
[WIKI-TOKOH] “CUT! Kamu jangan terlalu cepat ngomongnya. Ini kan inti dari seluruh cerita, nanti penonton nggak bisa paham artinya,” kata Tya Setiawati kepada seorang pemain teater yang sedang berada di atas panggung di ruang pertunjukan Goethe Haus, Jakarta, Kamis (15/4) sore.
Sutradara perempuan itu hanya punya beberapa jam untuk memimpin geladi resik sebelum lakon Tiga Perempuan pentas di malam hari. Pada pementasan itu, Tya juga berperan sebagai Ipah, satu dari tiga perempuan Minangkabau seperti yang dimaksud dalam judul cerita.
Wajah Tya terlihat tegas. Tangannya terlipat di dada. Sesekali tangannya bergerak ke sana kemari saat berdialog dengan para pemain. Sepanjang geladi resik, Tya yang mengenakan kaus hitam bertuliskan ‘Tiga Perempuan’ dipadu celana jins itu jarang terlihat tersenyum. ”Saya memang seperti ini kalau sedang latihan,” ujarnya.
Tiga perempuan mengacu pada seorang ibu yang berprofesi sebagai padendang (semacam sinden dalam masyarakat Jawa), Ipah yang mengabdi kepada suami, dan perempuan muda yang serba modern. Ketiganya terikat satu darah.
Banyak kritik sosial yang Tya tumpahkan dalam pementasan berdurasi 57 menit tersebut. Salah satunya adalah eksistensi perempuan dalam dunia kesenian masyarakat Padang yang tidak jarang dipandang negatif.
”Padendang dalam cerita ini berjuang untuk mempertahankan eksistensi dalam berkesenian di masyarakat,” ucap Tya selepas geladi resik.
Selain perihal eksistensi perempuan, Tya sedang menggugat sistem matriarkat yang berkembang di masyarakat Minangkabau. Tya menilai sistem itu harus dikaji kembali terkait dengan peranan dan hak perempuan di dalamnya. “Saya termasuk orang yang tidak terima dengan sistem yang menindas perempuan Minangkabau ini. Namun, yang saya gugat ialah sistem, bukan subjek kaum laki-lakinya,” kata Tya menegaskan.
Bangun optimisme
Dari kisah Tiga Perempuan, tampak bahwa Tya menaruh perhatian besar terhadap kaum perempuan Minangkabau. Sejak kali pertama berkiprah di dunia teater, Tya selalu mementaskan persoalan perempuan yang muncul secara alami sebagai bagian dari persoalan sosial. Dia menempatkan gender sebagai cara untuk menghadapi persoalan lain yang lebih umum, bukan sekadar isu.
Sepuluh tahun silam, Tya menyutradarai kisah Pelayan- Pelayan yang diadaptasi dari sebuah naskah asal Prancis.
Empat tahun kemudian, pada 2005, muncullah keinginan untuk mencoba menulis naskah teater tentang perempuan. Lahirlah karya berjudul Dekonstruksi Perawan. Lakon itu dipentaskan di delapan kota di Indonesia. Sejak saat itu, nama Tya mulai diperbincangkan.
Aksi Tya berlanjut, dia terus menelurkan karya-karya bertemakan perempuan. Antara lain Bumi Perempuan di 2005, dengan seluruh pemain yang adalah perempuan memangkas habis rambut masing-masing, Ketika Sel dan Tulang Bekerja tahun 2007, hingga Tsunami- Tsunami pada 2008.
Lewat teater, Tya berupaya menggugah kesadaran dan membangun optimisme perempuan melalui karya-karyanya. ”Terutama setelah berkeluarga, sensitivitas saya tentang perempuan semakin terbangun. Saya tahu betul apa yang dirasakan perempuan. Saya juga merasakannya kok,” ucap ibu tiga putra ini.
Dia ingin perempuan bisa tegar menghadapi peliknya kehidupan. “Saya pernah menyaksikan sebuah kejadian saat ibu saya berada dalam keadaan tidak berdaya,” kata Tya dengan mata yang tertuju ke lantai.
“Menjadi perempuan yang kuat itu kan modal untuk mencapai semua yang kita mau. Jangan cuma bilang ‘ya sudahlah’, ‘mungkin sudah takdir’, atau ‘enggak apa-apa’,” ujar Tya seperti menggugat.
Butuh sensitivitas
Tya berdarah Sunda. Namun, 10 tahun belakangan, ia tinggal di Padang mengikuti suaminya yang tengah bertugas di sana.
Tya mengaku menyimpan sedikit kekaguman tentang daerah yang bukan tanah kelahirannya itu. “Minang dulu terkenal sebagai tempat asal seniman-seniman wanita. Salah satunya Rohana Kudus. Sekarang sudah sangat jarang, bahkan tidak ada,” sesalnya.
Keprihatinannya tak hanya tertuju pada suku Minangkabau yang kini jarang mencetak sastrawan atau seniman perempuan. Dunia kesenian Indonesia pun, menurutnya, terhitung lambat untuk menghasilkan perempuan yang berkecimpung di dunia sutradara teater seperti dirinya. “Kita mengenal Ratna Sarumpaet dan Rita Ratumona di teater. Namun, setelah mereka siapa? Regenerasinya terlalu lamban,” keluh Tya.
Dia bilang ada sedikit diskriminasi dalam proses produksi teater. Perempuan kerap kali hanya diberi porsi untuk mengurus masalah konsumsi, kostum, dan tata rias. “Di teater, jarang perempuan disuruh pegang artistik atau menata lampu, atau jadi sutradara. Padahal, mereka bisa!”
Apalagi, panggung teater sangat membutuhkan sentuhan perempuan.
“Karena teater tugasnya menyentuh bagian pribadi seseorang. Ia adalah tempat untuk menawarkan nilai-nilai. Tanpa sensitivitas di dalamnya, ia bisa menjadi kosong,” tuturnya.
Sebagai sutradara muda, Tya mengaku tidak banyak yang bisa ia lakukan untuk mencetak banyak perempuan sutradara teater kecuali memberi contoh. “Kalau hanya sekedarnya, yang dihasilkan juga sekedarnya. Kalau mau serius, ayo kita belajar sama-sama menjadi sutradara teater,” ucap Tya yang tengah melirik kisah kesenian ronggeng dari Ciamis untuk diangkat ke panggung teater.
Persoalan lain yang masih menjadi tantangan bagi perempuan untuk berkarya total di panggung teater ialah keluarga. Tidak sedikit perempuan pemain teater yang memutuskan untuk meninggalkan panggung selamanya setelah berkeluarga.
Tya bukannya steril dari tantangan tersebut. Namun, kecintaannya pada teater membuat ia berani mengambil keputusan untuk banting setir menjadi pemeran di balik layar teater setelah melahirkan anak pertama. “Tuntutannya sekarang hanya masalah membagi waktu. Pokoknya kalau anak pulang, saya ada di rumah dan melanjutkan latihan di rumah. Agar kehidupan rumah tangga dan berkesenian tetap seimbang,” ucap alumnus STSI ini lalu tersenyum. (M-6) e-ti
Sumber: Media Indonesia, Selasa, 20 April 2010 | Penulis : Maria Jeanindya