Potret Cendekiawan Kristiani
Th. Sumartana
[DIREKTORI] Bogor 24/01/03: Dr. Th. Sumartana yang dikenal sebagai cendekiawan Kristiani dan Dosen Universitas Satya Wacana Salatiga, meninggal dunia secara mendadak saat santai baca koran di ruang tengah sebuah hotel di Wisma Daerah Gadog, Kabupaten Bogor, Jumat 24/01/03 petang pukul 18.00. Ketua Badan Pengurus Demos (sebuah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi) itu bersama 11 orang pengurus lainnya ejak hari Kamis sedang membahas program kerja Demos.
Setelah terkulai di kursinya, sejenak dibawa ke dalam kamarnya kemudian dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Ciawi Bogor. Namun nyawanya sudah tak tertolong,” kata Asmara Nababan, Direktur Eksekutif Demos yang ikut mengantar ke RS Ciawi bersama beberapa pengurus lainnya. Jenazah langsung dibawa ke kediamannya di Jalan Merdeka Utara I/A 5-6 Sidorejo Lor Salatiga dan dimakamkan di Pakem, Yogyakarta.
Th. Sumartana, lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah, 15 Oktober 1944. Direktur Yayasan Dialog Antar Iman (Dian) ini, lulus Sarjana Teologi dari Sekolah Tinggi Theologi Jakarta, tahun 1972, dan studi dialog antaragama di Geneva (1972-1973). Memperoleh gelar Ph.D. pada jurusan Misiologi dan Perbandingan Agama, Freij Universiteit, dengan judul disertasi Mission at the Cross Road. Pernah bekerja sebagai Redaktur Teologi pada BPK Gunung Mulia (1972-1975), sebagai staf Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, Jakarta (1975-1982). Tahun 1991-1995, sebagai pengajar tetap pada Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Cendekiawan Kristiani ini seringkali menyoroti perihal kesibukan berteologi yang kurang peka terhadap tanda-tanda zaman. Dalam sebuah tulisan bertajuk “Theologia Religionum: Sebuah Pengantar” ia mengemukakan kesibukan berteologi kita sekarang ini terasa kurang terarah. Mungkin, karena kita kurang merumuskan persoalan dengan jelas, atau bisa juga karena soal yang kita pergumulkan kurang mempunyai pijakan pada kenyataan kehidupan. Kesibukan kita kurang peka terhadap tanda-tanda zaman. Sehingga, teologi kita tidak punya komitmen yang sungguh-sungguh terhadap masa depan.
Kecuali itu, katanya, dalam lingkungan akademis, teologi kita juga tak punya referensi pada perkembangan ilmu-ilmu sosial pada umumnya, sehingga perspektif berpikirnya cenderung berpusing-pusing mengitari diri sendiri. Di sana-sini sekadar sebagai ungkapan yang merupakan pergumulan sepenggal, tidak utuh, dan tidak mempunyai gaung yang mampu merangsang orang untuk memberikan tanggapan.
Cendekiawan Kristiani ini seringkali menyoroti perihal kesibukan berteologi yang kurang peka terhadap tanda-tanda zaman.
Sebenarnya perlu kita akui, bahwa ada cukup banyak fragmen yang terserak-serak, yang merupakan buah pikiran reflektif sesaat, namun belum dipadukan dalam sebuah susunan yang menyatu.
Dalam keadaan “impasse” semacam itu diperlukan pemikiran terobosan yang bisa ditawarkan sebagai sebuah kemungkinan pengganti. Sebuah alternatif guna mengawali komitmen berteologi yang berangkat dari pengalaman nyata. Dan dengan demikian, lebih punya kemungkinan untuk ditumbuhkan menjadi sebuah diskursus, untuk merangkai usaha berteologi lebih utuh dan berkesinambungan.
Agama Tereduksi Kepentingan Elit
Setiap agama diturunkan Tuhan dalam keadaan fitrah serta mengandung nilai universal. Akan tetapi hanya hasrat disertai kepentingan manusia (self of interest), mengakibatkan universalitas agama menjadi bias maknanya saat diterjemahkan umat. Sudah barang tentu distorsitas nilai agama yang universal ini, akan mereduksi substansi agama itu sendiri.
Hal ini dikemukakan Direktur Institut Dialog Antar Iman di Indonesia (Institute For Inter-Faith Dialogue in Indonesia (interfidei) Dr TH Sumartana ketika diwawancarai oleh harian Manado Post.
Tentang tereduksinya nilai agama, Th Sumartana menganalogikannya seperti terjadinya gerhana matahari. Dimana cahaya matahari seperti ditutupi oleh bayangan lain sehingga sinar aslinya tidak kelihatan. “Substansi agama yang luhuriah menjadi tereduksi di bawah kepentingan elit agama, elit politik,” tutur teolog asal Jogya yang datang ke Manado atas undangan Yayasan Serat Manado.
Lanjut salah satu tokoh pluralisme Indonesia ini, akibat dari pereduksian nilai kefitrahan agama adalah membuahkan konflik komunalitas antar dua agama di Indonesia. Apalagi kalau keterlibatan negara luar, yang secara sengaja memanfaatkan sikap fanatisme umat terhadap doktrin agamanya akan lebih mempertajam ruang konflik, dimana agama dijadikan komoditas semata.
Selanjutnya, dalam jiwa masing-masing penganut agama, sejak dulu telah tertanam memori kolektif akan pertentangan dua agama. “Ini menjadi beban sejarah bangsa kita hari ini, supaya bisa menghilangkan ingatan sejarah konflik tersebut,” tandas Sumartana dengan tenang.
Untuk itu, Dr Sumartana memberikan sebuah jembatan perenungan, tentang hadirnya agama untuk manusia. Menurutnya, agama harus kembali memfokuskan sebagai penolong manusia. Seperti peran agama untuk mengembalikan kesadaran batiniah manusia agar dapat keluar dari kemelut, kebencian dan lingkaran setan yang menyelimuti umat. “Akibat saling curiga di antara penganut agama yang berbeda, maka umat tidak mampu menerobos kebuntuan hidupnya,” ujar cendekiawan yang malang melintang mengusung teologi inklusif di Indonesia ini.
Selanjutnya, Sumartana mengingatkan, apabila konflik tidak bisa direduksi sesegera mungkin, maka ini akan mempengaruhi nilai universalitas agama yang inklusif.
Pluralisme Sebagai Penopang Kebangsaan
Tokoh pluralisme ini pada awal reformasi sempat masuk partai, yakni Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini sempat membuat teman dekatnya (Asmara Nababan, mantan Sekjen Komnas HAM, Direktur Eksekutif Demos), saat diwawancara Burhanuddin dari KIUK, heran dan sempat terbahak-bahak, lantaran merasa lucu. Sebab, Asmara tak bisa membayangkan Sumartana akan menjadi politikus. Setelah bertemu dan dikonfirmasi apa maksudnya masuk partai politik, rupanya, dia memahami partai politik secara lain, dan mendefinisikannya sebagai forum dialog. Jadi motivasi utamanya, (ingin) melihat PAN sebagai forum di mana berbagai aktivis – dengan berbagai latar belakang agama – bergabung dalam satu partai. Dia sekaligus ingin memanfaatkan itu sebagaai suatu forum untuk dialog. Dari berbagai sumber, antara lain pgi.or.id, glorianet dan islamlib.com. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com
Artikel Lain: