Tak jarang ia bahkan menyinggung soal poligami, seperti dalam salah satu tembang gubahannya yang berjudul Tepo Tulodo.
“Saya memang antipoligami. Sakit lho, perempuan yang ditandingkan itu. Laraning lara (sakitnya sakit) dari seorang perempuan itu kalau diduakan, ditandingkan dengan perempuan lain. Saya enggak percaya kalau perempuan merasa bahagia dipoligami. Hatinya kan nggerus (tergerus),” kata Waldjinah.
Lewat lagu itu, ia hendak menyampaikan pesan kepada kaum hawa agar menjadi perempuan yang cerdas dan mandiri, jangan hanya bergantung hidup pada orang lain. Lagu itu cukup menggambarkan keberpihakan yang jelas dari seorang Waldjinah pada kaumnya.
Selain lewat radio, Waldjinah juga kerap menyapa penggemarnya secara langsung karena ia sering tampil di depan khalayak dari kampung ke kampung, dari panggung ke panggung. Berbagai pengalaman unik dan menarik saat manggung pun kerap dialaminya. Salah satunya pada saat ia tampil di Purwokerto. Saat itu lagu Walang Kekek tengah digemari masyarakat, saking antusiasnya para penonton mencubitinya sehingga kebayanya robek. Terpaksa Waldjinah masuk kamar, mengganti kebayanya dan merapikan sanggulnya, lalu melompat lewat jendela belakang menuju panggung.
Jika ditanya darimana bakat menyanyinya ia dapatkan, bungsu dari sepuluh bersaudara ini akan langsung menjawabnya, “Alam”. Selain itu, bisa jadi ia secara tak langsung banyak belajar dari sang ibu yang selalu mengantarkan tidur anaknya dengan tembang-tembang. “Sejak kecil kalau mau tidur, saya dininabobokan dengan tembang-tembang macapat. Saya inget sekali tembang “Dandang Gula” yang sering dinyanyikan ibu. Itu mengapa sejak kecil saya suka sekali nembang macapat. Waktu kelas empat SD, saya juara pertama lomba nembang di Solo,” ujarnya.
Waldjinah juga menuturkan, ketika masih berumur 12 tahun, dia sudah memegang juara II Bintang Radio Republik Indonesia (RRI) Solo pada 1958 dan pada umur 14 tahun ia berhasil merebut juara harapan pertama Lomba Bintang Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta.
Kemampuan menyanyi Waldjinah pertama didengar oleh kakaknya, Munadi, yang memang seorang penyanyi keroncong. “Saya kalau mandi kan sambil nyanyi. Kakak saya dengar. ‘Lho kowe kok iso’ nyanyi keroncong – kamu kok bisa menyanyi keroncong,” kata Waldjinah menirukan keheranan sang kakak.
Dari situ ia banyak dibimbing dan diajak latihan. Waldjinah berkisah, kalau latihan, ia harus melompat jendela lalu digendong kakaknya. Ia latihan dari kampung ke kampung yang mempunyai kelompok orkes keroncong. Saat itu usianya baru menginjak 12 tahun tapi sudah jadi penyanyi. Dari honornya menyanyi, ia sudah dapat membantu perekonomian keluarganya. Sang ayah yang tadinya kurang suka melihat putri bungsunya menjadi penyanyi pun akhirnya merestui.
Ia juga mengaku tak pernah belajar vokal secara khusus untuk mengasah kemampuan vokalnya. Ia hanya banyak belajar dengan cara mendengarkan radio. Maryati dan Sayekti adalah nama-nama penyanyi idola Waldjinah yang lagunya sering diputar di RRI Solo, dari keduanyalah ia banyak menimba ilmu. Nama lain yang tak kalah berjasa bagi perkembangan karirnya adalah maestro keroncong, almarhum Gesang yang telah berpulang pada tahun 2010.
Sedangkan cengkok Jawa yang menjadi ciri khasnya merupakan pengaruh dari kebiasaannya menembang macapat semasa kecil. Selain itu, ia juga sangat akrab dengan olah vokal pada karawitan Jawa. “Saya juga belajar dari Nyi Podang. Saya seneng banget dengan suaranya. Dari Nyi Podang, saya belajar gregel (kelak-kelok suara),” kata Waldjinah menyebut nama pesinden yang suaranya terkenal lewat siaran karawitan di RRI Solo.
Ia juga sering didaulat menjadi pengisi acara di pagelaran wayang kulit. Meski demikian, ia menolak jika disebut sebagai pesinden. “Di wayang kulit posisi saya bukan sebagai pesinden, tapi bintang tamu yang menyanyi langgam,” tutur ibu empat anak ini. Alasannya, ia tak mau cara menyanyi langgamnya rusak karena artikulasinya berbeda dengan menyinden.
Di penghujung tahun 80-an, saat pagelaran wayang kulit memerlukan pembaruan kemasan, Waldjinah ikut dilibatkan. Sejumlah pemerhati wayang kulit kala itu berkumpul di rumah dalang Ki Anom Suroto di Kampung Notodiningratan, Solo. Waktu itu Gubernur Jawa Tengah, Ismail, ingin agar wayang ditonton anak muda. Terobosan baru pun dilakukan, salah satunya dengan menghadirkan bintang tamu. Nama Waldjinahlah yang pertama kali terpilih sebagai bintang tamu.
Pada pementasan wayang kulit, ia tak hanya menyegarkan suasana tapi juga turut memberi kontribusi perubahan dalam dunia persindenan, antara lain mengajak para sinden untuk berdandan agar menarik dilihat penonton. Perubahan lain yang dibawa Waldjinah adalah pada posisi duduk pesinden. Saat harus tampil sebagai bintang tamu, Waldjinah sengaja membawa dingklik (sejenis tempat duduk kecil). Dingklik itu ia tutupi kain supaya tidak memalukan. Sejak itu banyak pesinden menggunakan dingklik.
Untuk melestarikan langgam Jawa dan lagu-lagu keroncong, ia tak pelit untuk menularkan ilmunya kepada generasi muda. Dengan penuh ketulusan dan antusiasme, ia ingin menyebarkan keroncong, musik yang ia yakini berakar pada budaya Tanah Air itu kepada siapa saja.
Joanna Dudley, seorang penyanyi asal Australia yang bermukim di Jerman, adalah salah seorang muridnya. Dudley bahkan mengatakan sang guru yang telah mengajarnya selama empat tahun itu bukan hanya superstar, tapi juga master.
Istri dari Hadiyanto ini juga memberikan pelatihan bernyanyi keroncong untuk anak-anak usia sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas di rumahnya. Menurutnya, keroncong memang tidak seperti rock, pop, atau dangdut yang serba keras. Tapi keroncong itu memesona dan menghipnotis. Orang yang sedang marah setelah mendengar keroncong yang halus dan suara penyanyi yang merdu bisa menjadi tenang.
Meski begitu, ia memang tak sepenuhnya menutup mata bahwa kini zaman telah berubah. Keroncong serta langgam tak lagi mendapat tempat di blantika musik atau media, seperti radio dan televisi seperti puluhan tahun yang lampau. “Keroncong sekarang kalah karena dianggap tidak komersial. Kalau mau rekaman orang lihat dulu nilai komersial, bisa laku nggak. Padahal, sekarang ini apa yang laku di televisi akan disukai orang banyak. Tak kenal, maka tak sayang kan. Tapi keroncong tidak dapat tempat di televisi,” kata penyanyi yang namanya tersohor hingga ke Suriname dan Jepang ini. Waldjinah justru heran dengan negeri tetangga Malaysia yang lebih bisa menghargai keroncong, sementara di negeri sendiri keroncong kian terlupakan.
Penyuka warna pink, orange, dan hitam ini juga amat prihatin melihat cara pandang sebagian pihak tentang kesenian yang hanya memandang wajah dan penampilan, sementara kualitas suara menjadi nomor kesekian. Meski demikian, wanita yang mengaku hanya tamatan SMP ini tetap optimis keroncong dan langgam akan terus digemari. Sebagai penyanyi keroncong dan langgam senior, kiprahnya selama puluhan tahun banyak mendapatkan apresiasi, antara lain Anugerah Seni Jateng 2002, Penghargaan Putri Solo dari Paku Buwono XII 2003, dan Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia 2006.
Di usia yang sudah tak muda lagi, hasrat nenek lima cucu ini untuk terus berkarya tak kunjung surut. Hingga tahun 2000, ia sudah menghasilkan sedikitnya 100 album dari berbagai label dan menyanyikan sekitar 1600 lagu. Banyak di antara albumnya dibuat dengan iringan Orkes Keroncong Bintang Surakarta yang dipimpinnya sendiri. Hingga kini album-albumnya masih terus diproduksi. Ia juga masih memendam obsesi lain yakni mendirikan sekolah khusus keroncong. Ini disulut kekhawatirannya jika suatu saat aliran musik yang telah membesarkan namanya ini akan benar-benar punah.
Walaupun semangatnya tak kalah dengan orang-orang muda, penggemar cerita silat karya Kho Ping Ho dan SH Mintardja ini tentunya tak dapat melawan suratan takdir yang sudah digariskan Sang Khalik, salah satunya dari serangan penyakit. Pada pertengahan Mei 2010 ia sempat dirawat di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Menurut diagnosa dokter, Waldjinah mengalami gangguan pada ususnya akibat kecapekan. Ia bahkan harus melakukan transfusi darah sebanyak empat botol. eti | muli, red
Lestarilah keroncong ! Jangan surut hadapi pandangan rendah publik atas keroncong ! Biarkan yang tak bisa hayati keindahan keroncong !