Pengabdian Pastor Desa
Vincentius Kirdjito
[DIREKTORI] Vincentius Kirdjito, yang dipanggil akrab Lik Kir, seorang pastor desa yang mengabdikan diri di tengah komunitas masyarakat lereng Gunung Merapi. Sehari-hari dia memimpin Paroki Kecamatan Dukun yang mempunyai umat Katolik di sejumlah desa: Sumber, Grogol, Tutup Ngisor, Tutup Duwur, Juwono, Bandung, Pathen, dan lain-lain di sisi barat Gunung Merapi.
Lik Kir secara tetap bermukim di Pastoran Gereja Santa Maria, Dusun Sumber, dan secara periodik memimpin ibadat di Gereja Gubug Selo Merapi, Dusun Grogol, Mangunsoko, Kecamatan Dukun, yang baru saja direhabilitasi menjadi gereja desa dengan bangunan terbuka.
Dilahirkan sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara (lima perempuan, tiga laki-laki), Lik Kir mengaku benar-benar sebagai anak desa. Orangtuanya, almarhum Hilarion Kromo Prawiro dan (ibunya) Maria Padinem adalah petani kecil di Dusun Boro Gunung, Kulon Progo, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta.
Ia adalah satu-satunya rohaniwan di lingkungan keluarganya. Karena itu, posisinya sebagai pastor desa di tengah komunitas masyarakat lereng Gunung Merapi bukanlah sebuah lingkungan yang asing baginya.
Lulus dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Indra di Bandung (Jawa Barat) tahun 1972, Lik Kir sempat menjadi guru selama tiga tahun di SD Kristus Rex, Nggedangan, Semarang, Jateng. Dari sana ia memilih meneruskan pendidikan imamat di Seminari Mertoyudan Magelang dan selanjutnya menyelesaikan pendidikan tinggi di Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta, tahun 1984.
“Tugas saya sebagai imam itu kan menumbuhkan inklusivitas, keterbukaan, dan berjuang dengan semua orang yang berkehendak baik untuk menciptakan tata masyarakat yang adil dan manusiawi,” kata Lik Kir yang beberapa tahun ikut membina petani organik di Kecamatan Tegalrejo, Magelang. Di sana ia kemudian akrab dengan Gus Yusuf, pemimpin Pondok Pesantren Tegalrejo.
Dengan bekal keterampilan pertanian, khususnya pertanian organik dari Romo G Oetomo dari Ganjuran, Bantul, serta visi dan praksis bermasyarakat yang mengutamakan pendekatan humanisme yang dipelajarinya dari guru dan idolanya, budayawan YB Mangunwijaya (almarhum), Lik Kir mengaku, ia harus belajar dari tahap ke tahap, dari satu situasi ke situasi lain, yang selalu saja berbeda kondisinya.
Tahun 2002, dalam perayaan misa Natal, umatnya membuat semacam happening art berupa “pocongan” menjelang misa suci. Ia sempat melonjak kaget, tapi kemudian bisa menerima ekspresi iman yang unik dan khas orang desa seperti itu. “Mereka mengatakan, tema Natal “Kami Menunggu Kedatangan-MU”, bagi petani sebagai sesuatu yang nyata. Petani menunggu kesejahteraan itu sampai mau mati, sampai mau jadi pocong (mayat),” kata Lik Kir.
Di tengah komunitas masyarakat Merapi-terutama karena keberadaan Komunitas Seni Cipto Budoyo, Dusun Tutup Ngisor pimpinan Sitras Anjilin dan keluarganya yang begitu melembaga secara turun-temurun di sana- seni budaya, apa boleh buat, ternyata jumbuh, sinkron, dengan bahasa petani.
“Saya merasakan ‘bayang-bayang’ atau ‘bayangan’ kita sebagai masyarakat dari agama ini atau agama itu, sering justru merusak hubungan antarmanusia untuk bermasyarakat, dan saling belajar dari masyarakat lain. Terus terang, di sini kabudayan, seni, itu benar-benar hidup dan menjadi tempat pertemuan semua orang dari berbagai agama. Seni bukan nomor satu, tapi seni menjadi sarana paguyuban, sarana membina kerukunan antarwarga,” katanya.
Lik Kir, lama-kelamaan kemudian meyakini, penghayatan iman yang paling bener ialah penghayatan dengan srawung, dengan terlibat pada persoalan dan dinamika masyarakat luas, dan berusaha menemukan jawaban bersama-sama. Bukannya menurut sudut pandang kita, atau melulu menurut sudut pandang keyakinan atau agama kita sendiri. Karena itu, hingga kini ia sungguh-sungguh nglangut, bertanya- tanya secara mendalam terhadap salah satu bagian dari doa “Bapa Kami”: jadilah kehendak-Mu di atas Bumi seperti di dalam surga.
“Itu lho, jawaban anak SMP di pinggir kali saat saya ke Belanda itu sungguh dahsyat. Menurut saya itulah iman yang konkret. Bagaimana agar agama, juga hukum, benar-benar dimengerti secara konkret esensinya,” katanya.
Meski sebagian besar masyarakat kini terancam hidupnya, dieksploitasi dan menderita karena hidup di tengah masyarakat yang rusak karena korupsi, dan haus kekuasaan, Lik Kir yakin kehadiran Tuhan lewat para nabi adalah teladan bahwa kehidupan memang bukan hanya bersisi kegembiraan, tetapi juga penderitaan. Dan masyarakat secara bersama berusaha memperbaiki tata kehidupan yang tidak manusiawi dan tidak berkeadilan itu. TI