Harta Berharga Kolektor Senior
Munir Darwis
[WIKI-TOKOH] Putaran bisnis barang antik kolektor Munir Darwis bernilai miliaran rupiah. Namun sepotong kenangan ternyata jauh lebih berharga.
Ruas jalan di kawasan Kebon Sirih hingga Menteng, Jakarta Pusat, mulai lengang dari kemacetan, Kamis (1/7). Sudah pukul 21.05 WIB, dan kota temaram.
Di Galeri Djody Art Curio, Munir Darwis terlihat tidak tenang. Pendiri galeri yang juga dikenal dengan nama Munir Djody itu mondar-mandir di ruangan sekitar 600 meter persegi. Sesekali opa berambut perak itu beranjak untuk duduk di kursi, berdiri tegak, dan kembali duduk. Menjelang pembukaan Jakarta Art Curio and Antique Fair pada 2-11 Juli 2010, nyata terlihat ia ingin semua persiapan sempurna.Di luar ruangan, beberapa pekerja juga tampak sibuk merapikan benda-benda kuno yang berumur di atas 100 tahun. Mereka harus berhati-hati karena benda-benda itu cukup sensitif.
Apalagi, keramik, piring kuno, dan lukisan yang harganya mencapai miliaran rupiah itu tergolong barang mudah pecah.Jarum jam terus berdetak. Sejurus kemudian, kolektor senior itu mulai memperlihatkan ratusan koleksi kuno miliknya yang berbahan dasar perunggu, keramik, dan kayu. Barang-barang antik yang terbuat dari keramik meliputi tegel tua, gebyok, mebel antik, perabot antik, hingga piring kuno. Sementara yang terbuat dari perunggu di antaranya meja, teko air, lampu (dian), ornamen kuda dan ayam, uang, serta kapak. Begitu pula yang berbahan kayu meliputi ukiran patung, wayang, lemari, peti, dan topeng.
“Khususnya piring, saya kumpulkan dari negara-negara Asia. Adapun perunggu, saya dapat dari beberapa relasi di dalam maupun luar negeri. Eranya berbeda-beda dari abad V hingga XV,” ujar Munir yang sudah menggeluti bidang ini puluhan tahun.Semakin tua barang, kata Munir, akan semakin bervariatif pula nilai jualnya bergantung pada permintaan. Dia mencontohkan sebuah tempat tidur kayu berwarna kecokelatan peninggalan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) antara 1680 dan 1792.Tempat tidur itu saya beli di Ambon Rp20 juta dari seorang teman. Ini barang dari zaman VOC, jadi sangat langka. Sekarang, ditawarkan Rp427 juta. Tapi sebenarnya, nilai jual barang-barang antik bergantung pada permintaan. Bisa saja saya tawarkan hingga miliaran rupiah,” ujar Munir.
Akibat dari harga tanpa standar dan nilai yang menggiurkan, pemalsuan barang-barang antik makin menjadi-jadi. “Tidak sedikit barang-barang palsu yang menyerupai bentuk asli. Harganya pun sangat murah. Tempat tidur zaman VOC itu saja sudah ada tiruannya, jadi harus hati-hati,” ujar ayah dari lima anak itu.
Jatuh cinta
Munir telah mencintai barang antik sejak usia belasan. Kecintaannya itu tidak lepas dari masa bertumbuhnya di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada masa pendudukan Jepang. “Saat itu, saya ke Bukittinggi umur 8 tahun, belum begitu tahu kalau ada invasi Jepang. Selama 6 tahun di sana, saya jadi belajar budaya dan adat istiadat Minang,” paparnya.Pada 1955, dia sempat menempuh pendidikan selama dua tahun di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sayangnya, Munir tidak punya biaya sehingga ia harus berhenti di tengah jalan. “Mau apa lagi, pada masa itu biaya orang tua juga pas-pasan untuk makan sehari-hari.
Ya, terpaksa niat saya urung untuk menjadi ahli hukum. Saya tidak menyesal karena waktu itu pernah krisis juga,” kenangnya.Di pertengahan 1959, Munir sempat bekerja sebagai buruh kasardi perusahaan tekstil, yakni PT Rata Textil. Namun, dia hanya bertahan 3,5 tahun. Upah kerja yang minim pada saat itu memaksanya untuk hengkang.
Pada 1961, Munir serius menggeluti bisnis barang antik. Pada awal usaha, lelaki yang telah mengecap kehidupan di tiga zaman yaitu penjajahan, revolusi, dan reformasi, itu berkelana sampai ke Indonesia bagian timur. “Era revolusi, barang yang beredar di Ibu Kota cukup minim. Jadi saya sudah menyusuri beberapa kota di Jawa hingga ke Ambon untukmendapatkan barang-barang tersebut,” tutur pria berdarah Minangkabau itu.
Setelah mendapatkan berbagai barang antik, dia langsung menawarkan kepada beberapa kolektor dengan mengayuh sepeda ontel. “Mereka (kolektor lokal) sering menawarkan dengan harga yang murah. Untunglah, ada menir-menir Belanda yang tinggal di kawasan Menteng dan sekitarnya. Mereka menghargai barang-barang saya dengan harga lumayanlah,” kisahnya.Perjuangan untuk berbisnis barang-barang antik itu tidak mudah. Namun, Munir percaya kerja keras dan tekad bulat bisa mewujudkan impiannya. Betul saja, pada 1964 Munir mendapatkan kesempatan untuk mengikuti New York World Fair di Amerika Serikat. Kesempatan itu tidak ia sia-siakan. Enam tahun berselang, dia juga berpartisipasi pada ajang yang sama di Osaka Fair, Jepang.
“Saya sempat bersama istri tinggal selama 6 bulan di Jepang. Kesempatan itu tidak kami sia-siakan untuk mempromosikan barang antik seperti wayang solo dan parung bali. Ternyata cukup laris dan dicari orang asing,” lanjutnya seraya menikmati setangkai jambu air.Meski berdagang. Munir tenyata tidak selalu melepas barang-barang koleksinya. Baginya harta tidak selalu berwujud materi, tapi juga kenangan. “Saya juga membeli barang-barang antik seperti piring-piring yang terbuat dari keramik. Tapi hingga kini, saya masih menyimpannya dengan rapi. Ada kenangan-kenangan manis selama di sana sehingga saya tidak mau menjualnya,” ujarnya, tenang. (M-4) e-ti
Sumber: Media Indonesia, Selasa, 6 Juli 2010 | Penulis: Iwan Kurniawan