Titian Jenjang Anak Tangga

Otto Hasibuan
 
0
690
Otto Hasibuan
Otto Hasibuan | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia (DPP Ikadin) periode 2003-2007 yang juga merangkap Kordinator Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang terdiri dari delapan asosiasi advokat, ini punya prinsip menjalani hidup laksana meniti jenjang anak tangga, bertahap dan menerima apa adanya. Dalam wawancara dengan Wartawan TokohIndonesia DotCom, ia bilang, mencari kepuasan materi, jabatan dan sebagainya sama seperti meminum air laut, semakin diminum akan semakin haus.

Anak Siantar yang lahir di Jalan Sutomo Pematang Siantar, tanggal 5 Mei 1955, ini dari sejak Sekolah Dasar sudah aktif dalam kegiatan organisasi. Kisah sukses hidupnya memang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan organisasi. Bahkan boleh diibaratkan, jika ia tidak berorganisasi, sama seperti makan tanpa garam.

Semasa SD, dulu ada namanya PORSEDA (Persatuan Olah Raga Sepeda), ia sudah jadi ketua. Kemudian saat di SMP, di Kabupaten Simalungun, ia sudah mendirikan perkumpulan sepakbola, dalam ukuran dulu suatu klub yang sudah profesional, dalam arti sudah ada tim yang lengkap, ada manajer, kostum lengkap, dan ada yang mendanai.

Klub tersebut dinamai Putra Andalas. Dia sendiri sebagai ketua klub dan teman-temannya menjadi anggota. Manejernya seorang polisi dan penasehat adalah Kapolres Simalungun. Jadi kalau mereka bertanding, Polres yang menyediakan mobil atau bis untuk trasportasi. Dulu (kira-kira tahun 1968) suatu klub sepakbola di kota kabupaten itu naik mobil (bis) adalah suatu hal yang luar biasa. Sebab ketika itu di Pematang Siantar (Kabupaten Simalungun) hanya ada satu bis. Bahkan saat itu ia sendiri mengaku belum pernah naik bis (mobil).

Pertandingan (kompetisi) di kabupaten pada waktu itu sudah ada. Pada masa itu mereka merasa sudah tren seperti sekarang ini. Sebab kalau ada pertandingan, mereka diantar dan dijemput naik mobil. Soal pendanaan, ia tidak tahu dari mana. Manajer yang mengurusi. Rupanya manajernya pintar juga. Tanpa sepengetahuan mereka, manajernya justeru meminta dana dari orang tua mereka juga.

Sebelumnya, ada cerita yang agak lucu, yang sempat membuat orang tuanya stres karena kaget. Pasalnya, kira-kira jam 10 malam (22.00 WIB), orang tuanya membangunkannya, karena seorang polisi datang ke rumah mencarinya. Orang tuanya kelihatan stres. Barangkali dalam pikiran orang tuanya, ia dipanggil polisi mungkin karena berbuat sesuatu kesalahan atau kejahatan. Rupanya Pak Polisi tadi tidak segera memberitahu maksudnya. Padahal polisi itu hanya ingin memberitahu bahwa besoknya ada perubahan jadual pertandingan, jadi ia disuruh mengumpulkan teman-teman.

Pengalaman dalam klub Putra Andalas yang diketuainya dan dimanejeri seorang polisi ini cukup menyenangkan. Klub ini terbina dengan baik. Sehingga berhasil meraih juara kabupaten, setelah melalui kompetisi yang banyak sejak dari antarklub-klub kecil, kemudian antarkecamatan.

Ketika di SMA, dulu ada PPSMA (Pemuda Pemudi Sekolah Menengah Atas) yang kemudian pada tahun 1972 diubah secara nasional oleh Menteri Pendidikan menjadi OSIS. Pada saat perubahan itu, ia terpilih menjadi Ketua OSIS pertama dalam pemilihan yang mirip Pemilu (voting), satu orang murid satu suara.

Setamat dari SMA, masuk ke UGM, ia pun langsung memprakarsai kegiatan organisasi. Awalnya, pada malam inagurasi (acara peresmian atau pelantikan), biasanya tingkat yang lebih tua yang membuat acara tersebut. Tapi waktu itu ia sudah lebih dulu mengorganisir teman-teman yang satu tingkat. Kepada kawan-kawannya dikatakan, “Kita yang punya pesta, kitalah yang bikin.” Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya diputuskan, mereka yang bikin malam inagurasi dan ia terpilih menjadi ketuanya. Padahal ia baru masuk (mahasiswa baru).

Kemudian ia juga aktif sebagai ketua BKMK. Lalu pada pemilihan senat, ia terpilih menjadi salah satu ketua. Sebenarnya waktu itu ia meraih suara terbanyak.

Advertisement

Selain dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan, ia juga aktif di organisasi pemuda gereja N-HKBP. Ia jadi Sekum (sekretaris umum), dulu istilahnya bukan ketua melainkan sekretaria umum.

Kegiatannya di organisasi-organisasi itu cukup menggambarkan betapa senang dan menyatunya dia dalam dunia organisasi. Bahkan boleh diibaratkan, jika ia tidak berorganisasi, seperti makan tanpa garam. Kisah hidupnya memang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan organisasi.

Setelah jadi advokat pun ia langsung mendaftar menjadi anggota Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Berberapa waktu kemudian, ia menjadi komisaris dan akhirnya menjadi Sekretaris Peradin. Pada tahun 1985, semua organisasi advokat menjadi wadah tunggal, Peradin dan yang lain-lain dilebur menjadi Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia).

Di Ikadin, ia memulai dari bawah, mulai dari Wakil Sekretaris Cabang Jakarta (1986), waktu itu wilayah Jakarta masih satu, belum dibagi (Timur, Selatan, Barat, Utara, Pusat). Kemudian menjadi Ketua Cabang Jakarta Barat (1990), terus naik lagi jadi Wakil Sekjen DPP Ikadin (1995), lalu menjadi Pejabat Sekjen DPP, sampai menjadi Sekjen DPP (1992-2002). Sampai akhirnya mencapai puncak menjadi Ketua Umum DPP Ikadin periode 2003-2007. Ia juga aktif sebagai anggota International Bar Association (1985) dan anggota Inter Pacific Bar Association.

Dari jenjang itu, tergambar betapa ia betul-betul menjiwai dunia organisasi advokat ini. Ibarat militer, ia jalani lengkap dengan militansi tinggi mulai dari prajurit sampai jenjang jenderal berbintang empat. Bahkan kini jenderal berbintang lima. Sebab, kini dari 8 (delapan) organisasi advokat, sepakat lagi menunjuknya menjadi koordinator KKAI (Komite Kerja Advokad Indonesia).

KKAI ini dibentuk sehubungan dengan undang-undang yang mengharuskan adanya suatu wadah tunggal advokat. Maka sebelum wadah tunggal tersebut terbentuk, tugas atau kegiatan wadah yang dimaksud, harus dilakukan bersama-sama oleh kedelapan organisasi yang ada sekarang. Sampai sekarang organisasi-organisasi advokat ini memang belum bisa bersatu. Masih terjadi silang pendapat, antara lain yang satu mengatakan ‘wadah tunggal’, dan yang lain mengatakan ‘penetrasi’. Maka sepakatlah untuk membuat suatu koordinasi dari yang delapan tadi, namun masing-masing organisasi itu tetap independen.

Tapi dalam melaksanakan kegiatannya, dibentuk KKAI dimana ia ditunjuk sebagai koordinator. Salah satu tugas KKAI adalah dalam hal pengangkatan advokat, sertifikasi advokat. Lebih jelasnya, yang menandatangani kartu agar bisa berpraktek di pengadilan adalah tugas dan kewenangan Kordinator KKAI. Jadi yang mengeluarkan kartu agar seseorang bisa berpraktek di pengadilan adalah KKAI bukan organisasi seperti Ikadin, AAI, dan sebagainya.

Dalam komunitas adat pun ia ikut aktif. Ia memang tidak memasuki tata-adatnya karena menganggap itu bukan dunianya. Tapi musyawarah adat itu, menurutnya, adalah bagian dari organisasi. Sehingga sekarang ia dipercaya komunitas adat marganya menjadi Ketua Marga Hasibuan. Jabatan ketua marga ini pun tidak langsung serta merta dipercayakan kepadanya. Tapi dimulai dari ketua salah satu seksi kemudian jadi sekretaris, jadi Sekjen, lalu jadi ketua umum.

Ia memang termasuk orang yang tidak suka melompat-lompat dalam meraih sesuatu. Hal ini bahkan sudah merupakan prinsip hidup baginya. Misalnya, kalau ada tangga, dimana ia sedang berdiri di tangga ketiga, dan di tangga ketujuh ada sesuatu rejeki atau kesempatan (kans), hampir jarang ia langsung melompat ke tangga tujuh walaupun ada sesuatu yang menarik di tangga tujuh tersebut.

Jadi ia cenderung selalu meniti anak tangga, dari tangga satu, dua, tiga ke tangga empat dan seterusnya. Setiap tangga itu pun harus diinjak dulu, apa sudah kuat atau tidak. Kalau sudah kuat, baru ia naik ke tangga berikutnya, begitulah seterusnya.

Dalam bayangannya, jika melompat ke tangga tujuh, kalau tidak dapat akan jatuh dan pasti sakitnya bukan main. Jadi ia termasuk orang yang hati-hati dan konservatif, karena ia mempunyai prinsip bahwa kalau Tuhan mau, tidak ada yang mustahil. Ia yakin betul hal itu. Kalau Tuhan mau, sesuatu itu pasti diberikan kepadanya.

Makanya ia katakan: “Kelihatannya dalam teori, saya sulit melakukan (lompatan) itu. Bukan saya tidak mungkin lompat. Saya tidak pakai istilah itu. Mungkin suatu saat, bisa saja saya disuruh melompat, tapi itu pasti ada sebabnya. Namun kemungkinan itupun rasanya sulit, karena dalam perjalanan karir saya pun tidak begitu. Baik dalam pencapaian materi maupun karier selalu berjenjang anak tangga. Dan hal itu sudah karakter, barangkali,” jelas Otto yang punya hoby main golf dan bercakap-cakap (mengundang teman untuk ngobrol).

Dalam hal berorganisasi, ia tidak pernah berpikir bahwa ikut berorganisasi agar menjadi ketua. Melainkan ia masuk untuk berbuat sebaik mungkin. Itu saja! Kendati setelah tiba waktunya orang kemudian menunjuk dan memilihnya sebagai ketua. Jadi, menurutnya, pasti tiba waktunya kalau kita selalu berusaha berbuat baik.

Dalam pikirannya, harus ‘everlasting’ (tahan lama). Sesuatu yang didapat itu harus tahan lama, baik dalam berkawan, kalau bisa abadi, dalam arti, ia tidak suka kontroversi atau konflik. Karena memang hal ini sudah merupakan prinsip atau pandangan hidupnya.

Ia juga belajar dari pengalaman. Seringkali beberapa peluang yang ada, yang oleh orang lain bilang itu tidak peluang, tapi ia katakan itu peluang. Tapi sebaliknya, orang mengatakan sesuatu itu peluang tapi ia melihat tidak. Ia mengaku hal ini tidak mudah dijelaskan, entah kenapa.

Umpamanya, ada saja orang yang menerka bahwa arah pikiran dan rencananya jadi politisi. Dalam hati ia mengatakan, terkaan orang itu jauh sekali, namun ia tidak mengatakan ‘tidak’. Makanya ia selalu mengatakan, ‘haruslah kita rajin bersyukur kepada Tuhan, kita harus pintar dan rajin menghitung berkat-berkatNya. Bayangkanlah, untuk matahari terbit besok, kita tidak perlu berdoa. Betapa baiknya Tuhan itu. Apalagi kalau kita berdoa!”

Ia memang seorang yang menjalani kehidupan ini apa adanya dengan tidak pernah berpikiran harus jadi begini, harus jadi begitu. Yang selalu ingin ia lakukan adalah berbuat sebaiknya. Karena, menurutnya, ketika kita targetkan suatu cita-cita ke depan kemudian langkah kita arahkan ke sana, dengan begitu kita nanti jadi terikat, dan ketika ada halangan untuk mencapai ke sana terjadilah konflik.

“Saya hanya berpikiran, setelah kita berbuat yang terbaik, kita lihatlah hari demi hari, tidak perlu terlampau fokus ke sana. Saya seorang advokat, saya berbuat baik sebagai advokat. Setelah itu, advokat saya masih tetap kecil atau menjadi besar, tidak lagi urusan saya. Namun kalau kita memaksakan target hari ini, ketika ada yang menghalangi itu, akan menjadi repot. Jadi semua ada waktunya. Sudah menjadi keyakinan saya dalam hidup ini, bahwa Tuhan itu agung, tapi itupun kita harus melakukannya dengan jujur.”

Ia pun mengemukakan satu pepatah mengenai hidup dan kepuasan yang sudah merupakan suatu filsafat hidup baginya, yaitu: ‘Kalau kita tidak pernah mengatakan cukup, maka kita tidak akan pernah bahagia’.

Mengenai cukup, menurutnya, kitalah yang mengaturnya, kita pula yang membuat ukurannya. Masing-masing takaran orang berbeda. Meskipun orang lain mengatakan bahwa hidup seseorang itu sudah hebat, atau sudah enak, belum tentu orang tersebut merasa hidupnya bahagia. Sebab ukuran dia itu tidak pernah mengatakan cukup.

Ia bilang, mencari kepuasan materi, jabatan dan sebagainya sama seperti meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Maka, menurut lulusan sarjana hukum FH-UGM ini, agar kita bisa mengatakan atau merasakan cukup, haruslah bisa bersyukur, apapun yang kita alami. “Kalau kita merasakan Tuhan belum buka apa yang kita inginkan jangan kecil hati sebab mungkin belum waktunya. Percayalah, bila waktunya tiba, Tuhan pasti beri, sebelum waktu itu tiba, bersyukurlah dan jalanilah hidup dengan baik.”

Ia sendiri mengaku selalu menghitung betapa banyaknya yang Tuhan berikan padanya. Sungguh ia hitung tiap hari. Misalnya anak sehat, sekolah dengan baik, tidak melawan, semua pembantu setia, sopir menyetir dengan baik, orang di kantor mau datang bekerja, tidak mengomel, rejeki ada, uang dapat. Ia hitung semua.

Bukan hanya menghitung uangnya saja, tapi semuanya. “Kalau sopir misalnya, menyetir ugal-uagalan, kita akan pusing juga,” ujarnya. Jadi semua harus disyukuri. Orang mungkin berpikir, bahwa ia mengatakan begitu karena hidupnya sudah enak. Padahal sesungguhnya, ia mulai dari nol, datang ke Jakarta tidak punya apa-apa juga, sama seperti yang lain, mahasiswa biasa, bekerja, jadi pegawai, setelah dapat gaji kemudian buka sendiri dengan pegawai satu orang, kemudian menjadi dua-tiga orang pegawai. Jadi sama seperti naik tangga tadi juga, bukan tiba-tiba ia buka kantor yang besar, tidak.

Pada mulanya ia bekerja di kantor pengacara, mulai dari asisten kemudian naik terus hingga bisa membuka kantor sendiri. Kesuksesannya dimulai dengan berbuat baik saja. “Itu saja yang saya tahu yaitu berbuat baik, sebab dengan berbuat baik pasti ada gunanya. Apapun kata orang, ada yang bilang berbuat baik itu bodoh, bagi saya itu tidak mempengaruhi, prinsip itu yang tetap saya yakini,” katanya.

Satu pengalaman yang tak pernah dilupakannya adalah ketika dia pernah menerima imbalan buah pisang dari kliennya, pada awal dirinya terjun sebagai pengacara. Ketika itu, ia mulai aktif sebagai pengacara saat masih duduk di tingkat empat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yogyakarta. Dia bergabung dengan Biro Bantuan Hukum di kampusnya. Biro Bantuan Hukum itu sangat dekat dengan para pencari keadilan yang kebanyakan wong cilik.

Dari situ ia sudah mulai menikmati profesi pengacara itu. Padahal, dulu setamat SMA, ia tidak pernah berpikir menjadi sarjana hukum. “Pada awalnya bukan itu cita-cita saya,” katanya. Keinginannya, ketika itu, menjadi insinyur, karena dia dari jurusan Paspal (sekarang IPA) semasa di SMA. Namun, ayahnya menasehatinya (tidak memaksanya) agar memilih jurusan hukum. ”Sudah, satu tahun saya kasih kebebasan buat kamu, kalau boleh, katanya, saya yang tahu kamu, rasanya kau tepatnya menjadi hakim Ya kalau boleh, cobalah,” saran ayahnya. Ia pun merenungkan lalu mengikuti tes masuk UGM dan tamat tahun 1981.

Ia pun pernah studi di Australia, mengikuti Comparative Law Course di University Technology of Sidney. Bahkan sampai saat ini, ia masih punya kerinduan lebih mendalami ilmu hukum itu. Di tengah kesibukannya, baik sebagai advokat yang juga menjadi konsultan pasar modal dan menjadi arbiter, maupun kegiatan organisasi, ia masih berupaya meraih gelar S-3 di UGM.

Dari kecil dia memang dikenal sebagai seorang ulet dan rendah hati. Kendati ia mengaku dalam perjalanan hidupnya merasa tidak ada yang istimewa. Biasa-biasa saja. Tapi dia juga tidak pernah merasa bahwa hidupnya terlalu tidak istimewa. Namun suatu hal yang boleh dibilang istimewa manakala menelusuri perjalanan hidupnya ke belakang, bahwa memang Tuhan selalu memberikan yang terbaik kepadanya. Walaupun ia mengaku tidak kaya raya.

Jadi, menurutnya, tidak ada yang secara spesifik sekali yang harus diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Kalaupun ada, kalau boleh dibilang spesifik, yaitu kesukaannya berorganisasi sudah ada sejak kecil, mulai dari kelompok-kelompok bermain. Kalau ada teman-teman dua tiga orang, ia suka mengorginisir, seperti, kelompok main bola, ia sudah jadi ketuanya.

Asuhan Orang Tua
Jika ditelururi, perjalanan hidupnya tentu tidaklah terlepas dari proses pengasuhan kedua orang tuanya. Mulai dari rahim ibunya, kelahirannya di rumah toko bernama ‘Sinar Matahari’ yang sekaligus rumah tempat tinggal keluarga di Jalan Sutomo Pematang Siantar. Di situ keluarganya bertetangga dengan warga keturunan Tionghoa. Sehingga dulu ia dan keluarganya bisa bahasa Hok Kian.

Ia adalah anak paling bungsu dari sepuluh bersaudara, 6 (enam) laki-laki dan 4 (empat) perempuan. Orang tuanya, ayah Hasibuan dan ibu Boru Siahaan, seorang pengusaha (wiraswasta). Dalam proses pengasuhannya, Sang Ibu adalah pengajar baginya, namun ayahnyalah yang menjadi idolanya. Padahal ayahnya tidak suka beroganisasi. Tapi ia menyebut ayahnya sebagai konsultannya orang-orang yang berorganisasi.

Karena ayahnya memang tidak mau tampil di depan, namun selalu siap jadi tempat bertanya. Sebab pada zamannya, ayahnya cukup dihormati di tengah masyarakat setempat dan di lingkungan keluarganya. Hal ini antara lain lantaran ayahnya termasuk salah seorang yang lebih dulu meninggalkan kampungnya (Toba) merantau ke Sumatera Timur. Namun ayahnya tidak pernah mau muncul jadi tokoh dalam satu organisasi, kumpulan marga atau yang lainnya, walaupun selalu aktif jadi konsulernya.

Termasuk kepada anak-anak, ayahnya hanya memberikan nasehat agar dalam hidup ini harus selalu berbuat baik, itu saja. Sang Ayah mengatakan bahwa usaha yang cukup keras dibangun itu bukan semata-mata untuk dia tapi untuk anak-anaknya.

Tapi biarpun ayahnya tidak suka aktif berorganisasi, Sang Ayah tidak melarangnya ikut berorganisasi. “Karena memang beliau orang demokrat, beliau membiarkan apapun pilihan anaknya, dan beliau hanya memberikan arahan, misalnya kau ini siapa, apa kemauanmu, dan sebagainya,” kata Otto mengenang.

Ayahnya juga bukan seorang yang rajin ke gereja tapi tiap hari baca Alkitab. Tidak ada hari tanpa baca Alkitab. Maka ketika ia bersama ayahnya pergi ke Israel, biasanya orang harus dituntun dulu oleh pendeta, tapi malah Sang Ayah yang cerita. Jadi Sang Ayah sudah lebih paham, mengingat apa yang dibaca di Alkitab itu.

Dalam hal adat juga ayahnya tidak menjadi pelaku tapi sebagai tempat bertanya. Bukan soal pelaksanaan adatnya tapi bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan.

Sifat ini sedikit-banyak terwariskan kepada Otto. Sama seperti ayahnya, ia juga selalu berupaya mendamaikan orang yang bermasalah. “Memang, sama seperti beliau, saya paling tidak suka dengan konflik. Dimana pun, saya ingin suasananya aman dan damai, bila perlu kita mengalah atau berkorban asal jangan terjadi konflik. Hal itulah yang paling saya wariskan dari Bapak saya,” kata Otto.

Ayahnya memang selalu menanamkan damai itu. “Jika diantara kami anaknya waktu kecil ada sedikit koflik, beliau selalu menganjurkan agar kami (salah satu atau kedua-duanya) berkorban dan mengalah agar kami damai,” kenang Otto.

Mengenai sosok ibunya, yang disebutnya sebagai seorang pengajar yang baik. Ia mengaku belajar banyak dari pengorbanan Sang Ibu, yaitu bagaimanapun susah dan sulitnya hidup tetapi ibunya tetap mendidik dengan baik, bahkan hampir tidak pernah menikmati hidupnya demi kami anak-anaknya. “Beliau mengorbankan dirinya tidak begitu enjoy asalkan anak-anaknya bisa enjoy,” kenang Otto. Mereka 10 bersaudara, semua menikmati bangku sekolah kecuali satu orang yang tidak mau sekolah, sejak SMP saja sudah lari (cabut) melulu kerjanya.

Selain pengaruh ayah dan ibunya, isteri dan anak-anaknya juga turut menopang perjalanan karirnya. Isterinya seorang ibu rumah tangga, yang juga mempunyai latar belakang pendidikan hukum. “Tapi tidak sempat lulus karena ketika tingkat 5, sedang memulai menyusun skripsi, ibu saya sudah sakit. Saya dipesan, selagi beliau sehat agar saya menikah,” kata Otto menjelaskan kenapa isterinya tidak menyelesaikan studinya.

Tadinya, rencananya setelah menikah kuliah akan diteruskan, soalnya tinggal skripsi saja, tetapi rupanya, situasi menghendaki lain, akhirnya kuliah tidak dilanjutkan hanya menjadi ibu rumah tangga.

Istrinya bernama Normawati Damanik, juga berasal dari Siantar, walaupun kenalnya jauh dari Siantar yakni di Yogya. Karena memang mereka sama-sama sekolah di sana. Isterinya kuliah di Atma Jaya sedangkan dia di Universitas Gajah Mada, dan sama-sama jurusan hukum. Sebenarnya mereka bertetangga di Siantar. Tapi waktu di Siantar mereka belum saling kenal. “Jadi jodoh itu tidah jauh rupanya, sudah jauh-jauh melanglangbuana kemana-mana cari jodoh ternyata tetangga juga, ya dekatlah,” katanya.

Pernikahan mereka dikaruniai 4 (empat) anak. Anak pertama sampai ketiga perempuan dan anak paling bungsu laki-laki. Kini, anak pertama Putri Linardo Hasibuan sudah kuliah jurusan ekonomi di Curtin University, Australia. Anak kedua Lionie Petty Hasibuan masih SMP. Anak ketiga Natalia Octavia Hasibuan serta anak paling bungsu Yakub Putra Hasibuan, masih duduk di SD. Jarak kelahiran anak-anaknya memang agak jauh, ada yang empat tahun dan yang paling dekat tiga tahun.

Dan ternyata, isterinya menjadi pengajar yang baik juga bagi anak-anaknya. Terbukti, anak yang pertama mereka diterima di UGM, tetapi sesudah mendaftar dan mengikuti orientasi, kebetulan merasa tidak cocok. Akhirnya kuliah di Australia.

Ia memberi kebebasan kepada anak-anaknya. Praktis ia tidak pernah menganjurkan anaknya agar terjun ke dunia hukum. Baginya ke manapun pilihan anak-anaknya, boleh saja. Tetapi satu hal yang ia tekankan adalah di bidang apapun harus ‘the best’. Malah kalau tidak sarjana pun tidak apa–apa. Kalau mereka punya keahlian itu sudah cukup. Jangan sampai menjadi orang yang cenderung “sarjana minded” atau “gelar minded” tapi harus “ilmu minded”. Jadi ilmunya yang harus dikuasai.

Sebab ia melihat, dalam kehidupan yang sukses itu, ternyata bukan dari orang yang bergelar, melainkan orang yang bisa menguasai ilmu atau memperaktekkan ilmunya dengan baik. Jadi gelar tidak menjamin kesuksesan orang, walaupun itu salah satu ukurannya. Jadi bukan gelarnya tapi ilmunya harus dapat, syukur kalau berilmu dan bergelar, jangan bergelar tapi tidak berilmu.

Paradigma seperti ini perlu disosialisasikan. Jangan malah seperti di kampung, dimana masih ada orang tua mengatakan kepada anaknya, “Anakku, apa lagi gunanya kau sekolah, sedangkan sarjana saja banyak menganggur.” Jadi maksudnya, buat apa lagi sekolah sebab yang sekolah banyak yang menganggur. Sebenarnya cara berpikir ini harus dibalik. Si orang tua harusnya berkata, “Anakku, rajinlah sekolah, sebab sarjana saja banyak yang menganggur, apalagi kalau tidak sekolah.”

Kepada anak pertamanya, memang sering dipancing agar mengambil bidang kedokteran atau yang lain. Tetapi anaknya tetap konsisten memilih jurusan ekonomi. Sebelumnya ia tanya anaknya, “Kira-kira dalam hidupmu maumu itu seperti apa?” Jadi ia tidak tanya langsung mau ke fakultas apa. Kemudian setelah anaknya menjawab, baru ia pikir bahwa pendekatannya lebih tepat dari ekonomi. Karena ia bukan ahli di bidang ekonomi, lalu anaknya dipercayakan kepada temannya seorang doktor ekonomi, salah satu asisten deputi menteri, untuk konsultasi. Setelah bertemu dua jam baru anaknya mengambil pilihan. Marzuka Situmorang

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

02 | Kiat: Kepercayan dan Kemampuan

Mengenai kiat keberhasilan, ia menjelaskan dengan lebih dulu berkisah tentang seorang mantan asisten pengacaranya, yang sekarang sudah sukses dan merayakakan ulang tahun. Si teman ini beberapa kali mengucapkan terimakasih karena merasa keberhasilannya tidak terlepas dari proses magangnya di kantor Otto.

Saat itu, ia diminta untuk memberikan kata sambutan. Ia tidak panjang lebar. Ia mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang khusus mengenai itu. Tetapi banyak orang yang bertanya, kenapa dia ini berhasil? “Saya menjawab bahwa ia pantas berhasil, karena ia rajin, pintar dan sebagainya.”

Tetapi orang lain bertanya lagi: “Kan banyak orang yang rajin dan pintar tetapi tidak berhasil?” Ia jawab, “Itulah kemuliaan Tuhan dan kemurahan Tuhan.” Dalam hal ini ia ingin menjelaskan kiat keberhasilannya sangat ditentukan oleh kemuliaan dan kemurahan Tuhan.

Jadi, katanya, di luar itu ia tidak tahu secara pasti kiatnya di mana dan bagaimana untuk berhasil dan sukses. Walaupun ia lebih lanjut menjelaskan, kiatnya menjalankan profesi, pertama adalah harus dipercaya dan punya keahlian atau kemampuan. “Jangan sekali-kali kita punya kemampuan tapi tidak dipercaya, maka orang tidak mau pakai, dan walaupun kita bisa dipercaya tetapi tidak punya kemampuan, orang juga tidak mau pakai. Jadi kalau salah satu dari hal ini saya gadaikan hari ini, besok saya jual apa. Sebab kemampuan dan dipercaya itu harus jalan bersama-sama,” katanya.

Kedua, advokat dipakai orang bukan karena pangkat yang dimilikinya, bukan karena dia ketua Ikadin tapi karena profesi advokat memang profesi yang terhormat dan mulia, dan setiap orang respek terhadap advokat itu. Kalau orang tidak lagi respek pada advokatnya, tidak ada penghargaan lagi dan tidak ada kepercayaan, maka orang tidak akan serahkan seluruh urusannya pada advokat tersebut.

Menurutnya, walaupun mungkin banyak oknum advokat yang tidak melakukan profesi advokat secara mulia dan terhormat, tapi profesi itu akan tetap terhormat sekarang dan selamanya.

Kenapa ia katakan begitu? “Karena boleh kita bayangkan, orang datang kepada advokat menyerahkan dan mempercayakan urusannya, soal cerai, soal hartanya, diserahkan kepada advokat. Tidak pernah atau jarang sekali orang yang menyerahkan urusannya tersebut bertanya: Apa yang anda tulis? Apa yang anda katakan di persidangan. Tapi langsung percaya saja. Padahal itu bisa membuat dia kehilangan hartanya atau putus perkawinanannya. Jadi, respek itulah kehormatan itu. Karena profesinya terhormat maka haruslah dilaksanakan dengan cara terhormat. Untuk bisa jadi terhormat harus bisa dipercaya, agar kepercayaan tersebut bisa berjalan, harus mempunyai kemampuan,” jelasnya.

Satu hal yang perlu dicatat dalam perjalanan hidupnya konsepnya untuk meraih sakses tidak hanya dalam satu bidang. Ia tidak mau meraih sukses di profesi dan organisasi dengan mengorbankan keluarga dan kemasyarakatan. Dia tak ingin sukses satu bidang, tapi pada bidang lainnya tertinggal. “Konsep hidup saya harmoni,” katanya.

Konteks Bernegara
Dalam konteks bernegara, tadinya ia ingin secara langsung terlibat memberikan kontribusi, tapi dalam keadaan negara kita yang masih begini, ia pikir, lebih baiklah melakukannya dari sisi yang lain. Ia memilih tidak selalu harus menjadi pelaku utama dalam politik praktis. Biarlah dari sisi yang lain memberikan kontribusi. Karena, menurutnya, dalam konteks bernegara ini tidak berarti harus menteri supaya menjadi orang yang hebat. Artinya siapa yang bisa memberikan kontribusi pada negaranya dengan keberadaan yang ada padanya itu sudah baik dan cukup.

Maka konsepnya, jangan berpikir dan jangan meminta orang lain berbuat baik pada negara, selalu menuntut orang lain berbuat baik kepada negara ini, tetapi hendaklah berbuat dari diri sendiri dulu bagi negaranya. Sebab kalau semua orang berbuat begitu, otomatis negara ini akan baik.

“Ketika kita meminta orang lain berbuat baik, kecenderungannya orang itu sendiri tidak pernah berbuat baik. Tapi jika diri sendiri sudah berbuat baik, hal itu sudah sebuah permintaan agar orang berbuat baik juga. Jadi tidak harus berteriak-teriak, tetapi berbuat. Intinya menjadi teladanlah.” ujarnya. Marzuka Situmorang

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

03 | Hukum Sudah Serba Salah

Mengenai hukum di negara ini, Ketua Umum DPP Ikadin Otto Hasibuan SH mengatakan sudah serba salah. Membicarakannya pun sudah serba salah, apalagi menegakkannya. Jadi jika dibicarakan mulai dari mana dan ke mana, mengawali dan mengakhirinya, ia sendiri merasa sudah tidak tahu, sudah serba salah.

Tetapi apapun itu adanya, ia tetap punya optimisme, bahwa pada waktunya semua keadaan sekarang ini adalah sebuah proses ke arah perbaikan. Ia masih optimis pada waktunya nanti, keadaan serba salah ini akan bisa diperbaiki dengan baik. Karena pada hakekatnya setiap orang akan menuju kebaikan, sebab masih ada kelompok orang-orang yang tetap menginginkan kedamaian dan kebaikan. Walaupun memang ada juga yang tidak menginginkan itu. Namun pada akhirnya, sejarah akan membuktikan, pasti kebaikan itu yang akan menang.

Namun secara khusus, menurutnya, masalah hukum di bangsa ini adalah tidak adanya kebersamaan berpikir dan keinginan untuk menyelesaikan persoalan di antara semua komponen masyarakat yang terlibat dengan hukum, baik aparat maupun masyarakat. Malah masyarakat umum yang terlibat dengan hukum pun belum tentu ia berbuat baik. Jadi masalah hukum ini sudah merupakan masalah semua orang.

Ia mengatakan hukum-hukum formal kita saat ini sudah banyak yang tertinggal, tidak sesuai lagi. Menurut penglihatannya ada dua aliran berpikir (kendati ada juga beberapa aliran lainnya) tentang bagaimana perkembangan dan sejarah hukum ini. Yakni, pertama, aliran sejarah yang mengatakan bahwa hukum itu berkembang bersama-sama dengan masyarakat (Vor Savigni). Jadi kalau masyarakat berkembang sedemikian rupa, hukum juga demikian.

Kedua, aliran yang berkata seperti Roscowfol (?), dimana hukum sebagai alat untuk mencapai arah bangunan. Sekarang ini kelihatannya, teori ini masih sangat diperlukan. Sangat disayangkan yang membuat law ini (DPR) dan yang melaksanakannya (pemerintah), tidak mampu menggunakan law ini.

Ia kemukakan, seharusnya hukum itu dipakai untuk membuat masyarakat maju. Contoh yang sederhana, kalau ada pemukiman kumuh, harus dibuat di situ peraturan bahwa di sini (lokasi kumuh) harus dibagun pemukiman bertingkat, mungkin boleh saja awalnya bermasalah, tetapi akhirnya menjadi kebaikan.

Yang salah sekarang adalah, orang yang menggunakan alat ini tidak lagi mampu bertindak objektif atau tidak melakukan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan semestinya. Karena hukum ini akhirnya digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Akhirnya rumah kumuh dihancurkan, karena akan didirikan mal atau real estate, itu saja yang menjadi persoalan.

Tetapi semestinya sistem hukum kita mesti seperti tadi, untuk sebuah negara yang berkembang seperti negara kita. Kalau kita menunggu berkembang hukum itu dulu sesuai dengan sistem masyarakat maka amburadullah kita, arahnya tidak jelas. Yang terjadi sekarang adalah berkembang di sini dibakar, di situ dibentrok, selalu diprotes rakyat. Akhirnya perkembangan hukum kita tidak jelas lagi, ia berkembang hanya sesuai dengan keinginan masyarakat, sedangkan masyarakat saat ini sedang tidak terarah, terjadilah reformasi yang tidak ada arah.

Kalau reformasi jalannya tidak terarah, salah menangkap momentumnya, salah menangkap arahnya, otomatis perkembangan hukumnya pun berjalan sesuai dengan itu. Jadi kalau alatnya sendiri digunakan tidak sesuai denga semestinya otomatis arahnyapun akan salah.

Apa yang terbaik menyelesaikan ini, sebenarnya bukan soal hukumnya tetapi pembuat hukum ini dulu yang harus dibereskan, dalam arti, DPR sekarang ini dibenahi dulu, mereka haruslah orang-orang yang kualifait sebagai seorang pembuat undang-undang.

Untuk menjadi kualifait ini, kriterianya banyak. Hal ini dalam pemilu nantilah akan diuji. Kalau ini sudah baik, otomatis terbawa, ujungnya walaupun kita berteori apapun, namun semua intinya adalah di DPR.

Dulu DPR-nya terlalu lemah, sehinga dominanlah pemerintahnya. Sekarang, kita ingin membuat seimbang, ternyata tidak berhasil malah terlalu kuat, maka hancurlah pemerintahnya.

Jadi ini harus seimbang yaitu kekuasaan pemerintah sebagai eksekutif dengan pembuat UU yaitu DPR sebagai legislatif, barulah ini baik. Sekarang DPR terlalu kuat, itu pun kalau arahnya benar tidak apa-apa, tetapi yang terjadi adalah kekuasaan itu disalahgunakan.

Hukum itu memang erat hubungannya dengan politik, tetapi jelas merupakan hal yang berbeda, artinya saling mempengaruhi tetapi berbeda. Politik pada ujungnya adalah kepentingan sedangkan hukum ujungnya adalah keadilan. Kalau kita melihat hukum itu janganlah kita langsung mencela. Tetapi kalau kita bicara konsep, paradigma, kerangka berpikir, dan lembaga, maka yang ini yang harus dibenahi. Selama ini tidak dibenahi, percayalah keadaan ini takkan bisa baik.

Umpamanya bagaimana membuat UU seperti kilat, dalam beberapa minggu langsung siap. Kalau tadi saya berbicara filsafatnya, sekarang saya beri usul yang kongkrit. Setiap UU yag akan dibuat hendaknya di-‘tender’-kan dulu kepada kelompok – kelompok tertentu untuk membuatnya. Jelasnya, ditugaskan satu kelompok badan khusus yang membuat draft UU-nya dengan membuat alternatif-alternatif. Jadi tidak hanya satu. Selama ini kan tim ahlinya sesuka yang DPR ambil, tetapi yang saya maksud ini adalah Tim Ahli di luar DPR.

Jadi jangan DPR-nya saja tetapi serahkan dulu pada tim khusus. Jelasnya begini. DPR mau membuat UU tertentu, nanti badan atau tim khusus ini membuat UU tersebut dengan beberapa alternatif. Misalnya pasal satu mengenai hal X dengan alternatif a, b dan sebagainya. Setelah tim ini menyelesaikannya, baru diserahkan kepada DPR untuk digodok. Tim khusus tersebut termasuk menggunakan pemikiran dari perguruan-perguruan tinggi. Seperti masa Presiden Soeharto hal tersebut sudah dibuat. Dengan demikian akhirnya UU tersebut bisa tahan lama.

Perihal peranan Ikadin, ia menyebut asosiasi ini aktif dalam banyak hal. Salah satu yaitu Ikadin selalu memberi kontribusi di semua pembuatan UU. Departemen Kehakiman biasanya waktu mereka mau membuat satu undang-undang, selalu meminta Ikadin mengirimkan wakil. Ia sendiri juga menjadi salah satu anggota tim pembentuk UU KUHP.

Sementara mengenai keadilan dan kebenaran, ia mengatakan relatif tapi ada yang sifatnya universal. Biar dia di mana dan siapa pun, suku apa, agama apa, ada keadilan yang universal. Ia mengatakan adil itu bukan berarti sama rata. Keadilan itu oleh masing-masing orang bisa melihatnya berbeda. Jadi kalau hanya adil hal itu hanya menggunakan penguraian/pemikiran kita sendiri karena pada umumnya orang yang terpuaskan dalam satu keputusan akan mengatakan keputusan itu adil sedangkan sebalikya kalau merasa dirugikan, akan mengatakan tidak adil. Misalnya saya mengatakan kalau saya mendapat 7 itu adil, sedangkan yang lain mengatakan kalau dia dapat 7 juga, itu baru adil, padahal yang hendak dibagi hanya 10 jadi bagaimana jadinya?

“Jadi, yang saya maksud dengan adil dan benar yaitu, ada kebenaran yang dipakai, ukuran kebenaran yang sesuai hukum. Jangan sampai adil yang sesuka sendiri tetapi adil sesuai hukum yang ada. Jadi adil itu ada dasarnya, aturan yang membuat itu benar,” tegasnya.

Maksud saya di situ, agar tidak lagi seperti sekarang ini suka-suka ngomong. Di mana kecenderungan masyarakat sekarang ini menafsirkan adil itu sesukanya. Sebagai contoh, teroris mengatakan membunuh itu sah-sah saja karena mereka punya penafsiran sendiri. Jadi kalau kita mengatakan suatu itu adil, dasar kita adalah kebenaran. Jangan sampai kita mengatakan suatu itu adil karena kita terpuaskan padahal melanggar hukum.

Betapa berfariasinya dan betapa nisbinya pun keadilan itu, tetapi ada satu benang merah yang dapat ditarik, bahwa di seluruh dunia ini keadilan itu adalah satu. Ada hal-hal yang disepakati secara dunia dimana pun dia. Walau tidak diajarkan secara formal pun, tetapi semua tahu soal keadilan. Satu contoh, mengambil hak orang lain, pasti oleh siapa dan di mana saja, bahkan orang yang tidak beradab pun, tetap mengatakan itu salah. Itulah yang dimaksud dengan keadilan yang universal.

“Itulah titik tolak kebenaran yang saya katakan tadi. Jadi kebenaran itu tidak bisa dibohongi. Kenapa saya tekankan kebenaran ini, karena kecenderungan orang sekarang mengatakan, sesuatu itu tidak adil tapi ukuran yang dia pakai adalah dia sendiri. Makanya sering saya komplain, kalau lembaga tertentu mengkomplain kalau si A korupsi didemo, sedangkan si B korupsi tidak didemo. Karena si B kawan sedangkan si A itu bukan.” Marzuka Situmorang

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

04 | Meluruskan Paradigma Advokat

Otto Hasibuan SH MM terpilih menjabat Ketua Umum DPP Ikadin periode 2003-2007 dalam Musyawarah Nasional Ikatan Advokat Indonesia (Munas Ikadin) di Semarang, Jawa Tengah, yang berlangsung pada 3-5 April 2003. Banyak hal yang patut dicatat dari Munas ke-3 Ikadin kali ini. Itu tak lain karena pelaksanaan Munas beriringan dengan disetujuinya Undang-Undang tentang Advokat oleh DPR.

Banyak kritik dilontarkan di tengah-tengah Munas. Apalagi dalam soal posisi dan peran advokat sebagai agent of development dalam membangun sistem hukum nasional. Belum lagi soal suara-suara sinis atas keberadaan advokat yang kini dinilai tak lagi berperan sebagai garda terdepan untuk mewujudkan keadilan.

Advokat sebagai profesi lebih berorientasi pada materi, hanya soal kalah-menang dalam berperkara. Ikadin sepertinya perlu meluruskan paradigma ini. Lantas bagaimana kedudukan advokat, khususnya Ikadin, pascalahirnya Undang-Undang tentang Advokat itu? Berikut petikan wawancara Pembaruan dengan Otto Hasibuan SH MM di Semarang seusai Munas.

Profesi advokat secara langsung ikut bertanggung jawab dalam membangun sistem hukum yang kuat. Artinya, sistem hukum nasional yang dapat jadi pijakan. Apa pendapat Anda?

Saya pikir pendapat itu tepat. Itu sebabnya dalam Munas saya utarakan, advokat adalah agent of development. Artinya, advokat mempunyai potensi yang sangat kuat untuk memastikan berjalannya sistem hukum. Oleh karena itu, advokat harus diberdayakan secara optimal sesuai potensinya. Hal inilah yang selama ini belum secara maksimal dilakukan oleh kalangan advokat.

Khusus untuk Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), itulah yang akan dilakukan saat ini. Bagaimana peran advokat kini dan masa mendatang? Itu yang jadi concern. Idealnya, kita harus jeli mencermati tuntutan zaman atas peran advokat. Baik tantangan secara internasional maupun nasional.

Itu sebabnya dalam menyikapi berbagai tantangan Ikadin harus membuat skala prioritas. Paling penting sekarang adalah bagaimana Ikadin membenahi internal organisasinya, meskipun secara eksternal tak boleh ditinggalkan.

Jangan sampai timbul kesan suksesnya advokat hanya ditentukan oleh keberhasilan dalam memenangi perkara yang nilai uangnya besar. Sementara substansi persoalan hukum dan keadilan tidak hanya selesai di situ. Saya melihat justru banyak persoalan-persoalan hukum yang bila dilihat dari nilai ekonomisnya kecil, tetapi mengandung persoalan hukum dan keadilan sangat substansial karena menyangkut rasa keadilan masyarakat.

Parameter ini yang saya lihat sudah bergeser. Ini terjadi karena adanya paradigma berpikir soal sukses tidaknya seorang advokat. Kalau dulu orang terkenal ketika dia membela rakyat kecil yang berhadapan dengan pemerintah, sekarang ini orang terkenal bukan kerena membela rakyat kecil, tetapi karena membela perkara-perkara yang materinya besar. Padahal, bisa jadi perkara yang nilai uangnya besar itu, sesunguhnya hanya mengandung substansi hukum yang sederhana.

Bila paradigma ini tidak diluruskan, maka jangan salahkan bila ada suara sinis yang ditujukan terhadap profesi advokat yang mengatakan, “Maju tak gentar membela yang bayar.” Sinisme ini memang realitas. Oleh karena itu, advokat harus berani mengambil sikap, “Maju tak gentar membela yang benar.”

Mengapa begitu miring orang menilai posisi advokat dalam proses penegakan hukum?

Kondisi itu saya kira wajar-wajar saja di alam reformasi. Ketika sumbatan transparansi terbuka, rakyat semakin jeli melihat sisi-sisi janggal dari proses penegakan hukum. Nah, sasaran yang paling mudah untuk ditembak adalah profesi advokat yang melakukan pembelaan. Katakanlah, misalnya, seorang advokat membela seorang tersangka koruptor. Sering masyarakat menjatuhkan vonis sebelum ada vonis hakim. Belum lagi bila tercium adanya ketimpangan-ketimpangan dalam penegakan hukumnya. Maka, di sinilah perlunya advokat dan organisasi memberikan suatu penjelasan kepada masyarakat perannya itu seperti apa.

Tapi saya juga tak mau muluk-muluk. Kita harus realistis, advokat itu tidak digaji oleh pemerintah. Dia hidup dan mendapat uang dari profesinya. Makanya dia sibuk menangani perkara karena dari situlah dia mendapat hidup. Tapi, tetap harus diingatkan, sebagai advokat, selain harus mencukupi ekonomi dirinya sendiri, sesunguhnya advokat itu mengemban kewajiban profesi untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Apalagi kalau dikatakan advokat sebagai agen pembangunan. Itu sebabnya, Ikadin sebagai organisasai harus mampu mensinergikan aspek visi dan misi organisasi terhadap para advokatnya.

Soal eksternal bagaimana?

Kita mempunyai bidang luar negeri dan kita juga sudah masuk jadi anggota International Bar Association dan kegiatan-kegiatannya selalu kita ikuti.

Tapi, seperti saya utarakan di atas, soal internal harus mendapat skala prioritas. Banyak persoalan hukum dan kenegaraan secara nasional yang sesungguhnya harus disikapi advokat.

Karena itu peningkatan profesionalitas sangat penting. Itu sebabnya, kita butuh legal education.

Tapi saya juga tak mau muluk-muluk, soal pengembangan SDM advokat, Ikadin memang terkendala oleh posisinya. Advokat sering sangat sibuk dengan berbagai pekerjaannya.

Untuk itu saya berpikir, ada satu cara yang dapat ditempuh, yakni Ikadin harus bersinergi dengan kelompok lain seperti akademisi dan tokoh-tokoh pemikir. Ikadin harus memiliki think-tank. Di belakang Ikadin harus ada orang-orang sebagai pemikir, yang objektif sehingga kalau ada masalah-masalah yang terjadi di masyarakat, Ikadin dapat memberikan sumbangsih bagi penyelesaiannya.

Dalam waktu dekat susunan pengurus DPP Ikadin harus terbentuk, bagaimana kira-kira gambarannya?

Pertama yang dibutuhkan di sini adalah orang-orang yang mau bekerja. Punya dedikasi untuk kemajuan organisasi. Itu pasti akan lebih bermanfaat.

Susunan orang-orangnya?

Itu masih perlu dibicarakan dengan para formatur lainnya.

Ikadin sebagai oraganisasi perjuangan, itu seperti apa?

Ini mungkin sejarah yang dibawa dari Peradin. Saya berpendapat, kata “perjuangan” tetap harus dicantumkan dalam Anggaran Dasar (AD) Ikadin. Saya pikir, kalau ini tidak dicantumkan, misi ini akan hilang kekuatannya. Cuma yang jadi soal, yang harus dicermati adalah Ikadin sebagai organisasi profesi. Maka, tentunya dia punya aturan-aturan khusus mengenai hal itu.

Tetapi sebagai organisasi perjuangan Ikadin mesti berjuang. Berjuang untuk mewujudkan keadilan hukum. Tapi harus digarisbawahi, tatkala Ikadin sebagai organisasi profesi harus berjuang, maka perjuangannya bukanlah perjuangan aksi. Seyogianya, sebagai organisasi perjuangan Ikadin mesti membangun sistem hukum.

Jadi, perjuangan Ikadin harus lebih ditekankan pada perjuangan pemikiran. Ini harus disepakati dulu oleh para advokat. Itu sebabnya saya katakan, harapannya Ikadin harus mempunyai think-tank. Jadi, kalau ada persoalan hukum yang terjadi di masyarakat, ada putusan pengadilan yang janggal, think-tank ini memberi masukan untuk mengkritisinya.

Apa sikap anda soal Undang-Undang tentang Advokat?

UU ini sudah ada dan harus dihormati, dan kita taati saja. Namun sebagai advokat, apalagi sebagai pimpinan sebuah organisasi, tidak boleh membiarkan kalau ada hal-hal yang belum pas dalam sebuah UU. Kita ikuti UU itu, tetapi kita kritisi.

Nah, di sinilah peran Ikadin, tidak perlu kita harus ribut, tidak perlu kita ke pengadilan, kita ajukan saja permohonan penyempurnaannya kepada DPR. Tentunya dengan mengajukan argumentasi-argumentasi dengan harapan nantinya, DPR sendiri yang akan mengubahnya. Ini cara baik.

Soal wadah tunggal?

Saya pikir itu sudah ditentukan dalam UU, ya, kita harus bersiap dan menyikapi itu. Persoalannya kan ini masih harus kita bicarakan dengan organisasi lain yang ada.

Soal kode etik?

Saya kira kode etik itu sudah memadai, persoalannya bukan kode etiknya tetapi bagaimana melaksanakannya. Ini kan nantinnya berkaitan dengan akan adanya wadah tunggal dan bagaimana mengatur Dewan Kehormatan (DK) organisasi. Di sini harus dibicarakan, jadi harus ada kesepakatan-kesepakatan dengan kawan-kawan yang lain.

Jika ada pelanggaran kode etik oleh advokat, sering ada pendapat bahwa hal itu tidak diselesaikan secara tuntas. Bagaimana ke depannya?

Memang yang paling penting dalam soal ini, perlu dilakukan penjelasan yang gamblang kepada masyarakat dari organisasi profesi seperti Ikadin atau jika wadah tunggal sudah terbentuk sehingga masyarakat mengetahui bagaimana tata cara penanganan pelanggaran kode etik oleh advokat.

Saya masih melihat masyarakat belum tahu mengenai tata caranya. Jadi kalau kita lihat ada pelanggaran kode etik, dia mengajukan secara salah. Karena prosedurnya salah, maka kemungkinannya tidak ditanggapi. Maka, masyarakat pun menganggap pengaduan tidak ditanggapi. Di sinilah perlu adanya expose kepada masyarakat.

Masalah KKN begaimana Ikadin menyikapinya?

Kita jangan terjebak dengan satu pemikiran. Jangan melihat persoalan KKN-nya saja. Saya katakan ini merupakan perhatian. Itu hanya sebagaian dari perjuangan advokat itu. Proses penegakan hukum tidak hanya di sektor itu saja. Saya kembali kepada apa yang saya katakan tadi bahwa masih banyak persoalan-persoalan kecil – yang secara ekonomis kecil – tetapi secara substansial besar. Nah, ini yang kita lihat. Kalau kita melihat yang besar-besar, terlupakan yang kecil-kecil, saya kira keadilan tidak akan tercapai.

Ke depan tugas kepengurusan cukup berat. Apalagi bila dikaitkan dengan peningkatan kualitas advokat dalam menjawab tantangan baik dalam skala nasional maupun internasional. Apa komentar Anda?

Walaupun wadah tunggal itu terbentuk atau tidak, dengan adanya UU tentang Advokat sudah disyaratkan advokat harus melalui tahapan magang dan yang menguji advokat itu adalah organisasi profesi. Mau tidak mau, organisasi profesi itu membuat satu wadah pendidikan. Ini harus realistis. Saya tidak mau muluk-muluk dulu. Lembaga pendidikan itu boleh dilakukan oleh Ikadin, boleh juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain yang sudah ada. Sebagai contoh, kita sudah tandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan salah satu universitas di Semarang untuk membuka pendidikan profesi advokat. Ini salah satu cara untuk meningkatkan kualitas advokat.

Advokat adalah profesi mulia. Tapi sering terungkap mafia peradilan melibatkan oknum advokat. Komentar Anda?

Ini buah simalakama, tidak tahu mau menyalahkan siapa. Ada yang mengatakan, jika advokat tidak menawarkan sesuatu, maka hakimnya tidak akan terpengaruh. Akan tetapi ada juga yang mengatakan, walaupun ditawarkan sesuatu dan hakimnya tidak mau, maka tidak akan terjadi apa-apa. Kalau melihat ini, saya kira, sama seperti pepatah kuno, “Ayam atau telur yang lebih dulu.”

Saya kira, yang penting di sini adalah soal adanya moral dan sistem yang kuat. Saya usulkan begini, seharusnya setiap putusan hakim itu harus bermanfaat buat hakim itu sendiri. Kalau putusan itu tidak berpengaruh kepada dia, maka dia tidak akan menghargai putusannya sendiri. Artinya, kita harus buat sistem, bahwa setiap putusan harus sebagai sistem kontrol dalam proses peradilan. Putusan hakim harus menjadi tolok ukur untuk peningkatan karier hakim.

Disebut-sebut Ikadin harus melakukan konsolidasi organisasi, maksudnya?

Konsolidasi ini utamanya di cabang. Jadi untuk Ikadin, pengurus DPP itu harus sering dan rajin ke daerah. Rajin dalam arti tidak hanya fisik, tetapi juga melakukan komunikasi dengan pengurus cabang-cabangnya. Itu sebabnya saya katakan, kalau ada yang mengatakan kepengurusan Ikadin terlalu gemuk, malah saya mengatakan terlalu kurus. Coba bayangkan Ikadin mempunyai 56 cabang hanya diurus oleh dua wakil ketua umum. Bayangkan, mana mungkin? Tidak ada Koodinator Wilayah (korwil). Lalu bagaimana mau terjadi komunikasi antara DPC dengan DPC dan DPC dengan DPP. TI, Repro: Suara Pembaruan, Pewawancara: Pandapotan Simorangkir)

Data Singkat
Otto Hasibuan, Ketua Umum DPP Ikadin (2003-2007) / Titian Jenjang Anak Tangga | Direktori | UGM, Advokat, Ikadin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini