Suara Kritis di Tengah Kepungan Oligarki

Bivitri Susanti
0
193
Bivitri Susanti
Bivitri Susanti, Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Lama Membaca: 4 menit

Bivitri Susanti, S.H., LL.M. adalah akademisi, pakar hukum tata negara, dan aktivis reformasi hukum yang dikenal karena keberaniannya dalam mengkritisi penyalahgunaan kekuasaan (oligarki) dan memperjuangkan demokrasi. Sebagai pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) serta pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, ia aktif dalam penelitian, advokasi kebijakan, dan pendidikan hukum progresif. Namanya semakin mencuri perhatian publik setelah tampil dalam film dokumenter “Dirty Vote” (2024), yang mengungkap dugaan kecurangan Pemilu 2024. Dengan ketajaman analisis dan komitmen terhadap supremasi hukum, Bivitri Susanti terus berada di garis depan dalam upaya menegakkan keadilan dan menjaga integritas demokrasi di Indonesia.

Bivitri Susanti lahir di Jakarta pada 5 Oktober 1974 dari keluarga berlatar belakang pegawai negeri sipil. Sejak kecil, ia dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan kritis dalam melihat berbagai persoalan sosial di sekitarnya. Namun, keinginannya untuk terjun ke dunia hukum bukanlah rencana awalnya. Saat mengikuti Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SPMB), Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) justru menjadi pilihan ketiganya, setelah dua jurusan di bidang ilmu pengetahuan alam (IPA).

Namun, perjalanan hidup perempuan yang akrab disapa Bibip ini membawanya ke jalur yang tak terduga. Pada saat menjadi mahasiswa FHUI, Indonesia tengah berada di ujung era Orde Baru, dengan gelombang demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi besar-besaran. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 menjadi titik balik bagi Bivitri Susanti. Ia ikut turun ke jalan, menyuarakan tuntutan perubahan, dan sejak saat itu, ia benar-benar tertarik pada hukum, khususnya hukum tata negara.

Lulus dari FHUI pada 1999, Bivitri Susanti melanjutkan pendidikannya ke jenjang magister di University of Warwick, Inggris, melalui beasiswa The British Chevening Award. Ia meraih gelar Master of Laws (LL.M.) pada tahun 2002 dengan predikat with distinction. Tesisnya berjudul Neo-liberalism and its Resistance in Indonesia’s Constitution Reform: 1999-2002 mengangkat isu perlawanan terhadap neoliberalisme dalam reformasi konstitusi Indonesia pasca-Orde Baru. Tidak berhenti di situ, Bivitri Susanti kemudian melanjutkan pendidikan doktoralnya di University of Washington School of Law, Seattle, Amerika Serikat, dengan fokus pada hukum perbandingan dan hukum Asia.

Sejak awal kariernya, Bivitri Susanti sudah menunjukkan komitmen besar terhadap reformasi hukum di Indonesia. Ia memulai karier profesionalnya di firma hukum Lubis, Ganie, Surowidjojo Law Offices dan Hadiputranto, Hadinoto & Partners. Namun, hasratnya dalam mendorong perubahan sistem hukum lebih besar dari sekadar praktik hukum di firma swasta.

Pada Juli 1998, bersama beberapa rekan dan seniornya, ia mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), sebuah lembaga yang berfokus pada penelitian, advokasi, serta reformasi kebijakan hukum. Melalui PSHK, ia terlibat dalam berbagai penelitian strategis, seperti kajian sistem bikameral di Indonesia, pendirian Perpustakaan Daniel S. Lev, pelatihan perancangan peraturan perundang-undangan, serta pengembangan situs parlemen.net yang memberikan akses informasi legislatif kepada masyarakat luas.

Tak hanya itu, pada 2015, Bivitri Susanti dan timnya di PSHK mendirikan Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, sebuah institusi pendidikan hukum yang mengedepankan metode pengajaran berbasis praktik dan pemahaman mendalam terhadap sistem hukum di Indonesia. Jentera hadir sebagai respons terhadap tantangan pendidikan hukum konvensional yang dinilai masih kaku dan kurang aplikatif. Sebagai Wakil Ketua I sekaligus pengajar di STH Jentera, Bivitri Susanti terus mengawal misi untuk mencetak sarjana hukum yang memiliki pemahaman kuat terhadap sistem hukum dan peradilan Indonesia.

Selain menjadi akademisi, Bivitri Susanti juga aktif dalam berbagai upaya pembaruan hukum di tingkat nasional. Ia terlibat dalam Koalisi Konstitusi Baru (1999-2002), penyusunan Cetak Biru Pembaruan Peradilan, serta menjabat sebagai Tenaga Ahli Tim Pembaruan Kejaksaan (2005-2007) dan Tenaga Ahli Dewan Perwakilan Daerah (2007-2009). Ia juga kerap menjadi ahli dalam sidang-sidang Mahkamah Konstitusi terkait berbagai isu ketatanegaraan.

Reputasi Bivitri Susanti sebagai akademisi dan pakar hukum tata negara juga diakui di tingkat internasional. Ia pernah menjadi Research Fellow di Harvard Kennedy School of Government pada tahun 2013-2014, Visiting Fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada tahun 2016, dan Visiting Professor di University of Tokyo pada tahun 2018.

Atas dedikasinya dalam mendorong reformasi hukum dan demokrasi di Indonesia, ia dianugerahi Anugerah Konstitusi M. Yamin dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas serta dinobatkan sebagai Pemikir Muda Hukum Tata Negara oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) pada tahun 2018.

Advertisement

Pada tahun 2024, nama Bivitri Susanti kembali menjadi perbincangan publik setelah ia tampil dalam film dokumenter “Dirty Vote”, yang dirilis pada 11 Februari 2024, hanya tiga hari sebelum Pemilu 2024. Film ini, yang disutradarai oleh jurnalis investigatif Dandhy Laksono, menyoroti dugaan kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam pemilu.

Sebagai satu-satunya ahli hukum perempuan dalam film tersebut, Bivitri Susanti tampil bersama dua pakar hukum tata negara lainnya, Dr. Zainal Arifin Mochtar dan Feri Amsari. Ia menyampaikan analisis hukum mengenai berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilu. Pernyataannya dalam film ini menjadi viral, terutama kutipan:

“Untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua, yakni mental culas dan tahan malu.”

Keberaniannya dalam mengkritisi penyelenggaraan pemilu membuatnya mendapat banyak dukungan sekaligus kecaman dari berbagai pihak. Namun, ia tetap teguh pada pendiriannya bahwa demokrasi harus ditegakkan secara adil dan jujur.

Di luar dunia akademik dan advokasi hukum, Bivitri Susanti adalah sosok yang hangat dan penuh empati. Ia menikah dengan Frank Feulner, seorang akademisi dan peneliti asal Jerman. Suaminya pernah menjadi korban tragedi bom di MH Thamrin pada 14 Januari 2016, di mana ia mengalami luka serius akibat ledakan tersebut. Beruntung, ia selamat setelah mendapatkan pertolongan dari pasangan suami istri asal Australia yang kebetulan berada di lokasi kejadian.

Meski kesibukannya sebagai akademisi dan aktivis sangat padat, Bivitri Susanti tetap berusaha menyeimbangkan waktu dengan keluarganya, terutama putrinya, Jasmine.

Sepanjang kariernya, Bivitri Susanti telah berkontribusi besar dalam reformasi hukum dan demokrasi di Indonesia. Melalui PSHK, STH Jentera, dan berbagai aktivitas advokasinya, ia terus mengawal perubahan hukum yang lebih progresif dan berpihak pada keadilan.

Sebagai akademisi, ia tak hanya mengajar di Jentera tetapi juga kerap memberikan kuliah umum di berbagai universitas, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Bivitri Susanti juga aktif menulis dan menjadi kolumnis di media massa nasional seperti Harian Kompas dan Majalah Tempo, serta berbicara di berbagai forum internasional.

Dengan segala perannya, Bivitri Susanti menjadi salah satu figur yang berpengaruh dalam bidang hukum tata negara di Indonesia. Keberanian dan keteguhannya dalam memperjuangkan keadilan membuatnya menjadi inspirasi bagi banyak generasi muda hukum di Tanah Air. (atur/TokohIndonesia.com)

Referensi:

  • Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  • Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
  • Film Dokumenter “Dirty Vote” (2024)
  • Media Nasional: Kompas, Tempo, dan lainnya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments