Tolak Semua Hal yang Instan

Mangapul Sagala
 
0
171
Mangapul Sagala
Mangapul Sagala | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Menurut Mangapul Sagala, keinginan untuk mendapatkan sesuatu secara instan merupakan penyebab maraknya praktik korupsi dan penyelewengan di negeri ini. Ironisnya, hal-hal yang instan itu juga sudah merasuki gereja saat ini. Untuk mengatasinya, Doktor Theologia (D.Th) Trinity Theological College Singapura ini berpendapat bahwa manusia harus bekerja sesuai panggilannya, mengganti ukuran kesuksesan dengan kesetiaan dan integritas, dan hidup dalam kebenaran dan kekudusan.

Pdt. Dr. Ir. Mangapul Segala, M.Th merasa bersyukur bisa menjadi perpanjangan tangan Tuhan di dunia ini. Bersama rekan-rekannya di Perkantas, Mangapul menabur benih dengan harapan kelak akan tumbuh pemimpin-pemimpin yang berkarakter. Apalagi bila melihat kondisi bangsa saat ini yang dilanda krisis karakter dan kepemimpinan. Menurut Mangapul, karakter sangat berkaitan dengan moral dan membangun kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari kerohanian. Semua agama meyakini hal tersebut.

Menurutnya, jika setiap orang serius akan imannya, maka ia akan menghindari perbuatan seperti korupsi. “Kalau orang serius terhadap imannya, seseorang akan setia dan berbuah lebat.” Untuk mencegah melakukan penyelewengan, manusia harus kembali ke bahasa universal yakni kebenaran dan kekudusan. Karena pada hakekatnya, manusia diciptakan menurut peta teladan Allah. Bila manusia menjaga hidupnya dengan tinggal dalam kebenaran dan kekudusan, korupsi tidak akan terjadi. Setiap yang korup, dimanapun posisi levelnya, presidenkah, wapres, eksekutif, judikatif, legislatif, atau di desa, bila kembali ke jalan yang lurus, republik (semuanya) pasti beres, ” tegas dosen Perjanjian Baru STT Theologi Reformed Injili Indonesia dan STT IMAN di Jakarta ini.

Mangapul melihat bahwa peran Perkantas cukup besar karena merangkul sekitar 10 ribu alumni yang tersebar di seluruh Indonesia. Mangapul kemudian memberi contoh. “Kalaupun ada satu alumni yang korupsi satu miliar, itu masih sedikit. Bagaimana kalau kita berhasil membina 10 ribu alumni di seluruh kampus di Indonesia sehingga tidak korupsi, berarti 10 ribu kali 1 miliar, itu 10 triliun. Berarti kita menghemat uang negara 10 triliun. Itupun kalau hitungannya satu miliar, padahal dalam kenyataannya lebih, ” katanya.

Dalam pelayanannya kepada para mahasiswa di Perkantas, Mangapul selalu berusaha konsisten dalam kata dan perbuatan. Menurutnya, Perkantas harus berani menyerukan maling tetap maling. Mangapul pun selalu berulang-ulang menyerukan bahwa definisi sukses adalah setia. “Bila kamu kaya raya karena korupsi maka kamu tidak sukses. Bila kamu hidup sederhana karena kamu setia, kamu sukses.”

Sembari mengutip dari kitab Kolose 3:23, Mangapul menegaskan, apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Menurutnya, dengan keyakinan tersebut, semua orang akan dituntut untuk mencintai pekerjaannya. Namun hal itu tidak berlaku bagi orang-orang yang selalu ingin mendapatkan segala sesuatu secara instan karena tidak mau susah payah untuk bekerja. Pada akhirnya mereka akan menempuh segala cara untuk memenuhi keinginannya itu. Ia mencontohkan fenomena seorang anak kecil bernama Ponari dengan batunya. Orang berduyun-duyun ke tempat Ponari karena mendengar Ponari bisa mengobati penyakit padahal dari segi logika dan iman, kemampuan Ponari itu masih perlu diuji.

Keinginan untuk mendapatkan sesuatu secara instan juga sudah merasuki gereja. Sekarang ini banyak pendeta yang mendapat gelar secara instan tanpa memperhatikan lagi kualitas. Kehadiran pendeta-pendeta seperti itu belakangan malah menjadi sangat penting bagi orang-orang tertentu seperti konglomerat hitam yang suka menyumbang ke gereja. “Konglomerat hitam juga perlu eksistensi diri dengan dibuat jadi orang besar di gereja. Dari hasil curian dia, dia merasa eksis kembali. Katakanlah dia curi 100 miliar, dipersembahkanlah 2 miliar ke gereja. Masih sisa 98 miliar. Tapi waktu dapat 100 miliar, ia seperti dikejar bayangan, nobody (bukan siapa-siapa). Tapi setelah menyumbang ke gereja, dia menjadi somebody karena saling membutuhkan, pendeta butuh uangnya, dia (konglomerat) butuh pengakuan dari gereja,” ujar Mangapul.

Sedangkan dari sisi jemaat, sekarang banyak orang tergiur dengan konsep pelayanan yang menekankan teologi kemakmuran dimana orang Kristen sejati adalah orang yang mengalami mujizat dan hidupnya sukses. Menurut Mangapul, konsep pelayanan itu harus kembali kepada teologi Alkitabiah bahwa menjadi orang Kristen, ada harga yang harus dibayar. Bagi Mangapul, seseorang akan bisa mencapai sukses jika mengganti pengertian sukses itu dengan setia. “Bagaimana kita mengerti sukses, jangan dikatakan sukses itu kalau tidak ada kesulitan, nggak ada sakit penyakit. Alkitab mencatat, orang yang hidup dalam kebenaran seperti Ayub, sakit menderita, rugi. Bahkan Tuhan Yesus yang benar dan sempurna mengakhiri hidupnya di kayu salib. Dari kacamata manusia ‘kan dia gagal dong. Waktu Yesus mati, semua muridnya kabur. Gagal Dia,” jelas Mangapul lagi.

Menurutnya, apapun profesi seseorang, jika dilakukan dengan setia dan segenap hati, tidak peduli seberapa banyak uang atau upah yang diterima, Tuhan akan berkenan dengan pekerjaan yang dilakukannya itu. Dengan mengenakan prinsip seperti itu, Mangapul bisa tetap membumi dan rendah hati. “Saya melihat diri saya masih gagal sana-sini karena sebagai manusia di hadapan Allah, kita tidaklah sempurna. Makanya kalau melihat situs saya di halaman pertama itu, lagu yang saya tonjolkan adalah, ‘Tuhan Yesus kusadar kulemah, Tuhan Yesus kusadar ku amat hina.'” Mangapul menyadari bahwa sukses yang benar bukanlah yang menurut dunia melainkan menurut Alkitab. Misalnya kalau Tuhan memanggil jadi wartawan, jangan cari sensasi, katakanlah yang benar. Jadilah pembawa berita yang baik. Jangan katakan apa yang enak didengar. Cuma bagaimana menyatakan yang benar, itu nggak gampang. Itu pergumulan lagi. Tapi tetap lakukan yang terbaik,” tegas Mangapul.

Itulah sebabnya, Mangapul sangat menyayangkan banyaknya lulusan sarjana teologia yang kemudian menjadi pendeta yang tidak melalui jalur yang seharusnya. Menurutnya, hamba Tuhan yang melayani dengan konsisten akan ditahbiskan setelah melalui proses yang sangat panjang. Namun sekarang, banyak orang yang menjadi pendeta sebagai pelarian ketika mendekat pensiun dari dunia kerja. Orang itu kemudian sekolah untuk mengambil gelar dan langsung menjadi pendeta. “Coba pikirkan, sekarang mana yang gereja pilih, menerima seorang alumnus, polos, tulus, dan miskin atau menerima seorang alumnus berduit, mantan pejabat pula. Coba, mana lebih diterima, ” kata Mangapul membandingkan.

Di sisi lain, orang pun sekarang mulai bertanya apakah menjadi pendeta itu sebagai panggilan atau sebagai profesi mencari untung. Menurut Mangapul, ketika pendeta dinyatakan sebagai profesi maka pendeta menjadi sama dengan profesi lainnya, akan mengharapkan adanya fasilias, honorium dan segala macam. Sama seperti menjadi guru yang dulu masih dianggap sebagai panggilan. Guru-guru itu rela dibayar rendah demi mendidik anak-anak generasi penerus bangsa. Tapi sekarang mereka yang terpanggil menjadi guru semakin sedikit. Tidaklah mengherankan bila sekarang banyak guru berdemonstrasi minta kenaikan honor atau gaji karena melihat pekerjaannya itu sebagai profesi dan bukan panggilan.

Advertisement

Seharusnya, menurut Mangapul, seorang pelayan yang memenuhi panggilannya menyadari bahwa Tuhan bertanggung jawab penuh atas kehidupannya. Itulah sebabnya, Mangapul tidak pernah memperkarakan berapa upah yang akan diterimanya. “Saya tidak pusing berapa gaji saya, rumah saya dimana. Saya bersyukur bisa melayani Tuhan Yesus, raja segala raja. Justru jika menyadari bahwa pekerjaan itu adalah panggilan maka manusia sedang menggenapi rencana Tuhan dalam hidupnya,” katanya. Kalaupun seseorang bekerja di istana dengan posisi penting, tapi jabatan itu bukanlah panggilan, orang itu tetap tidak akan bahagia. Demikian juga dalam hal melakukan pelayanannya, Mangapul selalu berharap agar pelayanannya berkenan di hadapan Tuhan. Belajar dari pengalaman Rasul Paulus, Mangapul juga bergumul dalam pelayanannya, “Saya sangat bergumul seperti kata Paulus untuk melatih tubuhku sepenuhnya, supaya sesudah memberikan injil, jangan aku ditolak.”

Dalam pelayanannya kepada para mahasiswa di Perkantas, Mangapul selalu berusaha konsisten dalam kata dan perbuatan. Menurutnya, Perkantas harus berani menyerukan maling tetap maling. Mangapul pun selalu berulang-ulang menyerukan bahwa definisi sukses adalah setia. “Bila kamu kaya raya karena korupsi maka kamu tidak sukses. Bila kamu hidup sederhana karena kamu setia, kamu sukses, ” tegas Mangapul.

Dan kemampuan seseorang untuk setia tidak lepas dari kedewasaan rohani. Jika seseorang sudah memiliki kedewasaan secara rohani, orang itu akan mampu menolak godaan. Orang yang sudah mencapai kedewasaan penuh seperti dalam Efesus 4, tidak lagi terombang-ambing. Tidak lagi mudah tergiur dengan tawaran dunia seperti melakukan korupsi. Berbeda dengan orang yang belum dewasa secara rohani, akan mudah diombang-ambingkan oleh godaan, materi dan posisi.

Prinsip ini memang betul-betul menjadi pegangan hidup Mangapul. Misalnya, belum lama setelah ia berhasil menyelesaikan gelar doktornya di Singapura, ia mendapat tawaran menjadi pendeta di sana dengan gaji yang menggiurkan. Seandainya ia mengiyakan, honor bersih yang akan diterimanya berkisar 7.800 dolar per bulan, belum termasuk tunjangan dan angpao-angpao lainnya. Sudah menjadi rahasia umum bila pendeta yang pernah melayani di Singapura, sekembalinya ke Indonesia bisa membangun rumah. Kenyataan-kenyataan itu tidak membuat Mangapul tergiur dan tetap pada panggilannya melayani di Perkantas yang bermoto, “Student today, leader tomorrow” itu. mlp, san, bety | Bio TokohIndonesia.com

Data Singkat
Mangapul Sagala, Staf Perkantas Jakarta, Dosen Perjanjian Baru STT IMAN dan STTRII / Tolak Semua Hal yang Instan | Direktori | Dosen, Pendeta, UI, teknik, penulis, pengajar, STT, Perkantas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini