Mencerahkan Film Lokal
Hanung Bramantyo
[SELEBRITI] Kiprahnya sebagai sutradara film mulai mencuri perhatian publik di tahun 2004 saat membesut film romantis, Brownies. Setelah itu, sutradara terbaik pada Festival Film Indonesia 2005 ini semakin getol menelurkan karya-karyanya seperti Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, Lentera Merah, Get Married, Ayat-ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban hingga Sang Pencerah. Film-film yang dia sutradarai cukup beragam mulai dari film remaja, komedi romantis, drama reliji bahkan horor.
Hanung Bramantyo lahir di Yogyakarta 1 Oktober 1975 dari pasangan H. Salim Poernomo dan Mulyani. Ayahnya berprofesi sebagai importir kerajinan kulit sedangkan sang ibu mengurus keluarga dan membantu usaha keluarga. Sulung dari lima bersaudara ini melewati masa kecilnya seperti bocah kebanyakan, tak banyak hal yang istimewa, semua berjalan relatif biasa-biasa saja.
Sebagai anak tertua, Hanung cenderung mandiri. Malah, menurut cerita ibunya, Hanung tergolong kakak yang ngemong dan selalu mengalah pada adik-adiknya. Kakak dari Perwitasari, Arifah Hesti, Pranawingrum dan Haning Satria ini menempuh pendidikan di kota kelahirannya, Yogyakarta. Saat bersekolah di TK Aisyah Bustanul Athfal Kauman, ia telah memiliki ketertarikan pada bidang seni khususnya pelajaran menggambar.
Hanung kecil senang menggambar apa saja. Pokoknya tiada hari tanpa menggambar. Beranjak SD, hobi menggambarnya semakin menjadi-jadi. Sampai-sampai buku sekolahnya dipenuhi gambar-gambar hasil karyanya. Meski demikian, ia tak pernah secara khusus mengikuti lomba menggambar.
Saat duduk di bangku kelas 4 SD, Hanung mulai menunjukkan bakat lainnya di bidang seni yaitu teater. Kala itu Hanung sempat bermain sebagai figuran di sebuah kelompok teater. Tapi Hanung tak mendapat restu dari ibunya karena pementasan teater tersebut dilakukan dengan berkeliling. Ibu Hanung menasehati putra sulungnya itu agar konsentrasi pada pelajaran di sekolah saja. Sebagai anak yang baik, Hanung pun menurut.
Selain gemar berteater, ia juga senang menonton ketoprak yang rutin digelar setiap peringatan tujuhbelasan dan Maulud Nabi. Hanung yang selalu ditemani sang nenek saat menyaksikan ketoprak diam-diam memperhatikan efek-efek yang dibuat. Seperti ketika adegan Nabi Musa membelah lautan, efeknya dari plastik dan kain yang digoyang-goyangkan. Meski ia tahu bahwa itu terbuat dari plastik dan kain, tapi menjadi luar biasa ketika di atas panggung digerak-gerakan menyerupai laut yang terbelah. Dari situ keingintahuannya mulai tergugah.
Meski dilarang sang ibu untuk ikut pementasan teater keliling, Hanung tak kehabisan akal untuk menyalurkan hobinya berteater. Kelas 5 SD, ia membentuk grup drama yang akan pentas untuk acara perpisahan. Hanung membuat ide ceritanya yang terinspirasi dari film koboi yang kala itu tengah digemari. Tapi sayangnya, pertunjukan teater yang digagas Hanung gagal dipentaskan karena dilarang oleh Pak Suwardi, salah seorang gurunya, tanpa alasan yang jelas.
Mendapat larangan itu, Hanung merasa kecewa bahkan hampir menangis. Walau begitu, grup teater yang didirikannya itu terus berjalan sampai kelas 6 SD. Karena pada saat perpisahan kelas 6 tidak diadakan acara pertunjukan, saat itulah Hanung dan kawan-kawannya sepakat membuat pertunjukan sendiri. Dengan penuh semangat mereka kemudian mengatur bangku-bangku menjadi panggung.
Selain menggambar dan teater, Hanung juga senang seni musik. Untuk menyalurkan bakat bermusiknya, ia pun aktif di marching band sekolah. Hanya satu mata pelajaran yang tidak disukainya, yakni matematika. Akan tetapi ibunya selalu mengkondisikan supaya Hanung menjadi suka dan bisa. Sedemikian pentingnya matematika, sampai pelajaran lain seolah-olah tidak penting. Matematika dan IPA seperti pelajaran yang mulia. Sehingga ketika Hanung mendapat nilai 10 pada pelajaran gambar, itu tidak membanggakan ibunya.
Setelah tamat SD, Hanung meneruskan sekolahnya ke SMP Muhammadiyah. Di sekolah itu, bakat kepemimpinannya mulai terlihat saat terpilih sebagai ketua kelas dan ketua OSIS. Meski memegang jabatan yang cukup penting, kecintaannya pada seni tak pernah surut, ia pun lebih mengutamakan bidang kesenian dan teater. Padahal Hanung harus patuh dengan program Ikatan Pelajar Muhamadiyah se-DIY. Secara terus terang, Hanung mengaku malas datang jika ada pertemuan kecuali yang berbau kesenian.
Di bangku SMP, Hanung aktif dalam Teater Thrutuk. Saat tergabung dalam kelompok teater tersebut, ia menjalin persahabatan dengan seniman Kusen Ali P. Kusen mempunyai paman yang juga aktif di teater. Dari situ Hanung mulai mengenal Teater Gandrik, teater SK IAIN, teaternya MH Ainun Najib yang tersohor dengan kesederhanaannya. Dalam setiap pementasannya, Teater Gandrik cuma mengisi panggung dengan kotak-kotak, tapi bisa menyajikan pertunjukan yang isinya bagus dan selalu menyindir pemerintah.
Kiprahnya sebagai sutradara film mulai mencuri perhatian di tahun 2004 saat membesut film romantis, Brownies. Lewat film itu, Hanung bahkan dinobatkan sebagai Sutradara Terbaik pada Festival Film Indonesia 2005. Setelah itu, Hanung semakin getol menelurkan karya-karyanya yang berturut-turut hadir menyemarakkan industri perfilman nasional mulai dari Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, Lentera Merah, Kamulah Satu-satunya, Get Married, Ayat-ayat Cinta, Doa Yang Mengancam, Perempuan Berkalung Sorban, Menebus Impian, hingga Sang Pencerah.
Berbeda dengan ibunya, ayah Hanung amat mendukung kegiatan berkesenian sang anak khususnya dari segi materi. Hal itu dianggap aneh oleh banyak orang, karena ayahnya KH. Salim Poernomo cukup terpandang di Yogya sebagai pengusaha, tapi Hanung malah berteman dengan anak-anak teater yang kebanyakan bukan anak orang kaya. Seperti Kusen, tinggalnya di kampung, rumahnya dekat sungai. Bagi Hanung, bergaul dengan kalangan masyarakat bawah membuatnya mampu berempati dan cepat beradaptasi.
Hanung pun senantiasa berbagi dengan kawan-kawannya. Ia kerap mengajak mereka tinggal di rumahnya yang terletak di daerah Kadipiro. Di rumah itu pula, ia sering mempraktekkan hobinya memasak yang diakuinya diwarisinya dari sang ibu.
Sesudah lulus SMP, ia harus berpisah dengan sahabat karibnya, Kusen. Kegiatan berkesenian pun sempat terhenti karena Hanung sibuk mempersiapkan ujian. Akhirnya Kusen masuk SMUN 1 yang ada teaternya. Sementara, Hanung meneruskan ke SMU Muhammadiyah yang tidak ada teaternya karena dilarang. Hanung sempat iri pada Kusen yang masih bisa berteater sedangkan ia tidak. Bahkan Hanung sampai pernah minta keluar dari sekolah.
Tapi niatnya itu urung terlaksana saat ia mendengar perkataan dari sang ayah, “Lho, bukannya kamu yang biasanya menciptakan teater itu? Seorang pemimpin itu harus bisa menciptakan.” Akhirnya ia berjuang membuat teater lagi dan mengikuti festival teater remaja. Karena masih sepi peminat, Hanung pun memainkan peran ganda, selain menjadi pemain, ia juga merangkap sebagai penulis sekaligus sutradara.
Usai menamatkan SMA-nya, Hanung sempat berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, namun tidak sampai selesai. Ia kemudian memutuskan untuk mengambil Jurusan Seni Rupa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Negeri Yogyakarta yang juga tidak diselesaikannya. Hanung baru benar-benar menamatkan studinya saat menempuh pendidikan di Jurusan Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.
Lulus kuliah, Hanung mulai menerapkan ilmunya khususnya di bidang penyutradaraan. Karirnya sebagai sutradara dimulai di tahun 2000 dengan menyutradarai sebuah film berjudul Topeng Kekasih. Setahun kemudian ia menjadi sutradara film Gelas-gelas Berdenting yang kemudian dilanjutkan sebuah film pendek berjudul When… di tahun 2003.
Kiprahnya sebagai sutradara film mulai mencuri perhatian di tahun 2004 saat membesut film romantis, Brownies. Lewat film itu, Hanung bahkan dinobatkan sebagai Sutradara Terbaik pada Festival Film Indonesia 2005. Setelah itu, Hanung semakin getol menelurkan karya-karyanya yang berturut-turut hadir menyemarakkan industri perfilman nasional mulai dari Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, Lentera Merah, Kamulah Satu-satunya, Get Married, Ayat-ayat Cinta, Doa Yang Mengancam, Perempuan Berkalung Sorban, Menebus Impian, hingga Sang Pencerah. Film-film yang disutradarai Hanung cukup beragam mulai dari film remaja, komedi romantis, drama reliji bahkan horor.
Beberapa penghargaan pun berhasil diraihnya, antara lain Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2007 lewat film Get Married, serta Sutradara Terpuji lewat film Ayat-Ayat Cinta pada Festival Film Bandung (FFB) 2008. Film Ayat-Ayat Cinta yang diangkat dari novel karya Habiburahman El Shirazy boleh dibilang karya Hanung yang paling fenomenal. Tak hanya berhasil menyedot jutaan penonton, film yang dibintangi Riyanti Cartwright dan Feddy Nuril itu juga memberi warna baru dalam khazanah film bertema cinta namun bernafas Islami. Sukses film ini, juga diikuti dengan keberhasilan album OST Ayat-ayat Cinta (2008) yang di dalamnya berisi 12 lagu yang dibawakan Rossa, Ungu, dan Sherina.
Film fenomenal Hanung lainnya adalah Sang Pencerah yang dirilis tahun 2010. Film kolosal bersetting sejarah yang mengangkat kisah hidup tokoh Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan itu bahkan sempat dinominasikan sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia 2010. Namun sayang, film berbudget milyaran rupiah itu gagal meraih piala Citra karena terjadi perbedaan pandangan antara dewan juri FFI yang akhirnya menobatkan film komedi romantis berjudul 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta sebagai film terbaik. Meski demikian suami aktris Zaskia Adya Mecca ini tak kecewa. Ayah dari Bramastya dan Sybill ini justru senang filmnya dikritik banyak kalangan seraya berharap di masa mendatang ia dapat membuahkan karya yang jauh lebih baik lagi. eti | muli, red