Perintis Kemerdekaan Asal Gorontalo

Nani Wartabone
 
0
171
Lama Membaca: 3 menit
Nani Wartabone

Nani Wartabone adalah putra daerah Gorontalo yang aktif berorganisasi dan kukuh berjuang melawan penjajahan Belanda dan Jepang pada masa perjuangan kemerdekaan. Akibat perlawanannya melawan penjajah, dia berulang kali ditangkap, dipenjarakan dan diasingkan. Dia juga memimpin penumpasan pemberontakan Permesta di Gorontalo tahun 1958. Atas jasa-jasanya kepada negara, Nani Wartabone dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Nani Wartabone dilahirkan di desa Boludawa, daerah Suwawa, Gorontalo, 30 April 1907. Perkenalannya dengan paham nasionalisme dimulai ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama di Surabaya. Saat itu ia sering mendengarkan pidato-pidato yang disampaikan para tokoh pergerakan nasional seperti Ir. Soekarno, HOS Tjokroaminoto, dan Agus Salim.

Masih di kota yang sama, bersama dengan beberapa orang sahabatnya pada tahun 1923, ia mendirikan organisasi Jong Grorontalo, yang dalam bahasa Indonesia berarti Pemuda Gorontalo. Lima tahun kemudian ia memutuskan untuk meninggalkan Surabaya dan kembali ke kota kelahirannya, Gorontalo. Ayahnya, seorang wedana menganjurkannya untuk bekerja sebagai pegawai pemerintah, namun anjuran itu ditolaknya.

Nani Wartabone dikenal sebagai salah satu tokoh yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap nasib rakyat kecil, terutama para petani. Ia kemudian memprakarsai pendirian perkumpulan tani (hulunga) dalam rangka meningkatkan taraf hidup petani. Rasa kebangsaan dan nasionalisme juga ditanamkan kepada seluruh anggota hulunga dengan cara yang sangat sederhana yakni dengan memancangkan kain merah putih pada saat mereka membajak sawah.

Selain aktif di bidang sosial kemasyarakatan, Nani juga bergelut dalam dunia politik. Kiprahnya dimulai dengan mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia (PNI). Setelah PNI bubar, ia mendirikan cabang Partai Indonesia (Partindo), meskipun akhirnya Partindo juga bubar.

Setelah itu ia aktif menekuni karir organisasinya di Muhammadiyah. Dalam berbagai kesempatan saat bertablig di sejumlah daerah, dia selalu membeberkan keburukan-keburukan pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya, peringatan keras pemerintah Belanda berkali-kali dialamatkan padanya.

Pada Desember 1941, seorang anggota polisi bernama Pendang Kalangkoan membawa kabar berita bahwa objek-objek penting yang ada di Gorontalo akan dibumihanguskan oleh Belanda karena pihak Jepang yang saat itu sudah memasuki wilayah Indonesia.

Bersama para koleganya, dia kemudian membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Dua Belas. Pada satu pagi, 23 Januari 1942, mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Belanda. Setelah keberhasilan tersebut, mereka membentuk Pucuk Pimpinan Pemerintah Gorontalo (PPPG) yang anggotanya terdiri dari para anggota Komisi Dua Belas. Sedangkan Nani Wartabone, dipilih sebagai ketuanya.

Namun PPPG hanya menikmati suasana kemerdekaan dalam beberapa bulan karena kekuasaan mereka dirampas oleh pemerintah Jepang pada Juni 1942. Sang Ketua PPPG, Nani Wartabone pun dipaksa bekerja sebagai pegawai pemerintah Jepang dengan penunjukkannya sebagai gunco (Wedana).

Desember 1943, ia dituduh merencanakan pemberontakan sehingga ia harus ditangkap dan dipenjara di Manado. Setahun kemudian tepatnya di bulan Juni 1944 ia dibebaskan dari kurungan penjara. Ia pun baru mengetahui proklamasi kemerdekaan secara resmi pada 1 September 1945. Nani Wartabone segera memprakarsai pembentukan Dewan Nasional yang mengeluarkan pernyataan bahwa daerah Gorontalo adalah bagian dari Republik Indonesia.

Advertisement

Pasukan Australia yang mewakili tentara Sekutu mendarat di Gorontalo pada awal bulan Oktober 1945. Kedatangan mereka bermaksud untuk mengambil alih kekuasaan, namun Nani Wartabone menolak untuk menyerahkan kekuasaan. Satu bulan kemudian, tepatnya 30 November 1945, Nani ditangkap dan harus kembali meringkuk di penjara. Semula ia harus menjalani hukuman penjarannya di Manado kemudian dipindahkan ke Morotai terakhir di penjara Cipinang, Jakarta. Ia baru memperoleh kebebasan pada 23 Desember 1945 setelah persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Tindakan sejumlah orang yang tergabung dalam Perjuangan Semesta (Permesta) yang menghendaki pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat sangat bertentangan dengan prinsip Nani yang menjunjung tinggi bentuk negara kesatuan. Untuk mengatasi hal itu, ia memimpin gerakan untuk merebut kekuasaan pemerintahan di Gorontalo dari para pejabat pendukung Permesta tanggal 26 Februari 1958 dinihari.

Akan tetapi, masih di tanggal yang sama, di tengah harinya kekuasaan wilayah Gorontalo yang baru berhasil direbut oleh Nani Wartabone harus kembali jatuh ke tangan Permesta. Menghadapi situasi tersebut, Nani memutuskan mundur ke Suwawa bersama para pengikutnya. Di sana ia menyusun strategi untuk menghadapi Permesta dengan membentuk Pasukan Rimba yang beranggotakan sejumlah personil Angkatan Perang dan Kepolisian serta masyarakat umum.

Mereka harus bergerilya selama tiga bulan lamanya di wilayah Gorontalo sampai datangnya bantuan dari pemerintah pusat pada bulan Mei 1958. Kekuasaan Permesta di Gorontalo pun berakhir di bulan yang sama.

Setelah Gorontalo kembali menjadi bagian NKRI, sejumlah jabatan penting dalam pemerintahan dipercayakan pada Nani Wartabone. Jabatan itu antara lain Residen Koordinator Sulawesi Utara, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), anggota Dewan Perancang Nasional, dan yang terakhir anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Nani Wartabone meninggal dunia pada 3 Januari 1986.

Perjuangan Nani Wartabone dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan merupakan suatu keteladanan yang luar biasa. Hal itu dibuktikannya dengan melakukan pergerakan sejak zaman kedudukan pemerintah kolonial Belanda, masa sebelum kedatangan tentara Jepang hingga terjadinya pemberontakan daerah. Atas jasa-jasanya kepada negara, Hi Nani Wartabone dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. (cid, red)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini