Penulis Skenario Handal

[ Salman Aristo ]
 
0
415
Salman Aristo
Salman Aristo | Tokoh.ID

[SELEBRITI] Dalam dunia tulis-menulis skenario, nama Salman Aristo sudah tidak asing lagi. Ia ada di balik belasan film populer seperti Cinta Silver, Jomblo, Ayat-ayat Cinta, Garuda di Dadaku, Kambing Jantan, dan Laskar Pelangi. Sebagian insan perfilman nasional bahkan menilai, sentuhan pria ini seolah sudah menjadi jaminan mutu.

Aris, panggilan akrab pria ini mengawali debutnya dalam penulisan naskah (script writer) pada tahun 2004 melalui film bergenre romantis, Brownies. Film yang dibintangi oleh Marcella Zalianty dan Bucek Depp itu berhasil mengantarkan Hanung Bramantyo meraih Piala Citra sebagai sutradara terbaik dan Salman Aristo sebagai salah satu nominator penulis skenario terbaik di Festival Film Indonesia 2005. Setahun kemudian, dia juga dinominasikan untuk film Jomblo.

Selain itu, karyanya juga banyak yang masuk kategori box office di Tanah Air. Bahkan untuk beberapa filmnya, masyarakat umum termasuk pejabat negara banyak yang dengan bangga ikut antri demi menyaksikan karya-karyanya. Misalnya Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Dua film itu disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Ibu Ani pada tahun 2009.

Ketertarikan Aris pada dunia film diakuinya telah ada sejak kecil. “Film adalah cinta pertama gue,” kata pria kelahiran Jakarta, 13 April 1976 itu. Dia mengaku, sejak pertama kali menonton film bioskop berjudul Captain America di usia lima tahun, ia menjadi ketagihan menonton film.

Saking ketagihannya, ketika SMP ia mengaku sampai sering sembunyi-sembunyi menonton di bioskop. Namun sayangnya, ketika itu film Indonesia katanya sangat jarang dijumpainya. Bahkan boleh dikatakan, hampir tidak ada. Apalagi saat itu, bioskop 21 sedang gencar-gencarnya ‘diinvasi’ oleh film-film Hollywood. Hal itu membuat dirinya akrab dengan film luar. Meski demikian, ada juga film Indonesia yang menurutnya berkelas yang tayang di televisi, seperti Serangan Fajar (1981), Janur Kuning (1979), dan Kereta Api Terakhir (1981).

Setiap film yang ditonton, diakuinya memberi pengalaman dan pesan yang selalu berbeda baginya. Film-film garapan Arifin C. Noor misalnya, mampu membuatnya menjadi seorang yang antiperang. Kondisi-kondisi seperti itulah yang membuatnya jatuh cinta pada film. Tapi ketika itu, dia mengaku belum pernah terpikir akan menjadi seorang film maker.

Pria pengagum Bung Hatta ini mengaku semakin menggandrungi film setelah menyaksikan film Rain Man pada tahun 1988. Film arahan sutradara Barry Levinson itu membuatnya bertekad menggali informasi mengenai Oscar dan dunia perfilman nasional maupun mancanegara. “Pokoknya, informasi film gue cari habis-habisan, sampai gue hafal betul para pemenang Oscar,” ujar penggemar film-film karya Teguh Karya itu.

Namun, sekalipun minat dan kecintaannya semakin besar terhadap film, ketika itu Aris mengaku belum punya bayangan tentang proses pembuatan film. Saat itu, dia justru sempat tertarik pada musik. “Bagi gue, film saat itu adalah aktivitas Hollywood. Kita nggak pernah tahu gimana cara bikin film, dan yang ada di otak gue cuma musik dan nge-band,” kenang Aris sebagaimana dikutip majalah Gatra edisi 29 Oktober 2008. Walau demikian, suami dari Retna Ginatri S Noer ini tetap mengikuti perkembangan film. Uang jajannya selalu habis untuk membeli kaset dan nonton bioskop.

Proses pengenalan lebih jauh pada dunia film khususnya skenario baru terjadi pada tahun 1994, saat dia duduk di bangku kuliah. Di kampus, Aris yang tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran, Bandung, mengaku sering nongkrong di Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan Film. “Dari situ, gue baru tahu bagaimana film itu bisa dibuat,” katanya.

Di sana, Aris mulai mengenal pembuatan skenario. “Tapi baru bisa nulis interior dan eksterior. Sejak tahun 1996, Aris belajar menulis skenario film pendek secara otodidak. Disebut belajar secara otodidak sebab dia tidak pernah melihat fisik buku atau penulisan skenario film itu seperti apa.

Dengan latar belakang pendidikan jurnalistik yang dia miliki, Aris lalu menjadi reporter MTV. “Gue disuruh pegang rubrik film. Pas banget,” ujarnya. Akses pada dunia film pun kian terbuka lebar. Walaupun untuk itu, ia harus meninggalkan ‘mimpi’ menjadi pemusik yang dipupuknya sejak usia 13 tahun.

Advertisement

Bagi ayah Biru Langit ini, mengerjakan skenario adalah membantu orang memahami pesan yang ingin disampaikan lewat film. “Film yang baik adalah film yang komunikatif. Entah baik atau tidak, yang penting pesannya sampai,” katanya. Film yang baik juga harus memiliki stand point yang jelas dari pembuatnya. “Sang pembuat film harus punya sikap dan tujuan apa yang mau disampaikan,” ujarnya.

Dalam hal menulis, nilai-nilai dalam keluarga cukup mempengaruhi Aris. Dalam tulisannya, dia tidak jarang menyisipkan pesan yang muncul dari pengalaman keluarga. Bahkan Garuda di Dadaku didedikasikan untuk keponakannya. Menurut dia, pada dasarnya semua penulisan skenario adalah adaptasi, baik dari cerita teman, artikel koran, cerpen, atau pengalaman pribadi. “Masalahnya terletak pada ada hak ciptanya atau tidak. Itu saja,” ujar Aris.

Pada akhir 2006, Aris yang sudah menghasilkan beberapa skenario di antaranya Catatan Akhir Sekolah, Cinta Silver, dan Jomblo ini ditawari mengerjakan Ayat-ayat Cinta diadaptasi dari novel karya Habiburrahman El Shirazy. “Padahal, gue belum baca novelnya,” katanya. Skenario itu kemudian digarap bersama istrinya, Ginatri S. Noer. Menurut Aris, Ayat-ayat Cinta memang menarik ditulis berpasangan karena ada sentuhan hubungan lelaki-perempuan. “Yang bikin gue seneng, berbagai aliran Islam menerima film itu dan jadi populer,” katanya.

Sang istri, Ginatri yang pada Agustus 2008 memberinya anak pertama itu sebelumnya memang sudah pernah bikin beberapa skenario film, seperti serial televisi dan film Lentera Merah.

Selanjutnya, sebelum Ayat-ayat Cinta tayang, Mira Lesmana menawarinya menggarap Laskar Pelangi. Aris merasa senang dengan tawaran itu. Kebetulan, ibu, tante, nenek Aris berprofesi sebagai guru. Akhirnya tanpa berpikir panjang, Aris langsung menyanggupi. Ketika itu, dia mengaku tidak menghiraukan rupiah. Sebagai anak yang dibesarkan dari keluarga guru, novel itu diakuinya sangat personal baginya.

Dalam menggarap pekerjaan-pekerjaan lainnya pun, penulis skenario film Kambing Jantan ini mengaku, pada dasarnya melakukannya bukan dilandasi oleh uang. “Saya menilai, berkarya karena uang adalah pemikiran yang sangat dangkal. Sebab, kerja apa pun pasti dapat uang. Menyapu di pinggir jalan juga dapat uang. Itu otomatis sebagai konsekuensi bekerja,” ucapnya seperti dikutip Jawa Pos. Jika terjebak aspek materialistis, dia khawatir pekerjaannya menjadi mapan dan sekadar rutinitas.

Untuk meningkatkan performa kerja, Aris mengaku memanfaatkan medium film pendek. Dia telah menghasilkan dua film pendek yaitu Patah (2004) dan Pasangan Baru (2008). “Film pendek itu tempat eksperimen saya sekaligus untuk men-charge ide dan kreativitas. Itu juga berpengaruh pada penggalian angle cerita. Sebab, di film pendek, saya terlibat sejak awal sampai akhir,” kata pria berkacamata ini.

Ke depan, Aris ingin sekali mengembangkan skenario cerita laga dan perang. “Animasi juga jadi target gue ke depan,” katanya. Untuk perlindungan profesinya, dia berharap suatu saat di Indonesia berdiri asosiasi yang memayungi para penulis skenario. Dengan adanya asosiasi itu, dia berharap, orang sadar akan hak dan kewajibannya. “Itu yang perlu dikejar untuk teman-teman seprofesi,” katanya. e-ti | muli, mlp

Data Singkat
Salman Aristo, Penulis Skenario / Penulis Skenario Handal | Selebriti | film, penulis skenario

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here